Monday, December 28, 2009

Kupu di tengah kumpulan awan putih, gerbang langit baru.


Di sini kupu, di tengah deras hujan penyemarak malam natal.
Di sini kupu, dibalut petikan senar pemilik hatinya.
Di sini kupu, masih sederhana terbungkus gaun putih cantiknya.
Di sini kupu, di ujung kumpulan manusia yang sibuk menggemakan cinta.

Ada gemersik mengganggu.
Milikmu kah itu, Kupu?
Ku kenal itu, gemersik gundah yang lama tak ku dengar.
Ah! Kau dapat dari mana lagi?

Beberapa bunga? Sekumpulan bunga kah?
Hmm.. Dari koloni yang berbeda.
Bunga baru?
Bunga-bunga kesayanganmu? Bagaimana bisa!

Pantas saja ceriamu tak segesit hari-hari kemarin.
Iya, pasti sedih.
Jangan patah lagi ya Kupu, sayapmu.
Jangan.
Bunga kadang butuh Kupu lain untuk singgah, agar kelak dia tahu siapa Kupu favoritnya.
Kupu juga pastinya harus menghirup semerbak bunga-bunga lain, hingga kau tahu apa artinya rindu.

Jangan takut terbang dan hinggap, Kupu!
Tak bolehlah kau takut!
Apa nanti kata kodok, singa, ulat, ikan, rusa, semut dan tupai?
Jangan kau biarkan mereka berteriak padaku, “Apa kami bilang? Kami memang lebih pantas bersayap!”

Keyakinanku tak pernah salah, Kupu!
Tak pernah.
Kau harus yakin itu.
Sayap tipis nan kekar juga cantik berwarna-warni itu memang terlahir untukmu.
Hanya untukmu.
Karena hanya kau yang tahu cara menggunakannya.
Aku masih yakin itu.

Kepak lagi, ayo kepak lagi!
Mengelok lah kau di angkasa!
Buatlah kami semua iri padamu.
Iri akan eloknya rupamu;
Pada banyaknya ceritamu;
Karena cantiknya matamu, rangkuman warna-warni pelangi, bunga-bunga, ikan, koral dan dedaunan;
Iri pada tugasmu, menyebar cerita dan cinta pada semesta.
Iri hingga ingin rasanya kami semua mencuri sayapmu.

Iya, begitu!
Itu senyum kupu yang kukenal.
Mana lagi?
Ayo keluarkan lagi!

Kupu, ada yang baru!
Apa itu kawan baru di jarimu?
Mengapa tersipu begitu?
Ayo, apa itu?
Janjiku untuk menyeberangi gerbang langit biru, yang baru.
Kalau, si manis oranye di kananmu?
Namanya Ranyu, sayap baruku.
Manisnya..
Sudah siap?
Iya, sudah.
Terima kasih kawan, terima kasih.
Jangan beranjak, lihat sayap-sayapku mengepak; untukmu dan untuk semesta.
Aku di sini.
Sampai ketemu di sana ya!
Di langit biru baruku.

Selamat tahun baru, semuanya.. ^^
Selamat tahun baru juga, kupu..

Monday, December 21, 2009

Selamat harimu, Mama.

Ikalmu, ikalku
Tulang pipimu, tulang pipiku
Cokelat matamu, cokelat mataku
Struktur gigimu, struktur gigiku
Tipis kulitmu, tipis kulitku
Kecil tubuhmu, kecil tubuhku

Yakinmu jadi tanyaku
Sukamu seringkali gundahku
Kebiasaanmu masih pahamku
Mimpimu itu banggaku

Tanyamu tentang citaku, bahagiaku atas tanyamu
Kritikmu akan pekerjaanku, menganggukku setuju
Doamu untuk masa depanku, mengaminku dalam kalbu

Lemahmu bukan laraku
Kuatmu kuserap selalu
Darahmu kebanggaanku
Bahagiamu aminku tiap waktu

Selamat harimu, Mama.

Wednesday, December 16, 2009

Bercerita bersama sore – sebelas

Ih, Sore! Jarang-jarang ini kau jadi modelku! Lagian lumayan kan, siapa tahu bisa jadi model beneran! Hihihi... ^^
Ini namanya simbiosis mutualisme. Kau membantuku belajar fotografi, aku melatihmu menjadi model. Iya kan?
Sudah, sudah, jangan protes terus! Ini kau lihat dulu hasilnya. Ada tiga yang kusuka. Kau suka tidak?

Sore masih malu-malu.. ^^

Sudah mulai menyukai kamera..

Cantik sekali kau di sini, Sore!

Monday, December 14, 2009

Izinkan ku tuk berteriak di telingamu

Apa kau tahu artinya memohon? Memohon dengan sepenuh hati, berarti aku telah melewati garis meminta, berarti aku telah membunuh harga diriku pada saat bersamaan, berarti aku memberimu secarik kertas untuk kau tulis dengan apapun sesukamu untuk meminta apapun sesukamu, berarti sudah tidak ada pilihan lain untukku, berarti hanya kau pilihan terakhirku, berarti kau memiliki kuasa untuk mendorong atau menarikku dari pinggir lubang, berarti aku sedang ditunjukkan olehNya bagaimana rasanya tidak punya kuasa atas diri sendiri, berarti aku sedang menjadi orang yang teramat lemah, saat itu.

Apa kau tahu memohon adalah salah satu hal yang kubenci di dunia ini? Meminta, bahkan memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu untukku, menjadi orang yang penuh ego di saat yang bersamaan karena meneriakkan keinginanku sendiri, meminta orang lain untuk menyorotkan lampu panggung hanya padaku, mengakui ketidakberdayaanku pada orang lain, menambah jumlah parasit di bumi saat sudah terlalu banyak parasit di sini.

Apa kau tahu sensasi yang timbul saat ku memohon? Wajahku serta merta memerah tanpa komando, tanah menjadi pemandangan yang menetramkan dada, tiba-tiba saja backsound kehidupanku berhenti, marsupilami datang dan melilitkan buntutnya di dadaku, dan jika kau memberi jeda panjang, palang air di pangkal hidungku bekerja keras untuk menahan air mata yang bersiap membasahi wajahku. Hingga kau memutuskan untuk pergi, tanganku serta merta meraihmu, berusaha untuk menahanmu di sisiku, meracaukan janji-janji yang bahkan tak bisa kuingat lagi, dan palangku akhirnya tak sanggup lagi bertahan.

Apa kau tahu jawabanmu benar-benar telah merubahku? Membuatku sadar bahwa masih banyak hal yang lebih berharga dariku, menurunkanku dari awan mimpi di mana hidup itu indah dan tidak kejam, membantuku meninjau ulang kualitas hubungan kita, mengingatkanku bahwa tidak pernah ada hukum pasti di dunia ini, bahkan cinta hanya perasaan menggebu yang berumur pendek, merumuskan bahwa kekuatan darah hanya sebatas cairan yang mengaliri tubuhku, tidak lebih.

Apa kau tahu rasanya tidak terpilih dan terbuang? Saat anak lain berlomba untuk menyimpan semua ilmu di kepalanya hingga mereka bisa disebut pintar dan membanggakan, kusaksikan mereka disambut oleh senyuman bangga dan pelukan hangat, lalu aku pun memutuskan untuk melakukan hal serupa, menyerap semua sebisaku hingga kan kudapatkan senyum dan pelukan itu, milikku, hanya milikku. Dan kudapati diriku tanpa sambutan, sepi, sepi sekali, dan perih. Saat mereka sibuk menyiapkan hal remeh untuk hari kelulusan nanti, aku sibuk mencari orang yang sudi datang ke salah satu hari besarku itu. Saat sahabatku terkapar lemah di rumah sakit, kudapati seseorang di sisinya menemaninya sepanjang hari, merawatnya, menghujaninya dengan senyum, sentuhan, perhatian dan pelukan, dan di sini lah diriku, di kamarku, sendiri, menahan sakit, berusaha untuk tidak merintih apalagi menangis, karena tangis hanya untuk mereka yang lemah, sendiri dan tak berdaya.

Apa kau tahu kalau hari ini aku berterima kasih padamu karenanya? Aku memang tidak seistimewa itu, bahkan pintaku pun memang bukan hal besar karena hal besar hanya keluar dari mulut orang besar, kehidupan di awan memang indah tapi ternyata bukan keindahan yang kubutuhkan untuk bertahan, selama ini aku memang bukan berbicara denganmu tapi dengan bentukan dirimu yang kupahat di benakku, hidup ini memang bukan matematika jadi tidak ada hukum pasti, kekuatan cinta dan darah pun hanya bagian dari kisah yang datang, singgah dan pergi sesukanya.

Apa kau tahu bahwa kau telah membantuku berdiri di atas kakiku? Kakiku, tak pernah kunyana kekuatan yang dimilikinya mampu menopang air mata dan palang besarnya, kepala yang dipenuhi dengan tanda tanya dan kerutan yang tegurat di dahi, leher yang seringkali menunduk dan memuja indahnya tanah dan terkadang angkasa, tangan yang seringkali kuharap ukurannya lebih besar hingga aku tak memerlukan tangan orang lain, tubuh dan dada yang dihuni oleh organ-organ vital yang masih setia menemani perjalananku, serta hati yang entah tersimpan di mana.

Apa kau tahu siapa yang akan kau temui kali ini? Seseorang yang tersenyum di jendelanya setiap pagi, menghirup udara pagi sambil menikmati tempat tidurnya, seragam tidurnya, buku paginya, musiknya, kamarnya, bahkan tembok di luarnya. Seseorang yang walau bertangan kecil tapi tangannya kerap menjadi ujung tombak terwujudnya mimpi-mimpi, membantunya bertahan di padatnya bis kota sore hari, menunjukkan padanya indahnya memasak, mencuci, membersihkan kamar, dan berbelanja, cerita harian yang membantunya untuk tetap utuh dan bertahan untuk berdiri di atas kaki sendiri. Seseorang yang sekarang sudah memiliki angkasanya sendiri dengan penghuni lintasan yang makin bertambah tiap tahunnya, penghuni lintasan yang amat sangat dicintainya. Penghuni yang datang dan singgah tanpa perlu kekuatan darah. Hingga menjaga mereka untuk tetap berada di lintasanya menjadi salah satu misi besar hidupnya. Hidupnya, untuk saat ini, bukan untuk nanti apalagi kemarin. Karena nanti tak pernah pasti, layaknya cinta yang dulu pernah kita punya. Seseorang yang memang sudah terluka dan entah kapan bisa anti luka, tetapi sadar dan siap untuk melanjutkan kisahnya dengan luka. Karena luka, layaknya air mata dan cinta, akan datang, singgah dan pergi sesukanya. Satu hal yang kuserap dari cerita kita ini, tak ada yang abadi, jadi mengapa tidak ku berdiri dan melanjutkan ceritaku, dengan atau tanpamu, bukan kuasaku. Aku, penaku, ceritaku.

Hilang dan tersesat

Hilang dan tersesat. Pernahkah Anda hilang dan tersesat?
Maaf, maksud saya pernahkah Anda merasa hilang dan tersesat?
Bingung?
Baiklah, saya ulangi.
Pernahkah Anda merasa hilang dan tersesat?
Hilang, lenyap. Tersesat, tersasar.

Saya tidak ingat kapan saya mulai tersesat, atau mungkin bahkan tidak tahu kalau kala itu saya berjalan ke arah yang keliru. Pernah beberapa kali saya merasa nanar, hanya terdiam di satu titik, tak berkembang, tak mencoba mengepakkan sayap, apalagi terbang. Jadilah saya ratu di dunia saya sendiri, yang lama tak bersambang ke dunia tetangga, apalagi ke dunia penghuni dunia. Membelenggu diri sendiri dalam kedangkalan cerita dan rasa.

Saya ingat pernah mencoba untuk keluar dari dunia saya, ingin melongok ke dunia tetangga karena rasa bosan yang mulai merasuki hari demi hari. Saat dunia tetangga bahkan tak dapat terlihat lagi karena tanaman merambat di dunia saya saat itu sudah mulai lebat dan mungkin saja lama-lama menjadi hutan, saya pun mulai sok tahu mencari penyebab tertutupnya lubang untuk mengintip itu. Alih-alih mencari cara untuk membersihkan halaman, berteriak meminta pertolongan tetangga malah menjadi pilihan pertama saat itu.

Satu tetangga mulai menjawab teriakan saya, disusul dengan tetangga yang lain, hingga beberapa tetangga terdekat saya, satu per satu mulai memberikan jawaban. Tetangga sebelah menenangkan saya dengan suara lembut nan menenangkan hati. Tetangga di sebelah tetangga sebelah saya menyemangati dengan suara dan kata-kata yang membangkitkan semangat. Tetangga lainnya bahkan berteriak agar saya dapat mendengar suaranya dengan jelas dan mengeluarkan pernyataan yang cukup mengagetkan, “Siapa yang menanam benih, dia yang menuai hasilnya.”

Terima kasih untuk K’Ero, Pak Sachri, Pak Nov dan Pak Kas atas kerjasamanya dalam menemukan kembali ungkapan ini.

Tuesday, December 8, 2009

Blended

Aku, orang Indonesia, asli. Jangan tanya aku asli mana, bingung. Indonesia, asli.
Begitu saja, tak bisa? Baiklah, hhhmmm… Bagaimana ya? Begini, Bapakku campuran Betawi, Sunda dan Padang. Mamaku, Batak tulen, Samosir.

Bapaknya Bapakku, Mbah, campuran Betawi dan Sunda. Ibunya Bapakku, Mbah, campuran Padang dan Sunda. Entah berdasarkan kesepakatan atau ketidaksengajaan, Sunda lah yang mendominasi kata ganti di keluarga kami. Mbah, alih-alih Engkong dan Enyak. Uwak, Mamang dan Bibi, alih-alih Pak Tuo, Mak Tuo, Encang dan Encing. Teteh dan Aa, alih-alih Kakak dan memanggil langsung nama, seperti orang Betawi.

Bapak dan Ibunya Mamaku, Ompung, asli Batak. Ompung laki-laki, Samosir. Ompung perempuan, boru Sihombing Hutasoit. Keduanya belum pernah kujumpa. Sudah meninggal dua-duanya. Waktu ku kecil, Mama tidak sempat membawaku bertemu mereka karena tidak punya uang untuk membawaku pulang ke Medan, mahal katanya. Jadilah ku tahu lewat foto saja, foto kala Ompung meninggal, jadi semuanya dengan mata terpejam. Dari Ompung aku punya Inang atau Mama Tua, Bapak Tua, Tulang, Namboru, Abang dan Kakak.

Karena Batak Patrilineal, maka Mama tidak bisa memberiku Samosir. Padahal darah itu lah yang mendominasi di diriku. Itu hasil telisik teman-teman kantorku. Dulu, saat ditanya asli mana, aku menjawab Betawi. Karena tak percaya dengan jawabanku, tak percaya karena tampilan fisik yang tak seperti orang Betawi kebanyakan katanya, teman-teman di kantor menginvestigasi asalku. Berdasarkan ceritaku mereka menyimpulkan bahwa jawaban yang benar adalah, jika ingin memberikan jawaban singkat pada orang-orang yang bertanya untuk berbasa-basi, Batak. Asli mana? Batak. Mengapa? Karena kalau pakai hitungan persentase, lima puluh persen darah yang mengalir di tubuhku adalah darah Batak. Sementara sisanya campuran dari Bapakku, ya Betawi, Sunda dan Padang.

“Asli mana?” tanya seseorang.
“Batak, Pak!” jawabku.
“Oh ya? Marganya?”
“Boru Samosir, Pak!” jelasku.
“Boru ya, berarti Ibunya yang Batak? Bukan orang Batak donk kalau gitu…”
Puufff… Apalagi sekarang?
Tetap saja tidak bisa pakai persentase, ternyata.
Patrilineal ya patrilineal. Baiklah, tidak akan rumit kalau tidak kubuat rumit.
“Asli mana?” tanya seseorang di kali lain.
“Campuran Pak, Bapak saya Betawi, Ibu saya Batak.”
“Oh ya? Campuran yang unik! Ada ya orang Batak yang mau nikah sama orang Betawi?”
Waduh! Repot lagi, sekarang. Salah memilih aku, rupanya.
Bagaimana kalau Sunda dan Batak?
Atau Padang dan Batak, mungkin?
Atau kubilang saja, Batak, Betawi, Sunda dan Padang.
Ah, nanti dibilang mau pamer, lagi!

Sunday, December 6, 2009

Bercerita bersama sore – sepuluh

Pernah merasa antara ada dan tiada, Sore? Biru dan putih, langit dan awan, melayang, tak menapak, antara ada dan tiada. Tiga tahun kurasakan itu. Tiga tahun putih biruku.

SMP, Sekolah Menengah Pertama, setelah SD. Pada masaku dulu, lulusan SD dapat memilih sekolah lanjutan sesuai dengan pilihan yang tersedia berdasarkan rayonnya, seperti area asalnya. Contoh, SD ku berada di kawasan Jakarta Selatan, maka mayoritas pilihan SMP yang kupunya adalah di daerah selatan. Tidak semua sekolah di daerah selatan, tapi sekolah-sekolah yang letaknya terdekat dari SD kami dan kualitasnya sesuai dengan kualitas para lulusan SD di sekitarnya.Tentu saja kami bisa memilih sekolah-sekolah di luar pilihan yang tersedia, tapi prosesnya rumit sekali, menurut Mama. Kalau mau pindah rayon ke sekolah yang prestasinya di bawah pilihan yang tersedia, mudah saja. Tapi kalau sebaliknya, kami harus menunjukkan bahwa kami berprestasi dan layak memilih sekolah-sekolah yang rayonnya lebih tinggi. Hampir sebagian besar teman-teman SDku memilih SMP 46, aku juga, tapi tidak Mama. Merasa bahwa NEMku, apa itu NEM? Aku lupa, Sore. Singkatnya, itu adalah hasil ujian akhir nasional.NEMku termasuk tertinggi di sekolah, merasa bahwa aku dapat masuk ke sekolah yang lebih baik, Mama berusaha untuk mengubah pilihan sekolahku, pindah rayon.

Ada itu, SMP yang cukup dikenal karena prestasinya yang baik, SMP 41. Adik Mbah perempuanku; Mbah konde ku memanggilnya karena rambutnya yang seringkali dikonde kecil, dulunya kepala sekolah di SMP itu, Mbah Nurdin, sudah almarhum sekarang. Mama meminta bantuan Mbah Nurdin untuk memasukanku ke sekolahnya, yang dulu sekolahnya. Aku, duduk saja di rumah tanpa mengerti apa-apa. Yang kutahu saat itu, aku tidak akan bersekolah bersama Evi dan Herman lagi, juga teman-teman yang lain. Tak apa, aku tak sedih. Sungguh, Sore. Aku tak sedih sama sekali. Buatku bersekolah di manapun sama saja, yang penting sekolah.

Jadilah hari itu, hari pertama aku memakai seragam putih biruku, hari pertama kuikuti MOS, Masa Orientasi Siswa. Aku suka seragam baruku, setelah memakai putih merah selama enam tahun, tentu saja aku merasakan kesegaran dan semangat baru kala bercermin. Walau ada satu hal yang tetap mengganggu, sepatu kets warrior hitam putih yang, lagi-lagi, wajib dipakai. Sekolah baruku besar sekali, Sore. Kami punya dua sekolah, yang satu terletak di dekat rumah Mbah Nurdin, satu lagi di dekat Rumah Sakit Hewan, keduanya di Ragunan. Kau tahu Ragunan, Sore? Itu terkenal sekali! Tempatnya para binatang, kebun binatang. Haha! Iya, aku selalu diledek, “kandang berapa?” kala bilang pada orang-orang bahwa ku bersekolah di Ragunan. Sudah biasa itu, Sore. Nah aku selalu menempati gedung kedua, yang lebih kusuka karena masih baru.

Seperti huruf L dan terdiri dari tiga lantai. Lantai dasar untuk ruang kepala sekolah, guru, ruang bimbingan, PMR; tempat merawat murid yang sakit, toilet, kantin dan beberapa ruang kelas satu. Lantai satu terdiri dari kelas satu dan dua. Lantai dua terdiri dari kelas dua dan tiga, dilengkapi toilet juga di ujungnya. Angkatanku terdiri dari sepuluh kelas dengan kurang lebih empat puluh murid tiap kelasnya. Absensiku nomor empat puluh dua atau empat puluh satu, selalu begitu.

Tak banyak yang kuingat di sana, Sore. Seperti tadi kubilang, antara ada dan tiada. Kuingat mulai belajar bahasa Inggris, ada banyak mata pelajaran baru, biologi, fisika, sejarah, geografi, tata boga, tata busana. Yang lainnya sama seperti di SD, tapi ada satu yang namanya berbeda, PMP jadi PPKn. Oh, kalau di SD kegiatan ekstra kami hanya pramuka, di sini banyak sekali pilihannya, Sore. Yang kuingat hanya drumband karena seragamnya cantik sekali. Aku sendiri ikut Paskibraka, pasukan pengibar bendera. Tidak lama, hanya beberapa bulan, karena hanya ikut-ikutan.

Ada beberapa guru yang masih lekat di ingatanku, Pak Heri guru bahasa Inggris. Karena apa ya, aku ingat dia? Entah. Oh, Pak Heri selalu memakai batik, dia membuat buku pelajaran bahasa Inggris untuk siswa SMP dan dia selalu memasukkan nama murid-muridnya di bukunya, alih-alih memasukkan nama yang lebih ke-Inggris-inggrisan. Aku ingat pernah mengiriminya kartu lebaran, batik. Sampai tidak ya?

Ada lagi Ibu Pudi, guru Biologi. Cantik, enerjik, pintar dan sederhana. Aku ingat selalu ingin lebih dekat dengannya, tapi aku payah sekali dalam Biologi, Sore. Nama-namanya itu lho, sulit diingat. Aku juga tak paham, mengapa kita harus memilih nama sesulit itu untuk tumbuh-tumbuhan dan binatang? Ah, aku ingat pernah membuat Ibu Pudi tertawa, geli sekali, saat kubisikkan di telinganya, “Ibu, bagaimana sperma bisa masuk ke ovarium? Kan tempatnya berbeda?” Kuingat itu tertawanya, lebar hingga bisa kulihat semua gigi gingsulnya. Lalu berdiri dia di depan kelas, berkata, “Ok, Ibu tidak menjelaskan bagaimana sperma bisa masuk ke ovarium karena Ibu pikir semuanya sudah tahu. Ada yang belum tahu lagi selain Dega?” Aku menengok kiri dan kanan menanti tangan mangacung, tapi yang ada malah kelas yang dipenuhi tawa teman-teman. Mengapa cuma aku yang tidak tahu itu, Sore? Aaarrrgghhh…

Aku punya beberapa sahabat di 41. Di kelas satu aku punya Rahmi dan Vivi, keduanya atlit bulu tangkis. Jadi, sekolahku ini memberikan beasiswa pada siswa yang berprestasi di bidang olah raga. Maka atlit-atlit bertebaran di sekitarku, Sore. Ada bulu tangkis, sepak bola, atletik dan voli. Mereka semua berlatih di Ragunan, ada tempat latihan khusus para atlit muda di sana. Dulu aku mengagumi mereka, keren sekali. Terutama kawan-kawan pria atlit bola, terlihat tampan dengan seragam mereka. Ada saat Rahmi dan Vivi tidak masuk berhari-hari karena pertandingan yang sedang mereka ikuti. Kalau sudah begitu, hari-hariku menjadi sepi sekali.

Sempat juga aku dekat dengan Wuri, kawan yang meminjamkanku uang untuk nonton konser Boyzone. Bisa-bisanya kau bertanya siapa itu, Sore? Itu boyband terkenal sekali dari Irlandia. Aku suka sekali, terutama pada Ronan Keating, dulu. Jadilah kami pergi bersama Kiki, teman dari kelas lain, diantar oleh mamanya. Berdandan kami, aku mengenakan celana dan u can see biru laut, wig tempel dan jam tangan dengan warna senada, bahagianya. Bernyanyi kami, melompat, berjoget selama dua jam, tak terasa.

Di kelas dua, aku punya teman baru, Reni dan sataw, singkatan dari sarang tawon. Kenapa dipanggil sataw? Karena rambutnya yang menyerupai sarang tawon. Hihi.. Reni salah seorang teman terdekatku, kami masih berhubungan hingga kini, setelah sempat kehilangan kontak selama beberapa tahun. Teman yang baik dan pengertian, kusayang. Kapan-kapan kukenalkan kau dengannya ya, Sore? Kalau sataw, siapa ya nama aslinya, aku lupa. Sataw, suka sekali mengoleksi kartu-kartu tokoh kartun. Hingga pernah itu satu hari dia menerapkan simbiosis mutualisme yang diajarkan Ibu Pudi. Rumahnya didatangi oleh seorang anak laki-kali, dari kelas lain, yang ingin memintanya untuk bercerita tentangku. Sataw dan aku duduk satu bangku di kelas dua, Sore. Sataw bilang padanya, dia akan bercerita banyak tapi setelah anak itu membelikannya beberapa kartu sailor moon. Jadilah mereka pergi ke toko buku untuk berbelanja kartu sambil, tentu saja, berbicara tentangku. Itu sataw yang menceritakannya padaku, Sore. Saat dia menyampaikan salam dari teman barunya, teman bisnisnya. Dia bilang, dia dapat kartu dragon ball juga, saat dia setuju untuk menyampaikan salam padaku. Sataw bilang, aku harus bilang salam balik, agar dia dapat kartu lagi. Dia tidak mau bohong pada teman barunya, jadilah dia memaksaku untuk mengucapkan, “Terima kasih, salam balik ya!”.

Di kelas tiga aku punya Nuri, Sapi dan Dini. Nuri baik sekali, banyak disukai. Punya rumah yang besar dan nyaman, jadilah kami sering main di sana. Punya televisi terbesar yang pernah ku lihat saat itu, seperti akuarium. Sapi, gadis cantik yang ceriwis. Safitri, namanya. Tapi tak enak bilang Safi, jadilah kami seperti orang Sunda, mengganti F menjadi P, Sapi. Sapi lah yang mengajariku bermain rollerblade di komplek rumahnya. Dini, seperti Reni, masih ada di hidupku hingga kini. Salah seorang penghuni kotak harta karunku. Dulunya tomboy, kini menjadi gadis yang manis dan anggun sekali. Iya, akan kukenalkan juga kau padanya. Nanti ya, suatu hari nanti.

Ternyata banyak juga hal manis yang kudapat di sana, Sore. Tidak terlalu gamang, masa SMPku. Terima kasih, Sore. Sudah membantuku mengumpulkan cerita yang terserak. Terima kasih.

Aku suka putih biruku, aku suka. Dan kini, ku rindu teman-temanku.

-bersambung-

Wednesday, December 2, 2009

Susu

Apa yang kau suka di dunia ini?

Kau suka susu? Aku suka. Suka sekali.
Rasa apa?
Hmmm… Aku suka semua. Rasa apa saja!
Yang paling kusuka?
Ah! Sulit memilihnya, toh semuanya memang ku suka, ku minum juga.
Kalau kau, harus selalu memilih rasa?
Tapi rasa apapun tetap saja itu susu, enak.
Iya kan?

Pernah coba merk Diamond?
Susu cair berkemasan kotak; tinggi, putih berhiaskan pemandangan peternakan sapi hitam putih dan tulis-tulisan merah muda, dilengkapi tutup siap putar di bagian muka atas. Itu rasa stroberi.
Kau harus coba.
Rasanya, enak sekali! Benar-benar enak. Amat sangat enak.
Kekentalan susu bercampur rasa stroberi yang tipis, manis yang pas; setidaknya untuk lidahku. Perpaduan indah yang tak saling membunuh. Ya susu, stroberi dan manis. Mengingatkanku pada trio yang kulihat di sebuah konser musik. Gitar, biola dan selo. Ketiganya mengalun indah bersama. Tak sedikitpun telingaku bekerja lebih keras untuk menangkap bunyi salah satunya. Kebersamaan dan porsi yang bersinergi.

Simpan di lemari es. Itu pesan yang tercantum di atas tutup. Iya, biarkan dia mendingin. Saat dingin, ada sensasi tambahan kala ku menyeruputnya. Segar. Enak dan segar. Bensin kesukaanku di malam hari, sebelum tidur. Juga teman yang selalu kusadari kehadirannya kala ku menulis.

Hmmm… Indahnya malamku bersama susu.