”Dega fait des dégâts” itu contoh kalimat favoritnya. Pasti teman-teman sekelas tertawa geli mendengarnya. Artinya? Tak mau ah! Kau cari saja sendiri. Jangan memaksa, Sore! Tidak bagus itu, artinya. Kau cari tahu sendiri saja, oke?
Hihi.. Biarin! Memang aku guru tak bertanggung jawab, khusus untuk kasus ini saja, ya! Haha! Magali, namanya Magali. Guru native pertamaku di kampus, mengajar rédaction, menulis. Perempuan, Sore! Itu kan nama perempuan. Usianya aku tak tahu. Kisaran berapa? Itu juga ku tak tahu. Haha, memang aku tak pandai mengisar usia kok. Lagipula bukan itu yang mau kuceritakan.
Begini, Magali ini ku suka gayanya. Dengan celana panjang model lebar di bawah, apa ya nama modelnya? Dipadukan dengan kemeja dan cepolan tambut ikalnya, sungguh ku suka. Bukan itu saja, juga cara mengajarnya. Jelas dan mudah dimengerti. Selain mengajarkan menulis, Magali juga suka mengajak kami berdiskusi, tentang fenomena sosial yang diangkatnya dari artikel Prancis yang kemudian kami hubungkan dan bandingkan dengan keadaan di Indonesia.
La peine de mort atau la peine capitale, hukuman mati. Salah satu tema yang kami bahas seru di kelas. Masih terasa antusiasme orang-orang di kelas hari itu. Magali membawa artikel tentang negara-negara Eropa, termasuk Prancis yang sudah menghapus hukuman mati sejak bertahun-tahun lamanya. Di artikel itu tertulis bahwa semua orang memiliki hak untuk hidup dan kita sebagai manusia tidak memiliki hak atas nyawa orang lain. Kita tak boleh membunuh, mengapa kita akhirnya melegalkan pembunuhan, begitulah kira-kira isi artikelnya.
Pembahasan artikel melebar saat Magali menanyakan pendapat kami tentang hukuman mati, ada yang setuju dan tentu saja ada yang menentang. Kami pun memaparkan alasan sikap kami tersebut, dan bagi yang mendukung, diminta juga untuk menjelaskan kejahatan apakah yang pantas mendapat hukuman mati.
Aku, suka sekali berdiskusi, Sore. Suka sekali. Terutama tentang manusia dan kehidupannya. Siang itu Magali mempertanyakan kepasifanku di kelas, tak seperti biasa, ujarnya. Wahai Magali, dosenku, maaf kala itu tak bersuaraku. Kini untukmu, hanya untukmu, kusampaikan pendapatku.
Ku sependapat dengan orang-orang Eropa bahwa manusia tak berhak pada nyawa manusia lainnya. Hanya Tuhan yang punya kuasa, Sang Peniup Nyawa. Tapi Magali, ada satu kejahatan yang tak termaafkan untukku, kejahatan yang sekiranya untuk menghentikannya perlu lah diterapkan itu hukuman mati. Karena kejahatan yang satu ini tak kunjung habis siksaannya, tak berujung dan terus menyebarkan kejahatannya. Pengedar narkoba.
Hihi.. Biarin! Memang aku guru tak bertanggung jawab, khusus untuk kasus ini saja, ya! Haha! Magali, namanya Magali. Guru native pertamaku di kampus, mengajar rédaction, menulis. Perempuan, Sore! Itu kan nama perempuan. Usianya aku tak tahu. Kisaran berapa? Itu juga ku tak tahu. Haha, memang aku tak pandai mengisar usia kok. Lagipula bukan itu yang mau kuceritakan.
Begini, Magali ini ku suka gayanya. Dengan celana panjang model lebar di bawah, apa ya nama modelnya? Dipadukan dengan kemeja dan cepolan tambut ikalnya, sungguh ku suka. Bukan itu saja, juga cara mengajarnya. Jelas dan mudah dimengerti. Selain mengajarkan menulis, Magali juga suka mengajak kami berdiskusi, tentang fenomena sosial yang diangkatnya dari artikel Prancis yang kemudian kami hubungkan dan bandingkan dengan keadaan di Indonesia.
La peine de mort atau la peine capitale, hukuman mati. Salah satu tema yang kami bahas seru di kelas. Masih terasa antusiasme orang-orang di kelas hari itu. Magali membawa artikel tentang negara-negara Eropa, termasuk Prancis yang sudah menghapus hukuman mati sejak bertahun-tahun lamanya. Di artikel itu tertulis bahwa semua orang memiliki hak untuk hidup dan kita sebagai manusia tidak memiliki hak atas nyawa orang lain. Kita tak boleh membunuh, mengapa kita akhirnya melegalkan pembunuhan, begitulah kira-kira isi artikelnya.
Pembahasan artikel melebar saat Magali menanyakan pendapat kami tentang hukuman mati, ada yang setuju dan tentu saja ada yang menentang. Kami pun memaparkan alasan sikap kami tersebut, dan bagi yang mendukung, diminta juga untuk menjelaskan kejahatan apakah yang pantas mendapat hukuman mati.
Aku, suka sekali berdiskusi, Sore. Suka sekali. Terutama tentang manusia dan kehidupannya. Siang itu Magali mempertanyakan kepasifanku di kelas, tak seperti biasa, ujarnya. Wahai Magali, dosenku, maaf kala itu tak bersuaraku. Kini untukmu, hanya untukmu, kusampaikan pendapatku.
Ku sependapat dengan orang-orang Eropa bahwa manusia tak berhak pada nyawa manusia lainnya. Hanya Tuhan yang punya kuasa, Sang Peniup Nyawa. Tapi Magali, ada satu kejahatan yang tak termaafkan untukku, kejahatan yang sekiranya untuk menghentikannya perlu lah diterapkan itu hukuman mati. Karena kejahatan yang satu ini tak kunjung habis siksaannya, tak berujung dan terus menyebarkan kejahatannya. Pengedar narkoba.
Perlu lah menghukum mati mereka semua. Karena kejahatan yang tak terlihat langsung kejahatannya ini tak tanggung-tanggung menyebar siksanya. Lihatlah negaraku ini sekarang, Magali. Lihatlah! Betapa berbahagianya para pengedar narkoba itu, yang masih bernafas di atas siksa para korbannya. Pemakai, ibunya, ayahnya, kakak dan adiknya, istri, suami dan anak-anaknya, tetangganya, teman-temannya, sahabatnya, gurunya, rekan kerjanya, presidennya, bangsanya.
Kau setuju dengan ku kah, Magali? Maaf harus ku tunda sekian lama untuk membaginya, maaf. Semoga kau tak lagi kecewa padaku setelah ini, bukannya ku tak ingin menyampaikannya padamu sedari dulu, hanya saja suaraku tersedak kala itu, tersangkut di kerongkongan, tak kunjung keluar. Kulupa bahwa kau ajarkan ku menulis, kini menulis ku untukmu, Magali.
Aurélie, guru nativeku yang kedua. Mengajar kelas lanjutan Magali. Imut, satu kata yang tepat untuk menggambarkannya. Dengan rambut pendek keritingnya, tubuh kecil serta wajah polos nan pintar berkacamata. Volume suaranya di kelas pun jauh berbeda dengan Magali. Berbeda.
Peta, itu yang kuingat darinya. Menemukan fakta bahwa geografi kami tentang Prancis bisa dibilang hampir tidak tahu apa-apa, Aurélie membelokkan materi ke bidang ini, yang sesungguhnya bukan bagiannya. Maka belajar kami tentang Prancis negeri hexagon karena bentuknya yang menyerupai segi lima, kami berjalan-jalan mulai dari lapisan luarnya; pembatas daratan maupun lautan, masuk pula kami ke dalam, menghampiri kota-kota besar, mendaki gunung dan bukitnya, juga berbasah-basahan di sungai indahnya.
Peta oh peta, kini aku paham mengapa Dora sungguh mencintainya. Bukannya aku baru mengenal peta, tapi oh, entah apa yang membuatku sekarang menyukainya, peta. Di mana dunia bercerita, tentang dirinya. Tapi Aurélie, aku tak bisa mengingat semuanya, sepertimu. Kurasa cukup sementara kala ku seringkali tergoda melihatnya, peta dunia, untuk kemudian mendengarnya bercerita.
Ah, kau tahu siapa yang banyak mengajarkanku bercerita, dalam bahasa Prancis, terutama? Madame Amalia namanya, Amalia Saleh. Madame Amal, begitu kami memanggilnya, kalau Saleh nama ayahnya, begitu cerita Madame pada kami di salah satu kelasnya.
”Bonjour, je m’appelle Amalia. Et vous, vous vous appellez comment?” Itu kalimat pertama Madame di kelas, Sore. Masya Allah, batinku. Bicara apa, guruku itu ? Terdengar keren, memang, tapi aku tak paham. Dan sepertinya bukan aku saja yang kebingungan, Sore. Maka Madame mengulang kembali kalimatnya, perlahan. Dan voila ! Mengerti aku. Itu Madame bilang kalau namanya Amalia, terus bertanya nama kami siapa. Menjawab kami satu per satu, iya, dalam bahasa Prancis donk, Sore! Berurutan mengikuti jari Madame.
Harus sistematis, itu pesan yang melekat amat rekat di otakku. Pesan Madame. Kalau bercerita, baik lisan maupun tulisan haruslah kubuat kerangka terlebih dahulu. Salah satu cara favoritku adalah dengan mempereteli judul lalu memaparkannya, mengelemnya satu per satu lalu memberi informasi berdasarkan fakta, dan tak lupa, menyimpulkan dengan mengikutsertakan pendapat pribadiku. Sangat penting kata Madame, menyuarakan pendapat kita. Untuk menunjukkan pada orang, juri saat ujian, bahwa kita ikut serta di cerita dunia, kita melihat, mendengar juga ikut merasa. Setuju atau tidak setuju kita punya alasan, yang kita cipta sendiri, bukan ikut-ikutan.
Jangan ragu untuk menutup dengan saran atau masukan, tak perlu takut menyampaikan hanya karena juri atau siapapun yang mendengar tak bisa membantu kita, tak perlu. Dengan bersuara saja, kita sudah mengeluarkan diri kita dari kumpulan orang-orang yang tak berbuat apa-apa untuk dunia ini, begitu. Dan kau tahu, Sore. Sejak itulah, di kelas Madame Amalia, kusuka berbicara, bercerita. Tak ragu ku menatap dunia, mengikuti perjalanannya, dan tentu saja untuk kemudian kutangkap dan kumaknai. Yang kini kuceritakan juga padamu, Sore. Semoga kau suka, ya!
Membaca? Kalau itu di kelas yang lain, Sore. Madame Mardiani pemiliknya, pencinta karya sastra. Itu yang kami pelajari di kelasnya, sastra Prancis, mulai dari Gargantua hingga l’Oeuvre au noir. Di kelas Madame kupahami cerita Sartre, kutahu kisah hidup Simone de Beauvoir, terbuai ku oleh indahnya puisi-puisi Apollinaire, menangis bersama Paul Verlaine, dan akhirnya bertemu ku dengan ”teman” satu dunia, Saint Exupery.
Oh, Madame! Betapa ku haus akan membaca. Masih lekat di ingatanku le travail de syntagmatique et paradigmatique. ”Jangan lupa! Setiap menyelesaikan satu buku, bedah bukunya ya!” ”Oui, Madame,” begitu jawabku dalam hati. Tapi sekeluarnya ku dari kelas Madame, belum pernah kumulai lagi tâche itu. Nanti Madame, nanti, suatu hari nanti. Haha! Mudah-mudahan tidak hanya sekedar janji.
Iya, benar. Kini kau tahu di mana ku mengasah ini semua, bukan? Benar sekali, Sore. Menulis, berpetualang mencari cerita bersama peta, berbicara, berdiskusi, membaca.
Bagaimana caraku berterima kasih pada mereka, Sore?
Benar, ku juga berpikir seperti itu. Kau sependapat, ternyata.
Baiklah. Senang rasanya mendapat ”iya”, terutama darimu.
Aku, akan terus menulis, bercerita.
Berjalan-jalan menyusuri tempat-tempat baru, mempelajari cerita dunia.
Berbicara, mengeluarkan pendapat, berdiskusi tentangnya.
Membaca dan membaca, karena sebelum keluar melalui pintu, aku butuh itu jendela dunia, untuk mengintip, menatapnya, ’tuk kemudian mendapatkan cerita langsung darinya, dari dunia.
Chères Mesdames, rien ne peut décrire mon grand merci.
Mais voilà, mes écritures, mes histoires.
La preuve de la continuité du travail que vous m’avez donné.
La continuité qui s’arrêtera à la fin de ma vie.
-bersambung-