Thursday, April 28, 2011

Bercerita bersama sore – dua puluh empat


Hola, Sore! Sini! Aku lagi main, nih! Lagi seru. Kamu aja deh yang ke sini! Sini, duduk di sampingku. Manis-manis.

Ini mainanku setiap hari, Sore. Setibanya di kantor, kubuka semua jendela maya yang kubutuhkan selama sehari bekerja. Ada gmail, office mail, detik, blogspot, radio streaming, google dan facebook. Ah, facebook! Yup. Alih-alih melarang karyawannya “bermain” facebook di kantor, kantorku membebaskan semuanya untuk berselancar dengan merdeka. Asal, pekerjaan beres semua. Sudah bosan sejujurnya memiliki akun facebook, bosan. Fyuuhh.. Sungguh membosankan mengetahui apa yang sedang temanku kerjakan, siapa yang masih berpasangan, seberapa tenar mereka mengacu pada jumlah teman yang ada, bla bla bla.. bla bla bla.. Sooo boring!

Terus kenapa masih punya akun? Hihi.. For only one reason, scrabble! Yup, scrabble. Permainan, kalau bisa dibilang sebuah permainan, dengan huruf-huruf tak bermakna sampai mereka dirangkai hingga menjadi bermakna. Ada yang bernilai satu hingga sepuluh! Kusuka X, Z, Q juga W, Y, J dan S. Eh, ini scrabble bahasa Inggris yah! Mau coba juga sih yang Indonesia dan Prancis. Ada tidak yah?

Kali pertama kenal scrabble waktu itu, kecil, SD sepertinya. Waktu itu aku menginap di rumah sepupu, di masa liburan sekolah. Ada itu papan lucu, digelar di karpet. Kotak-kotak kecil tempat huruf tertempel dengan angka kecil tertulis di bawahnya. Juga sandaran huruf seperti kursi taman, memanjang. Setelah melihat bagaimana perlengkapan tadi dimainkan, dua sepupuku mengundangku serta dalam permainan. Pilih tujuh huruf, katanya. Salah, ambil tujuh kotak bertuliskan huruf yang sudah ditelungkupkan. Kuambil dan kududukan di bangku taman. Lalu mulai lah kami bergantian menidurkan kotak-kotak tadi di papan, sambil merangkai kata, tentu saja.

Mudah saja, tiap huruf harus berjalinan, bak rantai, tak boleh terputus. Tak ada batasan jumlah huruf yang ditidurkan di papan, boleh satu, apalagi tujuh. Ada tambahan nilai kalau semua huruf kita berhasil ditidurkan. Lima puluh. Oh iya, cara menghitung nilai tiap kata yang kita susun mudah saja. Papan scrabble terdiri atas kotak-kotak yang sudah tercetak sempurna, dengan warna, bintang, dan tanda-tanda yang bermakna. Hijau; jumlahkan angka-angka pada huruf yang menjalin satu kata yang kita susun. Biru muda; jangan lupa untuk huruf yang terbaring di atasnya dikalikan dua. Biru tua; dikalikan tiga. Oranye; jumlah poin dari kata tersebut dikalikan dua. Merah; dikalikan tiga. Jikalau dalam satu giliran kita bisa membentuk dua kata, maka total kata pertama dijumlah dengan kata kedua. Begitu seterusnya.

Main scrabble di facebook, sudah seribu dua ratus empat puluh dua kali. Haha! Itu terekam, Sore! Makanya aku bisa tahu dengan persis. Dengan persentase empat puluh tujuh persen kemenangan dan sisanya kalah. Skor tertinggiku tiga ratus sembilan puluh lima. Kata terbaik yang bernah kubuat SQUIT, delapan puluh satu poin. Artinya nonsense atau diare dalam bahasa slang. Keren gak sih?

Kau tahu? Bahkan aku punya teman baru yang kukenal lewat scrabble ini. Jaya, namanya. He is also a scrabble mania. Tak sengaja kami bertemu di beberapa partai, akhirnya chat. Oh iya, di samping papan scrabble ada kotak tempat chat dengan pemain lain yang dibaliknya juga ada kamus sederhana untuk kata-kata yang dapat dibentuk dengan dua huruf saja. Jadilah sambil bermain seringkali kami chat. Sama-sama orang Indonesia ternyata. Jago, si Jaya ini, Sore! Benar, persis ayam. Haha.. Kalau jalannya diblokir sama pemain lain, biasanya kami ikut partai berempat, dia akan memberiku jalan. Jadi, daripada membiarkan pemain lain menang, yang biasanya dari negara lain, dia akan membiarkanku menang. Asik, kan?

Saking seringnya chat dan scrabble-an, akhirnya kami pun berkawan, di facebook. Kami saling tahu informasi umum masing-masing. Dan alih-alih terus-terusan bertemu di partai empatan, kami seringkali bermain scrabble berdua. Dan pastinya, hampir selalu dia yang menang. Hahaha...

Jadi begitu, Sore. Kalau ditanya apa permainan favoritku? Kau sudah tahu jawabannya! *wink*


Photo

Wednesday, April 27, 2011

Bercerita bersama sore – dua puluh tiga

Apa olah raga favoritmu, Sore? Ah, kau tidak berolah raga. Hati-hati cepat kendur otot-ototmu, yah! Hahahaa.. Aku suka olah raga, tak banyak, hanya beberapa. Maksudnya olah raga yang bukan untuk tontonan yah, tapi olah raga yang kulakukan.

Favoritku, renang. Yay! Kalau tak salah waktu itu kelas satu SD, Mama mendaftarkanku ke Polonia youth center, les renang. Kolam renang umum yang memilki dua kolam itu –satu kolam besar berair biru dan kolam kecil berair hijau yang berbahaya karena kedalamannya- terletak cukup jauh dari rumah kami, mesti naik mikrolet kurang lebih satu jam. Bermodal baju renang garis-garis biru, kusuka, kacamata renang dan papan pelampung senada, pergi kami kesana. Kali pertama datang ku berkenalan dengan bapak guruku dan beberapa teman lainnya; beberapa gadis kecil dan satu anak lak-laki. Itu di level kami, tingkat pemula. Ada banyak murid lainnya yang berenang di tengah kolam, dengan kedalaman sedang, juga bagian ujung lain yang paling dalam. Kami para pemula, di sisi paling cetek, tak boleh ke bagian lain, begitu instruksi pak guru.

Setelah lari mengelilingi kolam besar sebanyak tiga kali, pak guru akan memimpin stretching, guna menghindari kram. Pak guru kemudian meminta teman-temanku masuk ke kolam, menghadap ke tembok sisi, berpegangan di sana dengan dua tangan dan berkecipapk-kecipak kaki mereka, menyipratkan air ke mana-mana. Aku, masih berdiri di samping pak guru. Siap dengan kacamata melingkari kepala, dan tangan kanan menenteng pelampung. Kenapa aku tak disuruh nyebur juga? Pak guru menengok ke samping, tersenyum, mengambil pelampung dari tanganku, diletakkannya di tangga berjingkat yang membingkai kolam, lalu digaetnya tanganku. Aku, menurut saja. Tiba-tiba, cepat sekali, digendongnya tubuhku dan dilemparkan ke tengah kolam.

Dan di sana, di tengah kolam yang cukup dalam, klepek-klepek aku bagai ikan yang diangkat ke daratan. Dengan tangan mengacung berusaha melewati garis air meminta tolong, pada pak guru, pada mama, pada siapa saja yang ada di pinggir sana. Semua terjadi begitu cepat, juga begitu lama, keduanya. Hingga akhirnya kudapati lengan kekar pak guru menggeretku ke pinggir kolam. Setibanya di daratan, terengah-engah ku bernafas, dengan mata melotot mendapati mama yang riang sekali tertawa, bagai habis menonton srimulat saja. Pak guru tersenyum, tak meminta maaf, menghampiri mama yang masih memamerkan gerahamnya, ”Bagus, bu!” Apa itu artinya? Bete.

Setelah istirahat mengumpulkan kembali nafas normalku, dengan perut kembung kembali ku nyemplung ke kolam. Kali ini pak guru menggunakan cara yang beradab, memintaku dengan baik. Kuturuni tangga yang tersedia, lalu menapak kakiku ke dasar kolam dan berjalan mendekati teman-teman yang sepertinya sedari tadi menantikanku. ”Aku juga dulu begitu!” ”Iya, aku juga!” Sambut mereka. Oke, apapun maksud si pak guru, setidaknya bukan aku satu-satunya. Kemudian lanjut kami ngobrol sambil menyipak-nyipakkan kaki dan tentu saja berpegan erat pada sisi kolam. Yang sesekali dipotong suara pak guru meminta kami berkonsentrasi latihan, bukan ngobrol. Asik juga ternyata!

Kalau disuruh pilih antara telur ceplok dan rebus, akan kupilih ceplok, Sore! Alasannya sederhana, selama kurang lebih tiga tahun berlatih renang, mama selalu menyekokiku dengan telur rebus tiga sampai empat butir, ditambah madu dua sendok. Eneg! Terus-terusan begitu, menu andalan mama. Untungnya sepulang berlatih aku boleh jajan di kantin, ada ketoprak, bakso, nasi atau mie goreng, enak-enak semua. Makanya ketika Inul bilang kalau dia mengonsumsi dua puluh lima telur ayam kampung tiap harinya, sontak ku nyaris muntah. Hahahaa...

Gaya bebas, punggung, katak, akhirnya ku kuasai. Tak sia-sia kan, Sore? Tapi sayang, menjelang memasuki teknik gaya kupu-kupu, aku berhenti latihan. Alasannya? Tak ingat. Coba nanti aku tanyakan pada mama. Senangnya berenang, Kupu!


Sensasi bergerak maju di dalam air, mendorong mereka ke belakang yang kemudian menggelitik dengan riaknya.

Dingin, sunyi, bergerak.


Photo

Monday, April 25, 2011

Bercerita bersama sore – dua puluh dua

Hai Sore! Sungguh melelahkan ya perjuangan kita tiga bulan belakangan ini? Fyuuuhhh.. perjalanan pulang kantor dengan Transjakarta memang pergulatan bercabang tak berujung! Harus melawan para penyalip antrian, pengguna yang walau sudah sore herannya masih memiliki pasokan tenaga besar untuk saling mendorong, ditambah harus melekatkan tubuh di dalam bis dengan para pegawai kantoran lainnya yang sama-sama berkulit lengket hasil asinan keringat seharian, belum lagi kalau sial bertemu dengan orang-orang stres Jakarta! Halah...

Sudah, sudah. Jadi lupa tadi aku mau bercerita apa. Apa yah? Oh iya! Apa hadiah ulang tahun terindah bagimu? Iya, yang pernah kau terima. Apa saja, terserah! Coba ceritakan.

Pelangi? Ooohh.. manisnya... Benar, cantik luar biasa; l’arc en ciel. Beruntung sekali dirimu, Sore. Mendapat pelangi di hari ulang tahun. Pastilah kelakuanmu manis luar biasa, hingga Tuhan memberimu hadiah semanis itu.

Aku? Ada!

Hari itu usiaku genap sembilan belas tahun. Mahasiswa. Seperti tahun-tahun sebelumnya, sungguh kunantikan kedatangannya. Ulang tahun, kusuka. Rasanya, seperti segala kebahagiaan pastilah datang bersamaan, hanya untukku. Tak ada cacat, tak boleh ada cela. Walau nyatanya tak seperti itu, tapi aku tak pernah lelah berharap. Bangun tidur kuterima ucapan, doa dan hadiah dari keluarga tersayang di rumah. Keluarga yang telah tiga tahun menghiasi hari-hariku. Iya, aku sudah tak tinggal bersama Mama, Bapak dan Aran. Kau masih ingat?

Kukenakan baju tercerah yang kupunya, lalu pergi ku ke kampus. Masih satu daerah, di timur Jakarta. Ada tiga kuliah hari itu, tapi tak kuasa ku berkonsentrasi menyerap semua karena hati dan pikiranku melayang lebih cepat ke suatu tempat. Bagai deja vu. Asal kau tahu saja, aku termasuk mahasiswa yang rajin, Sore. Jarang bolos. Tidak seperti masa SMP dan SMA dulu. Kini, belajar sungguh menyenangkan, karena di universitas kita mempelajari bidang yang kita pilih, yang mestinya kita suka. Tak ada lagi itu nama-nama aneh tumbuhan, pasal-pasal yang bahasanya berbelit-belit, apalagi angka-angka yang memabukkan. Haleluya! Tapi tidak siang itu, aku memutuskan untuk membolos di pelajaran ketiga. Ada janji.

Jangan tertawa ya, Sore! Janji! Sini, kubisikkan rahasia. Sesungguhnya tiap ulang tahun aku meyakini, salah, maksudku mengharapkan pesta kejutan dari teman-teman. Kadang ku dapat, seringkali tidak. Hehehe.. Ya iya lah, masa pesta kejutan tiap tahun, bukan kejutan lagi namanya! Hahaha.. Pun hari itu, ku menantikan pesta kejutan selepas kuliah. Jadi lah ku buat janji istimewaku di tengah hari agar bisa ku kembali setelahnya tepat seusai kuliah ketiga dan kudapat pesta kejutanku. Yay! Jadilah ku mengendap-endap pergi dari kampus, tak ingin teman-teman mengetahui kepergianku hingga mereka berpikir aku tak akan kembali ke kampus lagi dan mereka kecewa hingga tak akan ada lagi pesta kejutan tahun depannya.

Sneaking. Aku pergi ke tempat janjian dengan bermetro mini, Sore. Warnanya seperti warnamu, oranye. Di tempat janjian aku akan menemui om ku, Mang Sukma, yang menawarkan untuk menemaniku hari itu, hariku. Sepanjang jalan ku terus mengendap-endap, takut-takut ada yang melihat. Karena ini pertemuan rahasia, tak boleh itu orang-orang tahu. Siang terik mengilapkan hitam rambut Mamang yang sudah tiba lebih dulu. Ah, wajah Mamang cerah, memang wajah macam itu lah yang kubutuhkan di hari ulang tahunku. Kunaikkan tingkat kecerahan wajahku dua tingkat saat itu. Satu untuk berterima kasih pada Mamang, satu lagi pada mentari.

Di sana kami, di bangku kayu panjang; Aku, Mamang dan Bapak. Iya, Bapakku. Dengan Bapak lah sungguh ingin kubagi hari ini. Bapak tampak sehat, gemuk dan bercahaya. Mengapa semua tampak berkilau ya hari itu? Bercengkerama kami, cukup lama. Bahagia kurasa. Tiba-tiba, teringat akan pesta kejutan di kampus, kukatakan kalau aku harus pulang. Mamang juga ikut pulang. Kucium tangan Bapak, pamitan. Bapak menarik tubuhku, dipeluk dan dikecupnya keningku sambil diselipkannya sesuatu di tanganku. Kugenggam, kubawa pulang.

Ku tiba beberapa saat setelah kuliah ketiga usai, teman-teman masih di sana, di halaman gedung E, jurusan kami. Tak ada pesta, tak ada kejutan. Tak apa. Kami bercanda dan bercanda di sana, menyenangkan. Beberapa orang teman menyadari kepergianku dan menanyakannya. Kujawab, rahasia. Lalu seperti biasa kami pun pulang ber-bis bersama, dan berpisah di pemberhentian masing-masing. Tiba giliranku turun, pamit.

Itu kita sore, kau dan aku. Dudukku di kursi ujung mikrolet, senyum-seyum sendiri. Oh, bahagianya berulang tahun! Seketika ku teringat kado selipan Bapak yang belum kubuka. Kuambil dari dalam tasku, selembar kertas terlipat-lipat. Kubuka dan kubaca.

Terbanglah wahai kupuku

Pandang dan sorot dunia seluasmu

Berikan keharuman setiap hinggap

Lahirkan rekah saat kau tinggal

Maka, kupuku peri dunia.

Tersedak rongga dadaku, tertusuk perih pelupuk mataku. Bulir-bulir air mata, menutup kado indah ulang tahunku kali itu. Hanya kau dan Tuhan yang tahu, Sore. Kepakan pertamaku hari itu.

Wednesday, April 13, 2011

Feel sexy, hein?

Ok. One thing I know by being a transjakartaners, I hate woman who wave their hair right in front of others face. Halo??

You feel so damned sexy, hein? Waving your long hair imitating the shampoo advertisement that build an image of sexy lady who choose a right shampoo which make their hair light and smells nice. Ok, I admit that it looks sexy. Really. I even did that action several times. ^^V But, only but, there's no people close to me. As I walking on the sidewalk, wearing my working suite -with glasses and high heels, of course- I love to wave my hair when I know there are people around, but not very close! And why is that? Just to feel sexy and attractive. What? Don't laugh! Make survey about that and you'll see that shampoo advertisement successfully washed our brain. Lol!

Yes dear ladies, maybe you all forget that our hair, even we washed it, is not sterile from bacterias. Moreover, in Jakarta, as you walk out from your house and take public transportation, "clean" is exactly no longer exist. So, keep your dirtiness for your self and no need to spread it to others. Ok?

Wave your hair as many as you like, no problem with that. As long, I say as long, you don't spread all the bacterias to others faces. Note that, honey? And please, go sexy! *wink*