Thursday, February 18, 2010

Bercerita bersama sore - delapan belas

Nasib anak kost
Aku makan tiap hari, kadang hanya makan mie
Gimana gak kurang gizi?
Ku... ingin bunuh diri...
Huhuhuhu...
Nasib anak kost


Itu lagunya Padhyangan Project, grup parodi musik asal Bandung. Tenar sekali masa-masa ku SD. Aku tak tahu kalau itu lagu sedih, Sore. Kisah nyata yang sudah biasa dialami anak kost ini kupikir hanya lucu-lucuan saja. Waktu itu tak terlintas sebersit pun di pikiranku bahwa kelak aku juga akan merasakannya. Tidak sama sekali.

Pasca perpisahan mama bapak, kami sekeluarga memang berpencar, kesana sini, tak bersama. Aku pun berpindah dari satu rumah keluarga ke keluarga lain. Sampai itu, masa-masa aku akhirnya sudah bekerja, maksudnya masa setelah lulus kuliah, aku mulai jadi anak kost.

Biasa tinggal di rumah-rumah bagus nan berfasilitas membuatku manja dan selektif memilih tempat kost pertamaku. Dengan bantuan sahabatku Mia (Mimi) dan Johan (Om Jo), kutemukan sebuah rumah tua di Setiabudi, di belakang SMAku, sejajar juga dengan rumah Mimi.

Rumahnya memang tua, keropos, gelap, lembab dan auranya agak mengerikan, tetapi letaknya tak jauh dari kantorku hanya butuh waktu lima belas menit, dekat dari jalan raya, banyak tukang makanan di sekitarnya, hanya ada satu tetangga, harga sesuai dengan rencana dan yang terpenting, berdekatan dengan Mimi, jadi kalau ada apa-apa aku tahu harus kemana. That’s what friends are for kan, Sore. Hehehe..

Aduh! Aku lupa nama pemiliknya, yang jelas orang Bali. Tetanggaku satu-satunya pun berasal dari sana, Mbak Ayu namanya. Alah! Semua wanita juga dipanggil Mbak sekarang, Sore. Walau bukan orang Jawa, tak apa. Aku dan Mbak Ayu tinggal di rumah sayap kiri, ada juga sayap kanan dengan keadaan yang lebih baru dan jumlahnya lebih banyak. Kami punya satu ruang tamu, di sisi kiri ada kamarku lalu Mbak Ayu. Kamar kami persegi, ukurannya, hmmm... tak tahu. Yang jelas cukup luas untuk ditinggali sendiri.

Tak ada jendela sama sekali, untungnya ada exhaust fan yang sedikit membantu sirkulasi udara dan juga atap yang tinggi layaknya bangunan lama. Lantainya bukan keramik, jadi tak terlihat jelas apakah aku pandai mengepel atau tidak. Pintunya pun model lama dengan kunci tebal yang membuatku ditertawakan teman-teman kantor karenanya. Padahal menurutku kunci model itu keren, Sore!
Pintu kamarku ada di sisi kanan, kalau dibuka akan kau temukan lemari baju kayu besar di hadapan, tempat tidur kayu ukuran double di sisi kiri, lalu masuklah. Baru bisa kau lihat meja besar sepasang dengan kursinya di sebelah lemari. Exhaust fan tergantung di tembok sisi berlawanan dengan pintu masuk. Oh, ada satu pintu lagi, tepat berseberangan dengan pintu masuk tadi, pintu yang menghubungkan dengan kamar mandi, pribadi.

Tak banyak barang baru di kamarku, hanya ada karpet ungu besar dari Anast, temanku dan kotak plastik yang juga besar dari Bi Nia, tanteku. Di atas meja ada dispenser yang baru ku beli di hari saat ku pindah ke sana dan tv yang kupinjam dari ibu, istri baru bapakku.

Mau tahu kamar mandinya, Sore? Keluar kita lewat pintu belakang, kau akan lihat cahaya remang dan ciumlah aroma kayu dan lembab yang pekat. Lorong sempit, kita ada di sebuah lorong sempit. Kalau lihat ke kanan, itu ada dapur dan kamar mandi Mbak Ayu. Kita ke kiri, di situ ada pintu kamar mandiku. Ya, itu, yang temboknya tak menutup sampai ke atas, tapi menganga seperempatnya. Masuklah. Di sisi kiri ada bak mandi kecil dengan sebuah kran yang hanya menyala di malam hari. Sisanya mati karena harus bergantian dengan tempat lainnya, terjadwal. Tutup dulu pintunya untuk melihat toilet duduk di sisi kanan, belakang pintu. Tak ada flusher, manual saja cara siramnya. Ada satu kran lagi di seberang pintu dengan satu ember kucel dan satu gayung.

Aku membersihkan kamar mandiku seminggu sekali, biar bersih, biar nyaman, biar tidak licin juga. Karena aku mencuci baju dan piringku di sana, jadi lah lantai seringkali bersimbah air sabun. Baju yang sudah dicuci kujemur di lorong kecil. Ada tiga tali pendek di sana, tempat ku menggantung hanger pakaian. Hanger yang kuminta dari tante.

Berhubung aku tak punya dapur, jadi lah tiap malam jajan di luar. Itu kali pertama aku sadar bahwa aku benci sekali makan sendiri. Menyiksa, Sore. Dan aku makan malam selalu sendiri. Pun, aku nyaris mati kebosanan dengan segala makanan yang dijual di sana, walau banyak pilihan. Aku rindu masakan rumah, rindu serindu-rindunya. Di kost pertamaku ini kudapati sakit maag pertamaku, Sore! Hahaha..

Mie? Iya donk, aku makan mie di pagi hari. Tak perlu dimasak, cukup disiram dengan air panas dari dispenser. Pintar kan? Dan kau tahu, Sore? Mie itu tak pernah enak jika tak direbus. Percaya padaku! Walau tersiksa dengan kerasnya, tetap saja kumakan itu mie setiap pagi. Oh, kadang aku juga suka beli gorengan, untuk sarapan. Irit sekali itu, menghabiskan hanya sekitar dua sampai tiga ribu. Tapi jangan kau tiru ya! Itu yang namanya sarapan menelan racun, jauh dari sehat! Haha..

Bagian terbaik dari tempat kost ini adalah sop buah. Kau tahu sop buah kah, Sore? Itu, potongan berbagai jenis buah dengan ukuran yang tidak mungil, disiram dengan kuah manis nan segar racikan rahasia mas penjual dan ditambahkan es batu. Hhmmm... itu sop buah terenak di dunia, Sore! Sungguh!

Kupamerkan ke seluruh kenalanku, sop buah ini. Dan hampir semuanya setuju dengan pendapatku. Yang tidak setuju pasti sedang sariawan deh! Kau juga mau? Kita ke sana kapan-kapan ya! Ke Setiabudi, tempatku melalui masa-masa SMA dan menghabiskan tujuh bulan pertama sebagai anak kost.

-bersambung-

Sunday, February 14, 2010

Maja pahit

Buku sejarah bercerita, seolah-olah dia adalah saksi sejarah, bahwa dahulu kala sebelum jadi Indonesia ada itu kerajaan bernama majapahit. Maja dan pahit, dua kata jadi satu. Seperti nusa dan antara, nusantara. Nusa, pulau, antara pulau-pulau. Maja, salah satu buah yang konon rasanya pahit. Majapahit.

Sebelum kerajaan adalah sebuah desa yang dibangun oleh Raden Wijaya, yang setelah berhasil mengusir bangsa Mongol dari desanya kemudian diangkat menjadi raja. Berganti nama ia, Kertarajasa Jayawardhana. Memerintah turun temurun hingga cicit bercicit.

Seperti film-film kolosal yang pemerannya jago silat, bisa terbang dengan kain batik yang terbalut ketat di pinggang, majapahit sepertinya berlatar seperti itu, bayang saya. Dari konflik dan intrik sang raja untuk menjadi raja, sahabat raja yang juga ingin menjadi sepertinya, hingga keturunan sang raja yang mentitah dengan gaya berbeda-beda. Seru, sepertinya.

Ah, kenapa jadi bercerita tentang majapahit yang itu? Maja, aku ini mau bercerita tentang buah maja. Apa itu? Seperti apa bentuknya, warnanya? Apa benar pahit rasanya? Jangan-jangan hanya bualan buku sejarah saja.

Maja, ternyata berwarna hijau, teman-teman. Bentuknya seperti jeruk Bali, tapi lebih kecil lagi. Kata wikipedia bagian dalam maja berwarna kuning atau jingga, aromanya harum dan yang mengejutkan ternyata rasanya manis. Lalu kenapa pada zaman Raden Wijaya maja rasanya pahit?

Konon katanya, salah seorang prajurit Raden Wijaya kala itu memakan maja yang masih mengkal, jadi rasanya pahit. Andai saja sang prajurit memakan maja manis, mungkin saja kerajaan yang membentang di nusantara itu bernama majamanis. Iya kan?

Aku berjodoh ternyata dengan maja, tak tahu yang kutemui si maja manis atau pahit. Bertemu ku dengannya, dengan mereka; beberapa maja dan pohonnya. Warnanya hijau bernada dengan dedaunnya. Kulitnya tampak licin menggoda mata untuk terus menatapnya, cantik. Hingga tak inginku mengulitinya dan mengintip ke dalamnya, maja.

Aku masih belum tahu apakah benar setelah kulit maja berwarna kuning atau jingga. Apalagi rasanya, manis ataupun pahit buatku sama saja. Mereka adalah maja. Maja yang melekatkan ketenarannya pada Raden Wijaya.






Wednesday, February 10, 2010

Bercerita bersama sore - tujuh belas

What is the name!
Heh?
”Iya, pernah denger gak? What is the name. Apalah artinya sebuah nama.”
What?
”Masa gak pernah denger sih. Itu terkenal tahu! Katanya siapa ya? Shakespeare kayaknya.”
”Ooooohhh... iya-iya..”
Perasaan bukan begitu deh bunyinya. Sekarang malah hilang versi benarnya dari kepalaku. Terlalu memukau sih what is the name barusan.
”Jadi ya gak penting itu nama-nama. Cuma nama!”

”Hehehe.. Tapi kan katanya nama itu doa.”
”Iya, kata orang kita. Tapi coba nama gue, mana gue tahu artinya apa!”
Orang kita siapa?
”Masa lu gak tahu? Pasti ada artinya!”
”Gak ada, gue udah pernah nanya dulu sama nyokap. Malah bingung dia! Tanya aja sama bapak, itu dari dia.”
”Hahahaha... lu tanya bapak lu gak?”
”Lupa! Kayaknya udah deh, terus dia bilang gak tahu. Banyak kok orang namanya Arman, gitu katanya.”

”Hahahaha... untung gue bukan anak bokap lu ya!
Alhamdulillah...
”Hahahaha.. sialan lu! Kenapa emang?”
”Ya itu! Mana mau gue dinamain kaya orang kebanyakan. Hahahahahaha...”
”Sialan lu! Arman juga keren tau! Itu Arman Maulana, keren kan?”
”Emangnya lu Arman Maulana? Lagian yang keren kan gayanya, bukan namanya! Hahahha...”
”Gue juga keren. Arman Maulana keren. Emang nama ini orangnya keren-keren.”
”Hahahhaha...”
Argumen macam apa itu?

”Gue yakin pasti ada maknanya. Coba lu cari aja tuh di buku nama-nama. Kan suka ada tuh buat cari nama-nama anak.”
”Lu nemu nama lu di situ?”
”Ya nggak laaaahh... Nama gue mah gak pasaran!”
”Iya, gak ada artinya juga kan?”
Hahahahaha..
Untung Mama Bapak bukan penganut aliran what is the name!

”Ada doooonnkkk...”
Bangga bener?
”Apaan?”
”Dega, itu singkatan dari delapan tiga, tahun lahir gue.”
”Hahahaha.. Serius?”
”Hooh!”
”Kreatif bener bonyok lu!”
”Eh, tapi pernah juga bokap bilang, artinya debu galunggung. Karena waktu gue lahir atau waktu nyokap hamil gue, itu gunung galunggung meletus terus debunya sampe sini-sini.”
”Sampe Jakarta?”
”Hooh, katanyaaa...”

”Widih.. keren bener nama lu! Pantesan aja gue jarang denger.”
Iya, gue juga ngerasa keren.
”Nah kalo Wahdini, artinya petunjuk; berilah aku petunjuk.”
”Bacaan sholat!”
”Hooh! Itu nama dari almarhum Mbah gue.”
”Bagus tuh artinya!”
”Doaaaaa.... doa itu doaaaa...”
”Hahahaha... iya yah..”

”Apa itu what is the name? Hahahha...”
”Nah kalo Yanti kan pasaran! Yeeeee....”
”Weits! Biar pasaran juga ada artinya!”
Kenapa juga mesti ada tuh Yanti sih?
”Alah! Apaan?”
”Itu sumbangan dari nyokap, artinya yang paling cantik! Hahahhahha...”
”Iyaks! Ngarang kan lu?”
”Hahahaha... ngapain gue ngarang-ngarang, oon! Waktu nyokap hamil gue, ada dua kakaknya yang hamil juga. Nah dua-duanya lahiran sebelum gue. Pas gue lahir nyokap pengennya gue itu yang paling cantik. Doa bow, doaaaa.... Hahahahaha...”
”Hahahaha... Amiiinnn... Terkabul gak?”
”Alhamdulillah! Hahahaha...”
”Pede bener lu!”
”Itu syarat utama orang cakep, Man! Mesti pede! Hahahahaha...”
”Ya ya ya.. bolehlah...”

”Jadi?”
”Jadi apa?”
”Kesimpulannya apa?”
”Kesimpulannya gue gak setuju sama Shakespeare. Ntar anak gue mau gue namain yang bagus, yang gak pasaran juga.”
”Hehehehe.. jangan Arman ya!”
”Sialan lu! Namanya ntar Arman Junior!”
”Huahahahaha.. keren! Keren! Tapi kasian bener anak lu bow.”
”Kenapa?”
”Ya itu, bapaknya sih anak seni rupa, kreatif katanya. Eh ngasih nama anak gak mau susah gitu! Gak inspiratif! Hahahaha..”
”Sialan! Ntar gue pikirin lagi. Kalo anak lu cerita ada temen sekolahnya yang namanya aneh, cakep, keren, gak pasaran, itu pasti anak gue ya! Lu tanya aja sama anak lu alamatnya, ntar reunian kita! Hahahaha...”
”Hahahaha.. geli gue! Iya.. iya...”
”Hahahahahaha... Ntar kalo anak lu cakep, kita besanan! Hahahahaha...”
”Alah! Banyak ngomong lu! Bikin aja dulu anaknya! Hahahahaha...”

-bersambung-

Tuesday, February 9, 2010

Bercerita bersama sore - enam belas

Mas, salah satu personil senyawa kimia, emas. Ada itu nama ilmiahnya, tapi aku lupa! Karena pelajaran kimia, aku tak suka. Ini senyawa idola ibu-ibu, Sore. Suka sekali mereka memakai perhiasan berlapisnya. Bisa memicu rasa percaya diri rumornya. Tak percaya? Tanyakan lah pada mereka.

Mas, panggilan untuk laki-laki dalam bahasa Jawa. Contoh, Sore jika dipanggil oleh orang Jawa jadi Mas Sore. ”Halo Mas Sore! Apa kabar?” Begitu. Kalau perempuan jadi Mbak. ”Halo Mbak Sore. Sudah pulang?” Begitu. Terserah kamu, maunya Mas atau Mbak? Hahaha.. Kalau aku sih bebas saja. Dipanggil Mas Dega juga tak apa.

Mas, dari Dimas. Kalau sudah akrab, kita potong nama teman jadi satu suku kata saja, biar singkat, biar tambah akrab. Contoh, ”Hai, Sor! Kemana saja kamu?” atau, ”Deg, sudah makan belum?” Begitu. Dimas, temanku di kampus, belajar seni rupa dia. Apapun rupa-rupa merupa dan berupa. Kenapa seni rupa? Entah. Aku tak tahu, atau tahu tapi aku lupa. Tapi sepertinya karena dia suka. Iya, suka. Hmmm... terlihat itu kalau dia suka, terasa.

Tubuhnya kecil, pendek maksudku, tidak gemuk, tidak kurus, rambutnya tidak kerinting, juga lurus, wajahnya, bagaimana ya? Kalau kata Anast, temanku, mirip Jay Chou! Siapa itu? Aku juga tahu dari Anast, sepertinya tak ada lagi yang tahu Jay Chou di sini selain dia! Haha.. Si Jay ini penyanyi asal Taiwan yang katanya, kata Anast maksudku, jago main piano, kaya ayam.


Suka memakai kaos berukuran pas di badan, untung bukan berbahan kulit, bisa menyaingi roker sembilan puluhan nanti! Jins panjang menyangkut di pinggul yang seringkali melorot karena tak ada pengganjal, juga sepatu kets kumal. Kalau tas, aku lupa! Sepertinya tas ransel. Suka memakai gelang-gelang kayu kadang berbahan lain yang jelas bukan emas. Dimas tak suka emas, berima!

Dengan kata lain, tidak eye catching si Dimas ini dibandingkan dengan anak-anak seni rupa lain, kebanyakan. Aku tak ingat pernah melihatnya, tak pernah menyadari kehadirannya sampai itu, hari itu, Yeyen salah seorang temanku memanggil sambil mengintip di balik pintu gedung E, tempat kuliah kami, ”Itu Gul! Yang itu orangnya, ketua BEMJ SR. Inget kan loe?” Tentu saja tidak, aku malah merasa itu kali pertama aku melihatnya. ”Gak inget. Terus loe udah kenalan belom?” Karena menurutku kalau naksir, ya minimal mesti kenalan donk! Kalau kenal saja tidak, cinta platonik namanya! Haha.. ”Udah, tapi belom ngobrol banyak. Tar sore loe temenin gw ya! Kita ngobrol di sini, di pintu ini, oke?” Apa sih yang tidak buat temanku, Sore? ”Oke!”

Ada kau itu Sore, sekitar jam empat, di sekitar gedung E dan F, menghadap pendopo. Kau ingat tidak? Ada aku, Yeyen dan Dimas di sana, mengobrol yang aku lupa tentang apa. Yang masih melekat, itu hanya obrolan biasa. Sampai tiba saatnya pulang, sekitar jam lima, Dimas mengantar aku dan Yeyen ke gerbang untuk menunggu bis. Aku naik bis lebih dulu karena bis Yeyen lewat di kala dia ingin saja. Hehe..

Hari-hari berikutnya aku tak ingat lagi, tak tahu lagi bagaimana perkembangan Yeyen dan Dimasnya. Yang kuingat, setiap jam pergantian perkuliahan aku jadi ikut-ikutan mengintip ke arah gedung sebelah mencari si Dimas itu, entah untuk apa, dan hampir selalu dia menangkap basah mataku kala mencarinya. Mata sungguh berdaya luar biasa.

Jadilah terulang kejadian itu, Sore. Kau, aku, Dimas, selanjutnya tanpa Yeyen, mengobrol di pintu gedung. Berlanjut hingga menunggu bis, setiap hari. Pulang. Kami tetap mengobrol, tentang apa saja. Dimas menceritakan banyak hal yang tidak ku ketahui. Dan ku suka. Dimas mengajak ku melakukan banyak hal yang tak pernah ku lakukan. Dan ku suka. Dimas menelponku berjam-jam hampir setiap malam. Dan ku suka. Dimas membuatkanku barang yang tak ada lagi duplikatnya, haute couture. Dan ku suka. Dimas membelikanku harmonika. Dan ku suka.

”Yen, loe marah gak kalo gw suka sama Dimas?” kaget dia. ”Heh? Serius loe? Haha.. ya gak papa lah.. Loe beneran suka sama dia?” Untung senyumnya Yeyen tulus, jadi kubatalkan saja niat untuk merasa bersalah. Tulus memang salah satu harta karun yang dimiliki seorang sahabat. ”Iya nih kayaknya,” pasti wajahku merah waktu itu, muka si Yeyen yang mengatakannya. ”Haha! Terus udah sampai mana?” Kuceritakan saja semuanya, bahwa aku dan Dimas seringkali bersama. Merestui dia. Fyuuhh...

Sore itu aku dan Dian, temanku yang lain, baru saja selesai sholat di sebuah masjid besar dekat kampus. Sedang berjalan kami di lorong, hendak pulang, kala handphone ku berkring. Dari Dimas, ternyata. Bertanya apakah aku mau jadi pacarnya, ku jawab mau, dengan semangat. Tertawa dia, geli sekali. Kenapa dia tertawa? Aku kan serius. Bwahahahaha.. ada tawa lain. ”Dian! Ngapain loe duduk di ubin gitu?” Kenapa tuh anak sama gelinya? ”Hahahaha.. sorry Gul! Gak tahan gw. Mana ada cewek jawab gitu? Hahahahaha.." Apa yang salah sih?

”Dimas, kenapa malah ketawa? Gw serius loh..” Ini orang dua tetap saja sibuk tertawa, menyebalkan. ”Iya, iya, maaf. Gw tahu loe serius, Cuma gw gak pernah denger cewek jawab selugas itu. Hihi! Maaf ya.. Dega lagi dimana?” Oh, gitu aja alasannya, kirain apa. ”Mau ke halte sama Dian,” jawabku lugas, seperti biasa. ”Oh, tunggu ya! Gw kesana sekarang.”

Entah butuh waktu berapa lama untuk membungkam tawa Dian. Dimas, sempat ikut tertawa lagi dia, tapi berhasil dihentikan karena tak tega melihat wajahku, nampaknya. Dan jadilah! Kami berpacaran; mengobrol di kampus, nonton di bioskop, melukis bersama di museum, mural di tembok gedung F, menonton acara kampus, bertelepon hingga malam, juga diantar pulang sampai depan gang.

Iya, depan gang juga sudah terlalu dekat. Kalau ketahuan orang rumah, bisa mati aku, Sore! Kala itu, pacaran adalah kegiatan terlarang. Jadi harus diam-diam. Setahu orang rumah, kami hanya suka-sukaan saja, jadi tak mengapa. Dimas kujelaskan keadaannya, bisa menerima dia, katanya.

Tujuh bulan setidaknya kami bersama, berpasangan. Aku suka. Tidak dengan Dimas. Bosan dia, mengobrol hanya di kampus, menelpon berjam-jam kenapa tidak bertemu saja, mengantar hanya sampai gang padahal mau main ke rumah bertemu semuanya, pergi ke bioskop memanfaatkan kesempatan bolos kuliah padahal pasangan lain menghabiskan malam Minggu bersama, aku sakit tak bisa menjenguk dia.

Selesai. Akhirnya kami selesai. Bukan dia yang mengakhiri, punya berlipat kesabaran Dimas itu. Baik. Kami menyudahi semuanya baik-baik. Pria yang baik, sangat baik. Aku suka kebersamaan kami berdua.

”Masa sih loe gak tahu? Gak sadar gitu?”
”Kan, gw bilang apa, Gul! Loe gak percaya sih..”
”Gw sering ngeliat mereka berduaan, tahu..”
”Ih, mereka selalu sama-sama. Sabtu aja pasti ke kampus!”
”Emangnya temen-temen loe gak cerita? Mereka pasti tahu deh!”
”Nggak! Gak mungkin baru-baru ini. Semua orang juga tahu kalo mereka pacaran sebelum loe putus!”
”Ya ampun, loe kenal ceweknya. Anak jurusan kita juga!”
”Ngapain loe sedih. Tuh cewek gak ada apa-apanya sama loe!”
”Udah Gul, bajingan pantesnya dapet cewek kaya gitu. Gak usah diambil pusing ya!”

Yang seperti itu jadi makananku di bulan berikutnya. Suara-suara dari orang terdekat hingga yang baru kukenal. Terkejut, iya. Mendapati fakta seperti di sinetron saja. Ternyata beneran ada, ya?

Tidak, aku tidak sedih. Kecewa juga. Percaya kau, Sore? Harus percaya karena memang begitu adanya. Aku tak turut berbahagia untuk mereka, tak juga bersedih karenanya. Aku, baik-baik saja.

Kisah cinta. Iya kan? Biar begitu juga ini tetap kisah cinta. Bagaimanapun cerita dan akhirnya, tapi tetap, pernah membuatku bahagia. Terima kasih kisah cintaku, terima kasih, Dimas. Terima kasih juga, Sore.

-bersambung-

sumber foto : http://images.google.co.id/imglanding?q=jay%20chou&imgurl=http://backstage.blogs.com

Thursday, February 4, 2010

Tulisan subuh

Selamat pagi.
Selamat pagi semuanya.
Semua, siapa saja, apa saja, di mana saja.

Kacau, galau.
Keadaanku sekarang.
Entah sudah berapa lama tak ku sambangi mereka.
Seingatku, terakhir kali ya waktu itu, mengetahui bahwa om ku tak nyaman dengan keberadaanku di rumahnya.
Menumpang.
Ya, siapa yang tak berkebaratan dengan kehadiran benalu?

Benalu, itu aku.
Apa sebutannya bagi orang yang tak punya tempat tinggal dan sibuk menghabiskan hari-harinya dengan bergantung pada orang lain?Iba, modalku.
Mengemis iba, begitu caranya agar ada orang yang mau menampungku, siapapun itu.
Iba, modal hidupku.

Jengah menjadi benalu, berubahku menjadi nomadenita.
Berpindah tempat ke sana sini tapi agak bermodal, bedanya.
Kuhabiskan lima ratus hingga delapan ratus ribu tiap bulan guna menyewa sekotak ruangan, kost.

Kost, bukan solusi.
Karena maknanya tetap saja menumpang, walau menghabiskan uang.
Nyaris ku lupa apa itu arti menumpang.
Hingga semalam.
Semalam.
Ricuh, gaduh, di sini. Di kost ini.

Kericuhan yang kembali menyadarkanku, ”Hei, kau hanya penumpang!”
Artinya bisa ku terdepak kapan saja.
Kapan saja orang suka.
Ya itu, orang yang tak suka kala ku berada.

Dan.
Lagi-lagi terdepakku dari sini.
Bolehlah dibilang mendepakkan diri.
Terserah saja.

Kawan.
Terpulas di mana kalian sekarang?
Di rumah?
Ku meng-Alhamdulillah untuk kalian barusan.
Alhamdulillah atas nikmat rumah.
Tidur yang nyenyak wahai kawan!
Kepakkan sayap mimpi melampaui sejuta awan.

Putih.
Kalau kau sudah bertemu negeri putih di sana, intip ke bawah.
Intip lah aku sebentar saja.
Lalu sudilah kiranya kau menaburiku doa.
Doa dari atas sana, lebih terdengar kiranya.
Jangan lupa kunci dengan Amin mu, gema.
Gemakan lah! Hingga terdengar itu oleh alam semesta.
Mengaminlah untukku.
Yang tak kuat lagi menjadi benalu.
Dan rindu tinggal di rumahku.

Tuesday, February 2, 2010

Bercerita bersama sore - lima belas

Ku takut Pierreku marah
Ku taku Michelleku marah
Ku takut mereka marah
Karena terlambat datangnya
Lupa bawa ini
Lupa bawa itu
Addduuuuhhh... MARAH-MARAH!!


Bwahahahaha.. Jadi malu! Sejak kapan kau di situ, Sore?
Lagu apa ini? Lagu keren!
Masih ada lagi, duduk saja yang manis di situ.
Lihat ku bernyanyi dan menari seksi.

Jurusan Prancis
Emang paling necis
Anaknya manis-manis
Cikicikibumbum Cikicikibumbum
Cikicikicik bum bum!


Gimana, seksi kan gayanya?
Ada lagi!

Entelemi lemipatol lapitol latoltil taltiltultiltul
Lalalalalalala lalalalalala
Lalalalalalala lalalalala
Terereret bem bem!


Huahahahaha... Ini juga seksi tahuuuu...
Karangan siapa? Entah.
Yang jelas itu lagu-lagu sepertinya tidak akan hilang dari memoriku.

Kudapat sembilan tahun lalu, dua ribu satu. Diajari paksa, iya, memang dipaksa. Kalau tidak dipaksa pasti aku tidak akan menghafal nyanyian dan gerakannya sepenuh hati. Bahkan hatiku pun ikut-ikutan merasa terpaksa. Hahaha..

Yang mengajari ya senior-senior itu, di jurusan bahasa Prancis kampusku. Silau aku melihat mereka kali pertama, terlihat keren dan dewasa dengan jaket almamater yang membedakan mahasiswa dengan hanya siswa. Bercelana jins, kaos dan sepatu kets. Impianku! Setelah dua belas tahun berseragam, muak rasanya.

Ada Kak Diana, Donna, Heston, Yeni, Yuli, Norman, Meiji, Dodi, Mira, Teguh, Dendi, Meri, Mona, Ari, Andez, dan masih banyak lagi, sampai susah diingat lagi. Puuufff...

Mereka ini yang ”memaksa” kami bernyanyi, menari, ”berseragam”, serta menyiapkan banyak hal yang katanya, ”Kegiatan ini untuk mengenal suasana dan kegiatan di kampus terutama di jurusan kita, kita semua harus bersenang-senang selama tiga hari ini, oke! Kalian semua sama, mahasiswa baru, tak ada yang beda. Jadi mulai dari pakaian, perlengkapan hingga makan siang, semuanya sama. Karena kita di sini sama dan sama-sama,” begitu kurang lebihnya, persisnya sih aku sudah lupa.

Jadilah itu, andai kau lihat, Sore. Kami, sekitar tiga puluh lima mahasiswa baru bahasa Prancis mengenakan kemeja putih, rok bagi wanita dan celana untuk pria warna hitam, sepatu hitam, tas slempang dari plastik kresek hitam, para wanita berkepang dua rambutnya, dipercantik pita biru putih merah, bendera Prancis, ditambah topi kerucut bak penyihir warna pink dengan rumbai pita warna yang sama berkibar di ujungnya, selempang bak putri Indonesia bertuliskan tempat tinggal kami dan bis yang mengantar kami dari sana sampai kampus, kacamata hitam bertema dua ribu satu yang artinya ada angka dua di sisi kanan kacamata kami dan angka satu di kiri kami, dan tak lupa, botol minum ukuran satu liter yang sudah dibubuhi cap RT masing-masing.

Bagaimana, benar-benar necis seperti di lagu, bukan, Sore?
Oh, menu makan siang sehat kami. Mungkin bisa kau tiru, Sore.

Di hari pertama kami harus membawa; tempe Prancis yang artinya kau bentuk itu tempe seperti bentuk negara Prancis, heksagonal. Lalu ikan teri yang semuanya harus menghadap ke kanan, kau pernah menyadari kalau teri semuanya memang menghadap ke kanan? Dan untuk sayurnya kacang panjang kepang, benar, kami kepang itu kacang panjang. Bahkan aku tak ingat kapan terakhir kali aku mengepang rambutku.

Hahahaha.. Jangan ketawa geli begitu. Itu belum apa-apa!
Di hari kedua; Ada nasi goreng tanpa kecap, telur mata sapi jereng, terbayang tidak bagaimana membuatnya? dan timun isi wortel, ya mau bagaimana lagi? Kami masukkan itu wortel ke dalam timun. Menu hari ketiga; Sayur toge maritim yang artinya pakai ikan teri dan berkuah, telur, terigu, wortel dan tauge yang ini nyaris kubawa bahannya semua dan untung saja salah seorang di rumahku berkata, ”Ini kan bahan-bahan buat bakwan!” Aha! Terjawab, seniorku sayang! Walau ada beberapa temanku yang membawa semua bahan tadi, dan terbelalak saat para senior meminta mereka memakannya. Hahahaha... Oh, di hari terakhir ada dessert, cokelat Prancis. Aku bawa itu cokelat yang kubungkus karton warna bendera Prancis, dan ternyata salah. Yang benar, cokelat ayam, sesuai dengan lambang klub bola Prancis. Yey! Mana aku tahu?

Iya begitu itu kelakuan senior-seniorku selama MPA; Masa Pengenalan Akademis. Tapi mereka memenuhi janjinya, Sore. Kami bersenang-senang, senang sekali. Juga belajar banyak tentang kehidupan di kampus dan trik-trik belajar di jurusan. Pernah itu setahun dan dua tahun sesudahnya kami berkata pada mereka, senior, ”Kak, kita mau donk MPA lagi!” Membelalak mereka, lalu tertawa bersama, ”Bwahahaha.. Mana ada orang mau diMPA lagi? Hahahahhaha...”

Mereka semua tertawa. Padahal, Sore. Kami semua serius, seserius-seriusnya.
Kau tanya saja itu pada teman-teman seangkatanku yang lain.

Iya kan Dian, Anast, Yeyen, Dewi, Baiq, Karin, Sakti, Oskar, Ari, Ika, Eha, Ai, Yusnia, Sophie, Riri, Rini, Sukma, Halid, Putri, Lyta, Anty, Kiki, Umay, Britney, Mela, Heni, Indri?
Oh, bisa juga tanya teman-teman yang walau tak bersama hingga akhir tapi ikut MPA, Laras, Icha, Mustika, Angel, bagaimana dengan kalian?

-bersambung-

*Merci pour Anast et Dian qui se sont réveillées très tôt du matin pour m’aider à mémoriser tous! ^^V Vous avez une mémoire d’éléphant, gals!

Putih

Oh Putih,
Mengapa hanya putih?
Oh Putih,
Inikah yang namanya rasis atau pilih kasih?


Sawi, tauge, kol, kembang kol.
Berpisah kita!
Berpisah sementara, untuk kemudian berjumpa.


Tunggu sampai habis gas jahat di perutku ini.
Sabar ya sampai dokterku tak ingat lagi.
Ku tetap tak mau sakit itu datang kembali.
Sakit di perut yang menyiksa hingga ulu hati.


Perlahan tapi pasti.
Pertemuan kita nanti .
Satu per satu silih berganti.
Tauge, kol, kelapa, ketan dan akirnya sawi.

A quoi ça sert?

Se réunir avec chers amis
Aventurier chaque nuit avec mon chéri
Passer des heures pour meni pedi

D’un grand resto à l’autre resto
D’une ile privée à une autre
D’un bikini à monokini

Bon vin, bon pain
Super jacuzzi, super heli
Sympa rock, sympa robe

Paris ô Paris
A quoi ça sert?
A quoi ça sert?

Même pour cette question simple
Tu ne peux pas répondre

“Qu’est-ce qui est ton rêve?”

Edith Piaf

Teman, kini berceritaku tentang teman.
Teman yang silih berganti menemani; terbang ke angkasa imaji, berdansa dengan gaun megar putih, berpeluh di padang pasir, mekar bersama aroma romantis, berdecak bak cicak.
Lagi, masih banyak lagi! Kuperkenalkan satu per satu, ya?

Proudly present, temanku, Madame Edith Piaf!
Bernyanyi, begitulah biasanya kami menghabiskan waktu bersama.
Mau tahu kesukaan kami?
Voila!

Non, Je Ne Regrette Rien

Non, rien de rien
Non, je ne regrette rien
Ni le bien qu'on m'a fait
Ni le mal tout ça m’est bien égal

Non, rien de rien
Non, je ne regrette rien
C’est payé, balayé, oublié
Je me fous du passé

Avec mes souvenirs
J’ai allumé le feu
Mes chagrins, mes plaisirs
Je n'ai plus besoin d'eux

Balayées des amours
Et tous leurs trémolos
Balayés pour toujours
Je repars à zéro

Non, rien de rien
Non, je ne regrette rien
Ni le bien qu'on m'a fait
Ni le mal tout ça m’est bien égal

Non, rien de rien
Non, je ne regrette rien
Car ma vie, car mes joies
Aujourd'hui, ça commence avec toi!

http://www.youtube.com/watch?v=Q3Kvu6Kgp88&feature=related

Ô, comme vous l'avez bien chantée, Madame!

Monday, February 1, 2010

En revanche

Ne te demande plus
C’est clair, éclairé par le ciel
Il n’y a plus, car il n’y a plus
La patience, l’honnêteté, l’éternité.

Cliché depuis ca glissait
L’amour, si c’était vraiment amour, qu’on a
Avait
Qu’on avait

Tes yeux
Ne m’amène plus au Dieu
Ta caresse
Ça me blesse

Ne me donne plus
Rire dans ton sourire
Je ne veux plus
La douleur dans l’humour

Arrête !
Je payerai ma liberté
Je ramène tout le cauchemar
En revanche
Tu te mettras en liberté
Respiras-tu sans falloir