Showing posts with label indonesia. Show all posts
Showing posts with label indonesia. Show all posts

Monday, June 27, 2011

Jakarta, kampung saya.


Dalam perjalanan pulang dari rumah mama, calon mama mertua saya berkata, "Wah, nanti kamu gimana yah? Sudah terbiasa kemana-mana sendiri di Jakarta yang segede gini. Nanti di Bandung mah, ya situ-situ aja." Saya menjawab dengan berhehehe. Hehehehe yang artinya saya sendiri juga belum kebayang; apakah saya yang terbiasa sumpek dengan chaosnya Jakarta akan juga merasa sumpek dengan sempitnya Bandung? On verra!

Ibukota, yang semestinya sudah dipindah ke luar Jawa, entah sejak kapan sudah jadi kian menyesakkan. Dada ini sesak karena nasib tragis para pendatang yang saya baca di berita, sesak karena asap knalpot kendaraan yang jumlahnya bak garam di lautan, sesak karena kena AC siang malam (maklum hidup tanpa AC di Jakarta badan bisa lengket bau keringetan), sesak karena uang lekas habis setelah gajian (maklum kontrakan, listrik dan uang makan sungguh menguras uang).

Dalam perjalanan pulang dari Bandung, calon kakak ipar saya bertanya, "Kamu betah tinggal di Jakarta?" Saya jawab, "Sudah terbiasa dengan ritmenya, sudah tahan banting juga dengan tekanannya, tapi sadar kalau saya pantas hidup lebih baik dari ini." Insya Allah.

Jayakarta, nama dulunya. Dari bahasa Jawa yang artinya complete victory, kemenangan mutlak. Pernah dengar nama adalah doa? Mungkin karena bawa-bawa "menang", jadilah Jakarta ajang pertandingan, antara pintar dan bodoh, kaya dan miskin, sial dan beruntung, sarjana dan tak berijazah, cantik dan jelek, aktif dan pasif, rajin dan malas, sederhana dan sombong, pendatang dan warga asli, semua bertanding. Harus pilih kalah atau menang. Tak ada zona aman.

Di tengah bincang santai di rumah mama, calon tante saya bertanya, "Bener kamu mau pindah ke Bandung? Gapapa gitu ninggalin Jakarta?" Saya jawab, "Gapapa, sudah dari lahir juga di sini, kelamaan."

Betul, dua puluh delapan tahun lalu saya dilahirkan. Di sini, di kota ini. Enam tahun sesudahnya saya ingat setiap hari melewati jalan raya Pasar Minggu, pergi ke sekolah. Jalan yang saya lalui tiap hari hingga sepuluh tahun kemudian. Saya ingat jalan itu masih lengang, meski mikrolet, metro mini dan kopaja sudah bersliweran. Saya pun tak takut menyeberang, asal, pesan mama, hati-hati lihat dulu kiri kanan. Kini, sudah setahun saya melalui rute itu lagi, bedanya sekarang bukan ke sekolah tapi ke kantor. Sungguh mengerikan untuk menyeberang jalan, para pengendara seperti kerasukan Valentino Rossi dan lupa posisi rem. Jalan ini sekarang juga saya beri nama "jalur setan." Karena melewatinya sungguh buat saya emosian. Emosi jiwa karena macetnya sungguh luar biasa, masa saya langsung menaiki bis yang dalam posisi berhenti? Iya, berhenti. Dikarenakan macetnya sudah dari depan rumah saya dan terus sampai Pancoran. Kalau normalnya butuh lima belas menit, di hari kerja memakan waktu satu setengah jam. I knoooowww... sucks!

Calon suami saya pernah bertanya, "Nanti kita kalau lebaran gimana?" Saya jawab, "Digilir saja. Setahun di Bandung, berikutnya di Jakarta, begitu seterusnya." Waduh, akhirnya bisa ngerasain pulang kampung nih!

Lahir, besar dan berasal dari bapak asli Jakarta membuat saya terkungkung di sini sini saja. Memang, mama saya asli Sumatera. Jadilah saya dua kali merasakan pulang ke kampung mama. Tapi sebagian besar hidup saya ya di kota kelahiran saya. Beruntungnya setelah besar saya punya kesempatan ke luar kota, ke luar pulau dan ke luar negeri. Jika tidak, mungkin kotak pengalaman saya akan terkungkung juga. Kalau Lebaran saya ke rumah Mbah, tadinya di Jakarta dan sekarang di lingkar luar Jakarta. Depok, Jakarta coret. Enak sih, orang-orang pada ribet, kena macet, saya ongkang-ongkang kaki di Jakarta nan lengang. Tapi boleh dong saya sedikit iri? Iri pada mereka yang harus mengeluarkan effort besar untuk bertemu sanak keluarga. Iri karena libur Lebaran kian dinanti-nanti.

Aaaaahhh.. Jadi tak sabar tinggal di luar kota. Walau Bandung hanya sekepretan dari Jakarta, tetap saja beda KTP. Eh, KTP sudah nasional ya sekarang? Gosipnya. Meski luas Bandung hanya sepersekiannya Jakarta, tetap saja tempat baru buat saya. Meski Bandung juga kota besar layaknya Jakarta, tetap saja bukan ibukota. Meski Cipularang buat Jakarta-Bandung hanya berjarak dua jam, tetap saja namanya pulang kampung buat Lebaranan. Meski Jakarta sudah mengalir kental di darah saya, tetap saja tak sabar saya untuk meninggalkannya.

Jakarta oh Jakarta, bersiaplah menjadi kampung saya!

Thursday, March 31, 2011

Saya dan anarkisme

"Tambah parah aja ya negara ini? Pada ngapain aja sih pemerintah kita?"
Kalimat penutup makan siang kami hari ini.

Sementara menu tambahannya; berita mengenai seorang wanita yang berhasil menilep uang nasabah di tempatnya bekerja, milyar yang bisa membawanya ke Jepang untuk menambal wajah, bisa mendudukannya di mobil-mobil mewah dan entah apa lagi. Ada juga wanita lain, yang akhirnya tertangkap setelah lima tahun wara wiri tipu sana tipu sini. Panggilannya, si penipu cantik. Yang satu ini beda targetnya, bukan bank, bukan perusahaan, tapi perorangan. Orang yang jika diulang jadi orang-orang dan artinya jamak. Tertangkap di Bali, dengan coolnya menanggapi keingintahuan para wartawan, pasti sakit, batin saya. Hah, mau jadi apa para wanita Indonesia?

Menu selanjutnya barisan para pria, residivis yang berhasil merampok sebuah bank besar beberapa waktu lalu. Banyak sekali pencuri di negeri ini! "Ini dia nih! Pihak berwenang gak berbuat apa-apa, jadilah maling macam gini tambah banyak di negeri kita!" Teman makan siangku tiba-tiba mengagetkan. Dipikir-pikir betul juga, jangankan maling-maling seperti mereka ini, si Gayus maling sakti saja tak bisa tersentuh oleh apapun dan siapapun. Cckk..cckk...

Berita tentang maling digantikan dengan metro mini yang warnanya makin merah karena dibakar oleh warga sekitar tempat si supir menabrak sebuah motor dengan bapak pengemudi dan anaknya. Seorang bocah kecil yang tewas tergilas. Ah metro mini, masih zaman kah ugal-ugalan? Sudahlah, jangan terlalu banyak menonton F1. Tiba-tiba jadi teringat belum lama ini jalur transjakarta, busway, di daerah Mampang diblokir oleh warga karena hal yang sama, menabrak seorang bocah hingga tewas. Pemblokiran yang membuat para pengguna transjakarta sulit untuk bekerja, chaos jadinya. Kenapa pula warga harus marah dan memblokir jalan? Dipikir-pikir itu kan memang bukan tempat menyebrang, ada jembatan penyebrangan di sana. Dan kapan sih transjakarta bisa ngebut? Ada-ada saja.

Hidangan penutupnya adalah kabar dari teman saya yang sedang bekerja di Australia. Sepupu dari salah seorang sahabatnya berulang tahun beberapa hari lalu, yang ke enam belas. Seorang siswi SMA di Jakarta, pulang sekolah sekolah hari dan ditodong oleh seorang pria. Menguasai aikido, tentu saja dilawan si penodong tadi. Tak dinyana membawa golok yang lalu ditusukannya ke lambung si gadis remaja di hari ulang tahunnya.

Quo vadis Indonesia?

Entahlah. Sudah keriting rasanya bibir ini memaki pemerintah, pemerintah dan pemerintah. Sudah butek rasanya hati ini, membenci polisi, polisi dan polisi. Sudah ciut rasanya hati ini, kecewa dengan kesewenang-wenangan dan kesewenang-wenangan lagi.

Pernah saya bertanya dengan salah seorang teman, sarjana hukum, "Yok, kalau seandainya gw terlibat masalah dengan, hhmm... pegawai transjakarta misalnya, gw harus melapor ke mana?"
"Polisi."
"Memang masih bisa dipercaya?"
"Nggak."
"Ngapain loe nyuruh gw melakukan hal yang gak berguna."
"Mesti, karena itu prosedurnya."
"Terus kalo lanjut ke hukum, gw minta tolong sama siapa donk?"
"Pengacara."
"Gak ada duit."
"LBH."
"Bisa dipercaya?"
"Sama gw aja deh!"
"Hahahhaa... Ya udah, kalo ada apa-apa gw hubungin loe aja deh!"
"Hahahhaaa..."

Begitulah, tak ada yang jelas di negeri ini. Tak ada yang pasti. Jangan sebut-sebut itu hak dan kewajiban, cuma ada di buku pelajaran. Presiden negeri ini sering berkata, "Jangan anarkis, kita harus santun. Menyampaikan pendapat boleh, tapi ada aturannya."

"Wahai Bapak Presiden yang bukan pilihan saya, katakan bagaimana kami bisa hidup tanpa bertindak anarkis jika Bapak dan semua yang ada di sekeliling Bapak tak pernah bekerja dengan benar? Bapak kami pilih, dipilih mereka yang memilih Bapak maksud saya, untuk mengurusi kami, rakyat negeri ini; buatkanlah kami jalan yang layak, sediakanlah beras, sayur mayur, bahan bakar yang baik dengan harga murah, fasilitasilah kami dengan kendaraan umum untuk manusia, bukan untuk mengangkut sapi, jaminlah kesehatan dan pendidikan kami, amankanlah negeri ini hingga kami tak mesti memeluk tas di dada tiap saat, kasihilah saudara-saudara kami hingga tak perlu ada lagi nenek yang berebut nasi dengan kucing. Tidak perihkah hati Bapak melihat hidup macam ini yang mesti kami jalani tiap hari? Nyenyak kah tidur Bapak?"

Aiiissshhh.. Jika begini caranya, saya, warga negara Indonesia, memutuskan tak perlu ada pemerintahan. Karena pemerintah sama dengan penindas kehidupan yang layak. Hidup seperti di hutan rimba, tak ada jaminan keselamatan, tak ada ketenangan, apalagi kedamaian.

Maaf maaf saja Pak, saya mendukung tindakan anarkis yang sudah dimulai oleh teman-teman sebangsa saya, jika diperlukan saya mungkin akan melakukannya juga. Dan tak akan berhenti hingga Bapak dan teman-teman Bapak mulai bekerja.

Hidup anarkisme! Hidup kesejahteraan sosial! Hidup Noam Chomsky!
Hiduuuppp!!!

Thursday, March 17, 2011

Internasional keblinger!

Internasional: menyangkut bangsa atau negeri seluruh dunia; antarbangsa.


International school.

Adik-adik kecil, siswa-siswi yang diutus para orang tua untuk menuntut ilmu di sekolah, biar cerdas, pintar, membanggakan. Tak boleh kalah dengan generasi sebelumnya, tak boleh ketinggalan zaman, masa hari gini masih pakai bahasa Indonesia? Apa kata dunia? Dari absen, lagu-lagu, bahasa sehari-hari hingga kata sapaan pun harus berbau Inggris; Miss, Sir. Memangnya lama di luar negeri hingga harus berbahasa Inggris setiap hari? Tidak. Atau mungkin anak dari pernikahan campuran? Tidak kok. Ada rencana tinggal di negara berbahasa Inggris dalam waktu dekat? Belum sih, tapi nasib orang siapa yang tahu? Apapun itu lah, yang jelas lebih keren kan kalau adik-adik di Indonesia jago berbahasa Inggris semua?

International hospital.

Rumah sakit titik titik internasional. Widih, keren sekali! Hasil kerjasama dengan rumah sakit ternama di negara maju kah? Nggak donk, kita murni lokal. Terus kenapa harus ada internasional? Agar seolah standar pelayanan kami setara dengan rumah sakit di negara maju. Oh. Motto, papan pengumuman di ruang tunggu, nama ruangan, semuanya sudah terlihat internasional, memang. Berbahasa Inggris! Banyak yah, pasien asing yang berobat ke sini? Ada, beberapa. Berarti mayoritas orang Indonesia? Iya. Kenapa tidak menggunakan bahasa nasional saja? Sama saja belum internasional, donk!

International police station.

Speed and professional. Begitu moto yang terpampang di tembok luar kantor polisi di Jatiwaringin. Entah untuk siapa kata-kata itu ditujukan. Untuk sesama polisi kah? Untuk kami warga negara Indonesia kah? Atau untuk mereka warga asing saja? Lagi-lagi bahasa Inggris! Ah! Entah siapa yang punya usul untuk memilih kata-kata itu, yang jelas polisi juga pastinya. Polisi yang harus belajar bahasa Inggris lagi. Dan juga harus memperbaiki bahasa Indonesia, bahasa ibunya. Masa konsep kata kerja dan kata sifat saja tak paham? Memalukan.

Post office.

Saya ingat betul tadinya papan itu bertulis kantor pos dengan mayoritas warna oranye. Sekarang tiba-tiba jadi post office, dengan papan-papan tanda berbahasa Inggris juga di dalamnya. Ah, siapa bilang pos Indonesia sudah nyaris mati? Wong sudah go international, kok!

Begitulah, bahasa Inggris di mana-mana. Alasannya sama saja, biar Internasional.

Keblinger!

Monday, March 7, 2011

Di Hari Perempuan Internasional

Hari ini tanggal delapan Maret, hari perempuan Internasional, begitu tv bilang. Acara tv yang menampilkan dua orang perempuan dari dua kubu, satu dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan yang merasa sudah berkontribusi besar demi perempuan-perempuan negeri ini, satu lagi perempuan dari organisasi besar yang merasa bahwa Kementrian tadi hanya pajangan pemerintah saja. Biar seolah-olah pemerintah Indonesia sudah sungguh memerhatikan kesejahteraan perempuan. Nyatanya?

Kalau saya punya suara, Kementrian ini tak ada gunanya, hanya sebagai tempat exist ibu-ibu pejabat saja, yang masih ber-make up menor dan berponi mumbul. Dengan gemerincing gelang emasnya sibuk meresmikan apalah itulah di kota-kota besar. Bukan mereka kok yang memberi ide agar ada gerbong khusus wanita di kereta api, bukan mereka juga yang membela para TKW yang nyaris mati disiksa para majikannya, atau lantang memarahi para pelaku pelecehan di TransJakarta. Alah! Sudah, daripada siang ini tumbuh gondok di leher saya, lebih baik disudahi saja keluhan atas harapan yang jauh dari kenyataan ini.

Ibu dari Kementrian tadi, parasnya sungguh mirip seperti satu-satunya mantan presiden RI yang berjenis kelamin wanita. Kala itu, saat beliau memimpin negara ini yang entah karena dipilih siapa, saya sempat menonton acara Oprah yang membahasa negara-negara yang mengakui persamaan pria dan wanita hingga mampu menjadikan seorang perempuan sebagai presiden mereka. Indonesia salah satunya. Banggakah saya saat negara ini disebut namanya? Sayangnya tidak. Kok bisa? Karena wujud pengakuan persamaan tak mesti dengan mengangkat perempuan sebagai pemimpin. Tetap harus dilihat kualitasnya. Perempuan negara saya yang satu ini, maaf-maaf saja, justru kualitas kelas bawah buat saya. Mengapa? Ya silahkan dicari-cari prestasi dan segala manuver beliau, lalu nilai lah sendiri. Malah saya merasa, R.A. Kartini, sang putri sejati merasakan malu di akhirat sana. Melihat perempuan Indonesia yang menjual keperempuanannya demi menunjukkan kehadiran mereka, tanpa menghiraukan kualitas dan loyalitas. Ah, sok tahu sekali saya ini. Seperti tahu saja rasanya jadi presiden wanita!

Kembali ke hari ini, saya sebagai salah seorang perempuan di dunia, di Indonesia dan di Jakarta, memiliki beberapa harapan yang mudah-mudahan saja diamini oleh ribuan perempuan lainnya; Betapa ingin saya agar perempuan memiliki gerbong sendiri, entah apa istilahnya untuk bagian dari bis gandeng, di TransJakarta. Hingga, mudah-mudahan saja, tak perlu lagi saya berhimpitan dengan mereka, para pria yang tak risih melekatkan bagian tubuh mereka. Juga, saya berdoa agar seluruh perempuan terutama ibu-ibu di negeri ini tak lagi menonton sinetron dan infotainment, racun mental yang jika ditelan terus menerus akan mengendap di hati dan merusak kebersihan nurani. Satu lagi, mudah-mudahan seluruh perempuan muda Indonesia mampu menyingkap identitas pribadi mereka tanpa perlu melabelkan diri dengan segala sesuatu yang bukan milik negeri ini. Agar semua perempuan muda mampu berdiri di atas kaki mereka sendiri dan lenyaplah itu para social climber yang selalu mendifinisikan diri melalui mata orang lain.

Amin. Amin. Amin.

Lalu apa yang bisa saya perbuat di hari kita ini, wahai para perempuan?

Saya akan melanjutkan bekerja setelah jam istirahat ini, lalu akan menggunakan TransJakarta untuk pulang ke rumah nanti, tak gentar menjaga diri dari para pria yang makin lama makin terlihat seperti magnet kulkas di dalam bis. Tak lupa saya akan membeli roti dan tomat, untuk sarapan esok hari, beli dengan uang sendiri dan masak dengan tangan sendiri karena saya perempuan Indonesia yang mandiri. Bersih-bersih rumah karena kebersihan sebagian dari iman dan sungguh saya ingin menjadi bagian dari mereka yang beriman. Tak lupa sholat dan mengaji karena saya harus memiliki ketenangan batin agar suatu hari bisa menjadi bagian dari cahaya kehidupan, dan satu lagi, melanjutkan membaca karya om Paulo Coelho yang selalu tampil mengagumkan sebagai jendela dunia. Karena, jika kelak nanti saya menjadi seorang ibu, haruslah saya menjadi ibu yang membantu anak-anak saya, anak-anak Indonesia, membuka jendela-jendela imaji, hati dan kecerdasan yang hakiki.

Selamat hari perempuan, perempuan.


Wednesday, October 27, 2010

Cerita negeri ini


Kami terima salammu, wahai Merapi.

Sesak memenuhi dada, abu-abu debumu.

Menunduk ampun kami padamu, Merapi.

Pedih lahar mengalir pasti di sanubari.


Kami terima kedatanganmu, wahai Tsunami.

Basah pelupuk mata ini oleh sapuanmu.

Tak kuasa kami menahan cengang, Tsunami.

Air laut memorak-morandakan nurani.


Kami terima riakmu, wahai Genangan.

Berenang ego dalam basahmu.

Sungguh kami tak memanggilmu, Genangan.

Meski kau tetap mengajak kami bermain hingga pagi lagi.


Friday, July 9, 2010

Proud to be destroyer!

Hola! Perkenalkan. Namaku, rahasia. Aku wanita, cantik belia. Gayaku manis manja, kau pasti puja! Wajahku rupawan, lonjong bak nampan. Hidungku lancip, sering disuntik. Mataku bulat, memikat. Suaraku, hhmm... bisa dibuat serak. Aku gadis metropolitan, tapi tak suka bangun siang. Bisa kau lihat paras pagiku di televisi. Jam tujuh pagi. Di sana aku berbagi informasi, buat semua penyuka pagi. Ibu-ibu, mbak-mbak, bapak-bapak juga boleh turut serta! Mari sini, kusemarakkan pagi kalian dengan berita yang pasti mencengangkan. Berita yang sejenak mampu menegangkan kicau pagi bumi. Tentang si anu yang ganti pacar lagi, si itu yang baru saja melahirkan baby bermata biru dari suami yang asli melayu, dan si mereka yang sedang naik-naiknya berkat video panas suranas. Sambil berdiskusi dengan gaya asik memikat, kupikat Anda semua hingga berita-berita yang ku bawa jadi penting adanya. Hingga kau merasa harimu tak lengkap tanpaku dan acaraku.

Kalau saya, pria berkacamata. Rambut tajam menjulang, rapi hasil tatanan. Kulit wajah mengkilap, tentu karena sering dilap. Tubuh semampai, berbalut otot bak Ade Ray. Saya anak band, yang pastinya keren. Gadis belia, para wanita hingga balita adalah para penggila. Kau dengar itu senandung laguku, rayu madu teruntuk para perindu. Diputar dari pagi, di televisi, channel sana sini. Acara musik televisi adalah kiblat band kami, dikarenakan para remaja menggilai hingga tak ingin sekolah pagi. Pembawa acaranya haruslah artis muda, tak punya karya tak apa. Yang penting muda dan bergaya. Tak perlu itu pemilihan kata, asal sok asik saja, pasti memuaskan sutradara. Kami pun jadi asik, atau ikut sok asik, yang penting terlihat asik. Mudah saja. Karena cuma itu tugas saya di sana. Tak perlu lah bernyanyi, karena sudah ada itu yang namanya CD. Diputar, bermusik ia. Saya pun bergaya, melebur dengan CD. Tak penting lagi siapa yang bernyanyi, saya atau si CD. Yang penting semua happy.

Ya? Ya? Nama saya? Wod. Iya, Wod. Itu nama pena. Maklum saya wartawan. Ini juga sambil mewarta, mencari berita. Sibuk. Nama benar? Sudah pakai saja itu nama. Saya kan wartawan, harus tetap jadi wartawan di mana-mana. Biarpun lagi jadi sumber berita juga, saya tetap saja wartawan. Ah, gak usah lah ditambah infotainment-nya. Tulis saja, wartawan. Kegiatan saya? Biasa lah, layaknya wartawan saja, lari sana lari sini mencari berita. Berita macam apa? Ya berita apa saja. Ya bahagia, sedih, tragis, semua. Sumber berita? Oh, kalau saya lebih susah, karena terbatas pada selebritas saja. Tak bisa itu tiba-tiba saya memberitakan orang biasa. Harus sudah terkenal. Yah, tapi bisa sih berita saya malah bikin orang makin terkenal, tergantung pesanan saja! Haha. Iya, biasanya artis baru, kalau mau cepat terkenal ya harus pakai jasa kita. Dunia artis sekarang mah di bawah kaki kita! Para wartawan! Kalau mau karir lancar, ya harus bina hubungan baik sama kita. Yah, kayak kerbau sama burung jalak lah, kurang lebihnya. Kalau yang berprestasi sih tetap kita liput pastinya. Tapi kalau tidak ada prestasi, terus tipenya pasaran, mau gak mau pakai kita sebagai dongkrak. Eh, si mbak mau kita dongkrak?

Sunday, February 14, 2010

Maja pahit

Buku sejarah bercerita, seolah-olah dia adalah saksi sejarah, bahwa dahulu kala sebelum jadi Indonesia ada itu kerajaan bernama majapahit. Maja dan pahit, dua kata jadi satu. Seperti nusa dan antara, nusantara. Nusa, pulau, antara pulau-pulau. Maja, salah satu buah yang konon rasanya pahit. Majapahit.

Sebelum kerajaan adalah sebuah desa yang dibangun oleh Raden Wijaya, yang setelah berhasil mengusir bangsa Mongol dari desanya kemudian diangkat menjadi raja. Berganti nama ia, Kertarajasa Jayawardhana. Memerintah turun temurun hingga cicit bercicit.

Seperti film-film kolosal yang pemerannya jago silat, bisa terbang dengan kain batik yang terbalut ketat di pinggang, majapahit sepertinya berlatar seperti itu, bayang saya. Dari konflik dan intrik sang raja untuk menjadi raja, sahabat raja yang juga ingin menjadi sepertinya, hingga keturunan sang raja yang mentitah dengan gaya berbeda-beda. Seru, sepertinya.

Ah, kenapa jadi bercerita tentang majapahit yang itu? Maja, aku ini mau bercerita tentang buah maja. Apa itu? Seperti apa bentuknya, warnanya? Apa benar pahit rasanya? Jangan-jangan hanya bualan buku sejarah saja.

Maja, ternyata berwarna hijau, teman-teman. Bentuknya seperti jeruk Bali, tapi lebih kecil lagi. Kata wikipedia bagian dalam maja berwarna kuning atau jingga, aromanya harum dan yang mengejutkan ternyata rasanya manis. Lalu kenapa pada zaman Raden Wijaya maja rasanya pahit?

Konon katanya, salah seorang prajurit Raden Wijaya kala itu memakan maja yang masih mengkal, jadi rasanya pahit. Andai saja sang prajurit memakan maja manis, mungkin saja kerajaan yang membentang di nusantara itu bernama majamanis. Iya kan?

Aku berjodoh ternyata dengan maja, tak tahu yang kutemui si maja manis atau pahit. Bertemu ku dengannya, dengan mereka; beberapa maja dan pohonnya. Warnanya hijau bernada dengan dedaunnya. Kulitnya tampak licin menggoda mata untuk terus menatapnya, cantik. Hingga tak inginku mengulitinya dan mengintip ke dalamnya, maja.

Aku masih belum tahu apakah benar setelah kulit maja berwarna kuning atau jingga. Apalagi rasanya, manis ataupun pahit buatku sama saja. Mereka adalah maja. Maja yang melekatkan ketenarannya pada Raden Wijaya.






Tuesday, December 8, 2009

Blended

Aku, orang Indonesia, asli. Jangan tanya aku asli mana, bingung. Indonesia, asli.
Begitu saja, tak bisa? Baiklah, hhhmmm… Bagaimana ya? Begini, Bapakku campuran Betawi, Sunda dan Padang. Mamaku, Batak tulen, Samosir.

Bapaknya Bapakku, Mbah, campuran Betawi dan Sunda. Ibunya Bapakku, Mbah, campuran Padang dan Sunda. Entah berdasarkan kesepakatan atau ketidaksengajaan, Sunda lah yang mendominasi kata ganti di keluarga kami. Mbah, alih-alih Engkong dan Enyak. Uwak, Mamang dan Bibi, alih-alih Pak Tuo, Mak Tuo, Encang dan Encing. Teteh dan Aa, alih-alih Kakak dan memanggil langsung nama, seperti orang Betawi.

Bapak dan Ibunya Mamaku, Ompung, asli Batak. Ompung laki-laki, Samosir. Ompung perempuan, boru Sihombing Hutasoit. Keduanya belum pernah kujumpa. Sudah meninggal dua-duanya. Waktu ku kecil, Mama tidak sempat membawaku bertemu mereka karena tidak punya uang untuk membawaku pulang ke Medan, mahal katanya. Jadilah ku tahu lewat foto saja, foto kala Ompung meninggal, jadi semuanya dengan mata terpejam. Dari Ompung aku punya Inang atau Mama Tua, Bapak Tua, Tulang, Namboru, Abang dan Kakak.

Karena Batak Patrilineal, maka Mama tidak bisa memberiku Samosir. Padahal darah itu lah yang mendominasi di diriku. Itu hasil telisik teman-teman kantorku. Dulu, saat ditanya asli mana, aku menjawab Betawi. Karena tak percaya dengan jawabanku, tak percaya karena tampilan fisik yang tak seperti orang Betawi kebanyakan katanya, teman-teman di kantor menginvestigasi asalku. Berdasarkan ceritaku mereka menyimpulkan bahwa jawaban yang benar adalah, jika ingin memberikan jawaban singkat pada orang-orang yang bertanya untuk berbasa-basi, Batak. Asli mana? Batak. Mengapa? Karena kalau pakai hitungan persentase, lima puluh persen darah yang mengalir di tubuhku adalah darah Batak. Sementara sisanya campuran dari Bapakku, ya Betawi, Sunda dan Padang.

“Asli mana?” tanya seseorang.
“Batak, Pak!” jawabku.
“Oh ya? Marganya?”
“Boru Samosir, Pak!” jelasku.
“Boru ya, berarti Ibunya yang Batak? Bukan orang Batak donk kalau gitu…”
Puufff… Apalagi sekarang?
Tetap saja tidak bisa pakai persentase, ternyata.
Patrilineal ya patrilineal. Baiklah, tidak akan rumit kalau tidak kubuat rumit.
“Asli mana?” tanya seseorang di kali lain.
“Campuran Pak, Bapak saya Betawi, Ibu saya Batak.”
“Oh ya? Campuran yang unik! Ada ya orang Batak yang mau nikah sama orang Betawi?”
Waduh! Repot lagi, sekarang. Salah memilih aku, rupanya.
Bagaimana kalau Sunda dan Batak?
Atau Padang dan Batak, mungkin?
Atau kubilang saja, Batak, Betawi, Sunda dan Padang.
Ah, nanti dibilang mau pamer, lagi!

Thursday, November 19, 2009

Sahur Bhineka Tunggal Ika (1 Ramadhan 1430 H)

Mari kubawa kau ke pagi itu, jam tiga kurang sepuluh di meja makan dan dapur kami. Kala kami sedang bersama-sama menyiapkan makanan untuk sahur pertama Ramadhan ini, sahur pertamaku tanpa keluarga. Bukan terpaksa, tapi pilihan. Kami pagi itu terdiri dari lima wanita berusia sekitar dua puluhan, kita pukul rata saja. Ada asli Sunda, Jawa tulen, campuran Jawa Lombok tapi lebih bangga menjadi orang Jawa, Sunda Cina dan bangga akan keduanya, satu lagi campuran Batak Betawi dan hanya bangga menjadi orang Batak, itu aku. Kau sudah siap? Mari kita mulai!

Kau lihat itu aku? Yang sedang menggoreng tempe bacem kiriman mama di dapur mini ukuran SSSSSD (sangat sangat sederhana sekali sumpah deh). Empat orang lainnya sedang duduk di kursi ruang makan sambil menyiangi sayur bayam dan jagung hasil belanja semalam. “Ada temukunci gak?” tanya salah seorang Jawa. “Nggak, gak perlu lah pake temukunci segala,” jawab Sunda Cina yang menurutku paling jago masak. “Ya sudah, tapi kita masih punya gula kan?” tanyanya lagi. “Masih, tapi kan sayurnya gak akan pake gula,” jelasnya sambil menjawab pertanyaan tersirat dan tak tersirat. Sudah rahasia umum kalau orang Jawa mewajibkan semua makanan berasa manis. “Hahahahaha…” itu aku tertawa bahagia karena tidak harus makan sayur manis layaknya kolak. Tawaku bersambut kecewa dua orang Jawa, walau Jawa kedua ikut tertawa dan tidak protes. Nah kalau tidak suka protes itu salah satu nilai jual wanita-wanita Jawa, nrimo dalam bahasa mereka. Pria mana yang tak suka kalau pasangannya cuma bilang, “enggeh…enggeh, Mas!”, yang artinya iya, ok, tidak masalah, Mas.

Di sela proses masak memasak tiba-tiba saja aku merasakan ada sesuatu, “Aduh, gw mau kentut!” umumku sambil berlari ke arah lorong biar yang lain tidak mati keracunan karena gasku. “Kentut aja pake bilang-bilang, kalau orang Jawa pasti langsung kentut, tapi diam-diam. Hahahahaha…” aku Jawa satu yang langsung diiyakan oleh Jawa dua. “Kalau orang Sunda mah, kentut aja langsung yang kenceng! Hahahahaha…” kalau itu kentut versi Sunda yang blak-blakan.

Sambil ketawa, Jawa satu bolak-balik melihat ke kaki semua orang, termasuk kakiku. “Sendal hitamku mana yah?” tanyanya sambil berteriak. Sendal hitam itu sedang menempel di kakiku, tadi pagi langsung kupakai tanpa permisi. Walau tahu apa yang dia cari, aku tetap tak bergeming. Yang lain menjawab tidak tahu sambil tengak-tengok, basa-basi, mencoba membantu menemukan apa yang dicari. “Ih susah yah, udah disindir juga, tetep aja dipake. Bukan balikin sendal gw!” marahnya sambil mengambil alih sendal di bawah meja makan yang tepat di bawah kakiku juga. “Hahahahaha… Orang Batak disindir, mana ngaruh..” jawabku santai, bukannya berpikir dan merasa bersalah.

Waktu makan tiba, sudah ada lima piring dan sendok di atas meja. Kami ambil satu-satu piring itu. “Gw mau piring yang paling gede ah!” ujarku sigap biar bisa ambil makanan lebih banyak. Yang lain langsung bilang, “Dasar!”. “Ih, aku gak mau pake piring gompal!” si koki ikut-ikutan jadi pemilih. “Hahahaha.. dasar Cina!” timpal si Jawa. Koki Cina kami mempercayai mitos bahwa jikalau kita makan menggunakan piring yang sudah gompal, maka hal buruk akan menimpa. Ada-ada saja memang orang Cina itu. Saat kami sudah mulai makan, dia masih sibuk mengambil tisu dan mengelap piringya. “Ngelapnya harus searah dengan mata angin ya mbak?” guyonku yang langsung disambut dengan tawa semuanya.

Jadilah kami makan sayur asin buatan koki andalan kami, semuanya sepakat kalau sayur itu memang asin, keasinan tepatnya. Tentu saja si koki bilang, “Nggak kok, ini udah pas banget rasanya!”. “Gw putuskan besok-besok gw yang akan masak sayur!” itu si Jawa yang sedang susah mati menghabiskan sayur di piringnya. Selanjutnya kami sibuk makan, cuci piring dan siap-siap menyambut imsak.

Selamat berpuasa semuanya! Sampai jumpa di sahur berikutnya.

Monday, November 9, 2009

Kado dari Keraton


Pohon itu cukup menarik, dengan perpaduan sedikit warna yang sederhana, bentuk yang terlihat kokoh tapi bersahabat, apalagi dengan tulisan antiknya yang walaupun tak bisa kubaca tetapi terlihat unik dan cantik. Tulisan yang memahat nama-nama penghuni pohon. Batang utama pohon itu berwarna cokelat muda, ukurannya cukup lebar, akar-akarnya banyak dan besar, menunjukkan bahwa mereka sedang menopang pohon yang kekar. Pohon cokelat itu menopang beberapa dahan besar, seingatku jumlahnya delapan, jumlah yang melambangkan pasangan hidup yang dimiliki pohon kekar semasa hidupnya. Dahan-dahan digelayuti oleh daun-daun besar berwarna hijau muda dan cokelat muda, pembeda kaum Adam dan Hawa untuk buah cinta pohon kekar dan dahan-dahannya.


Mataku langsung terpaku pada satu dahan, tak seperti dahan yang lain yang bergerak ke samping kiri dan kanan pohon kekar, dahan ini menjulang ke atas, seperti mendongak ke langit, dengan satu, hanya satu, daun hijau dengan ukuran yang sama seperti daun-daun lainnya. Di tengah daun tersebut tertulis nama anak pertama yang dimiliki pohon kekar dari pasangan hidup pertamanya. Di tujuh dahan lainnya bergelayutan daun-daun yang tidak sendiri, daun-daun yang terlihat berpegangan erat pada dahan-dahan penyangganya, ibu mereka. Entah mengapa daun hijau yang sedang mendongak ke langit itu terlihat tegar melihat ke atas dan bukannya berpegang erat pada dahannya, tetapi sebaliknya, seluruh penghuni pohon terlihat berpegangan erat padanya. Saat pohon kekar berdiri tegak menjadi penyangga dahan dan daun, daun hijau tadi bersiap untuk melanjutkan misi pohon kekar selanjutnya dengan tetap berada dan menjadi bagian dari keluarga besar pohon kekar.


“Tante, aku lagi buat pohon keluarga, tante ada di dahan yang mana ya? Aku bingung,” tanya keponakan cantikku tiba-tiba saat aku baru saja masuk ke rumah neneknya. “Mana, coba tante lihat pohonnya?” jawabku. Lalu dia pun menunjukkan pohon yang sudah digambarnya dengan pensil dan penggaris di atas kertas dari buku gambar. “Bagus, sudah benar kok tempatnya,” komentarku saat mengecek posisi keluargaku di pohonnya. “Iya, tapi tante tempatnya di mana?” ulangnya. Memoriku berputar mundur dengan cepat dan aku mendapati kenyataan yang tak pernah kusadari sebelumnya, bahwa keponakanku belum pernah bertemu ibuku dan mungkin juga ayahku, aku tak yakin. Dia beberapa kali bertemu adikku tapi aku jadi mempertanyakan apakah dia tahu kalau adikku yang ditemuinya itu adalah adikku. “Aku bingung tante sama om ada di dahan mana?” tanyanya lagi. Jadi dia tahu kalau adikku itu adalah adikku.


Kuambil pensil yang ada di tangannya lalu aku menarik garis di atas kertasnya dan menggambar dahan baru, tempat aku dan adikku seharusnya berada. “Sudah, selesai!” tutupku setelahnya. Sejenak aku melihat raut bingung di wajah keponakanku, dan seperti kuduga, dia mempertanyakan nama orang tuaku yang kutulis di atas namaku. Dengan enteng aku berkata, “Iya, kakak belum pernah ketemu ya? Mungkin nanti Lebaran kakak bisa ketemu.” Begitulah kami memanggilnya sejak keponakanku punya adik kecil, kakak. “Tapi kenapa tante tinggal di sini?” lanjutnya. Siapa bilang kalau kita menjawab dengan enteng maka anak kecil pun akan menerima dengan enteng juga? Terus terang saja ini adalah salah satu subyek yang tak suka kubahas, karena subyek ini selalu membuat hatiku terasa seperti dicubit, agak perih walau sesaat. Alih-alih berkata jujur yang berarti memerlukan penjelasan panjang lebar, aku malah menjawab layaknya orang dewasa yang tidak bertanggung jawab, “Iya, soalnya tante suka tinggal di sini. Ya sudah, tante ke kamar dulu ya. Kakak lanjutin lagi gambarnya, harus diwarnain gak?” Tiba-tiba saja terlontar ide hebat dari otakku, keponakanku yang satu ini suka sekali menggambar dan mewarnai, pasti subyek ini bisa mengalihkan perhatiannya. “Iya, mau kakak warnain juga,” jawabnya sambil langsung membuka kotak krayonnya. Aha! Benar kan? Aku cukup mengenal keponakanku dengan baik rupanya.


Ternyata pohon kekar tidak hanya memiliki delapan dahan, seharusnya lebih dari itu. Tapi kenapa dahan lain tidak ada di pohon itu? Menurut penjelasan Bapak yang menemaniku berjalan-jalan dari tadi, dahan-dahan yang lain tidak berdaun, maka tidak perlu menambahkan dahan-dahan itu di pohon kekar, karena tanpa daun dahan tidak lagi istimewa. Heran, bukankah daun merupakan bagian dari pohon kekar dan dahan? Jadi kehadiran atau ketidakhadiran daun merupakan andil dari keduanya bukan? Jika dahan menjadi tidak istimewa hingga dihilangkan dari pohon berarti pohon kekar juga tidak lagi istimewa, bukan? Aku masih tidak mengerti tentang konsep istimewa dan tidak istimewa ini. Inginku mencari tahu lebih dalam, tapi entah hanya perasaanku saja atau bukan, sepertinya Bapak ini enggan untuk membahas dahan-dahan hilang itu lebih jauh. Baiklah, maka berhenti di sini pembahasanku mengenai dahan hilang.


Sejujurnya aku tidak suka membuat pohon keluarga, menarik garis, menggambar daun, hingga akhirnya menuliskan nama penghuni pohon. Karena itu artinya pada saat yang sama aku harus membuka buku kecilku, membacanya dan lagi-lagi menorehkan luka di lukaku yang tak kunjung pulih. Tapi pohon itu, yang kulihat hari itu bersama seorang Bapak tua yang menemaniku berkeliling berjam-jam di sebuah bangunan luas yang menjadi kebanggaan kota Jogjakarta, pohon yang sederhana dengan warna cantik yang sederhana pula, menginspirasiku untuk membuat pohon yang sama. Bisa dibilang pohon yang kulihat itu tidak lengkap, karena ada dahan-dahan yang dibuang dari pohon itu. Mungkin aku bisa melakukan hal yang sama, sedikit berimprovisasi, maksudnya.

Aku ingin menjadi pohon kekar yang kulihat hari itu. Pohon kekar yang akan memiliki dahan dan daun-daun. Tetapi mungkin aku hanya ingin memiliki satu dahan, walau beberapa dahan juga tidak akan menjadi masalah sepertinya. Sayangnya aku belum bisa memulai menggambar pohonku, karena menggambar pohon berarti aku harus siap dengan dahan, yang belum kumiliki saat ini, apalagi daun-daun. Baiklah, bersabar sedikit tidak akan sulit, akan kutemukan dahanku, atau dahan-dahanku. Lalu menantikan kedatangan daun-daunku, hingga nantinya akan kugambar pohonku sehingga keponakan dari daun-daunku tidak akan bingung untuk menggambar pohonnya, dengan versinya sendiri, dan mungkin dengan sedikit improvisasi di dalamnya.

Thursday, November 5, 2009

Bisa tidak aku jadi presiden?

Bisa tidak aku jadi presiden?
Menggantikan dia yang pengecut itu
Bisa tidak aku jadi presiden?
Anti melempem kala rakyat butuh tanganku
Bisa tidak aku jadi presiden?
Yang berani, tak tunduk bagai babu
Bisa tidak aku jadi presiden?
Berpendirian teguh tanpa disetir kronco-kroncoku
Bisa tidak aku jadi presiden?
Bangga berdampingan dengan orang-orang hebat tanpa cemburu
Bisa tidak aku jadi presiden?
Berjuang sampai mati untuk warisan budayaku
Bisa tidak aku jadi presiden?
Tak perlu sok santun, tapi selalu ada tulus itu
Bisa tidak aku jadi presiden?
Mundur saat gagal, tak perlu malu

Tuesday, October 27, 2009

Sumpah Wanita Indonesia

Menyambut peringatan Sumpah Pemuda, saya atas nama wanita Indonesia yang sekeyakinan dengan saya, sekaligus sebagai generasi penerus para pemuda di masa Sumpah Pemuda, akan membuktikan pengabdian pada negara tercinta dengan turut bersumpah. Sumpah yang dibuat dengan sesadar-sadarnya, tanpa tekanan dari pihak manapun, maupun imbalan dari siapapun, kecuali Tuhan.

Kami, wanita Indonesia, berjanji:
  1. Berpria satu, pria asli Indonesia
  2. Bergaya satu, gaya orisinil Indonesia
  3. Berbelanja selalu ingat satu, produk-produk Indonesia
  4. Berperilaku santun, kebanggaan wanita Indonesia
  5. Bersatu padu membentuk anak-anak tangguh Indonesia


Delapan puluh satu tahun setelah Sumpah Pemuda di Indonesia.

Tuesday, October 20, 2009

Terselip Surga


Kupu putih
Capung kuning
Rumput hijau
Langit biru
Apa lagi?

Surga benar-benar ada, bukan?
Diselipkan di tengah kota
Jika di dunia saja begini indahnya,
Apalagi di sana?

Sunday, October 18, 2009

Indonesia


Indonesia, oh Indonesia!
Nusa dan antara
Dua musim, lima agama, tiga puluh tiga provinsi, beribu budaya, berjuta pulau, Bhineka Tunggal Ika
Oh! Inilah kebebasan yang sesungguhnya
Nasi, singkong, sagu, jagung, semua kami suka
Emas, batu bara, gas bumi, timah, semua kami punya
Sampah, banjir, gempa, longsor, itu kami juga punya cerita
Indah dibidik dari angkasa, rupa ukiran kepulauan nan membuat iri para tetangga
Ah, bolehlah kau turut menikmati semua, wahai dunia! Asal jangan lupa pergi kala kami sudah tak suka.