Tuesday, March 16, 2010

Bercerita bersama sore - sembilan belas

Sini, sini, kemari! Cepat, Sore, kutunggu-tunggu dari tadi. Hihi.. Sudah tak sabar, aku. Tebak, hari ini hari apa ayo! Betul! Kamis, tanggal berapa coba? Sebelas. Pinter ih! Hehehe.. Tahu gak Kamis sebelas Maret dua ribu sepuluh ada apa? Yeh, malah nanya balik! Ada apa hayo? Coba diingat-ingat. Tenot! Maulid mah sudah lewat. Zzzzzzz....

Nyerah saja ya? Kelamaan. Hari ini, hari besar, harinya Aran! Bukan, bukan ulang tahun, belum. Bukan juga, belum, bukan menikah. Wisuda, Sore! Pagi tadi di sini. Ya, di sini, di gedung besar ini. Ah, norak sekali ya, aku? Biarin. Hahaha.. Kau pasti tahu mengapa bahagia bisa sebesar ini, ya? Terima kasih, Sore. Lengkap rasanya kala bahagia dirasakan bersama. Duduk, sini. Mau kuceritakan? Seperti biasa.

Seperti layaknya wisuda-wisuda lain, Aran harus datang pagi sekali di sini. Jam tujuh. Sementara kami, keluarga, jam delapan. Aku dan mama, sesuai kuota undangan yang semalam diantar Aran. Di situ tertulis kalau keluarga harus memakai pakaian sopan dan rapi. Membingungkan sekali. Jadi ingat kala kuliah dulu, menurutku kaos berkerah itu rapi, tapi menurut dosenku kaos tetap saja kaos, kurang sopan. Padahal kan ada kerahnya, seperti kemeja. Beda bahan saja. Mama bilang rapih itu pakai kebaya, karena semua orang seperti itu di acara-acara wisuda, berkebaya. Menurutku itu berlebihan, memangnya pernikahan atau Kartinian? Iya gak? Mama setuju. Kami pun tak berkebaya. Mini dress hitam jadi pilihanku, mama pun mengenakan hitam-hitam, atasan manis dan celana panjang. Cukup rapih, menurut kami. Tanpa sanggul, pun riasan wajah berlebihan.

Aran, harus mengenakan celana panjang hitam dan kemeja putih tangan panjang. Tak punya dia warna putih, ada biru. Kubilang pakai saja, tak masalah, toh nanti akan tertutup toga. Itu loh, jubah khusus wisuda yang ada sayap dan topi berkuncir juga. Waktu kami kecil, Aran suka memakai toga mama, keren katanya. Bahkan jaket almamater mama pun dipakainya tidur setelah melihat para mahasiswa berdemo di televisi, ”Aran mau kayak gitu, Ma! Berantem pakai jaket begitu!” katanya. Mama mau tak mau merelakan jaket almamaternya diileri anak laki-lakinya yang bermimpi berdemo bak mahasiswa.

Tulang Ucok lah yang mengantar aku dan mama ke sana, setengah delapan pagi dari tempat mama. Aran, sudah pergi duluan bersama temannya, bermotor. Tiba kami jam sembilan kurang, tak apa menurutku, paling kami hanya ketinggalan ritual-ritual membosankan. Seperti biasa, di halaman gedung banyak penjual bunga dan tukang foto. Sambil berjalan menuju ruangan mama berbisik, ”Si Aran mana mau bunga gituan, Teh. Dia pasti maunya bunga bank! Hahahaha...” Aku juga tertawa, membayangkan ekspresi adikku yang diberikan mawar merah oleh mama. Hehe..

Masuk kami ke ruangan besar, tempat Afgan bernyanyi tahun lalu, waktu Java Jazz, seingatku. Tapi dulu aku di bawah, balkon tak dipakai oleh panitia. Kini di atas kami, baris kedua dari atas, di sisi kiri wisudawan. Aran, di bawah sana. Terlihat sama seperti yang lainnya di dalam balutan hitam dan kuning. Kutanya dia duduk di barisan mana, ketiga dari depan, katanya. Ah, kan ada handphone, Sore. Kau ini!

Di seberang sana ada pasukan muda mudi bernyanyi, paduan suara. Mama, saking terlalu sering bernyanyi untuk paduan suara, lupa kalau hari ini hanya menjadi tamu undangan. Bernyanyi dia, cukup bersuara hingga membuat undangan dari baris bawah menolehkan kepala mereka ke belakang. Hehehe, maklum, mamaku. Kau tahu kalau baris terakhir himne guru sudah diganti, Sore? Aku pun baru tahu, paduan suara di sana malah belum tahu.

Engkau patriot pahlawan bangsa, tanpa tanda jasa.

Bagian itu, sudah kadaluwarsa, kata mama. Versi barunya,

Engkau patriot pahlawan bangsa, pembangun insan cendekia.

Begitu, katanya.

Mendengar nyanyian-nyanyian itu membuatku terharu dan sempat meneteskan air mata, bahagia. Ingatku sempat membatin, ayo, jangan nangis bombay di sini. Nanti saja di rumah nangisnya. Kau pasti tahu kalau aku bangga luar biasa padanya, adikku satu-satunya itu. Setelah perjuangan panjang, akhirnya sampai juga kami di sini, di hari ini. Aku, mama dan Aran, seperti kebahagiaan hari ini hanya milik kami, yang lain hanya menyemaraki.

Ku menyibukkan diri mengabadikan di ranyu, kameraku. Karena itu pesan Mbah pada kami, jangan lupa foto wisudanya, jangan kayak teteh, wisuda gak ada buktinya. Inget! Hahaha.. Mbah kami ini kolektor foto-foto wisuda, Sore. Ada itu satu kamar di rumahnya tempat dia memajang pigura-pigura foto keluarganya yang berwisuda. Mulai dari anak, keponakan hingga cucu. Semua ada, kecuali aku. Hehe..

Wisudawan dari akademi pariwisata. Tersadar ku dari lamunan mendengar pengumuman barusan. Giliran Aran. Deg deg deg. Aku dan ranyu fokus bekerja, merekam ini semua. Kupicingkan mataku agar bisa melihat Aran dari jauh, itu dia. Dua orang lagi. Aran Candra AMD. Itu gelarnya. Ku zoom lensa ranyu. Itu adikku, tinggi, gagah. Aku dan ranyu memandanginya menaiki tangga, berjalan, menyalami seseorang, lanjut berjalan lagi ke tengah panggung, menunduk sedikit membiarkan kucir di kepalanya dipindahkan, lalu muncul itu namanya di layar besar di depan ruangan. Adikku.

Sroottt.. srooott.. Bunyi apa itu? Aku melirik cepat ke kiri, rupanya ada yang sedang sibuk mengelap ingus dan air mata, mama. Hehe.. Aku tak sempat menangis, Sore. Sibuk dengan bangga, lega dan bahagia yang ada, menelusup semua, menari bersama.
Hari bahagia ini berlanjut ke rumah mama di mana keluarga kami sudah berkumpul ingin merayakan bersama. Tapi, boleh kusudahi cerita sampai di sini? Di bagian terbaikku. Ya sampai bagian itu.

Teteh ucapkan selamat, Aran. Terima kasih telah menaiki tangga ini dengan baik. Sekarang teteh ambil lagi ya, tangganya. Semata-mata agar Aran tak punya cara untuk turun kembali. Mendongaklah, terus mendongak ke atas, adikku sayang. Langit, mentari, bintang, rembulan, semua ada di atas sana. Acungkan jarimu, picingkan mata, dan naiklah ke atas, hingga kau berhasil menyentuh mereka semua. Amin.

-bersambung-

2 comments: