Monday, May 23, 2011

Me, the Santa Claus!


Menapak tilas ke siang hari beberapa tahun lalu di ruang BEMJ –Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan- Bahasa Prancis kampus kami. Di ruang tak berkarpet maupun berkursi itu, duduklah kami bertiga; Anast a.k.a. Nasto, Karien a.k.a. Karcut dan saya sendiri, Dega a.k.a. adaaaa aja!

Seingatku itu menjelang tahun terakhir kami di sana, walau kami tak lulus di tahun yang sama. Bertiga sudah mengenal satu sama lain dengan baik, apa adanya tanpa berpura-pura. Bukan hanya berbagi suka dan duka, nasi, lauk, keluarga, selimut, sabun, uang pun kami bagi bersama.

Dega: ”Kalau malaikat tiba-tiba dateng, bilang kalau hidup kita tinggal satu jam lagi. Kalian pada mau ngapain?”

Nasto: ”Hidih, serem bener loe, Gul!”

Dega: ”Ih, beneran ini. Kalian pada mau ngapain?”

Karcut: ”Gw gak demen ah, mainannya!”

Nasto: ”Kalo loe mau ngapain?”

Dega: ”Gw mau belanja hadiah dan gw kasih ke orang-orang yang gw sayang.”

Karcut: ”Oh, list yang loe bikin waktu itu yah?”

Dega: ”Hooh!”

Nasto: ”So sweet..”

Dega: “Kalo loe, Nasto?”

Nasto: ”Gw akan samperin orang-orang yang gw sayang, minta maaf dan bilang kalo gw sayang banget sama mereka semua.”

Dega: ”Hiks...”

Nasto: ”Jadi sedih.”

Dega: ”Iyah..”

Dega dan Nasto: ”Kalo loe, Crut?”

Karcut: ”Gw diem aja di sini!”

Dega dan Nasto: ”Kok??”

Karcut: ”Lagian mau ngapain? Emangnya satu jam cukup apa buat ngapa-ngapain? Lagian malaikat kenapa sih ngabarinnya udah satu jam lagi. Kenapa gak dari kemaren?”

Dega dan Nasto: ”.......................................................................................................”

Yes, she is one of a kind. =D =D

Oh iya, berikut list hadiah yang sudah kusiapkan dan telah direvisi baru-baru ini. La Voila!

Bapak : Bengkel sablon

Mama : A very wise husband

Aran Candra : Biaya sekolah S1

Mon petit Akbar : Asuransi pendidikan

Maimunah : Tiket umroh ke tanah suci

Putri Setya Anggraeni : Tiket konser Tuck and Patty

Dewi Chairunnisa : Laptop

Anastasia Khairunnisa : Air ticket Jakarta-Paris-Jakarta

Ekarini Saraswaty : A high quality man

Dian Septembriandini : Toko di ITC Cempaka Mas

Fauziah Yuni Satriana : Rumah di Bogor dekat makam Ade

Syarif Maulana : Tiket nonton piala dunia


Photo

Bercerita bersama sore - dua puluh enam


Malam, Sore.

Iya, ini malam. Kau pergi sudah. Tapi aku sungguh ingin bercerita, besok mungkin bisa langsung kau baca.

Subhanallah, Sore. Subhanallah. Hanya kata itu yang sanggup menggambarkan hati ini. Hati yang dipenuhi bunga-bunga kecil warna warni; kuning, putih, jingga juga merah. Kala angin berhembus dapat kau lihat serbuk-serbuk menari kecil menaburi mereka, sambil tercium itu wewangian yang bersahaja.

Sejujurnya, ada sedikit keraguan untuk membagi ceritaku ini, Sore sayang. Bukan, ini bukan rahasia orang. Hanya saja, aku khawatir keajaibannya akan berpendar menghilang dari rasa. Tapi ku kira tak apa, meski itu harus terjadi, harus terganti dengan senyum bahagia darimu, ya!

Kemarin tepatnya, dua puluh satu Mei dua ribu sebelas. Hari yang dengan gelisah terus kunanti dari awal tahun ini. Hari Sabtu berbunga kala dia, pria yang mengisi dua tahun bersamaku datang membawa keluarganya. Keluarga yang entah sejak kapan menjadi keluargaku juga walau belum ada gunting pita. Datang mereka sekeluarga, besar, jauh-jauh dari kota tetangga mengunjungi keluargaku, besar juga, di Depok rumah uwak. Tahukah kau kalau ari-ariku dikubur di rumah ini, Sore? Iya, ini kota kelahiranku, aku datang di rumah bidan tak jauh dari sini. Sungguh tempat bersejarah untuk menorehkan lanjutan sejarah, bukan? Alhamdulillah.

Siang nyaris tengah hari, empat mobil tiba di depan halaman kami, dengan Aran sebagai penunjuk jalan. Iya, Aran memang kami utus untuk menjemput rombongan di jalan utama kota guna mempermudah tamu yang sudah kami nantikan sedari pagi ini. Tamu yang buat kami sibuk mempersiapkan ini itu karena kami setuju dengan pesan Rasulullah untuk memuliakan para tamu. Keluargaku sontak ke halaman, berbaris rapi tanpa komando siap menyalami tiap orang. Aku, malah masuk ke dalam. Tiba-tiba kikuk bingung harus apa, harus bagaimana. Menemukan Chokim, sepupuku, di dalam kamar Mbah aku merasa mendapat pencerahan. Aku masuk ke sana, mendekati jendela dan Chokim yang sibuk menempelkan wajahnya sambil mengabsen tamu dengan matanya. ”Yang mana orangnya?” tanyanya. ”Bukannya udah pernah ketemu?” jawabku. ”Lupa.” ”Yang itu!” tunjukku. Sambil terus mengenalkan anggota rombongan lainnya dengan telunjukku. Lega.

A Yasin, adalah MC hari itu. Alih-alih langsung memulai acara, dia berinisiatif untuk mengajak semua orang sholat zuhur dulu; laki-laki di masjid, wanita di rumah. Menghindari menunda sholat, jelasnya. Sungguh keputusan yang bijaksana, batinku. Aku, masuk ke kamar uwak duduk di atas kasur bersama piring-piring kue yang menanti disajikan dari pagi. Bersama Ade, Ebi dan Tsabita; sepupu dan keponakanku. Kipas-kipas kami di sana, gerah, sambil bercengkrama memandang uwak lalu lalang mengambil mukena.

Semua sudah sholat, kewajiban tunai. A’Yasin membuka ulang acara, kami para wanita berestafet piring-piring berisi kue aneka rasa. Setelah disuruh ke depan yang entah oleh siapa, aku lupa, barulah aku duduk di ruang tamu yang sudah kami alasi dengan karpet-karpet dan sajadah. Rame di sana. Deg-degan, aku tak menyapu pandang ruangan. Tunduk saja, sesekali lihat ke kanan, Bi Nia. Setelah beberapa lama baru ku mendongak dan menebar senyum tipis.

Tsabita Nur Azizah, jagoan mengaji keluarga kami. Cilik tapi hafal surat An-Naba luar kepala. Dan mengajilah ia. Lalu A’Yasin mempersilahkan wakil keluarga tamu kami untuk menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan mereka. And this is my favorite! Sang Papa lah yang berbicara langsung, tak diwakilkan. Beliau memperkenalkan anggota rombongan sambil berdiri di antara kami yang duduk, dengan santai, penuh canda dan menebar kehangatan. Dengan tak biasa, kemudian melanjutkan bercerita tentang kisah hubunganku dengan sang anak. Bernostalgia lah aku dibuatnya. Tidak, Sore. Aku tak mau menceritakannya sekarang, nanti saja. Cerita ditutup dengan kalimat tanya yang membuatku merasa sungguh berharga.

Om Yudi, favoritku, mewakili keluarga kami sebagai pemberi jawaban pada keluarga mereka. Berbekal kertas yang dicoret-coret sedari pagi, Om Yudi berhasil berkolaborasi menghangatkan suasana. Berbalut canda dan campuran bahasa Sunda, terjawablah sudah permintaan dari keluarga mereka tadi. Alhamdulillah. Terima kasih wahai alam semesta.

Kami bungkus dengan doa, semoga semua berkah, semoga semua berbahagia, Amin. A’Yasin kemudian mempersilahkan kami semua ke meja makan, santap siang. Saat itu lah malaikat menebar serbuk cinta; Papa dan Mama calon suamiku datang menghampiri, tersenyum hangat, bahagia, seperti berkata, “Selamat datang di keluarga kami, Nak!” Kucium tangan mereka, bahagia.

Semua orang bersantap dengan lahapnya, yang kecil juga orang tua. Aku juga, tentu saja. Sambil berbagi cerita dalam kelompok-kelompok kecil, duh hangatnya. Para tamu pamit, setelah tiga jam kami bersama. Aku dan keluarga berdiri di teras, mengantar mereka sambil menebar senyum bahagia.

Kami semua sibuk membereskan rumah, piring-piring dan makanan yang ada. Orang-orang terlihat mondar-mandir, tak ada yang bertangan kosong. Di sana aku, berdiri di ruang tengah, menyapu pandang mereka yang bekerja sambil tertawa-tawa. Semua yang sibuk berlelah-lelah demi acara hari ini, demiku.

Teruntuk Mbah, Mang Isa dan Adik Rambi di surga. Semoga kalian ikut berbahagia bersamaku, bersama kami semua, keluarga.


Photo

Bercerita bersama sore - dua puluh lima

Sudah lama ya kita tak duduk santai bersama macam ini. Kapan terakhir kali? Ah.. tak ingat. Menenangkan; suara ibu-ibu tetangga yang ribut bercerita, angin sepoi menggoyangkan jemuranku, tapak adik-adik kecil saling mengejar, matahari yang beranjak pergi, rumah bersih dengan perabot baru yang dibeli siang tadi. Hhhmm...

Sebenarnya membeli mesin cuci adalah agenda kemarin, tapi aku segan sekali membeli sesuatu yang tak aku kuasai betul sendirian, Sore. Fyuuhh... Need a second opinion. Masa mau tanya ke mas-mas penjual saja? Pasti semua juga dibilang bagus. Ya kan? Sudah kuajak Dian, Dewi dan Anast; sudah punya acara semuanya. Ku bahkan coba menghubungi Muna, lebih parah lagi, Sabtu-Sabtu bekerja. Aiiisshh.. Jadi ditunda saja dulu.

Hingga tadi pagi, sedari bangun ku yakinkan diriku sendiri untuk tetap pergi dan membeli hari ini, jangan ditunda. Lebih cepat lebih baik, kalau kata pak JK. –kampanye terselubung- Oke, jadi urutannya begini; ke ATM di seberang jalan, karena toko elektronik di pasar hanya menerima uang tunai. Lalu naik bis ke pasar dan masuk ke komplek toko-toko elektronik, jangan galau, pilih saja toko dengan pajangan mesin cuci terbanyak. Masuk ke dalam toko dengan cool, jangan terlalu menunjukkan minat. Tawar harga dengan santai, jangan banyak bicara a la ibu-ibu, pasti lebih sulit diturunin harganya. Kalau digoda dengan alasan-alasan membuai, katakan saja uangnya tak cukup. Pastikan kapasitas listrik yang dibutuhkan tidak terlalu besar dan merk setidaknya sudah dikenal. Jangan sok-sokan tanya harga merk Eropa, cuma bikin sakit hati saja. Kalau sudah deal harga mesin cuci, baru tanyakan dvd player. Cari warna hitam, biar matching sama tv. Jangan belaga tanya harga barang lain, godaan pasti lebih besar dan buntutnya dibeli padahal tidak masuk daftar.

La voila! Kudapat mesin cuci ber-merk Jepang ukuran 10 kg dengan harga sesuai rencana. Ada sisa uang, kubeli itu dvd player –sebenarnya bisa dapat dengan harga lebih murah, tapi lagi mood bagi-bagi rezeki sama si masnya- ber-merk dan warna sesuai rencana. Kubayar, tunai, macam mas kawin saja. Kuberi kertas bertuliskan alamat rumah serta nomor hp, kali-kali alamatku sulit dicari. Kuminum segelas aqua, servis dari si mas. Lalu pamit, tak lupa berterima kasih.

Huwaaahh.. senangnya, puasnya. Itu kali pertama aku beli elektronik di tempat yang harus tawar menawar, sendiri. Keren kan, Sore?

”Ah, si mbak ini pinter amat nawarnya,” keluh si mas putus asa.

Thursday, May 19, 2011

To all the girls I love

To all the girls I love,


It is you, who were holding my hand tight, when I closed to down.

It is you, who dropped more tears, when I was sad.

It is you, who hardly fell to sleep, when my heart was aching.

It is you, who thought for me, when I had no effort to.


It is you, who brought me sunshine, when my skies were totally dark.

It is you, who made me smile, when nothing were going right.

It is you, who made me laugh to cry, when my heart was bleeding.

It is you, who never left me alone, when everybody did.


It is you, who I want to live with, now and forever more.

It is you, who I wish to call out, anytime I want to.

It is you, who I love to share all happiness in the world.

It is you, who I desire to be with, when a man that I love asks my hand.

Tuesday, May 10, 2011

To all daddy in the world.

Dearest all daddy in the world,

Somehow, no matter what happened between us, we, children know that you always love us.
Somehow, even rain didn't drop for years, we always know that we are the center of your universe.
Somehow, when you have another woman beside you, we believe that we are always be special.
Somehow, the farer we go, the more you get closer with us.

To man that we call dad from our born,

We always try to respect you, even it's so hard to.
So please, respect our mom and we will give every bow to you.
We never want to put hateness between us.
So please, love our mom and we will love you will all our heart.

Just like Adam and Eve; Romeo and Juliet, Sartre and Beauvoir, Muhammad and Khadijah.
You both will always be our beloved Mom and Dad.