Kalimat penutup makan siang kami hari ini.
Sementara menu tambahannya; berita mengenai seorang wanita yang berhasil menilep uang nasabah di tempatnya bekerja, milyar yang bisa membawanya ke Jepang untuk menambal wajah, bisa mendudukannya di mobil-mobil mewah dan entah apa lagi. Ada juga wanita lain, yang akhirnya tertangkap setelah lima tahun wara wiri tipu sana tipu sini. Panggilannya, si penipu cantik. Yang satu ini beda targetnya, bukan bank, bukan perusahaan, tapi perorangan. Orang yang jika diulang jadi orang-orang dan artinya jamak. Tertangkap di Bali, dengan coolnya menanggapi keingintahuan para wartawan, pasti sakit, batin saya. Hah, mau jadi apa para wanita Indonesia?
Menu selanjutnya barisan para pria, residivis yang berhasil merampok sebuah bank besar beberapa waktu lalu. Banyak sekali pencuri di negeri ini! "Ini dia nih! Pihak berwenang gak berbuat apa-apa, jadilah maling macam gini tambah banyak di negeri kita!" Teman makan siangku tiba-tiba mengagetkan. Dipikir-pikir betul juga, jangankan maling-maling seperti mereka ini, si Gayus maling sakti saja tak bisa tersentuh oleh apapun dan siapapun. Cckk..cckk...
Berita tentang maling digantikan dengan metro mini yang warnanya makin merah karena dibakar oleh warga sekitar tempat si supir menabrak sebuah motor dengan bapak pengemudi dan anaknya. Seorang bocah kecil yang tewas tergilas. Ah metro mini, masih zaman kah ugal-ugalan? Sudahlah, jangan terlalu banyak menonton F1. Tiba-tiba jadi teringat belum lama ini jalur transjakarta, busway, di daerah Mampang diblokir oleh warga karena hal yang sama, menabrak seorang bocah hingga tewas. Pemblokiran yang membuat para pengguna transjakarta sulit untuk bekerja, chaos jadinya. Kenapa pula warga harus marah dan memblokir jalan? Dipikir-pikir itu kan memang bukan tempat menyebrang, ada jembatan penyebrangan di sana. Dan kapan sih transjakarta bisa ngebut? Ada-ada saja.
Hidangan penutupnya adalah kabar dari teman saya yang sedang bekerja di Australia. Sepupu dari salah seorang sahabatnya berulang tahun beberapa hari lalu, yang ke enam belas. Seorang siswi SMA di Jakarta, pulang sekolah sekolah hari dan ditodong oleh seorang pria. Menguasai aikido, tentu saja dilawan si penodong tadi. Tak dinyana membawa golok yang lalu ditusukannya ke lambung si gadis remaja di hari ulang tahunnya.
Quo vadis Indonesia?
Entahlah. Sudah keriting rasanya bibir ini memaki pemerintah, pemerintah dan pemerintah. Sudah butek rasanya hati ini, membenci polisi, polisi dan polisi. Sudah ciut rasanya hati ini, kecewa dengan kesewenang-wenangan dan kesewenang-wenangan lagi.
Pernah saya bertanya dengan salah seorang teman, sarjana hukum, "Yok, kalau seandainya gw terlibat masalah dengan, hhmm... pegawai transjakarta misalnya, gw harus melapor ke mana?"
"Polisi."
"Memang masih bisa dipercaya?"
"Nggak."
"Ngapain loe nyuruh gw melakukan hal yang gak berguna."
"Mesti, karena itu prosedurnya."
"Terus kalo lanjut ke hukum, gw minta tolong sama siapa donk?"
"Pengacara."
"Gak ada duit."
"LBH."
"Bisa dipercaya?"
"Sama gw aja deh!"
"Hahahhaa... Ya udah, kalo ada apa-apa gw hubungin loe aja deh!"
"Hahahhaaa..."
Begitulah, tak ada yang jelas di negeri ini. Tak ada yang pasti. Jangan sebut-sebut itu hak dan kewajiban, cuma ada di buku pelajaran. Presiden negeri ini sering berkata, "Jangan anarkis, kita harus santun. Menyampaikan pendapat boleh, tapi ada aturannya."
"Wahai Bapak Presiden yang bukan pilihan saya, katakan bagaimana kami bisa hidup tanpa bertindak anarkis jika Bapak dan semua yang ada di sekeliling Bapak tak pernah bekerja dengan benar? Bapak kami pilih, dipilih mereka yang memilih Bapak maksud saya, untuk mengurusi kami, rakyat negeri ini; buatkanlah kami jalan yang layak, sediakanlah beras, sayur mayur, bahan bakar yang baik dengan harga murah, fasilitasilah kami dengan kendaraan umum untuk manusia, bukan untuk mengangkut sapi, jaminlah kesehatan dan pendidikan kami, amankanlah negeri ini hingga kami tak mesti memeluk tas di dada tiap saat, kasihilah saudara-saudara kami hingga tak perlu ada lagi nenek yang berebut nasi dengan kucing. Tidak perihkah hati Bapak melihat hidup macam ini yang mesti kami jalani tiap hari? Nyenyak kah tidur Bapak?"
Aiiissshhh.. Jika begini caranya, saya, warga negara Indonesia, memutuskan tak perlu ada pemerintahan. Karena pemerintah sama dengan penindas kehidupan yang layak. Hidup seperti di hutan rimba, tak ada jaminan keselamatan, tak ada ketenangan, apalagi kedamaian.
Maaf maaf saja Pak, saya mendukung tindakan anarkis yang sudah dimulai oleh teman-teman sebangsa saya, jika diperlukan saya mungkin akan melakukannya juga. Dan tak akan berhenti hingga Bapak dan teman-teman Bapak mulai bekerja.
Hidup anarkisme! Hidup kesejahteraan sosial! Hidup Noam Chomsky!
Hiduuuppp!!!