Thursday, May 20, 2010

Kelakuan Ompungnya Babar

Babar

”Udah tidur belum, Teh? Susunya Babar apa ya?”
”Bebelac, Ma. Kalengnya oranye.”
”Bebelac 3 ya?”
”Bebelac 3 madu, Ma.”

”Halo, Teh!”
”Ya, Ma?”
”Rumah Kiki masuknya dari depan danau bukan?”
”Waduh! Aku lupa, Ma!”
”Ini mama udah di depan danau. Ujan gede banget, Teh! Aran ditelponin gak diangkat. Tanyain donk teh.”
”Iya, iya, nanti aku coba telpon.”
”Mama ngapain ujan-ujan kesana?”
”Iya neh, udah basah kuyup, sama tante Linda.”
”Iya ngapain?”
”Kan Babar ulang tahun hari ini!”
”Oooohhh....”
Ompung pun tiba setelah acara ulang tahun selesai. Membawa kado sepasang baju merah, celana pendek dan jaket jins.

”Ran, halo, halo!”
”Iya, Ma?”
”Dimana?”
”Di rumah.”
”Mau kesini gak?”
”Iya, sebentar lagi.”
Sampai rumah mama.
”Tante, mama kemana? Kok gak ada?”
”Keluar sebentar katanya, gak bilang kemana.”
Mama sampai rumah.
”Babar, neh ompung bawa buah.”
”Wat Babang?”
”Iya, buat Babar.”
Buah-buahan yang bikin Mami dan Dedet Babar speechless.
Apel, anggur, jeruk, pisang, buah naga.

”Bar, Babar! Ambil itu bukunya, sini Ompung liat!”
Ompung liat, bahasa Inggris tulisannya.
”Nih, baca sama aunty, yah!”
Babar diem aja, belum mau belajar baca.
”Minta bacain sama aunty, jangan sama Ompung, gak bisa! Ompung ngajarin nyanyi aja bisanya! Hahahaha...”
Babar masih aja diem, ngeliatin ompung yang ketawa geli, sendiri.

”Ngkung, ngkung!”
”Heh?”
”Eyang kakung maksudnya, Ma!”
”Ooohh..”
”Celana mama loreng, kayak seragam eyang kakungnya.”
”Emangnya eyang ngkung aja yang abri, ompung juga!”
Babar percaya, kayaknya.
”Kalo Babar nakal, ntar ompung tembak! Dor! Dor!”
Babar ketawa, senang.
Entah karena ompungnya ternyata abri juga atau karena ditembak ompungnya.

”Lalalalala...” Ompung sedang karaoke di kamarnya.
”Ayo, Babar! Ikut nyanyi! Sini Ompung ajarin lagu bebek.”
Babar diam saja.
Ompungnya nyanyi-nyanyi sambil nari geal geol bak bebek.
”Lalala.. Ayo, sini! Ompung ajarin.”
Babar pun tergoda. Berdiri ia.
Geal geol, juga.
”Hahaha.. Iya, betul! Terus! Bebek kwek kwek kwek...”
”Hahahahaha..”
Ketawa-ketawa keduanya, sambil pegang mic satu-satu.

’Babar, nanti sekolah di sekolah ompung, ya!”
”Iya.”
”Nanti kalo udah kelas tiga, ompung yang ngajarin.”
”Dua.”
”Apa?”
”Babang las dua.”
”Hahahaha.. iya, abis kelas dua kelas tiga.”
Babar diem aja, seperti tak setuju.

Cerita dari Singapura - sembilan

Hari kedua:
Rumah Sufi.
Hooaaammm... Jam enam. Morning, Singapore!

Kubuka gorden, kuintip ke bawah. Lengang.

Mobil terparkir rapi di parkiran, mentari pun sama cantiknya di sini, hanya terlihat lebih jelas saja. Jendela-jendela beberapa ada yang sudah terbuka, jemuran bertengger di tempatnya. Pagi di Singapura.

Sesuai rencana yang kami susun malam tadi, pagi ini kami ke mini market dulu, membeli bahan untuk bekal makan siang hari ini.
”Mending bawa bekel, Kak! Nanti Dinda buatin sandwich deh!”
”Memangnya susah cari makan di jalan, Din?”
”Gak susah sih, Cuma kita gak tahu aja itu halal apa nggak.”
Susahnya jadi muslim yang baik.
”Oke deh, besok beli apa?”
”Roti aja, Dinda ada tuna.”

Seven eleven.
Waktu Dewi nyebut-nyebut seven eleven jujur aku tidak tahu itu nama apa. Eh, ternyata mini market, kaya Indomaret gitu kalo di Jakarta, atau Alfa, atau Circle K. Kalo gak salah 24 jam juga deh bukanya kaya Circle K. Kalo gak salah. Isinya ya standar mini market aja, ada beda dikit sih, di sini ada oven buat manasin makanan yang siap makan, trus ada dispenser khusus gitu, buat masak mie. Kesananya jalan kaki, deket rumah kok!

Berhubung gak suka jajan, jadi gak ikut muter-muter sama anak-anak. Kusibukkan diri di pojok toko, tempat roti-roti, to the point. Kupilah pilih, berdasar kekerasan, bahan dasar dan harga, tentu saja. Kupanggil teman-teman dan mengajukan roti pilihan, semua setuju saja. Baiklah, setelah beli, kutunggu semua di luar. Ada parkiran sepeda, lucunya. Rapih gitu! Mau deh, sepedaan tiap hari, kemana-mana. Tapi cuma mimpi kalo di Jakarta.

Rumah Sufi.
Sambil bergantian mandi, kami menyiapkan sandwich tuna, dengan Dinda tentu saja chef utamanya. Jadi ikan tuna kemasan kaleng dicampur dengan bawang bombay, lada dan garam, lalu di masukkan di tengah setangkup roti tawar. Eh, jangan lupa saosnya, kita kan orang Indonesia! Haha..

Yang pada repot masak, aku, liat2saja! ^^V

Dinda pesan ini pesan itu, memastikan kami tak nyasar. Tak lupa diberikan handphonenya pada Dewi, biar lebih murah kalo nelpon-nelpon katanya. Dinda tak ikut di hari pertama, harus istirahat, demi her little baby. ^^

Bugis Street.

Berbekal penjelasan mami Dinda, naiklah kami LRT,

MRT

dan bis hingga tiba-tiba sampai di Bugis. Untukku tiba-tiba, tapi tidak untuk Dewi dan Yeyen, sang penunjuk jalan. Hihi!

Ada tulisan, Bugis junction, di seberangnya ada Bugis street. Pilih yang mana? Streeettt!! ^^V
Jadi, Bugis Junction itu mallnya, tempat barang bermerk terkenal. Nah, kalo Bugis street itu Melawainya. Huhu.. I love Melawai! Tempat barang bermerk tak jelas. Alah! Gapapa gak jelas, asal harganya jelas!

Tempatnya, hmm... ya seperti Melawai, kurang lebih. Toko-toko gitu, yang dagangannya di gantung di sana-sini, etalasenya juga ditumpukin barang-barang. Mesti nego sana-sini, kalo Anda tak bisa menawar, gunakanlah jasa tante Dian! Hahaha... Gak terlalu besar juga, tidak kotor dan kumuh juga pastinya. Di pintu depan ada banyak kacamata dan jam tangan lima dolaran. Lima kali tujuh, tiga lima, murah. Itu jam tangan cakep-cakep, lumayan jauh dibanding bajakan di Jakarta, keliatan banget murahannya. Teuteup, beli murah tapi mesti keliatan mahal. Masuk sedikit ada baju-baju, banyak kaos tulisan Singapore berbagai warna, gambar dan ukuran. Nah di sini kami beli tiga kaos untuk si Mul, keponakan kami yang usianya baru beberapa bulan.

Lebih dalam ada tas, dompet yang biasa saja, masih lebih bagus di Melawai. Lalu baju-baju wanita yang modelnya gak up to date dan harganya jelas-jelas murahan di Plaza Semanggi. Males banget gak seh? Nah, my favorite, di bagian tengah ada gantungan kunci Singapore yang variatif banget modelnya, harga murah (lupa persisnya berapa), juga ada kartu pos dan korek api yang sekalian ada tempat rokoknya, sesuai request Aal, teman kami. Memang rezekinya, jadilah kami beli.

Yang kubeli: 20 gantungan kunci untuk oleh-oleh dan tiga postcard untuk koleksi. ^^V

National Library.
”Excuse me, do you know how to go to the National Library?”
”National Library?”
”Yes, this one here.”
Itu Yeyen yang nanya sama bapak-bapak yang lewat di depan kami.
”I’m sorry, I don’t know.”
”Gak tahu, guys!”
”Kayaknya ke arah situ deh! Gak jauh,” ramal Dewi.
Biasa, saya, Anast dan Dian nurut aja. Huhu..
Maka berjalanlah kami ke arah kanan Bugis street.

Aneh, di sini mentari tidak terik, tapi terasa panas sekali karena tak ada angin. Kenapa yah anginnya jarang? Pantesan pada pake kuntung-kuntung cewek-cewek di sini. Aku juga ikut-ikutan. Kapan lagi bisa pake baju laknat di jalanan dan gak diliatin sama cowok-cowok norak?

Berdasar pengamatanku di MRT, para wanita di sini bebas sekali berbusananya. Bukan bebas exhibitionist, tapi bebas berekspresi, gak separah harajuku juga seh, maksudnya ya gitu, bebas pake kuntung, pendek, panjang, rok, daster, celana, bebas aja. Gak seragam. Gak kayak di Jakarta, satu pake legging, semua pake legging! Satu pake terusan panjang, semua juga pakeeee.. Common. Terus, Anast juga merhatiin kalo mereka yang ndut juga tidak terlihat tidak percaya diri, sama bebasnya. Keren. And the best part, orang-orang di sini tidak suka ngeliatin dari atas sampe bawah ke orang lain, kayak di Jakarta. Gak sopan, tahu! Pria-prianya, Masya Allah, gak melecehkan sama sekali, even by their eyes, their way of looking.

Selama jalan aku sibuk tengok kanan kiri, cekrak cekrek sama Ranyu, tiba-tiba aja udah sampe di National Library of Singapore.
Bangunannya, hmmm.. biasa saja, modern sih. Ada tempat duduk kayu di luar, banyak pohon, adem.
Masuk ke dalam, di depan pintu ada (lagi-lagi) parkiran sepeda.

Ckk..cckk... Jadi penasaran, Fauzi Bowo udah pernah ke Singapur belum sih? Katanya ahli tata kota, udah jadi gubernur, pula! =(

Masuk ada beberapa komputer di sebelah kiri. Di kanan ada meja informasi lengkap dengan brosur-brosur. Setelah Yeyen bertanya jikalau kami boleh masuk, barulah kami tahu kalau semua orang boleh masuk, untuk umum. Tapi kalau meminjam, harus warga negara Singapura. Sip! Dan kata ibu informannya, jarang ada orang Indonesia ke sana, turis maksudnya yah..

Berhubung lapar, jadilah kami ke sisi luar dulu untuk menyantap sandwich buatan Dinda. Kami lewat pintu sisi lain, di situ banyak orang duduk-duduk di bawah, lantainya bukan keramik, tapi juga bukan semen. Apa yah? Gak ngerti, hehehe.. Ada café di sisi kiri, menggiurkan. Bukan makanannya, tapi suasananya. Café yang tenang, tak rusuh, banyak orang membaca. Bon appetit! Nikmat sekali sandwich buatan Dinda! (Bukan exageration, ini! Asli!)

Wiets! Apa itu? 24hr bookdrop??

Kesenjangan negara berkembang dan negara maju, empat. Hiks!

Jadi saudara-saudara, untuk mengembalikan buku yang dipinjam, kita bisa datang kapan saja, cukup scan bukunya dan masukkan ke kotak bookdrop tadi. Canggihnyaaa... ToT

Tapi cuma di situ saja, di dalamnya, hhmm.. walau banyak orang, tapi banyak buku yang membingungkan, karena mayoritas berbahasa Mandarin. Ada juga karya-karya sastra Indonesia, tapi tak banyak. Ya iya lah, wong ini perpus Singapur! Eh, ada anak-anak SD lagi berkunjung loh, dalam rangka perkenalan dengan perpustakaan. So sweet. Aku malah menikmati mengamati mereka. Tak lama di dalam sana, aku keluar, mencari toilet.

Nah di sanalah Saudara-saudara, aku menikmati potable water pertama. Ada kran yang terhubung dengan kotak aluminium di bawahnya. Ada dua kran, satu untuk langsung minum di sana, satu lagi yang lebih panjang untuk mengisi tempat minum kita. Subhanallah...

Kupanggil anak-anak, minum kami bergantian, tak lupa diabadikan! ^^V Still, Indonesiana! Hahaha..

Ikea.

Kau tahu salah satu tujuanku ke Singapura? Ke Ikea. Beli penghancur lada. Itu loh, yang kalo koki-koki di tv suka puter-puter kalo mau masukin lada ke masakannya. Voila! Itu dia!

Jadilah kami semua naik bis yang cukup jauh ternyata, kesana. Besar, tulisannya kuning di atas biru, IKEA. Aku baca aykia, Yeyen bilang ikeya. Entah mana yang benar, yang jelas ini bukan asli Singapura, salah satu negara di Eropa kata Kak Ero, bosku. Tapi bukan Prancis, Jerman ataupun Belanda. Besar sekali, ada dua lantai.

Menggila, kami semua.
Aku beli: 1 pan (akhirnya punya pan sendiri setelah sekian lama pinjem terus!), 1 gantungan syal (yg ini magic!). Setelah menurunkan kembali barang-barang yang atas saran anak-anak tak perlu dibeli. ”Harus irit, Gul! Ini baru hari pertama.” Baiklah..
Yeyen beli: 1 pan, 1 barbeque pan, 1 serbet tangan, 1 gantungan syal.
Dian beli: 1 gantungan syal, kotak makan plastik, (tupperware wannabe) dan 1 serbet tangan.
Dewi beli: 1 gantungan syal.
Anast beli: Kotak makan plastik (sama kayak Dian punya) dan serbet tangan.

Tempat ladanya manaaaaa?? Gak ada, habis kata masnya. Bisa-bisanya habis pas kami disana. Belum jodoh. ToT
Kami kembali naik MRT dan menikmati mentari terbenam di LRT. Hmm... tak kalah menentramkan walau bukan di rumah sendiri.

Rumah Sufi.
”Assalamualaikum!”
”Masya Allah, pada belanja apaan loe, Mbak?”
”Iniiii..” jawab kami sambil pamer gigi.
”Hah? Ngapain pada beli penggorengan? Kayak gak ada aja di sana.”
”Ih, Dinda, ini beda, dari ikeeaaaa..”
”Tahu tuh anak-anak, pada menggila. Loe gak liat aja yang mereka turunin dari keranjang, lebih gak masuk akal!”
”Ih Dewi, yang penting kan kita seneng, ya gals?”
”Hooh...”
”Loe seneng gak?”
”Seneng.”
”Loe?”
”Hihi.. seneng!”

Banquette.

Masih di tempat yang sama, kami makan malam bersama, kali ini tanpa Abah, Mama dan Sufi. Menu malam ini, beda. Aku coba nasi ayam. Hmm.. nasinya hainam. Enak! Memang benar enak, plus lapar. ^^V

Perut penuh, terisi lagi energi. Manfaatkan dengan baik untuk foto-foto sebelum pulang, gals!!!

-bersambung-

Monday, May 17, 2010

Cerita dari Singapura - delapan

Day 1:
Changi Airport.
Sebagai bandara ketiga yang pernah kusinggahi, Changi ini sungguh mengubah image bandara yang sudah ada di kepala. Apa itu Bandara Adi Sucipto dan Soekarno-Hatta, dingin. Begini neh baru bandara, mampu merubah aura. Membuat pendatang sadar, aku maksudnya, kalau ini sudah bukan di Indonesia, lagi.

Ckkkk..cckk... Itu lantai, cling, kotak lebar, entah marmer atau bukan, yang jelas terlihat kinclong, bersih dan modern. Juga dindingnya, senada. Belum lagi desainnya, mantap. Benar keputusan kita, Yenq, keluar negeri saat natal dan tahun baru. Huhuhu.. Here we come, Santa!

Entah memang benar atau perasaanku saja, Changi jauh lebih luas dari Soekarno-Hatta. Kalau salah, sayang sekali, mari kita salahkan desainer bandara kita, teman-teman! Huuu... Belum habis kagumku pada bandara ini, tiba-tiba aku sampai di salah satu bagian bandara di mana aku menuruni escalator di tengah kaca-kaca. Ya, kaca. Di atas, dinding kiri, kanan, cermin semua. Apa hebatnya? Hhhmm.. apa yah? Terasa modern dan futuristik!

Di bawah kudapati toko-toko souvenir layaknya bandara. Lalu kami pun keluar, memasukkan barang-barang ke bagasi mobil Sufi, sambil kemudian mengikhlaskan Abah membawa itu semua ke rumah mereka, di daerah Fajar atau Segar, gitu! Jangan tanya di mana. Aku kan baru sampai!
”Dinda, kira-kira di mana yang kalo kita foto, orang akan tahu kalo itu Singapura?” Hahahaha.. Beneran, aku bertanya seperti itu padanya. Dinda pun menganjurkan menara yang ada di belakang kami. Entah itu menara apa, aku nurut saja. Dan voila! Ini dia hasilnya:

You know what is the best part of Changi Airport? This one:

Skytrain, thats how they call it. Keren yaaaaahhh?? Hooh, itu kesan pertamaku pada alat ini. Dia lewat di samping, di luar pintu kaca. ”Din, Dinda, itu yang namanya MRT? Kita akan naik itu gak nanti?” Please, naik, please. ”Itu skytrain, buat pindah antar terminal, di bandara aja. Tapi tenang, nanti kita naik MRT kok, Mbak!”

Yup! Jangan iri saudara-saudara, aku, kami, menaiki skytrain ini untuk pindah dari terminal satu ke terminal lain, bukannya lupa tapi aku memang tidak tahu terminal mana saja yang sudah kusinggahi. Kami pun duduk di kursi menanti skytrain datang lagi, dan ketika dia datang mendekat, saat itu lah aku menemukan one of modern country’s magic, relnya cuma sattuuu!!! Heh! Jangan bilang norak, seumur hidup baru ini kereta yang relnya cuma satu yang gw lliat pake mata sendiri. Masya Allah, beneran cuma satu itu rel di tengah. Gak terbalik lagi, keretanya.

Kesenjangan sosial negara maju dan negara berkembang, satu.

Belum seberapa, baru masuk kereta, another magic comes, gak ada supirnya! Haha! Serius gw, ini kereta kayak di Harry Potter aja. Ternyata computerized, cckk..ckk.. Kalo di negaraku di pakai ini kereta, sudah berapa banyak orang yang mati kejepit pintu yaaa?? Hahahaha...

”Yan, Yan, tarik nafas, Yan!”
”Kenapa, bow?”
”Ini udara Singapura, mahal!”
”Hahahaha.. Iya yah, abis berapa juta neh kita buat nafas di sini!”
”Hahahaha.. Oon loe!”
”Loe yang oon!”

”Mbak, kita beli tiket MRT dulu. Ini bisa dipake buat naik MRT, bis, taxi juga. Sistemnya isi ulang, ada mesinnya. Nanti Sufi tunjukkin caranya. Sekarang kita beli dulu kartunya. Dinda ada tiga, siapa yang mau pake? Berarti harus beli dua lagi.”

Kesenjangan sosial negara maju dan negara berkembang, dua.

Di sono noh, di tumpah darahku, masih pake receh yang dekil and the kumel. Transfer bakteri dan virus dari penumpang laen, dari abang kenek juga. Hiks!
”Din, Din, uang pecahan seribu gede gak? Kita cuma ada selembar doank neh!”
”Hahaha.. Boleh, kalo ada.”
”Gw pikir kayak di Indonesia, kalo jajan gak boleh pake uang gede, ntar diamarahin.”
”Heh? Beneran seribuan, Mbak? Gila! Umpetin-umpetin! Itu gede banget, tahu! Orang pegang lima puluhan aja udah nengok! Ini lagi seribuan!”
”Katanya gak papa..”
Damn! Dinda pun gak percaya kalo potongan kayak kita orang punya seribuan, guys! Hiks..hiks...

”Coba aja sih, Mbak. Biar Sufi yang bilang nanti.”
”Oke, oke.”
Singapur kan pake bahasa Inggris, gw juga bisa kali beli sendiri.

Jadilah aku dan Dian yang membeli kartu baru, sementara Dewi, Yeyen dan Anast top up, mengisi ulang kartu yang dari Dinda. Eh, udah giliran kami sekarang.

”Wacuceyanwljkhifasna?”
Heh?
”We want to buy a new card, please.”
”Wiamgneuanbjsnien.”
Aku dan Dian saling bertatap, tak mesra.
”Hjebauiaejafnk.”
Sufi mengambil alih.
”Wnamnuebgjrn.”
Pembicaraan berjalan lancar, transaksi selesai.
Anjrit, Singlish!
”Loe ngerti kagak, Yan?”
”Boro-boro, gw pikir itu Nci ngomong bahasa planet mana, lagi?”
”Hahahaha.. Gimana entar kita belanja yah?”
”Hahahaha.. Aventurier!”
”I’m ready, Singapour!”
”Yeah! We’re ready, Singapour!”
”Hahahaha...”

Bismillah.. MRT pertama.

Kalian tahu bagaimana caranya antri di negara maju? Begini, berdiri di, lagi-lagi, belakang garis kuning, cari di bawah. Nah, nanti MRT akan berhenti di posisi yang pas, selalu begitu, kecuali komputernya hang, kena virus Dian Sastro. Ada garis kuning yang membatasi pintu nantinya kalau sudah berhenti, di sisi kiri dan kanan. Bagi penumpang yang mau naik, antri lah di sisi kiri dan kanan, jangan di tengah. Karena di tengah garis itu wilayah mereka yang baru turun dari kereta. Satu lagi, jangan naik sebelum seluruh penumpang yang akan turun habis, tunggu saja, kalau sudah beres baru kita naik. Eits, jangan ngebut! Gak perlu ngebut, gak perlu rusuh. Santai saja. Kenapa? Karena orang-orang di sana tidak suka saling menyakiti. Very civilized.

Kesenjangan sosial negara maju dan negara berkembang, tiga. Hiks. How I love living here.

Kursinya oranye, kayak metro mini. Ada Mbak yang akan ngomong seperti di TransJakarta. Nah, di sisi atas pintu ada peta jalur MRT, ada jalur merah, ungu dan hijau. Masya Allah, di tiap kursi paling pinggir ada tulisan, kalau kursi itu untuk manula. Jadi, barangsiapa yang duduk di kursi paling pinggir, siaga lah selalu. Jikalau ada manula atau orang yang sekiranya butuh duduk, people with special needs, berdirilah. Karena kursi itu diperuntukkan bagi mereka. Ya Allah, betapa ku merasa sangat dekat dengan ajaranmu di sini.

Merasakan laju MRT yang cepat tapi tak memacu jantung, aku dan Yeyen sibuk berusaha memahami di mana kami harus turun untuk menuju rumah Sufi. Dian dan Anast memberi saran yang manis sekali, ”Udah, ada Dinda Sufi ini, ntar juga sampe! Ngapain loe berdua ribut-ribut!” Untunglah Dora dan Nobita tak main dalam film yang sama.

Sehabis MRT, kami sambung dengan LRT karena ternyata rumah Sufi ini agak jauh, pemirsa. Bisa gak yah dibilang Singapur coret? Hahaha.. Kami lalu turun di stasiun Segar, lalu jalan kaki. Rumah di sana, hmmm... apartemen semua. Sebagai sesama orang Indonesia pastilah kalian paham kalo kukatakan apartemen, kan? Gedung.

Lucu deh! Jadi rumah-rumah di Singapur itu perpaduan antara rumah susun dan apartemen di Jakarta. Rumah susun karena bentuknya bangunan bertingkat-tingkat. Apartemen karena kerapihan dan kebersihannya. Rumah Sufi terletak di gedung bercat hijau, lantai tiga. Kami naik lift ke sana. Di satu lantai ada empat rumah yang halamannya berhadapan membentuk huruf U. Sufi dan Dinda tinggal di sisi kiri lift, paling pojok.

Rumah Sufi.
Di depan pintu ada rak sepatu, kami lepaslah sepatu-sepatu kami di sana. Lalu masuk ke dalam rumah. Wow! It is a home! Tak seperti yang kubayangkan. Tak dingin dan sok modern seperti apartemen. It’s truly a home. Ada ruang tamu, tiga kamar dan dapur memanjang di mana di ujungnya ada jendela yang jikalau kita melongok ke luar ada tiang-tiang jemuran Singapura! Hahaha.. Di kiri jendela ada kamar mandi mini tanpa bak, ada shower dan WC jongkok di sana. Juga pipa-pipa besar yang menjulang ke atas serta menjulur ke bawah.

”Assalamualaikum, Ega datang!”
”Assalamualaikum!”
”Waalaikumsalam!” jawab Abah dan Mamah. Mirip Sufi, dua-duanya. Ya iya lah, bapak ibunya!

Kami berlima menempati kamar Dinda dan Sufi. Mereka? Numpang di kamar adiknya Sufi, sementara. ^^V Ada ranjang besi ukuran besar, tv besar dengan saluran Singapura! Huhuhu.. Come on, Dega! Sebuah lemari besar serta, pernak pernik Manchester United! Hahahaha.. Jangan sampai Sarap ke sini, bisa diacak-acak sama dia nanti! Hahahaha.. p.s. Sarap itu pacarku. ;p

Setelah istirahat, sholat dan beres-beres, kami pun pergi makan malam, ke banquette katanya. Apa itu? Kita lihat saja nanti.

Kami berlima, Dinda, Sufi, Abah, Mamah berjalan kaki. Hmm... bersih dan aman sekali di sini. Ada jogging track, ada kali besar dan lebar tapi tak ada airnya, ada ruang pertemuan para penghuni apartemen, ada anjing yang sedang jalan-jalan bersama majikan. Hihi.. Masih seperti mimpi, rasanya.

Banquette.
Oh itu dia, seperti mall, tapi kecil. Di lantai dasar ada semacam food court, kami masuk kesana. Aku sudah mulai baca-baca, hunting makanan, kiri kanan. Eh, eh! Kok Abah Mamah maju terus seh, kemana itu? Ada pintuuu.. Semacam pintu rahasia saja. Di dalam foodcourt ada foodcourt, saudara! Apa bedanya?
”Din, Din, apa bedanya sama yang di luar, Din?”
”Kalo ini khusus Muslim, di luar gak dijamin halal apa nggak.”
”Ooooohhh...” kami manyun berbarengan.

”Eh, pesen apa loe?”
”Meneketehe. Loe apaan?”
”Kita lihat-lihat dulu yuk!”
”Pesanlah! Pesan. Tengok-tengok dulu!”
”Iya, Mah!”

Aku tergiur dengan deretan sayuran segar dekat pintu tadi.
”Din, gw mau itu deh Din! Gimana caranya?”
”Sini, Dinda temenin! Jadi Mbak Dega pilih enam item, nanti dicampur kuah, mau sup atau kari pilihannya.”
”Waahh.. pake nasi bisa?”
”Hehehe.. iya, bisa.”
”Harganya berapa?”
”Tiga dolar.”
Tujuh kali tiga, dua satu, murah.
”Pilih dulu.”
Waduh! Menu makan malam pertama yang cukup membingungkan, karena banyak juga yang tak kukenal. Alah! Sikat aja, gak enak tinggal dilepeh!

”Udah Din!”
”Kuahnya?”
”Sop aja!”
”Pake nasi kan?”
”Iya.”
Widiiihh.. keren, sayur dan lauk segar yang tadi kupilih sekarang pada berendam di kuah bening sup. Hhhmmm.. Yummy! Ini baru makanan sehat!
”Udah, kakak duduk aja. Biar Dinda yang bayar.”
”Loh kok?”
”Mamah sama Abah yang traktir.”
”Eh, seriusan?”
”Iya, udah kakak duduk aja.”
”Alhamdulillah...”

Aku lupa anak-anak memesan apa, sudah sibuk sendiri, lapar, lelah dan excited. Alhamdulillah ya Allah. Terima kasih atas segala nikmatmu. Sungguh Engkau maha pengabul mimpi.

Allahummabariklanafimmarozaktanahuwakinaadzabannaar. Amin...
Abah yang gak mau difoto teuteup aja gaya!

-bersambung-