Wednesday, April 25, 2012
Kangen Mbah Uwak
Tuesday, October 11, 2011
Mama Pesta, une mere pas comme les autres.

1. Instead of asking her only daughter, "When will you marry?" she asked, "When will you continue your study?"
2. If other parents in Jakarta are proud having children work in Business District such as Sudirman-Thamrin, that doesn't go with her. This what she told me, "Why don't you re-start to work as a teacher? Working as an employee maybe sounds cool, but you won't upgrading much. Not as much as a teacher does."
3. When my besties worked hard to fulfill their mom's wishes for their wedding party, well I don't. She just gave me some amount, and leave the work to me. See how cool she is!
4. I don't have 'a must and a mustn't' list from her. She only told me to do my thing by my own way.
5. She texted me yesterday, on my bday: "Met Ultah ya, Teh. Semoga panjang umur, sehat selalu dan bertambah disayang kekasihnya. Dan segala rencana yang akan dijalani dapat berjalan dengan lancar. Dan tetap dalam lindungan Allah SWT. Amin." Now you know what I mean?
Friday, June 24, 2011
What are your favorite books?

Hhhmmm.. I suddenly listing on mind. Some books come immediately, some are just gone. But if we change the question, what is your favorite book? I can surely answer this. Petit Prince.
Little Prince, translated in English, Pangeran Kecil in Bahasa Indonesia. I firstly knew this book around my first year in university. There was a small bookstore near house where Dyence, Nasto and I, both are my besties, usually visited on our way back home. I forgot the store name, but it's a special bookstore which not only sell the bestsellers, but also the uncommoners. It's a type of signatured bookstore, like the one of Kathleen Kelly in You've Got Mail. Feel like i wanna have one in the future.
Back to that time, I found Pangeran Kecil there. Eye-catching, with a draw of the little prince in color. Seducing me with his lonely pose; standing alone as seeing the sky. No needed so long to think, I grabbed it. And it wasn't expensive, just like almost all books they sell there. May God bless the owner.
So there was I, hypnotized by the prince. Finally found my true friend. I still can't believe how Antoine de Saint-Exupery read me and write it so beautifully. That's how I feel about the book. And from that moment on, the prince, Exupery and I are friends.
People often talk a lot about their friends, right? So did I. I talked about them to Monsieur Carles, a french businessman to whom I worked as an interpreter. He said that he read and love it. It's one of a kind. Children and philosophy students read it. That is what we call a book for all. Hmm.. what a good remark, Monsieur!
This is the best part. Monsieur Carles sent me Petit Prince from France! See how three of us meant for each other! Lol! So I have him in Bahasa and French. And one day, iIfound him in English, so I bought it! Yay!!
Nasto asked me to collect it in many languages. A quoi ca sert, Nasto? Since I can only speak those three languages. Lol! O yes, since I spread the magic of Little Prince everywhere, I have one special person who truly fell for him.
My dear Syarif, please allow me to share your beautiful write.
You all, be prepared for the journey. And you my Little Prince, the trip is yours.
Tuesday, June 21, 2011
Il pleure dans mon coeur
Il pleure dans mon cœur
Il pleure dans mon cœur
Comme il pleut sur la ville.
Quelle est cette langueur
Qui pénètre mon cœur ?
Ô bruit doux de la pluie
Par terre et sur les toits !
Pour un cœur qui s’ennuie,
Ô le chant de la pluie !
Il pleure sans raison
Dans ce cœur qui s’écœure.
Quoi ! Nulle trahison ?
Ce deuil est sans raison.
C’est bien la pire peine
De ne savoir pourquoi,
Sans amour et sans haine,
Mon cœur a tant de peine.
Paul Verlaine
Monday, March 21, 2011
Cuisiner en m'amusant!
En fait ce n'est pas une nouvelle chose pour moi, mais dernièrement, cuisiner devient une activité amusante qui peut m'aider à m'échapper de la routine. Je suis encore dans un niveau de « trial and error », débutante. Je cherche des recettes en internet, celles qui sont simples. Jamie Olivier est un de mes chefs préférés. Il cuisine des repas européens et américains, la plus part. Comme des caractéristiques de ces repas sont simples et gardent le gout originel des ingrédients, j’aime bien.
Mon défi est de cuisinier ces repas en gout indonésien ; salé et épicé. Oui, je suis indonésienne, moi ! Je n’imite pas toujours des recettes que j’ai trouvées, j’aussi improvise. Voici mon improvisation :
Jamie Olivier : Pomme de terre, brocoli et saucisse frit.
Moi : Je fais frire une pomme de terre et trois saucisses. Pour le brocoli, après je l’ai lavé, je le mes dans la farine qu’on utilise spécialement pour « fried chicken » et je le fais frire jusqu’il devient croquant. La Voila ! Mon diner est prêt. Mais, n’oublie pas de le manger avec la sauce des piments.
Jamie Olivier : Omelette, saucisse frit et des légumes.
Moi : Je fais frire trois saucisses, je fais bouillir des légumes et j’ajoute du lait dans mon omelette, c’est ce que Jamie ne fait pas. Voila mon petit-déjeuner.
Jamie Olivier : Pancake avec la glace de la fraise et des fraises pour le « topping. »
Moi : Je n’ajoute pas des œufs dans mon omelette. Ca gout pire avec des œufs dedans, d’après moi. Mais, je suis d’accord avec Jamie sur la glace et des fraises.
Jamie Olivier : Spaghetti avec la sauce des tomates et de la viande.
Moi : Je suis totalement d’accord avec lui.
Vous voyez ? Je suis encore débutante, moi. Mais tout d’un coup, je fais des progrès. Allez- cuisinier !
Wednesday, June 9, 2010
K untuk Komitmen.
The trait of sincere and steadfast fixity of purpose; the act of binding yourself (intellectually or emotionally) to a course of action. (Wordnetweb)
"But you must not forget it. You become responsible, forever, for what you have tamed." (Antoine de Saint-Exupery)
Jika boleh mengutip dari diri sendiri, maka biarkanlah, K untuk sebuah Komitmen. Di atas segalanya.
Orang tua yang tak meninggalkan anak-anaknya, untuk alasan apapun.
Sahabat yang tak memilih sahabat lainnya, saja.
Kekasih yang tak meludahkan janjinya, sendiri.
Sahabat laki-laki yang tak mengalihkan tatap hanya untuk seorang wanita.
Teman berbagi yang tak sembarangan membagi, jika saja benar berhati.
Partner bisnis yang menghargai tiap kata, karena ada kata ada harga.
Niscaya berselimut damai lah Engkau di sana, Saint-Exupery.
Lihatlah! Para kamus mengamini, darahku pun mengaliri.
Damai. Damai. Hembusku, mengalun, menyelipnya di antara sela, hembus, hembusku.
Tiba kah di sana? Terasa? Itu hembusku, wahai santoku.
Hembusku.
Rasakanlah.
Dan kini, sudi kiranya Kau hembuskan kembali, duhai Saint-Exupery.
Bablas semua sela, hembus sekencangnya, hembus, hembuslah!
Agar sejuk wajah ini. Dama hati ini.
Lebih kencang lagi, santoku, lebih kencang lagi!
Terima kasih.
Iya, aku suka. Hembus kencang, kencang, hingga hilang sendiri di hati ini.
Hilang. Sendiri.
Kau tahu apa yang membuatku memujamu? Kau tak pernah takut sendiri.
Tak takut sendiri.
Kiri dan kanan; Tuhan mencipta dua tangan. Ku tahu pasti ada alasan.

Agar keduanya bisa saling berpegangan.
Tuesday, February 2, 2010
Edith Piaf
Teman yang silih berganti menemani; terbang ke angkasa imaji, berdansa dengan gaun megar putih, berpeluh di padang pasir, mekar bersama aroma romantis, berdecak bak cicak.
Lagi, masih banyak lagi! Kuperkenalkan satu per satu, ya?
Proudly present, temanku, Madame Edith Piaf!
Bernyanyi, begitulah biasanya kami menghabiskan waktu bersama.
Mau tahu kesukaan kami?
Voila!
Non, Je Ne Regrette Rien
Non, rien de rien
Non, je ne regrette rien
Ni le bien qu'on m'a fait
Ni le mal tout ça m’est bien égal
Non, rien de rien
Non, je ne regrette rien
C’est payé, balayé, oublié
Je me fous du passé
Avec mes souvenirs
J’ai allumé le feu
Mes chagrins, mes plaisirs
Je n'ai plus besoin d'eux
Balayées des amours
Et tous leurs trémolos
Balayés pour toujours
Je repars à zéro
Non, rien de rien
Non, je ne regrette rien
Ni le bien qu'on m'a fait
Ni le mal tout ça m’est bien égal
Non, rien de rien
Non, je ne regrette rien
Car ma vie, car mes joies
Aujourd'hui, ça commence avec toi!
http://www.youtube.com/watch?v=Q3Kvu6Kgp88&feature=related
Ô, comme vous l'avez bien chantée, Madame!
Sunday, January 31, 2010
Bercerita bersama sore – empat belas
Hihi.. Biarin! Memang aku guru tak bertanggung jawab, khusus untuk kasus ini saja, ya! Haha! Magali, namanya Magali. Guru native pertamaku di kampus, mengajar rédaction, menulis. Perempuan, Sore! Itu kan nama perempuan. Usianya aku tak tahu. Kisaran berapa? Itu juga ku tak tahu. Haha, memang aku tak pandai mengisar usia kok. Lagipula bukan itu yang mau kuceritakan.
Begini, Magali ini ku suka gayanya. Dengan celana panjang model lebar di bawah, apa ya nama modelnya? Dipadukan dengan kemeja dan cepolan tambut ikalnya, sungguh ku suka. Bukan itu saja, juga cara mengajarnya. Jelas dan mudah dimengerti. Selain mengajarkan menulis, Magali juga suka mengajak kami berdiskusi, tentang fenomena sosial yang diangkatnya dari artikel Prancis yang kemudian kami hubungkan dan bandingkan dengan keadaan di Indonesia.
La peine de mort atau la peine capitale, hukuman mati. Salah satu tema yang kami bahas seru di kelas. Masih terasa antusiasme orang-orang di kelas hari itu. Magali membawa artikel tentang negara-negara Eropa, termasuk Prancis yang sudah menghapus hukuman mati sejak bertahun-tahun lamanya. Di artikel itu tertulis bahwa semua orang memiliki hak untuk hidup dan kita sebagai manusia tidak memiliki hak atas nyawa orang lain. Kita tak boleh membunuh, mengapa kita akhirnya melegalkan pembunuhan, begitulah kira-kira isi artikelnya.
Pembahasan artikel melebar saat Magali menanyakan pendapat kami tentang hukuman mati, ada yang setuju dan tentu saja ada yang menentang. Kami pun memaparkan alasan sikap kami tersebut, dan bagi yang mendukung, diminta juga untuk menjelaskan kejahatan apakah yang pantas mendapat hukuman mati.
Aku, suka sekali berdiskusi, Sore. Suka sekali. Terutama tentang manusia dan kehidupannya. Siang itu Magali mempertanyakan kepasifanku di kelas, tak seperti biasa, ujarnya. Wahai Magali, dosenku, maaf kala itu tak bersuaraku. Kini untukmu, hanya untukmu, kusampaikan pendapatku.
Ku sependapat dengan orang-orang Eropa bahwa manusia tak berhak pada nyawa manusia lainnya. Hanya Tuhan yang punya kuasa, Sang Peniup Nyawa. Tapi Magali, ada satu kejahatan yang tak termaafkan untukku, kejahatan yang sekiranya untuk menghentikannya perlu lah diterapkan itu hukuman mati. Karena kejahatan yang satu ini tak kunjung habis siksaannya, tak berujung dan terus menyebarkan kejahatannya. Pengedar narkoba.
Perlu lah menghukum mati mereka semua. Karena kejahatan yang tak terlihat langsung kejahatannya ini tak tanggung-tanggung menyebar siksanya. Lihatlah negaraku ini sekarang, Magali. Lihatlah! Betapa berbahagianya para pengedar narkoba itu, yang masih bernafas di atas siksa para korbannya. Pemakai, ibunya, ayahnya, kakak dan adiknya, istri, suami dan anak-anaknya, tetangganya, teman-temannya, sahabatnya, gurunya, rekan kerjanya, presidennya, bangsanya.
Kau setuju dengan ku kah, Magali? Maaf harus ku tunda sekian lama untuk membaginya, maaf. Semoga kau tak lagi kecewa padaku setelah ini, bukannya ku tak ingin menyampaikannya padamu sedari dulu, hanya saja suaraku tersedak kala itu, tersangkut di kerongkongan, tak kunjung keluar. Kulupa bahwa kau ajarkan ku menulis, kini menulis ku untukmu, Magali.
Aurélie, guru nativeku yang kedua. Mengajar kelas lanjutan Magali. Imut, satu kata yang tepat untuk menggambarkannya. Dengan rambut pendek keritingnya, tubuh kecil serta wajah polos nan pintar berkacamata. Volume suaranya di kelas pun jauh berbeda dengan Magali. Berbeda.
Peta, itu yang kuingat darinya. Menemukan fakta bahwa geografi kami tentang Prancis bisa dibilang hampir tidak tahu apa-apa, Aurélie membelokkan materi ke bidang ini, yang sesungguhnya bukan bagiannya. Maka belajar kami tentang Prancis negeri hexagon karena bentuknya yang menyerupai segi lima, kami berjalan-jalan mulai dari lapisan luarnya; pembatas daratan maupun lautan, masuk pula kami ke dalam, menghampiri kota-kota besar, mendaki gunung dan bukitnya, juga berbasah-basahan di sungai indahnya.
Peta oh peta, kini aku paham mengapa Dora sungguh mencintainya. Bukannya aku baru mengenal peta, tapi oh, entah apa yang membuatku sekarang menyukainya, peta. Di mana dunia bercerita, tentang dirinya. Tapi Aurélie, aku tak bisa mengingat semuanya, sepertimu. Kurasa cukup sementara kala ku seringkali tergoda melihatnya, peta dunia, untuk kemudian mendengarnya bercerita.
Ah, kau tahu siapa yang banyak mengajarkanku bercerita, dalam bahasa Prancis, terutama? Madame Amalia namanya, Amalia Saleh. Madame Amal, begitu kami memanggilnya, kalau Saleh nama ayahnya, begitu cerita Madame pada kami di salah satu kelasnya.
”Bonjour, je m’appelle Amalia. Et vous, vous vous appellez comment?” Itu kalimat pertama Madame di kelas, Sore. Masya Allah, batinku. Bicara apa, guruku itu ? Terdengar keren, memang, tapi aku tak paham. Dan sepertinya bukan aku saja yang kebingungan, Sore. Maka Madame mengulang kembali kalimatnya, perlahan. Dan voila ! Mengerti aku. Itu Madame bilang kalau namanya Amalia, terus bertanya nama kami siapa. Menjawab kami satu per satu, iya, dalam bahasa Prancis donk, Sore! Berurutan mengikuti jari Madame.
Harus sistematis, itu pesan yang melekat amat rekat di otakku. Pesan Madame. Kalau bercerita, baik lisan maupun tulisan haruslah kubuat kerangka terlebih dahulu. Salah satu cara favoritku adalah dengan mempereteli judul lalu memaparkannya, mengelemnya satu per satu lalu memberi informasi berdasarkan fakta, dan tak lupa, menyimpulkan dengan mengikutsertakan pendapat pribadiku. Sangat penting kata Madame, menyuarakan pendapat kita. Untuk menunjukkan pada orang, juri saat ujian, bahwa kita ikut serta di cerita dunia, kita melihat, mendengar juga ikut merasa. Setuju atau tidak setuju kita punya alasan, yang kita cipta sendiri, bukan ikut-ikutan.
Jangan ragu untuk menutup dengan saran atau masukan, tak perlu takut menyampaikan hanya karena juri atau siapapun yang mendengar tak bisa membantu kita, tak perlu. Dengan bersuara saja, kita sudah mengeluarkan diri kita dari kumpulan orang-orang yang tak berbuat apa-apa untuk dunia ini, begitu. Dan kau tahu, Sore. Sejak itulah, di kelas Madame Amalia, kusuka berbicara, bercerita. Tak ragu ku menatap dunia, mengikuti perjalanannya, dan tentu saja untuk kemudian kutangkap dan kumaknai. Yang kini kuceritakan juga padamu, Sore. Semoga kau suka, ya!
Membaca? Kalau itu di kelas yang lain, Sore. Madame Mardiani pemiliknya, pencinta karya sastra. Itu yang kami pelajari di kelasnya, sastra Prancis, mulai dari Gargantua hingga l’Oeuvre au noir. Di kelas Madame kupahami cerita Sartre, kutahu kisah hidup Simone de Beauvoir, terbuai ku oleh indahnya puisi-puisi Apollinaire, menangis bersama Paul Verlaine, dan akhirnya bertemu ku dengan ”teman” satu dunia, Saint Exupery.
Oh, Madame! Betapa ku haus akan membaca. Masih lekat di ingatanku le travail de syntagmatique et paradigmatique. ”Jangan lupa! Setiap menyelesaikan satu buku, bedah bukunya ya!” ”Oui, Madame,” begitu jawabku dalam hati. Tapi sekeluarnya ku dari kelas Madame, belum pernah kumulai lagi tâche itu. Nanti Madame, nanti, suatu hari nanti. Haha! Mudah-mudahan tidak hanya sekedar janji.
Iya, benar. Kini kau tahu di mana ku mengasah ini semua, bukan? Benar sekali, Sore. Menulis, berpetualang mencari cerita bersama peta, berbicara, berdiskusi, membaca.
Bagaimana caraku berterima kasih pada mereka, Sore?
Benar, ku juga berpikir seperti itu. Kau sependapat, ternyata.
Baiklah. Senang rasanya mendapat ”iya”, terutama darimu.
Aku, akan terus menulis, bercerita.
Berjalan-jalan menyusuri tempat-tempat baru, mempelajari cerita dunia.
Berbicara, mengeluarkan pendapat, berdiskusi tentangnya.
Membaca dan membaca, karena sebelum keluar melalui pintu, aku butuh itu jendela dunia, untuk mengintip, menatapnya, ’tuk kemudian mendapatkan cerita langsung darinya, dari dunia.
Chères Mesdames, rien ne peut décrire mon grand merci.
Mais voilà, mes écritures, mes histoires.
La preuve de la continuité du travail que vous m’avez donné.
La continuité qui s’arrêtera à la fin de ma vie.
-bersambung-
Monday, December 21, 2009
Selamat harimu, Mama.
Tulang pipimu, tulang pipiku
Cokelat matamu, cokelat mataku
Struktur gigimu, struktur gigiku
Tipis kulitmu, tipis kulitku
Kecil tubuhmu, kecil tubuhku
Yakinmu jadi tanyaku
Sukamu seringkali gundahku
Kebiasaanmu masih pahamku
Mimpimu itu banggaku
Tanyamu tentang citaku, bahagiaku atas tanyamu
Kritikmu akan pekerjaanku, menganggukku setuju
Doamu untuk masa depanku, mengaminku dalam kalbu
Lemahmu bukan laraku
Kuatmu kuserap selalu
Darahmu kebanggaanku
Bahagiamu aminku tiap waktu
Selamat harimu, Mama.
Sunday, November 15, 2009
Untuk Madame, yang keseribu kalinya
Aku takut. Bagaimana jika satu hari nanti tak dapat kudengar lagi suaranya? Tak mampu lagi kubaca tandanya? Lebih mengerikan lagi, tak mau kuhiraukan semua, semua pintanya.
Jangan. Aku tak mau jadi aku yang itu.
Wahai semua, alam semesta, berdoalah untukku. Berdoalah untuk kami. Agar tak kudung tali ini. Izinkan telingaku selalu mengindahkan suaranya, terangi mataku hingga tak henti kutatap wajahnya, taklukan hatiku untuk segala pintanya. Semua.
Pagi itu, dua hari lalu, melintas sepintas tak kunjung tuntas, wajahnya. Samar. Tapi kukenali ia. Hadir sehari penuh, di hariku.
Pagi itu, dua hari lalu, terngiangku akan katanya, tentang kesetiaan, tentang pengorbanan. Betapa tak boleh ku menjadi sombong setelah semuanya. Tak ingin ia, jika ku menjadi seorang bakhil akan waktu dan energi untuk akarku. Kecewa sekali ia, jika tangan-tangan kami tak lagi saling tertaut, erat. Meneruskan semua yang telah ia torehkan, yang telah ia ceritakan, dengan tinta hitam nan membanggakan di buku kami. Pastilah sedih ia jika harus menyaksikan jari-jari anaknya merenggang, perlahan saling melepas; jari dengan jari, kulit dengan kulit, sentuhan dengan sentuhan, akar dengan akar.
Aku takut. Bagaimana jika satu hari nanti tak kulihat lagi wajah-wajah mereka? Anak-anaknya. Mereka, kami, semua. Bagaimana jika jenuh kami tertawa bersama? Bagaimana jika akar telah terbabat semua? Tak tersisa. Bagaimana jika ternyata anak lah pembunuh mimpi-mimpi sang Bunda? Jangan. Jangan.
Pagi itu, satu hari lalu, kubaca tandanya dengan jelas, pahamku. Kedatangannya, suaranya, tandanya.
Pagi itu, satu hari lalu, kugenggam akarku erat, erat. Tersenyumku bahagia karenanya. Kutahu harus apa.
Pagi itu, satu hari lalu, kupejamkan mataku di tempat itu, di rumah itu, tempat biasa kami bersama, para bunda bersama anak-anaknya. Menariku mundur ke waktu yang tlah berlalu. Itu dia, kami, duduk di sana, tertawa, bersama, berbagi cerita.
Pagi itu, satu hari lalu, kubuka mataku, mendadak memejamku kembali. Tak banyak yang duduk bersama, mana tawa, kembalikan semua cerita.
Haruskah kubuka atau kupejamkan lagi?
Yang mana nyata dan yang tinggal cerita?
Kuenyahkan takutku, pergi.
Ku rindu dia.
Ku rindu dia.
Rindukah kalian semua padanya?
Rindukah?
Jangan pergi.
Mana jari-jari? Mari kita kumpulkan lagi!
Genggam lagi, seperti dulu, seperti kemarin.
Ini jariku, genggamlah erat, jangan dilepas.
Aku tahu kau belum pergi, belum kan?
Hanya lupa. Pasti hanya lupa.
Tak apa, tak mengapa.
Bagaimana jika kita bersama lagi? Iya, kita semua.
Tertawa, berbagi cerita, berbahagia.
Bahagia kita, pasti bahagianya.
Iya kan, Madame?
Maafkan kami, maafkan aku.
Tetaplah tersenyum di sana, jangan lelah.
Izinkan kami melanjutkan cerita, ceritamu, cerita indahmu.
Untukmu Madame, yang keseribu kalinya.