Monday, June 27, 2011

Jakarta, kampung saya.


Dalam perjalanan pulang dari rumah mama, calon mama mertua saya berkata, "Wah, nanti kamu gimana yah? Sudah terbiasa kemana-mana sendiri di Jakarta yang segede gini. Nanti di Bandung mah, ya situ-situ aja." Saya menjawab dengan berhehehe. Hehehehe yang artinya saya sendiri juga belum kebayang; apakah saya yang terbiasa sumpek dengan chaosnya Jakarta akan juga merasa sumpek dengan sempitnya Bandung? On verra!

Ibukota, yang semestinya sudah dipindah ke luar Jawa, entah sejak kapan sudah jadi kian menyesakkan. Dada ini sesak karena nasib tragis para pendatang yang saya baca di berita, sesak karena asap knalpot kendaraan yang jumlahnya bak garam di lautan, sesak karena kena AC siang malam (maklum hidup tanpa AC di Jakarta badan bisa lengket bau keringetan), sesak karena uang lekas habis setelah gajian (maklum kontrakan, listrik dan uang makan sungguh menguras uang).

Dalam perjalanan pulang dari Bandung, calon kakak ipar saya bertanya, "Kamu betah tinggal di Jakarta?" Saya jawab, "Sudah terbiasa dengan ritmenya, sudah tahan banting juga dengan tekanannya, tapi sadar kalau saya pantas hidup lebih baik dari ini." Insya Allah.

Jayakarta, nama dulunya. Dari bahasa Jawa yang artinya complete victory, kemenangan mutlak. Pernah dengar nama adalah doa? Mungkin karena bawa-bawa "menang", jadilah Jakarta ajang pertandingan, antara pintar dan bodoh, kaya dan miskin, sial dan beruntung, sarjana dan tak berijazah, cantik dan jelek, aktif dan pasif, rajin dan malas, sederhana dan sombong, pendatang dan warga asli, semua bertanding. Harus pilih kalah atau menang. Tak ada zona aman.

Di tengah bincang santai di rumah mama, calon tante saya bertanya, "Bener kamu mau pindah ke Bandung? Gapapa gitu ninggalin Jakarta?" Saya jawab, "Gapapa, sudah dari lahir juga di sini, kelamaan."

Betul, dua puluh delapan tahun lalu saya dilahirkan. Di sini, di kota ini. Enam tahun sesudahnya saya ingat setiap hari melewati jalan raya Pasar Minggu, pergi ke sekolah. Jalan yang saya lalui tiap hari hingga sepuluh tahun kemudian. Saya ingat jalan itu masih lengang, meski mikrolet, metro mini dan kopaja sudah bersliweran. Saya pun tak takut menyeberang, asal, pesan mama, hati-hati lihat dulu kiri kanan. Kini, sudah setahun saya melalui rute itu lagi, bedanya sekarang bukan ke sekolah tapi ke kantor. Sungguh mengerikan untuk menyeberang jalan, para pengendara seperti kerasukan Valentino Rossi dan lupa posisi rem. Jalan ini sekarang juga saya beri nama "jalur setan." Karena melewatinya sungguh buat saya emosian. Emosi jiwa karena macetnya sungguh luar biasa, masa saya langsung menaiki bis yang dalam posisi berhenti? Iya, berhenti. Dikarenakan macetnya sudah dari depan rumah saya dan terus sampai Pancoran. Kalau normalnya butuh lima belas menit, di hari kerja memakan waktu satu setengah jam. I knoooowww... sucks!

Calon suami saya pernah bertanya, "Nanti kita kalau lebaran gimana?" Saya jawab, "Digilir saja. Setahun di Bandung, berikutnya di Jakarta, begitu seterusnya." Waduh, akhirnya bisa ngerasain pulang kampung nih!

Lahir, besar dan berasal dari bapak asli Jakarta membuat saya terkungkung di sini sini saja. Memang, mama saya asli Sumatera. Jadilah saya dua kali merasakan pulang ke kampung mama. Tapi sebagian besar hidup saya ya di kota kelahiran saya. Beruntungnya setelah besar saya punya kesempatan ke luar kota, ke luar pulau dan ke luar negeri. Jika tidak, mungkin kotak pengalaman saya akan terkungkung juga. Kalau Lebaran saya ke rumah Mbah, tadinya di Jakarta dan sekarang di lingkar luar Jakarta. Depok, Jakarta coret. Enak sih, orang-orang pada ribet, kena macet, saya ongkang-ongkang kaki di Jakarta nan lengang. Tapi boleh dong saya sedikit iri? Iri pada mereka yang harus mengeluarkan effort besar untuk bertemu sanak keluarga. Iri karena libur Lebaran kian dinanti-nanti.

Aaaaahhh.. Jadi tak sabar tinggal di luar kota. Walau Bandung hanya sekepretan dari Jakarta, tetap saja beda KTP. Eh, KTP sudah nasional ya sekarang? Gosipnya. Meski luas Bandung hanya sepersekiannya Jakarta, tetap saja tempat baru buat saya. Meski Bandung juga kota besar layaknya Jakarta, tetap saja bukan ibukota. Meski Cipularang buat Jakarta-Bandung hanya berjarak dua jam, tetap saja namanya pulang kampung buat Lebaranan. Meski Jakarta sudah mengalir kental di darah saya, tetap saja tak sabar saya untuk meninggalkannya.

Jakarta oh Jakarta, bersiaplah menjadi kampung saya!

No comments:

Post a Comment