Monday, November 9, 2009

Kado dari Keraton


Pohon itu cukup menarik, dengan perpaduan sedikit warna yang sederhana, bentuk yang terlihat kokoh tapi bersahabat, apalagi dengan tulisan antiknya yang walaupun tak bisa kubaca tetapi terlihat unik dan cantik. Tulisan yang memahat nama-nama penghuni pohon. Batang utama pohon itu berwarna cokelat muda, ukurannya cukup lebar, akar-akarnya banyak dan besar, menunjukkan bahwa mereka sedang menopang pohon yang kekar. Pohon cokelat itu menopang beberapa dahan besar, seingatku jumlahnya delapan, jumlah yang melambangkan pasangan hidup yang dimiliki pohon kekar semasa hidupnya. Dahan-dahan digelayuti oleh daun-daun besar berwarna hijau muda dan cokelat muda, pembeda kaum Adam dan Hawa untuk buah cinta pohon kekar dan dahan-dahannya.


Mataku langsung terpaku pada satu dahan, tak seperti dahan yang lain yang bergerak ke samping kiri dan kanan pohon kekar, dahan ini menjulang ke atas, seperti mendongak ke langit, dengan satu, hanya satu, daun hijau dengan ukuran yang sama seperti daun-daun lainnya. Di tengah daun tersebut tertulis nama anak pertama yang dimiliki pohon kekar dari pasangan hidup pertamanya. Di tujuh dahan lainnya bergelayutan daun-daun yang tidak sendiri, daun-daun yang terlihat berpegangan erat pada dahan-dahan penyangganya, ibu mereka. Entah mengapa daun hijau yang sedang mendongak ke langit itu terlihat tegar melihat ke atas dan bukannya berpegang erat pada dahannya, tetapi sebaliknya, seluruh penghuni pohon terlihat berpegangan erat padanya. Saat pohon kekar berdiri tegak menjadi penyangga dahan dan daun, daun hijau tadi bersiap untuk melanjutkan misi pohon kekar selanjutnya dengan tetap berada dan menjadi bagian dari keluarga besar pohon kekar.


“Tante, aku lagi buat pohon keluarga, tante ada di dahan yang mana ya? Aku bingung,” tanya keponakan cantikku tiba-tiba saat aku baru saja masuk ke rumah neneknya. “Mana, coba tante lihat pohonnya?” jawabku. Lalu dia pun menunjukkan pohon yang sudah digambarnya dengan pensil dan penggaris di atas kertas dari buku gambar. “Bagus, sudah benar kok tempatnya,” komentarku saat mengecek posisi keluargaku di pohonnya. “Iya, tapi tante tempatnya di mana?” ulangnya. Memoriku berputar mundur dengan cepat dan aku mendapati kenyataan yang tak pernah kusadari sebelumnya, bahwa keponakanku belum pernah bertemu ibuku dan mungkin juga ayahku, aku tak yakin. Dia beberapa kali bertemu adikku tapi aku jadi mempertanyakan apakah dia tahu kalau adikku yang ditemuinya itu adalah adikku. “Aku bingung tante sama om ada di dahan mana?” tanyanya lagi. Jadi dia tahu kalau adikku itu adalah adikku.


Kuambil pensil yang ada di tangannya lalu aku menarik garis di atas kertasnya dan menggambar dahan baru, tempat aku dan adikku seharusnya berada. “Sudah, selesai!” tutupku setelahnya. Sejenak aku melihat raut bingung di wajah keponakanku, dan seperti kuduga, dia mempertanyakan nama orang tuaku yang kutulis di atas namaku. Dengan enteng aku berkata, “Iya, kakak belum pernah ketemu ya? Mungkin nanti Lebaran kakak bisa ketemu.” Begitulah kami memanggilnya sejak keponakanku punya adik kecil, kakak. “Tapi kenapa tante tinggal di sini?” lanjutnya. Siapa bilang kalau kita menjawab dengan enteng maka anak kecil pun akan menerima dengan enteng juga? Terus terang saja ini adalah salah satu subyek yang tak suka kubahas, karena subyek ini selalu membuat hatiku terasa seperti dicubit, agak perih walau sesaat. Alih-alih berkata jujur yang berarti memerlukan penjelasan panjang lebar, aku malah menjawab layaknya orang dewasa yang tidak bertanggung jawab, “Iya, soalnya tante suka tinggal di sini. Ya sudah, tante ke kamar dulu ya. Kakak lanjutin lagi gambarnya, harus diwarnain gak?” Tiba-tiba saja terlontar ide hebat dari otakku, keponakanku yang satu ini suka sekali menggambar dan mewarnai, pasti subyek ini bisa mengalihkan perhatiannya. “Iya, mau kakak warnain juga,” jawabnya sambil langsung membuka kotak krayonnya. Aha! Benar kan? Aku cukup mengenal keponakanku dengan baik rupanya.


Ternyata pohon kekar tidak hanya memiliki delapan dahan, seharusnya lebih dari itu. Tapi kenapa dahan lain tidak ada di pohon itu? Menurut penjelasan Bapak yang menemaniku berjalan-jalan dari tadi, dahan-dahan yang lain tidak berdaun, maka tidak perlu menambahkan dahan-dahan itu di pohon kekar, karena tanpa daun dahan tidak lagi istimewa. Heran, bukankah daun merupakan bagian dari pohon kekar dan dahan? Jadi kehadiran atau ketidakhadiran daun merupakan andil dari keduanya bukan? Jika dahan menjadi tidak istimewa hingga dihilangkan dari pohon berarti pohon kekar juga tidak lagi istimewa, bukan? Aku masih tidak mengerti tentang konsep istimewa dan tidak istimewa ini. Inginku mencari tahu lebih dalam, tapi entah hanya perasaanku saja atau bukan, sepertinya Bapak ini enggan untuk membahas dahan-dahan hilang itu lebih jauh. Baiklah, maka berhenti di sini pembahasanku mengenai dahan hilang.


Sejujurnya aku tidak suka membuat pohon keluarga, menarik garis, menggambar daun, hingga akhirnya menuliskan nama penghuni pohon. Karena itu artinya pada saat yang sama aku harus membuka buku kecilku, membacanya dan lagi-lagi menorehkan luka di lukaku yang tak kunjung pulih. Tapi pohon itu, yang kulihat hari itu bersama seorang Bapak tua yang menemaniku berkeliling berjam-jam di sebuah bangunan luas yang menjadi kebanggaan kota Jogjakarta, pohon yang sederhana dengan warna cantik yang sederhana pula, menginspirasiku untuk membuat pohon yang sama. Bisa dibilang pohon yang kulihat itu tidak lengkap, karena ada dahan-dahan yang dibuang dari pohon itu. Mungkin aku bisa melakukan hal yang sama, sedikit berimprovisasi, maksudnya.

Aku ingin menjadi pohon kekar yang kulihat hari itu. Pohon kekar yang akan memiliki dahan dan daun-daun. Tetapi mungkin aku hanya ingin memiliki satu dahan, walau beberapa dahan juga tidak akan menjadi masalah sepertinya. Sayangnya aku belum bisa memulai menggambar pohonku, karena menggambar pohon berarti aku harus siap dengan dahan, yang belum kumiliki saat ini, apalagi daun-daun. Baiklah, bersabar sedikit tidak akan sulit, akan kutemukan dahanku, atau dahan-dahanku. Lalu menantikan kedatangan daun-daunku, hingga nantinya akan kugambar pohonku sehingga keponakan dari daun-daunku tidak akan bingung untuk menggambar pohonnya, dengan versinya sendiri, dan mungkin dengan sedikit improvisasi di dalamnya.

No comments:

Post a Comment