Monday, December 28, 2009

Kupu di tengah kumpulan awan putih, gerbang langit baru.


Di sini kupu, di tengah deras hujan penyemarak malam natal.
Di sini kupu, dibalut petikan senar pemilik hatinya.
Di sini kupu, masih sederhana terbungkus gaun putih cantiknya.
Di sini kupu, di ujung kumpulan manusia yang sibuk menggemakan cinta.

Ada gemersik mengganggu.
Milikmu kah itu, Kupu?
Ku kenal itu, gemersik gundah yang lama tak ku dengar.
Ah! Kau dapat dari mana lagi?

Beberapa bunga? Sekumpulan bunga kah?
Hmm.. Dari koloni yang berbeda.
Bunga baru?
Bunga-bunga kesayanganmu? Bagaimana bisa!

Pantas saja ceriamu tak segesit hari-hari kemarin.
Iya, pasti sedih.
Jangan patah lagi ya Kupu, sayapmu.
Jangan.
Bunga kadang butuh Kupu lain untuk singgah, agar kelak dia tahu siapa Kupu favoritnya.
Kupu juga pastinya harus menghirup semerbak bunga-bunga lain, hingga kau tahu apa artinya rindu.

Jangan takut terbang dan hinggap, Kupu!
Tak bolehlah kau takut!
Apa nanti kata kodok, singa, ulat, ikan, rusa, semut dan tupai?
Jangan kau biarkan mereka berteriak padaku, “Apa kami bilang? Kami memang lebih pantas bersayap!”

Keyakinanku tak pernah salah, Kupu!
Tak pernah.
Kau harus yakin itu.
Sayap tipis nan kekar juga cantik berwarna-warni itu memang terlahir untukmu.
Hanya untukmu.
Karena hanya kau yang tahu cara menggunakannya.
Aku masih yakin itu.

Kepak lagi, ayo kepak lagi!
Mengelok lah kau di angkasa!
Buatlah kami semua iri padamu.
Iri akan eloknya rupamu;
Pada banyaknya ceritamu;
Karena cantiknya matamu, rangkuman warna-warni pelangi, bunga-bunga, ikan, koral dan dedaunan;
Iri pada tugasmu, menyebar cerita dan cinta pada semesta.
Iri hingga ingin rasanya kami semua mencuri sayapmu.

Iya, begitu!
Itu senyum kupu yang kukenal.
Mana lagi?
Ayo keluarkan lagi!

Kupu, ada yang baru!
Apa itu kawan baru di jarimu?
Mengapa tersipu begitu?
Ayo, apa itu?
Janjiku untuk menyeberangi gerbang langit biru, yang baru.
Kalau, si manis oranye di kananmu?
Namanya Ranyu, sayap baruku.
Manisnya..
Sudah siap?
Iya, sudah.
Terima kasih kawan, terima kasih.
Jangan beranjak, lihat sayap-sayapku mengepak; untukmu dan untuk semesta.
Aku di sini.
Sampai ketemu di sana ya!
Di langit biru baruku.

Selamat tahun baru, semuanya.. ^^
Selamat tahun baru juga, kupu..

Monday, December 21, 2009

Selamat harimu, Mama.

Ikalmu, ikalku
Tulang pipimu, tulang pipiku
Cokelat matamu, cokelat mataku
Struktur gigimu, struktur gigiku
Tipis kulitmu, tipis kulitku
Kecil tubuhmu, kecil tubuhku

Yakinmu jadi tanyaku
Sukamu seringkali gundahku
Kebiasaanmu masih pahamku
Mimpimu itu banggaku

Tanyamu tentang citaku, bahagiaku atas tanyamu
Kritikmu akan pekerjaanku, menganggukku setuju
Doamu untuk masa depanku, mengaminku dalam kalbu

Lemahmu bukan laraku
Kuatmu kuserap selalu
Darahmu kebanggaanku
Bahagiamu aminku tiap waktu

Selamat harimu, Mama.

Wednesday, December 16, 2009

Bercerita bersama sore – sebelas

Ih, Sore! Jarang-jarang ini kau jadi modelku! Lagian lumayan kan, siapa tahu bisa jadi model beneran! Hihihi... ^^
Ini namanya simbiosis mutualisme. Kau membantuku belajar fotografi, aku melatihmu menjadi model. Iya kan?
Sudah, sudah, jangan protes terus! Ini kau lihat dulu hasilnya. Ada tiga yang kusuka. Kau suka tidak?

Sore masih malu-malu.. ^^

Sudah mulai menyukai kamera..

Cantik sekali kau di sini, Sore!

Monday, December 14, 2009

Izinkan ku tuk berteriak di telingamu

Apa kau tahu artinya memohon? Memohon dengan sepenuh hati, berarti aku telah melewati garis meminta, berarti aku telah membunuh harga diriku pada saat bersamaan, berarti aku memberimu secarik kertas untuk kau tulis dengan apapun sesukamu untuk meminta apapun sesukamu, berarti sudah tidak ada pilihan lain untukku, berarti hanya kau pilihan terakhirku, berarti kau memiliki kuasa untuk mendorong atau menarikku dari pinggir lubang, berarti aku sedang ditunjukkan olehNya bagaimana rasanya tidak punya kuasa atas diri sendiri, berarti aku sedang menjadi orang yang teramat lemah, saat itu.

Apa kau tahu memohon adalah salah satu hal yang kubenci di dunia ini? Meminta, bahkan memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu untukku, menjadi orang yang penuh ego di saat yang bersamaan karena meneriakkan keinginanku sendiri, meminta orang lain untuk menyorotkan lampu panggung hanya padaku, mengakui ketidakberdayaanku pada orang lain, menambah jumlah parasit di bumi saat sudah terlalu banyak parasit di sini.

Apa kau tahu sensasi yang timbul saat ku memohon? Wajahku serta merta memerah tanpa komando, tanah menjadi pemandangan yang menetramkan dada, tiba-tiba saja backsound kehidupanku berhenti, marsupilami datang dan melilitkan buntutnya di dadaku, dan jika kau memberi jeda panjang, palang air di pangkal hidungku bekerja keras untuk menahan air mata yang bersiap membasahi wajahku. Hingga kau memutuskan untuk pergi, tanganku serta merta meraihmu, berusaha untuk menahanmu di sisiku, meracaukan janji-janji yang bahkan tak bisa kuingat lagi, dan palangku akhirnya tak sanggup lagi bertahan.

Apa kau tahu jawabanmu benar-benar telah merubahku? Membuatku sadar bahwa masih banyak hal yang lebih berharga dariku, menurunkanku dari awan mimpi di mana hidup itu indah dan tidak kejam, membantuku meninjau ulang kualitas hubungan kita, mengingatkanku bahwa tidak pernah ada hukum pasti di dunia ini, bahkan cinta hanya perasaan menggebu yang berumur pendek, merumuskan bahwa kekuatan darah hanya sebatas cairan yang mengaliri tubuhku, tidak lebih.

Apa kau tahu rasanya tidak terpilih dan terbuang? Saat anak lain berlomba untuk menyimpan semua ilmu di kepalanya hingga mereka bisa disebut pintar dan membanggakan, kusaksikan mereka disambut oleh senyuman bangga dan pelukan hangat, lalu aku pun memutuskan untuk melakukan hal serupa, menyerap semua sebisaku hingga kan kudapatkan senyum dan pelukan itu, milikku, hanya milikku. Dan kudapati diriku tanpa sambutan, sepi, sepi sekali, dan perih. Saat mereka sibuk menyiapkan hal remeh untuk hari kelulusan nanti, aku sibuk mencari orang yang sudi datang ke salah satu hari besarku itu. Saat sahabatku terkapar lemah di rumah sakit, kudapati seseorang di sisinya menemaninya sepanjang hari, merawatnya, menghujaninya dengan senyum, sentuhan, perhatian dan pelukan, dan di sini lah diriku, di kamarku, sendiri, menahan sakit, berusaha untuk tidak merintih apalagi menangis, karena tangis hanya untuk mereka yang lemah, sendiri dan tak berdaya.

Apa kau tahu kalau hari ini aku berterima kasih padamu karenanya? Aku memang tidak seistimewa itu, bahkan pintaku pun memang bukan hal besar karena hal besar hanya keluar dari mulut orang besar, kehidupan di awan memang indah tapi ternyata bukan keindahan yang kubutuhkan untuk bertahan, selama ini aku memang bukan berbicara denganmu tapi dengan bentukan dirimu yang kupahat di benakku, hidup ini memang bukan matematika jadi tidak ada hukum pasti, kekuatan cinta dan darah pun hanya bagian dari kisah yang datang, singgah dan pergi sesukanya.

Apa kau tahu bahwa kau telah membantuku berdiri di atas kakiku? Kakiku, tak pernah kunyana kekuatan yang dimilikinya mampu menopang air mata dan palang besarnya, kepala yang dipenuhi dengan tanda tanya dan kerutan yang tegurat di dahi, leher yang seringkali menunduk dan memuja indahnya tanah dan terkadang angkasa, tangan yang seringkali kuharap ukurannya lebih besar hingga aku tak memerlukan tangan orang lain, tubuh dan dada yang dihuni oleh organ-organ vital yang masih setia menemani perjalananku, serta hati yang entah tersimpan di mana.

Apa kau tahu siapa yang akan kau temui kali ini? Seseorang yang tersenyum di jendelanya setiap pagi, menghirup udara pagi sambil menikmati tempat tidurnya, seragam tidurnya, buku paginya, musiknya, kamarnya, bahkan tembok di luarnya. Seseorang yang walau bertangan kecil tapi tangannya kerap menjadi ujung tombak terwujudnya mimpi-mimpi, membantunya bertahan di padatnya bis kota sore hari, menunjukkan padanya indahnya memasak, mencuci, membersihkan kamar, dan berbelanja, cerita harian yang membantunya untuk tetap utuh dan bertahan untuk berdiri di atas kaki sendiri. Seseorang yang sekarang sudah memiliki angkasanya sendiri dengan penghuni lintasan yang makin bertambah tiap tahunnya, penghuni lintasan yang amat sangat dicintainya. Penghuni yang datang dan singgah tanpa perlu kekuatan darah. Hingga menjaga mereka untuk tetap berada di lintasanya menjadi salah satu misi besar hidupnya. Hidupnya, untuk saat ini, bukan untuk nanti apalagi kemarin. Karena nanti tak pernah pasti, layaknya cinta yang dulu pernah kita punya. Seseorang yang memang sudah terluka dan entah kapan bisa anti luka, tetapi sadar dan siap untuk melanjutkan kisahnya dengan luka. Karena luka, layaknya air mata dan cinta, akan datang, singgah dan pergi sesukanya. Satu hal yang kuserap dari cerita kita ini, tak ada yang abadi, jadi mengapa tidak ku berdiri dan melanjutkan ceritaku, dengan atau tanpamu, bukan kuasaku. Aku, penaku, ceritaku.

Hilang dan tersesat

Hilang dan tersesat. Pernahkah Anda hilang dan tersesat?
Maaf, maksud saya pernahkah Anda merasa hilang dan tersesat?
Bingung?
Baiklah, saya ulangi.
Pernahkah Anda merasa hilang dan tersesat?
Hilang, lenyap. Tersesat, tersasar.

Saya tidak ingat kapan saya mulai tersesat, atau mungkin bahkan tidak tahu kalau kala itu saya berjalan ke arah yang keliru. Pernah beberapa kali saya merasa nanar, hanya terdiam di satu titik, tak berkembang, tak mencoba mengepakkan sayap, apalagi terbang. Jadilah saya ratu di dunia saya sendiri, yang lama tak bersambang ke dunia tetangga, apalagi ke dunia penghuni dunia. Membelenggu diri sendiri dalam kedangkalan cerita dan rasa.

Saya ingat pernah mencoba untuk keluar dari dunia saya, ingin melongok ke dunia tetangga karena rasa bosan yang mulai merasuki hari demi hari. Saat dunia tetangga bahkan tak dapat terlihat lagi karena tanaman merambat di dunia saya saat itu sudah mulai lebat dan mungkin saja lama-lama menjadi hutan, saya pun mulai sok tahu mencari penyebab tertutupnya lubang untuk mengintip itu. Alih-alih mencari cara untuk membersihkan halaman, berteriak meminta pertolongan tetangga malah menjadi pilihan pertama saat itu.

Satu tetangga mulai menjawab teriakan saya, disusul dengan tetangga yang lain, hingga beberapa tetangga terdekat saya, satu per satu mulai memberikan jawaban. Tetangga sebelah menenangkan saya dengan suara lembut nan menenangkan hati. Tetangga di sebelah tetangga sebelah saya menyemangati dengan suara dan kata-kata yang membangkitkan semangat. Tetangga lainnya bahkan berteriak agar saya dapat mendengar suaranya dengan jelas dan mengeluarkan pernyataan yang cukup mengagetkan, “Siapa yang menanam benih, dia yang menuai hasilnya.”

Terima kasih untuk K’Ero, Pak Sachri, Pak Nov dan Pak Kas atas kerjasamanya dalam menemukan kembali ungkapan ini.

Tuesday, December 8, 2009

Blended

Aku, orang Indonesia, asli. Jangan tanya aku asli mana, bingung. Indonesia, asli.
Begitu saja, tak bisa? Baiklah, hhhmmm… Bagaimana ya? Begini, Bapakku campuran Betawi, Sunda dan Padang. Mamaku, Batak tulen, Samosir.

Bapaknya Bapakku, Mbah, campuran Betawi dan Sunda. Ibunya Bapakku, Mbah, campuran Padang dan Sunda. Entah berdasarkan kesepakatan atau ketidaksengajaan, Sunda lah yang mendominasi kata ganti di keluarga kami. Mbah, alih-alih Engkong dan Enyak. Uwak, Mamang dan Bibi, alih-alih Pak Tuo, Mak Tuo, Encang dan Encing. Teteh dan Aa, alih-alih Kakak dan memanggil langsung nama, seperti orang Betawi.

Bapak dan Ibunya Mamaku, Ompung, asli Batak. Ompung laki-laki, Samosir. Ompung perempuan, boru Sihombing Hutasoit. Keduanya belum pernah kujumpa. Sudah meninggal dua-duanya. Waktu ku kecil, Mama tidak sempat membawaku bertemu mereka karena tidak punya uang untuk membawaku pulang ke Medan, mahal katanya. Jadilah ku tahu lewat foto saja, foto kala Ompung meninggal, jadi semuanya dengan mata terpejam. Dari Ompung aku punya Inang atau Mama Tua, Bapak Tua, Tulang, Namboru, Abang dan Kakak.

Karena Batak Patrilineal, maka Mama tidak bisa memberiku Samosir. Padahal darah itu lah yang mendominasi di diriku. Itu hasil telisik teman-teman kantorku. Dulu, saat ditanya asli mana, aku menjawab Betawi. Karena tak percaya dengan jawabanku, tak percaya karena tampilan fisik yang tak seperti orang Betawi kebanyakan katanya, teman-teman di kantor menginvestigasi asalku. Berdasarkan ceritaku mereka menyimpulkan bahwa jawaban yang benar adalah, jika ingin memberikan jawaban singkat pada orang-orang yang bertanya untuk berbasa-basi, Batak. Asli mana? Batak. Mengapa? Karena kalau pakai hitungan persentase, lima puluh persen darah yang mengalir di tubuhku adalah darah Batak. Sementara sisanya campuran dari Bapakku, ya Betawi, Sunda dan Padang.

“Asli mana?” tanya seseorang.
“Batak, Pak!” jawabku.
“Oh ya? Marganya?”
“Boru Samosir, Pak!” jelasku.
“Boru ya, berarti Ibunya yang Batak? Bukan orang Batak donk kalau gitu…”
Puufff… Apalagi sekarang?
Tetap saja tidak bisa pakai persentase, ternyata.
Patrilineal ya patrilineal. Baiklah, tidak akan rumit kalau tidak kubuat rumit.
“Asli mana?” tanya seseorang di kali lain.
“Campuran Pak, Bapak saya Betawi, Ibu saya Batak.”
“Oh ya? Campuran yang unik! Ada ya orang Batak yang mau nikah sama orang Betawi?”
Waduh! Repot lagi, sekarang. Salah memilih aku, rupanya.
Bagaimana kalau Sunda dan Batak?
Atau Padang dan Batak, mungkin?
Atau kubilang saja, Batak, Betawi, Sunda dan Padang.
Ah, nanti dibilang mau pamer, lagi!

Sunday, December 6, 2009

Bercerita bersama sore – sepuluh

Pernah merasa antara ada dan tiada, Sore? Biru dan putih, langit dan awan, melayang, tak menapak, antara ada dan tiada. Tiga tahun kurasakan itu. Tiga tahun putih biruku.

SMP, Sekolah Menengah Pertama, setelah SD. Pada masaku dulu, lulusan SD dapat memilih sekolah lanjutan sesuai dengan pilihan yang tersedia berdasarkan rayonnya, seperti area asalnya. Contoh, SD ku berada di kawasan Jakarta Selatan, maka mayoritas pilihan SMP yang kupunya adalah di daerah selatan. Tidak semua sekolah di daerah selatan, tapi sekolah-sekolah yang letaknya terdekat dari SD kami dan kualitasnya sesuai dengan kualitas para lulusan SD di sekitarnya.Tentu saja kami bisa memilih sekolah-sekolah di luar pilihan yang tersedia, tapi prosesnya rumit sekali, menurut Mama. Kalau mau pindah rayon ke sekolah yang prestasinya di bawah pilihan yang tersedia, mudah saja. Tapi kalau sebaliknya, kami harus menunjukkan bahwa kami berprestasi dan layak memilih sekolah-sekolah yang rayonnya lebih tinggi. Hampir sebagian besar teman-teman SDku memilih SMP 46, aku juga, tapi tidak Mama. Merasa bahwa NEMku, apa itu NEM? Aku lupa, Sore. Singkatnya, itu adalah hasil ujian akhir nasional.NEMku termasuk tertinggi di sekolah, merasa bahwa aku dapat masuk ke sekolah yang lebih baik, Mama berusaha untuk mengubah pilihan sekolahku, pindah rayon.

Ada itu, SMP yang cukup dikenal karena prestasinya yang baik, SMP 41. Adik Mbah perempuanku; Mbah konde ku memanggilnya karena rambutnya yang seringkali dikonde kecil, dulunya kepala sekolah di SMP itu, Mbah Nurdin, sudah almarhum sekarang. Mama meminta bantuan Mbah Nurdin untuk memasukanku ke sekolahnya, yang dulu sekolahnya. Aku, duduk saja di rumah tanpa mengerti apa-apa. Yang kutahu saat itu, aku tidak akan bersekolah bersama Evi dan Herman lagi, juga teman-teman yang lain. Tak apa, aku tak sedih. Sungguh, Sore. Aku tak sedih sama sekali. Buatku bersekolah di manapun sama saja, yang penting sekolah.

Jadilah hari itu, hari pertama aku memakai seragam putih biruku, hari pertama kuikuti MOS, Masa Orientasi Siswa. Aku suka seragam baruku, setelah memakai putih merah selama enam tahun, tentu saja aku merasakan kesegaran dan semangat baru kala bercermin. Walau ada satu hal yang tetap mengganggu, sepatu kets warrior hitam putih yang, lagi-lagi, wajib dipakai. Sekolah baruku besar sekali, Sore. Kami punya dua sekolah, yang satu terletak di dekat rumah Mbah Nurdin, satu lagi di dekat Rumah Sakit Hewan, keduanya di Ragunan. Kau tahu Ragunan, Sore? Itu terkenal sekali! Tempatnya para binatang, kebun binatang. Haha! Iya, aku selalu diledek, “kandang berapa?” kala bilang pada orang-orang bahwa ku bersekolah di Ragunan. Sudah biasa itu, Sore. Nah aku selalu menempati gedung kedua, yang lebih kusuka karena masih baru.

Seperti huruf L dan terdiri dari tiga lantai. Lantai dasar untuk ruang kepala sekolah, guru, ruang bimbingan, PMR; tempat merawat murid yang sakit, toilet, kantin dan beberapa ruang kelas satu. Lantai satu terdiri dari kelas satu dan dua. Lantai dua terdiri dari kelas dua dan tiga, dilengkapi toilet juga di ujungnya. Angkatanku terdiri dari sepuluh kelas dengan kurang lebih empat puluh murid tiap kelasnya. Absensiku nomor empat puluh dua atau empat puluh satu, selalu begitu.

Tak banyak yang kuingat di sana, Sore. Seperti tadi kubilang, antara ada dan tiada. Kuingat mulai belajar bahasa Inggris, ada banyak mata pelajaran baru, biologi, fisika, sejarah, geografi, tata boga, tata busana. Yang lainnya sama seperti di SD, tapi ada satu yang namanya berbeda, PMP jadi PPKn. Oh, kalau di SD kegiatan ekstra kami hanya pramuka, di sini banyak sekali pilihannya, Sore. Yang kuingat hanya drumband karena seragamnya cantik sekali. Aku sendiri ikut Paskibraka, pasukan pengibar bendera. Tidak lama, hanya beberapa bulan, karena hanya ikut-ikutan.

Ada beberapa guru yang masih lekat di ingatanku, Pak Heri guru bahasa Inggris. Karena apa ya, aku ingat dia? Entah. Oh, Pak Heri selalu memakai batik, dia membuat buku pelajaran bahasa Inggris untuk siswa SMP dan dia selalu memasukkan nama murid-muridnya di bukunya, alih-alih memasukkan nama yang lebih ke-Inggris-inggrisan. Aku ingat pernah mengiriminya kartu lebaran, batik. Sampai tidak ya?

Ada lagi Ibu Pudi, guru Biologi. Cantik, enerjik, pintar dan sederhana. Aku ingat selalu ingin lebih dekat dengannya, tapi aku payah sekali dalam Biologi, Sore. Nama-namanya itu lho, sulit diingat. Aku juga tak paham, mengapa kita harus memilih nama sesulit itu untuk tumbuh-tumbuhan dan binatang? Ah, aku ingat pernah membuat Ibu Pudi tertawa, geli sekali, saat kubisikkan di telinganya, “Ibu, bagaimana sperma bisa masuk ke ovarium? Kan tempatnya berbeda?” Kuingat itu tertawanya, lebar hingga bisa kulihat semua gigi gingsulnya. Lalu berdiri dia di depan kelas, berkata, “Ok, Ibu tidak menjelaskan bagaimana sperma bisa masuk ke ovarium karena Ibu pikir semuanya sudah tahu. Ada yang belum tahu lagi selain Dega?” Aku menengok kiri dan kanan menanti tangan mangacung, tapi yang ada malah kelas yang dipenuhi tawa teman-teman. Mengapa cuma aku yang tidak tahu itu, Sore? Aaarrrgghhh…

Aku punya beberapa sahabat di 41. Di kelas satu aku punya Rahmi dan Vivi, keduanya atlit bulu tangkis. Jadi, sekolahku ini memberikan beasiswa pada siswa yang berprestasi di bidang olah raga. Maka atlit-atlit bertebaran di sekitarku, Sore. Ada bulu tangkis, sepak bola, atletik dan voli. Mereka semua berlatih di Ragunan, ada tempat latihan khusus para atlit muda di sana. Dulu aku mengagumi mereka, keren sekali. Terutama kawan-kawan pria atlit bola, terlihat tampan dengan seragam mereka. Ada saat Rahmi dan Vivi tidak masuk berhari-hari karena pertandingan yang sedang mereka ikuti. Kalau sudah begitu, hari-hariku menjadi sepi sekali.

Sempat juga aku dekat dengan Wuri, kawan yang meminjamkanku uang untuk nonton konser Boyzone. Bisa-bisanya kau bertanya siapa itu, Sore? Itu boyband terkenal sekali dari Irlandia. Aku suka sekali, terutama pada Ronan Keating, dulu. Jadilah kami pergi bersama Kiki, teman dari kelas lain, diantar oleh mamanya. Berdandan kami, aku mengenakan celana dan u can see biru laut, wig tempel dan jam tangan dengan warna senada, bahagianya. Bernyanyi kami, melompat, berjoget selama dua jam, tak terasa.

Di kelas dua, aku punya teman baru, Reni dan sataw, singkatan dari sarang tawon. Kenapa dipanggil sataw? Karena rambutnya yang menyerupai sarang tawon. Hihi.. Reni salah seorang teman terdekatku, kami masih berhubungan hingga kini, setelah sempat kehilangan kontak selama beberapa tahun. Teman yang baik dan pengertian, kusayang. Kapan-kapan kukenalkan kau dengannya ya, Sore? Kalau sataw, siapa ya nama aslinya, aku lupa. Sataw, suka sekali mengoleksi kartu-kartu tokoh kartun. Hingga pernah itu satu hari dia menerapkan simbiosis mutualisme yang diajarkan Ibu Pudi. Rumahnya didatangi oleh seorang anak laki-kali, dari kelas lain, yang ingin memintanya untuk bercerita tentangku. Sataw dan aku duduk satu bangku di kelas dua, Sore. Sataw bilang padanya, dia akan bercerita banyak tapi setelah anak itu membelikannya beberapa kartu sailor moon. Jadilah mereka pergi ke toko buku untuk berbelanja kartu sambil, tentu saja, berbicara tentangku. Itu sataw yang menceritakannya padaku, Sore. Saat dia menyampaikan salam dari teman barunya, teman bisnisnya. Dia bilang, dia dapat kartu dragon ball juga, saat dia setuju untuk menyampaikan salam padaku. Sataw bilang, aku harus bilang salam balik, agar dia dapat kartu lagi. Dia tidak mau bohong pada teman barunya, jadilah dia memaksaku untuk mengucapkan, “Terima kasih, salam balik ya!”.

Di kelas tiga aku punya Nuri, Sapi dan Dini. Nuri baik sekali, banyak disukai. Punya rumah yang besar dan nyaman, jadilah kami sering main di sana. Punya televisi terbesar yang pernah ku lihat saat itu, seperti akuarium. Sapi, gadis cantik yang ceriwis. Safitri, namanya. Tapi tak enak bilang Safi, jadilah kami seperti orang Sunda, mengganti F menjadi P, Sapi. Sapi lah yang mengajariku bermain rollerblade di komplek rumahnya. Dini, seperti Reni, masih ada di hidupku hingga kini. Salah seorang penghuni kotak harta karunku. Dulunya tomboy, kini menjadi gadis yang manis dan anggun sekali. Iya, akan kukenalkan juga kau padanya. Nanti ya, suatu hari nanti.

Ternyata banyak juga hal manis yang kudapat di sana, Sore. Tidak terlalu gamang, masa SMPku. Terima kasih, Sore. Sudah membantuku mengumpulkan cerita yang terserak. Terima kasih.

Aku suka putih biruku, aku suka. Dan kini, ku rindu teman-temanku.

-bersambung-

Wednesday, December 2, 2009

Susu

Apa yang kau suka di dunia ini?

Kau suka susu? Aku suka. Suka sekali.
Rasa apa?
Hmmm… Aku suka semua. Rasa apa saja!
Yang paling kusuka?
Ah! Sulit memilihnya, toh semuanya memang ku suka, ku minum juga.
Kalau kau, harus selalu memilih rasa?
Tapi rasa apapun tetap saja itu susu, enak.
Iya kan?

Pernah coba merk Diamond?
Susu cair berkemasan kotak; tinggi, putih berhiaskan pemandangan peternakan sapi hitam putih dan tulis-tulisan merah muda, dilengkapi tutup siap putar di bagian muka atas. Itu rasa stroberi.
Kau harus coba.
Rasanya, enak sekali! Benar-benar enak. Amat sangat enak.
Kekentalan susu bercampur rasa stroberi yang tipis, manis yang pas; setidaknya untuk lidahku. Perpaduan indah yang tak saling membunuh. Ya susu, stroberi dan manis. Mengingatkanku pada trio yang kulihat di sebuah konser musik. Gitar, biola dan selo. Ketiganya mengalun indah bersama. Tak sedikitpun telingaku bekerja lebih keras untuk menangkap bunyi salah satunya. Kebersamaan dan porsi yang bersinergi.

Simpan di lemari es. Itu pesan yang tercantum di atas tutup. Iya, biarkan dia mendingin. Saat dingin, ada sensasi tambahan kala ku menyeruputnya. Segar. Enak dan segar. Bensin kesukaanku di malam hari, sebelum tidur. Juga teman yang selalu kusadari kehadirannya kala ku menulis.

Hmmm… Indahnya malamku bersama susu.

Sunday, November 29, 2009

Putriku


Tunjukkan padaku bagaimana caranya menjadi gadis cantik tapi tak sombong.
Sulit, kan?
Tidak untuknya.

Tahukah kau bahwa anggun dan perkasa itu bersahabat?
Ban cokelat dan stiletto.
Kau harus kenal dia.

Buktikan padaku bahwa kau sahabat sejati, selalu ada kala ku tertawa dan menangis perih.
Tak pernah pergi.
Haruslah kau belajar darinya.

Dia, menghajar pria yang menciumku paksa.
Dia, menguras tabungannya demi membayar kesalahanku.
Dia, mewujudkan semua impian di hari ulang tahunku.
Dia, menangis bahagia mendengar pelangiku sudah di depan mata.

Mau menjadi psikolog katanya, padahal bisa menjadi dokter dengan tulisan indahnya.
Mau menikah dengan pria yang dicintainya, betapa ku bahagia melihatmu bersamanya.
Mau bersama orang-orang yang dikasihinya, lihatlah sekelilingmu sekarang, Sayang!
Mau banyak hadiah di hari ulang tahunnya, semoga kau dapatkan semuanya.


Selamat ulang tahun, Putriku!
Tiup lilin itu, ku kan selalu mengamini bersamamu.

Wednesday, November 25, 2009

Bercerita bersama sore – sembilan

Sore, Sore! Di mana kamu? Sulit sekali menemukanmu belakangan ini. Si siang tampak serupa hingga ku tak tahu kapan kalian berganti. Aku kangen sekali, Sore. Sudah lama ya kita tidak bercerita?

Dingin. Aku kedinginan dari pagi tadi. Hujan terus, ya? Aku heran, sudah hujan begini, kenapa AC harus dinyalakan terus? Aneh. Jadilah dingin alami dan dingin buatan bertemu, mengangkat bulu kuduk tanganku. Apa, hujan? Tidak bisa apa-apa kala hujan? Siapa bilang!

Paling enak main hujan-hujanan, Sore. Aku dan Aran boleh main hujan, asal itu bukan hujan pertama. Hujan pertama itu hujan yang pertama kali turun setelah hari panas yang berturut-turut. Banyak penyakitnya, kata Mama. Air sibuk menyapu debu di jalan, ranting-ranting di genting, juga patung-patung peninggalan para kucing. Hujan pertama juga bahaya untuk kepala, bisa bikin kita pusing setelahnya. Jadi, jangan main-main dengan hujan pertama, Sore. Lebih baik di rumah saja, kita pandangi itu air yang meluncur di jendela, dari atas, ke bawah. Sambil menikmati pisang goreng renyah mama. Mengobrol kami berempat, tentang apa saja, suka-suka. Bapak menyeruput kopi pahitnya, Mama menghisap rokoknya, aku dan Aran sibuk dengan sendok kecil dan teh panas kami. Sesaat terlihat seperti iklan-iklan di televisi adegan ini. Entah iklan apa.

Di ujung genting halaman rumah ada air terjun, Sore. Air yang mengalir deras dari atap, terjun ke tanah tanpa rehat, dengan kecepatan penuh kalau kata Aran, melalui paralon plastik yang dipasang Bapak. Buat rumah kami serasa di tengah pegunungan saja. Sekilas air terjun itu tampak bening dan bersih, turun langsung dari langit. Nyatanya dia membawa kotoran dari genting kami, termasuk kotoran tikus, kata Mama. Jadilah kami tak boleh mandi di bawahnya.

Hujan kadang datang ramai-ramai, dengan teman-temannya. Ya petir, guntur, juga angin. Kalau sudah berkumpul mereka, menjauh kami dari jendela. Berbahaya, bisa disambar petir, kami. Pun televisi dan telepon, harus dimatikan, karena sang petir juga menyukai mereka. Telepon Mbah seringkali menjadi korbannya. Untung tidak kami punya.

Kalau hujan semalaman, tidurku jadi nyenyak sekali, Sore. Adem, udaranya.Tapi kalau sedikit-sedikit turunnya, bikin suasana tidak enak, karena udara jadi pengap dan panas. Aku suka hujan yang all out. Seperti juga kalau mandi hujan, tidak boleh tanggung-tanggung. Kubuka bajuku, tapi tidak kaos singlet dan celana dalam, kumulai di halaman depan atau belakang, sambil lompat-lompat, girang. Aran akan membawa pistol air dan helmnya. Bermain kami, bersama air. Air dari atas, depan dan bawah. Langit, pistol air, genangan di tanah.

Tanah lembek nan becek kami manfaatkan untuk membuat karya rupa, piring kecil untuk makan tahu gejrot, bola yang kemudian digunakan untuk perang, mangkuk mie, lubang tempat persembunyian, juga anak kura-kura. Di lapangan dekat rumah ada lebih banyak tanah, tapi sayangnya kami tak boleh merambah ke sana, Mama khawatir jikalau tiba-tiba petir datang dan menyambar kami. Jadilah kami main dengan tanah seadanya. Eh, kau tahu, Sore! Di rumah pertama kami, di belakang pohon-pohon pandan yang menempel di dinding muka rumah, kami pernah menemukan es batu kala hujan, kecil-kecil dan ada juga yang besar. Itu kejadian langka sekali, Sore! Kata Mama, kadang memang ada hujan es. Aku suka hujan es, sayang sekali hujan es tak pernah lagi datang. Hanya satu kali itu saja.

Tak lama setelahnya kulihat hujan salju di televisi. Seperti hujan es, tapi es yang satu ini seperti es serut, putih. Indah sekali. Aku mau lihat hujan yang itu, langsung dengan mataku. Aku ingin menyentuh es serutnya, mungkin bisa langsung kutuangkan sirop moka di atasnya. Aku ditengah putihnya, bermain bola-bola. Apalagi aku sudah terbiasa membuat bola-bola tanah sama Aran, pasti mudah sekali bagi kami untuk membuatnya lagi, bola-bola es. Hihi! Membayangkannya saja sudah sangat menyenangkan!

Kau ingat Nami? Pernah itu beberapa kali Nami ikut main hujan. Tapi kami tak membuat bola-bola tanah, pun main pistol air, tapi kami main kejar-kejaran. Nami dengan sigap akan mengejar aku dan Aran tiap kali kami berlari menjauhinya. Kami berlari kecil, kecil pula larinya. Kami berlari kencang, lebih kencang lagi larinya. Aku ingat, Nami seringkali tak bisa mengerem. Alih-alih mendapatkanku dan Aran, dia malah berlari mendahului kami. Butuh beberapa saat baginya untuk tersadar bahwa aku dan Aran sudah dilewatinya. Kalau sudah sadar, akan mengerem dia, mendadak, hingga menekuk kakinya. Lalu menoleh dan berlari ke arah kami lagi, sambil menyeringai memamerkan gigi putihnya.

Setelah cukup lama main kejar-kejaran, Mama akan memanggil kami bertiga sambil mengeluarkan sabun dan sampo dee-dee strawberry kami. Lalu kami membersihkan tubuh dengan busa-busa sabun dan sampo di bawah air hujan. Aku dan Aran memandikan Nami, dan di luar kebiasaan, Nami mandi dengan senang hati. Setelah selesai kami masuk ke rumah, aku dan Aran lalu berpakaian. Berkumpul kami di ruang makan, minum teh panas dan kudapan yang sudah disiapkan Mama. Nami menikmati susu dan roti sebagai kudapannya.

Kau tahu kalau main hujan itu melelahkan, Sore? Sehabis main hujan, tubuhku terasa lemas, perutku keroncongan dan mataku perlahan menjadi berat. Selanjutnya pergi kami ke kamar, meluruskan badan di tempat tidur, Nami di atas karpet, lalu pelan-pelan terbang ke sana, alam mimpi. Terlelap kami bertiga, pulas.

Aku bermimpi sedang mandi hujan, hujan es, es serut. Bersama Aran dan Nami. Main perang bola, kejar-kejaran, Nami tergelincir, aku dan Aran tertawa. Seru sekali. Salju putih, bertiga kami di atas putih.

Tuesday, November 24, 2009

Jalan-jalan

Kakak, keponakanku, suka sekali jalan-jalan. ”Tante, ayo kita jalan-jalan!” ajaknya. Keluar rumah, memakai sendal merah mudanya, tak lupa jilbab warna senada. ”Tante, mana jilbabnya?” pertanyaan yang memusingkan. ”Ketinggalan!” asal saja. Gerbang dibuka, jalan-jalan dimulai. Dari depan rumah neneknya yang berpagar abu-abu, jalan kami ke kanan menuju lapangan bulu tangkis. Harus menyeberang, hati-hati, lihat kiri dan kanan. Seperti pencuri. Aman, berlari kecil ia, kakak. ”Kita kemana, Kak?” tanyaku. ”Ke Alfamart, Tante!” usulnya cepat tanpa berpikir dulu. Mungkin sudah dipikir tadi di rumah. Pintar sekali.

Baiklah, jalan-jalan ke Alfamart. ”Mau apa kita ke Alfamart, Kak?” tanyaku basa-basi. ”Jajan donk, Tante!” benar saja, tak meleset dugaanku. ”Kakak bawa uang?” aku suka pertanyaan ini. Diam dia. ”Memangnya Tante gak bawa?” benar-benar pintar. Terseyumku tak tertahan, ”Iya, iya, bawa.” Tersenyum lebar sekali ia, tangannya menari maju mundur, mengayun nakal. Mengajak tangan kananku ikut menari bersama tangan kirinya. ”Jadi, ini Kak yang namanya jalan-jalan?” Nyegir, ”Sekalian, Tante. Jalan-jalan sambil jajan!” Pantas saja mamanya sering bilang, ”Memangnya jalan-jalan gak pakai uang?”

**********************************************************************************

”Perdegaan, kita jalan-jalan, yuk!”, itu Pak Sachri, teman kantorku. ”Jalan-jalan ke mana, Pak?” Mondar-mandir ia mengintip situasi jalan melalui jendela, ”Perputaran saja lah, sekitar sini!” Jangan pusing, memang begitu bahasanya. Punya rumus sederhana, satu kata ditambahkan awalan pe dan ditutup dengan akhiran an. Arbitraire. Bebas saja, boleh kata benda, kerja, kata sifat juga. ”Ayo!” jawabku.

Turun kami ke lantai dasar, keluar melalui lobi. Angin menyambut kami, angin yang selalu berhembus kencang, terutama kala hujan. ”Ke mana kita, Pak?" tanyaku sambil menunjuk jariku ke kiri dan ke kanan. ”Perkananan!” katanya. Maka berbelok kami ke kanan, berjalan cepat sambil berseloroh mengenai apa saja yang kami temui. Sikap Bapak satpam yang selalu siaga, petunjuk parkir yang menyesatkan supir taksi, restoran Italia baru di gedung sebelah, spanduk mengenai donor darah, para joki yang berdandan rapi, hingga pria penjaga toko furniture yang berselonjor di atas sofa dagangannya. Berjalan kami terus ke arah belakang gedung, ke samping apartemen, belok kanan ke arah tempat parkir, melalui gerobak pedagang rujak yang buahnya segar menggoda, lanjut melewati taman kering yang tak terawat, menyapa seorang Bapak satpam yang sedang bertugas, memasuki lahan parkir motor yang sempit, memotong jalan, muncul di depan restoran Cina yang ramai, berjalan terus ke arah pos satpam depan, berhenti sebentar. Pak Sachri mempertimbangkan untuk melanjutkan ke luar komplek perkantoran. ”Cukup, Pak!” ujarku. Setuju ia. Belok kanan lagi, masuk ke lobi, naik lift ke lantai delapan belas. Melelahkan juga jalan-jalan à la Pak Sachri.

**********************************************************************************

Coucou
Itu Dian muncul di kotak chatku.
Coucou
Jawabku.
Bosen neh ! Jalan-jalan yuk !
Jalan-jalan?
Iya, bosen kerja melulu. Loe gak bosen?

Kudiam, berpikir. Iya, bosan juga.
Iya, bosen.
Makanya, jalan-jalan yuk!
Ke mana?
Hmmm... mana ya? Yang deket aja. Jogja?
Aku Belum pernah ke Jogja.
Serius? Kapan?
Kapan ya? Secepatnya. Hampir meledak neh!

Maksudnya otak Dian yang hampir meledak.
Ada long week-end minggu depan.
Beneran?
Heeh.
Ok! Minggu depan. Jogja, we’re comin.
Heh? Kebelet amat! Nginep di mana? Naik apa?
Gampang! Pak Le gw ada di sana. Loe cari tiket kereta ya!
Di Internet?
Iya, dudul. Terus loe ke Gambir, beli.
Belom pernah.
Ya jadi pernah.
Kubuka situs kereta api, ada. Harganya bersahabat.
Okay. Kereta malam?
Yup! Bisa beli kapan?
Nanti jam istirahat.
Okay. Gw telepon Pak Le gw dulu ya!
Ok!
Kabarin kalau sudah dapat tiket.
Ok!
Jangan ok-ok aja! Jalan!
Iya, bawel.

Dua minggu setelahnya terdampar kami di Jogja, Malioboro, belanja menggila. Baju-baju, sendal, tas, jepit rambut, makanan, dompet, alas gelas, sumpit. Hampir semuanya bukan buat konsumsi pribadi, tapi oleh-oleh. Menyenangkan rasanya, menggila, di tengah antah berantah, untukku. Menyenangkan juga tentunya untuk Dian, tak jadi meledak ia. Bahagia karena berhasil jalan-jalan.

Saturday, November 21, 2009

Adik penjual korek api

Oleh-oleh dari Bandung bersama teman-teman baru di Reading Lights hari Sabtu, 21 November 2009.

Itu batang korek apinya yang terakhir. Digosok kedua telapak tangannya sejenak, dipandanginya, lagi dan lagi. Dihembuskan udara hangat dari mulutnya, persembahan seadanya bagi sang tangan.

Kupandangi ia dari sini, gadis kecil penjual korek api. Berambut panjang, wajah oval, senyum manis, tubuh mungil berbalut sweater dan syal merah. Merah, semerah api yang disulutnya. Tak habis pikirku mengapa ia ada di seberang sana, di malam kudus ini. Kemanakah pohon natalnya? Kado-kadonya? Kue-kue santanya, pun keluarganya?

Diambilnya batang terakhir itu, memejam matanya, rapat. Sungguhkah yang kulihat ini? Air mata. Menangis ia. Oh, wajah itu! Pernah kulihat wajah seperti itu, dulu. Adik kecilku. Adik kecil yang selalu bilang tak mau di sini lagi, tak mau hidup lagi. Mau pergi dia, ke surga saja, bertemu mama, katanya.

Bergegas kuberdiri, berlari melalui meja-meja yang berdesakan ini. Kudorong pintu sekuat tenaga, berlariku kencang sambil mengencangkan syal. “Adik kecil! Adikku!” Tersadar ia, mengerjap matanya. Menundukku tepat di hadapannya, terengah-engah membuang udara berembun ke wajahnya. Matanya, cokelat. Indah, seperti adikku. “Kenapa dibakar semua? Tidak dijual?” Mendongak dan menunduk ia, wajahku dan korek api. “Ini?” disodorkannya batang terakhir ke ujung hidungku. “Iya,” jawabku sambil mengangguk tak ragu. “Kakak mau beli?” Tersenyumku sambil mengangguk, lagi. “Berapa?” tanyaku. Tak salah lagi, kulihat itu senyum tipis di wajahnya. “Tinggal satu, Kak!” Kukeluarkan uang dari sakuku, tip dari pelanggan terakhir tadi. “Ini, kakak ambil koreknya, ya?” Tanpa kata, setuju ia. Tangan kanannya melepas korek, tangan kirinya menyambut uang kertasku. “Sekarang pulang, ya! Sudah malam,” pintaku cepat, menghindari saat-saat sentimentil yang kubenci. Berdiri ia, adik kecilku. Dikencangkan syal merahnya. Kakinya mengais salju, menimbun batang-batang yang telah terbakar. Ditariknya syalku, lalu dikecup pipiku, kecupan kecil. “Terima kasih, Kak!” katanya. Tersenyum manis ia, manis sekali.

Kupandang gadis kecil penjual korek api berjalan menjauh, merah. Santaku, mungkinkah dia santaku? Selamat natal, santa sayang!

Thursday, November 19, 2009

Sahur Bhineka Tunggal Ika (1 Ramadhan 1430 H)

Mari kubawa kau ke pagi itu, jam tiga kurang sepuluh di meja makan dan dapur kami. Kala kami sedang bersama-sama menyiapkan makanan untuk sahur pertama Ramadhan ini, sahur pertamaku tanpa keluarga. Bukan terpaksa, tapi pilihan. Kami pagi itu terdiri dari lima wanita berusia sekitar dua puluhan, kita pukul rata saja. Ada asli Sunda, Jawa tulen, campuran Jawa Lombok tapi lebih bangga menjadi orang Jawa, Sunda Cina dan bangga akan keduanya, satu lagi campuran Batak Betawi dan hanya bangga menjadi orang Batak, itu aku. Kau sudah siap? Mari kita mulai!

Kau lihat itu aku? Yang sedang menggoreng tempe bacem kiriman mama di dapur mini ukuran SSSSSD (sangat sangat sederhana sekali sumpah deh). Empat orang lainnya sedang duduk di kursi ruang makan sambil menyiangi sayur bayam dan jagung hasil belanja semalam. “Ada temukunci gak?” tanya salah seorang Jawa. “Nggak, gak perlu lah pake temukunci segala,” jawab Sunda Cina yang menurutku paling jago masak. “Ya sudah, tapi kita masih punya gula kan?” tanyanya lagi. “Masih, tapi kan sayurnya gak akan pake gula,” jelasnya sambil menjawab pertanyaan tersirat dan tak tersirat. Sudah rahasia umum kalau orang Jawa mewajibkan semua makanan berasa manis. “Hahahahaha…” itu aku tertawa bahagia karena tidak harus makan sayur manis layaknya kolak. Tawaku bersambut kecewa dua orang Jawa, walau Jawa kedua ikut tertawa dan tidak protes. Nah kalau tidak suka protes itu salah satu nilai jual wanita-wanita Jawa, nrimo dalam bahasa mereka. Pria mana yang tak suka kalau pasangannya cuma bilang, “enggeh…enggeh, Mas!”, yang artinya iya, ok, tidak masalah, Mas.

Di sela proses masak memasak tiba-tiba saja aku merasakan ada sesuatu, “Aduh, gw mau kentut!” umumku sambil berlari ke arah lorong biar yang lain tidak mati keracunan karena gasku. “Kentut aja pake bilang-bilang, kalau orang Jawa pasti langsung kentut, tapi diam-diam. Hahahahaha…” aku Jawa satu yang langsung diiyakan oleh Jawa dua. “Kalau orang Sunda mah, kentut aja langsung yang kenceng! Hahahahaha…” kalau itu kentut versi Sunda yang blak-blakan.

Sambil ketawa, Jawa satu bolak-balik melihat ke kaki semua orang, termasuk kakiku. “Sendal hitamku mana yah?” tanyanya sambil berteriak. Sendal hitam itu sedang menempel di kakiku, tadi pagi langsung kupakai tanpa permisi. Walau tahu apa yang dia cari, aku tetap tak bergeming. Yang lain menjawab tidak tahu sambil tengak-tengok, basa-basi, mencoba membantu menemukan apa yang dicari. “Ih susah yah, udah disindir juga, tetep aja dipake. Bukan balikin sendal gw!” marahnya sambil mengambil alih sendal di bawah meja makan yang tepat di bawah kakiku juga. “Hahahahaha… Orang Batak disindir, mana ngaruh..” jawabku santai, bukannya berpikir dan merasa bersalah.

Waktu makan tiba, sudah ada lima piring dan sendok di atas meja. Kami ambil satu-satu piring itu. “Gw mau piring yang paling gede ah!” ujarku sigap biar bisa ambil makanan lebih banyak. Yang lain langsung bilang, “Dasar!”. “Ih, aku gak mau pake piring gompal!” si koki ikut-ikutan jadi pemilih. “Hahahaha.. dasar Cina!” timpal si Jawa. Koki Cina kami mempercayai mitos bahwa jikalau kita makan menggunakan piring yang sudah gompal, maka hal buruk akan menimpa. Ada-ada saja memang orang Cina itu. Saat kami sudah mulai makan, dia masih sibuk mengambil tisu dan mengelap piringya. “Ngelapnya harus searah dengan mata angin ya mbak?” guyonku yang langsung disambut dengan tawa semuanya.

Jadilah kami makan sayur asin buatan koki andalan kami, semuanya sepakat kalau sayur itu memang asin, keasinan tepatnya. Tentu saja si koki bilang, “Nggak kok, ini udah pas banget rasanya!”. “Gw putuskan besok-besok gw yang akan masak sayur!” itu si Jawa yang sedang susah mati menghabiskan sayur di piringnya. Selanjutnya kami sibuk makan, cuci piring dan siap-siap menyambut imsak.

Selamat berpuasa semuanya! Sampai jumpa di sahur berikutnya.

Wednesday, November 18, 2009

Bercerita bersama sore – delapan

Madrasah Ibtidaiyah Asasul Islam. Setingkat SD tetapi khusus mempelajari agama Islam. Itu agamaku, Sore. Dipilihkan oleh Mama dan Bapak. Agama yang sudah Bapak punya dari dia lahir, yang baru Mama punya beberapa saat sebelum dia menikah. Mualaf, namanya. Mama mualaf, tak mengerti banyak, jadi tak bisa mengajari anak-anaknya tentang agama. Bapak tahu banyak, sekolah Madrasah juga katanya, tapi tak mau mengajari kami agama. Mama harus belajar, aku belajar, Aran juga belajar.

Setiap selepas maghrib, Mama pergi ke rumah seorang guru ngaji dekat rumah. Belajar mengaji ia, juga sholat. Aku ingat Al-Quran yang selalu dibawanya, satu-satunya yang kami punya. Aku masih pakai Juz-Amma, masih belajar juga. Itu kumpulan surat-surat pendek di Al-Quran, tak tebal dan berat seperti Al-Quran. Aku dan Aran juga mengaji, bersama teman-teman, di rumah Kak Mala. Belajar sholat juga. Tak hanya bersama Kak Mala, pernah juga dengan Tante Anggi, dan beberapa orang lagi yang aku tak ingat namanya. Aku dan Mama masing-masing punya satu mukena. Punyaku kecil berbahan katun. Punya Mama lebih besar dan berbahan licin. Kalau sajadah, hanya satu, warna hijau. Aran punya satu sarung juga, dominan ungu. Aku suka pinjam untuk main ayunan. Kami bertiga belajar agama, Bapak tak perlu, sudah tahu ia.

Saat usiaku delapan tahun, Mama memutuskan memasukanku ke sekolah ini. Sebuah bangunan sederhana sekali, di belakang masjid At-Taqwa. Persegi panjang yang di dalamnya ada lima kelas, satu ruang guru, sebuah mushola sekaligus sebagai ruangan multi fungsi, satu kamar mandi yang untuk ke sana kami harus melalui sumur dan tempat wudhu. Sumur sungguhan, Sore! Sumur yang cukup dalam, kalau diintip. Dari sumur ini lah kami dapatkan air wudhu. Yang kemudian dilanjutkan dengan sholat berjamaah di mushola, sholat ashar. Kau pasti tahu itu, Sore. Sholat ashar itu khusus untukmu.

Pagi hari di Madrasah ramai katanya, kata teman-temanku yang juga sekolah pagi harinya. Tapi kala siang, tak banyak orang. Hanya ada empat kelas, yang dipegang oleh empat guru. Kelas satu punya ustad Hasanudin, kelas dua ustadzah Annisa, kelas tiga ustad Syamsudin, kelas tertinggi punya ustad Burhanudin. Nama ustadku berima, ya? Ustad Hasanudin suka kopi encer dan manis, ustadzah suka teh manis hangat, ustad Syamsudin dan Burhanudin kopi pahit. Kami harus tahu itu, karena itu salah satu tugas piket, selain menyapu kelas dan menghapus papan tulis. Di rumah seberang, rumahnya Ipit, murid madrasah pagi, kami biasa membuat minuman. Ambil gelas-gelas dari ruang guru, bawa dengan nampan, lalu cuci beserta alas dan tutupnya sambil menunggu air mendidih, kemudian masukkan teh, gula dan kopi dan tuang air panas sambil mengaduknya. Bawa keempat gelas ke Madrasah lagi, melewati kopaja-kopaja yang terparkir. Ipit punya banyak kopaja, Sore. Koperasi Angkutan Jakarta.

Teman sekelasku tak banyak, ada Suci, Rusdah, Cecep dan Asep. Iya, cuma berlima. Sepi, tapi bukan masalah. Sebab kami semua semangat belajar, selalu bermain dan bercanda bersama; main tebak-tebakan, benteng, tak jongkok, karet, juga kasti. Aku, Suci dan Rusdah harus memakai jilbab, warna putih. Meski rok kami berkontradiksi dengan hal itu, rok mini. Kemeja putih tangan pendek, rok hijau dan jilbab putih. Selalu begitu. Kalau Cecep dan Asep hanya berkemeja putih lengan juga pendek dan kemeja panjang hijau. Suci lebih muda setahun dari aku dan Rusdah. Anak Bang Jamal, pemilik warung besar di depan SD. Rusdah temanku di SD paginya, bersama kami dari pagi hingga sore. Rusdah punya cara unik menulis, pulpen di tangan kanan dan penggaris di tangan kirinya. Biar tegak dan rapih. Dia yang mengajarkanku rahasia menulis kaligrafi bahasa Arab biar indah. Rahasia, Sore, rahasia. Cecep sekolah di Madrasah ini paginya, datang lagi ia siang hari karena suka belajar katanya. Agak aneh memang, tapi dia memang pintar dan rajin belajar. Asep si penyemarak suasana karena kelakuannya yang lucu, adalah anak pemilik warung kecil di depan Madrasah. Ibu dan Bapaknya selalu di sana, tempat kami jajan gorengan dan limun. Permainan favoritku kala itu adalah cerdas cermat. Kami datang lebih awal sebelum kelas dimulai, biasanya aku dan Rusdah sudah menyiapkan soal-soal; dari pelajaran kami mauoun pengetahuan sosial. Sementara Suci membawa hadiah, chiki, cokelat atau minuman kaleng yang diambilnya dari warung ayahnya. Cecep dan Asep tentu saja jadi peserta. Pada akhirnya, siapapun yang menang kami akan makan hadiah-hadiah tadi bersama. Senangnya. Sayangnya kebersamaan kami hanya dari kelas satu hingga kelas dua, di tahun ketiga Asep dan Rusdah berhenti. Aku lupa kenapa.

Di tahun itu juga ada dua murid baru, seperti pengganti, kebetulan. Bahtiar dan Nurjanah. Keduanya teman sekelas Cecep di kelas pagi. Tertarik mengikuti kelas siang juga karena kekurangan aktivitas, katanya. Lebih enak di sekolah daripada di rumah. Jadilah kami berlima lagi. Nurjanah tinggal dekat Madrasah, pun Bahtiar. Kulitnya putih bersih, berbeda dengan anggota keluarganya yang lain. Karena sering wudhu katanya, aku percaya. Bahtiar tinggal dekat sawah, yang di pinggirnya ada pohon mete besar. Pohon mete yang menjadi saksi petualangan kami selama dua tahun berikutnya. Kami berlima datang lebih awal agar bisa main ke sawah. Ada juga sungai kecil yang airnya bening. Bermain kami di sana, menyebur ke sungai, melalui padang rumput bercapung, lalu berjalan setapak demi setapak menelusuri sawah. Ada orang-orangan sawah juga, Sore! Yang dipakaikan baju, kumal, agar lebih mirip seperti manusia hingga tertipu para burung.

Tempat terindah kala itu, di atas pohon mete. Berdahan utama besar dan kuat, serta beberapa dahan kecil yang juga kuat menopang tubuh kami. Memanjat kami, biasanya aku yang paling tinggi. Tidak, tidak takut jatuh aku, Sore. Aku suka di atas sana. Persis di bawahku ada sungai kecil, di hadapanku terhampar padi-padi hijau yang setia menyapa; selamat siang. Ditambah angin sepoi tak bosan menyapu lembut pipiku. Setelah menghabiskan kurang lebih satu jam di sana, berlari kami segera ke Madrasah, bahasa Arab yang artinya sekolah. Berlari karena kami dengar suara bel berbunyi. Berlari sambil tertawa riang. Mengingatnya saja membuatku merindukan semuanya, Sore. Teman-teman, pohon mete, Madrasah.

Di halaman Madrasah ini aku menerima kabar gembira. Kabar yang disampaikan Aran setelah mengayuh sepedanya sekuat tenaga dari rumah, biar sampai tepat ketika ku pulang. “Teteh, ada pos, buat Teteh!” katanya sambil memberikan sebuah kertas tebal berukuran kecil padaku. Ah, kartu pos dari idolaku, Sore! Eno Lerian. Aku ingat berbulan-bulan sebelumnya pernah mengirimkan surat untuknya. Surat yang kutulis di atas kertas surat berisi kekagumanku padanya. Ingin berteman, kataku. Ih, senang sekali saat itu, Sore! Kupamerkan langsung pada teman-teman. Aran juga senang, karena tetehnya berteman dengan artis. Kami bisa dibilang teman kan, Sore? Kan sudah berkirim surat!

Walau Eno Lerian sudah pernah menyambangi Madrasahku, tapi tetap tak menjadi tenar sekolah kami ini. Tak dianggap. Hingga untuk melaksanakan ujian nasional pun kami harus menumpang di sekolah lain, yang lebih besar, yang lebih banyak muridnya, maksudku. Setelah latihan soal-soal yang bertubi-tubi, ustad Burhanudin tak lupa melengkapi dengan wejangan-wejangan agar kami tak gugup hingga bisa menyelesaikan semua soal dengan baik. Diantarnya kami tiga hari itu ke sebuah Madrasah yang letaknya tak terlalu jauh dari tempat kami, cukup sekali naik angkot saja. Sekolahnya bertingkat, banyak sekali murid di sana, bercampur, terlihat dari seragam yang berwarna-warni. Kami ya berlima saja, aku, Suci, Cecep, Nurjanah dan Bahtiar. Selama kami mengikuti ujian, ustad setia menunggu di luar.

Hasil ujian diumumkan beberapa minggu setelahnya. Lulus semua. Nilai sangat memuaskan, lebih dari cukup. Bahagia, kami bahagia, ustadz sangat bahagia. Kelulusan dirayakan dengan sebuah acara perpisahan di ruang mushola yang disulap menjadi panggung dan kursi-kursi penonton. Dicampur, murid kelas pagi dan kelas siang, jadi banyak, ramai. Mengaji, saritilawah, menyanyi, menari, berpuisi. Tak lupa saling bertukan pas foto yang sudah kami siapkan sebelumnya, beserta alamat dan nomor telepon, kalau ada. Selamat tinggal para sahabat, selamat tinggal wahai ustadzah dan ustad. Empat tahun yang menyenangkan dan membanggakan. Aku mengerti banyak tentang Islam sekarang. Terima kasih.

“Ega itu, satu-satunya cucu yang lulus SD dan Madrasah bersamaan. Satu-satunya,” ujar almarhum Mbahku, bangga.

-bersambung-

Tuesday, November 17, 2009

Sepatuku


Sepatuku, setia menghangatkan para kaki.
Kaki yang setia menopang tubuh ini.
Sepatuku, berwarna cokelat terbuat dari kulit.
Kulit apa ku tak tahu yang pasti lembut juga membalut kulit.

Sepatuku, dibeli dengan uangku sendiri.
Uang hasil bekerja setiap hari.
Sepatuku, modelnya sederhana, tak manis juga cantik.
Tapi unik dan menarik.

Sepatuku, kusuka karena tak bertali.
Tali yang merepotkan kalau sedang buru-buru pergi.
Sepatuku, berpotongan pendek tepat di bawah mata kaki.
Tetap bagus walau tanpa kaos kaki.

Sepatuku, ringan dipakai berjalan pun berlari.
Berlari mengejar bis kota yang menghitami kota ini.
Sepatuku, beratap keras baik untuk melindungi.
Melindungi para kaki saat stiletto mampir menyambangi.

Monday, November 16, 2009

Bercerita bersama sore – tujuh

Bukan, seragam SD itu warnanya merah putih, Sore. Ih, kau harus percaya padaku! Aku kan pernah SD. Iya, bertahun-tahun yang lalu. Tahun berapa ya? Seribu sembilan ratus delapan puluh sembilan, usiaku enam tahun waktu itu. Tidak jauh, tetap di Pejaten, tinggal menyeberang saja. Menyeberangnya dari depan masjid At-Taqwa. Iya, bisa berjalan kaki, naik angkot juga bisa. Mikrolet warna biru, bayarnya seribu. Tapi aku hampir selalu menumpangi kakiku untuk bersekolah. Pernah itu beberapa kali naik mikrolet, iseng saja, pernah juga nebeng tetanggaku yang anaknya sama sekolahnya, di SDN Pejaten Timur 07 pagi. Iya, memang ada sekolah pagi dan petang. Aku, pagi. Mama bilang lebih bagus pagi, masih segar, masih semangat. Alasan yang kemudian bertentangan dengan keputusannya memasukkanku ke Madrasah, siangnya.

Kelas satu, dengan tubuh kecilku, tas besar bergambar warna merah dan putih, tempat pensil kaleng yang selalu ribut setiap diajak jalan, sepatu kets warrior hitam putih yang kebanjiran kala hujan, dua pita merah di kepala seperti tanduk saja, berangkatku ke sekolah tiap paginya, Senin sampai Jumat, jam setengah tujuh. Tak sendiri, selalu sama Evi. Kalau Evi, beberapa kali sendiri, saat ku sakit. Evi, tak pernah sakit. Anak Indonesia sejati dia, Sore. Evi, tetanggaku, laki-laki, berkulit gelap, Betawi campuran apa, aku lupa. Tulisannya keriting, bikin pusing. Kalau menghapus tidak bersih, kalau mau bersih, harus sobek bukunya. Selalu begitu. Kalau sedang baik, kuhapuskan tulisannya. Pintar, tidak lebih pintar dariku, pun di bawahku. Rajin, jauh lebih rajin dariku, selalu menyimak pesan Ibu guru. Suka jajan, kalau makan berantakan. Berani, tidak nakal. Aku pun tidak nakal, tapi penakut.

Ada satu hari yang paling kubenci, datang tiap enam bulan sekali. Hari periksa gigi. Aku benci sekali. Tak suka. Evi tak benci hari itu, tak pula suka. Dia baik-baik saja. Hari itu, tak pernah diumumkan sebelumnya, selalu menjadi kejutan. Tiba-tiba saja di jendela kelas sebelah kiri, terlihat pasukan berjubah putih dengan ibu cantik di paling depan. Ibu cantik itu dokter gigiku, dokter gigi kami. Praktek di Puskesmas Pasar Minggu, kata Mama. Ah, tak bisa lagi aku konsentrasi belajar, Sore! Tak bisa. Jantungku berdegup kencang, wajahku memerah, dudukku gelisah, tak lupa keringat melengkapi semua, mengalir dia pasti di sela telapak tangan. Bu guru harus ke luar sebentar, ke ruang guru. Untuk berkoordinasi, mungkin. Aku pun harus ke luar sebentar, ke ruang ganti baju putri. Untuk bersembunyi, tentunya. Menyelamatkan diri. Sudah dua kali kugunakan trik ini, berhasil. Ibu guru sibuk, dokter sibuk, teman-teman sibuk, semua orang sibuk, tak ada yang akan menyadari ketiadaanku.

Di sana gelap, lembab dan bau. Tapi tak apa, jauh lebih baik dari bau obat, sarung tangan plastik, senter di kepala, besi besar penyodok gigi, mangkuk pisang penampung mayat-mayat gigi, kapas bercairan pahit dan darah. Maka, bersembunyi ku di sana, sendiri, sunyi. Hingga tiba-tiba kudengar derap langkah perlahan mendekat, makin dekat, tambah dekat. Ngiiikkk... Itu pintu membuka, Sore. Pintu tua, aku tahu dari bunyinya. Datang lagi langkah itu, ke arahku, ke tempat persembunyianku. Tok tok! Suara pintu diketuk. Bukan, bukan pintu tadi, tapi pintu yang ini. Sepatu itu, pasti punya Ibu guru. ”Keluar Teh!” itu suara Mama. Hampir copot jantungku. ”Iya Ma,” jawabku sambil menggeser kunci pintu. Belum sempat ku melihat wajahnya, langsung bergerak tubuhku, ditariknya. Dengan tenaga besarnya, seperti biasa, Mama menggenggam erat sikuku, membawaku ke ruang guru tanpa menoleh sedikitpun. Mama tak melihat wajahku, tak menghiraukan anak-anak yang sedang menertawakanku. Ditarikku hingga ke ruang guru, sesaat yang amat singkat kusapu pandangan, ada Ibu dan Bapak guru yang senyum-senyum, ada juga Ibu dokter dan kawan-kawannya yang, juga, tersenyum. Dan ah, akhirnya ada juga yang tak ingin menertawakanku, serius sekali wajahnya, teman sekelasku yang duduk di hadapan Ibu dokter yang sedang memasukkan kapas yang kukenal aromanya ke dalam mulutnya, ”Gigit!” kudengar perintah itu. Temanku berdiri, selanjutnya giliranku menduduki kursi itu.

Jantungku berdegup kencang, hingga bunyinya tak bisa ku tahan, menyusup ke telinga yang lain. Tak bisa ku mendengar, sunyi. Tak bisa ku duduk santai, tegang. Tak bisa ku menganga, kaku. Mama seketika menjadi asisten dokter, membuka paksa mulutku yang kemudian dikunjungi besi Ibu dokter. Seperti biasa, besi itu akan diketokkan ke beberapa gigi, seperti bilang, ”Assalamualaikum!” dan gigi-gigiku mau berpura-pura tidur saja atau sedang pergi hingga tak harus menerima kunjungannya. Lalu entah berdasar apa, Bu dokter menemukan gigi yang harus dienyahkan dari mulutku, padahal aku tak bermasalah dengannya. Takut, aku takut, pasti sakit sekali, dan berdarah. Oh, Sore, ku memberontak, harus lari, pikirku saat itu. Seketika itu Bapak guru olah raga, Pak Sugeng, membantu Mama memitingku. Ibu Dokter dan asisten berjubah putihnya menunaikan tugas dengan sigap, pun Mama dan Pak Sugeng. Hilang rasa, seketika sibukku menendangi mereka. Energiku saat itu dikerahkan seluruhnya untuk berontak, meronta, tak jua merasa. Hingga kudengar perintah itu, ”Gigit!” Sudah selesai Sore, pergi sudah gigiku, secepat itu. Rasa ngilu kemudian menyambangi. Dan oh, baju Mama, Pak Sugeng dan Ibu dokter terciprat darahku. Haha! Menyenangkan rasanya. Ini yang namanya win win solution, semua menang, semua senang. Dan kedatangan Mama ke sekolah hari itu masih menjadi misteri hingga kini.

Misteri lain, Sore, surat cinta. Kau pernah menerima surat cinta? Aku pernah. Di SD ini kali pertama aku menerimanya. Surat yang ditulis di selembar kertas bergambar bunga, beraroma tajam, dan ku tak suka. Aku juga suka membeli kertas surat, tapi bukan yang norak. Aku membelinya bersama Aran, di Tetap Segar, toko lumayan besar dekat Pasar Minggu. Maka itu, kubaca surat cintaku yang, sejujurnya, tak sepenuhnya ku mengerti. Surat cinta pertama yang kuterima di kelas empat dari murid SD seberang; Iya, jadi SDku berhadapan dengan SD lain, 09 pagi. Jika burung-burung melihat dari angkasa sana, 07 dan 09 membentuk persegi panjang, tiap dari mereka membentuk huruf L. Siapa namanya ya? Aku lupa. Tapi aku ingat Ayahnya punya pabrik tempe, hingga teman-temannya menjuluki juragan tempe. Isinya kurang lebih adalah pernyataan cinta, sepertinya. Anehnya aku tak tersanjung, tak juga tersinggung. Tak penting, jadi kubuang saja suratnya setelah kutunjukan ke beberapa teman wanita. Di kelas enam ada lagi surat darinya yang lagi-lagi dititipkan ke tetangganya, Rusdah, teman sekelasku. Kali ini aku mengerti, Rusdah juga. Kami tertawa, tak bisa berhenti. Isinya begini Sore, kurang lebih, dia tak suka lagi padaku jadi dia memutuskanku, tak mau lagi jadi pacarku. Dulu, pacaran itu artinya laki-laki dan perempuan yang saling suka lalu saling berkirim surat. Aku tak suka padanya, tak pernah kumenulis surat cinta. Tapi itulah, aku diputuskan, untuk pertama kalinya, oleh anak SD tetangga, sang juragan tempe. Tidak, aku tidak sakit hati, Sore. Aku belum tahu apa itu sakit hati.

Eh, tapi aku tak tahu apakah pengalamanku yang satu ini bisa dibilang sakit hati atau tidak. Kau tahu kalau Mama itu guru, Sore? Iya, guru SD tapi bukan di SDku. Semua orang tahu, teman-teman juga guru-guru. Aku bangga sekali menjadi anak guru. Mama cantik sekali kala berseragam mengajar, Sore. Dengan kemeja lengan pendek beremblem, rok pendek warna senada, cokelat, dan sepatu berhak. Cantik sekali. Tapi ada saat tertentu aku tak bangga beribu seorang guru. Aku ingat itu di kelas empat, kelas kami digabung, A dan B. Aku selalu di kelas B, anak-anak yang katanya lebih pintar ada di kelas A. Aku dan Evi selalu bersama di kelas B. Ibu guru mengadakan cerdas cermat sederhana dadakan. Memang benar anak-anak kelas A pintar-pintar, tapi tak lebih pintar dari kami, menurutku. Maka saat aku, Evi dan teman-teman kelas B lain melahap banyak pertanyaan, teman-teman dan Ibu guru kelas A kaget sekali. Puncaknya, saat aku mengacungkan jari kala ingin menjawab pertanyaan terakhir bernilai paling tinggi dan menentukan siapa pemenangnya, setelah beberapa lama tak ada yang mengacung sebelumnya, Ibu guru mempersilahkanku untuk menjawab. Dan iya, jawabanku benar, Sore. Teman-teman bersorak, ramai. Menang kelas kami. Ibu guru kelas A dan teman-teman bilang, ”Wajar saja, anak guru!” Sejujurnya aku tak yakin akan pesannya, tapi entah mengapa aku tak suka, tersinggung. Aneh ya aku, Sore?

Kali lain setiap testing di akhir catur wulan, nilaiku selalu bagus, termasuk yang paling bagus, malah. Tapi Ibu guru seringkali mencurigaiku yang sudah tahu soal sebelumnya, karena Mama. Iya, karena Mama seorang guru, jadi Mama yang memungkinkan untuk mencari tahu soal sebelumnya pasti memfasilitasiku guna tak perlu menanggung malu karena anaknya, yang anak guru, tidak pintar. Tapi di tahun keenam berhasil kubungkam mereka semua dengan meraih nilai kedua tertinggi di sekolah pada ujian akhir kelulusan yang, pastinya, Mama pun tak bisa membantuku karena kerahasiaan soal-soal ujian yang tak diragukan lagi. Ah, Ibu, Bapak guru, teman-teman, kalian memang benar. Aku pintar karena aku anak guru, anak Mama.

Setelah hari cerdas cermat itu, aku dapat teman baru dari kelas A, Herman namanya, yang ternyata tetangga aku dan Evi juga. Jadilah kami bertiga berangkat dan pulang bersama. Herman dan Evi banyak disukai teman wanitaku, kenapa ya? Sepertinya karena mereka pintar. Diapit mereka berdua membuatku disukai teman-teman wanita, jadi sumber informasi; Rumah Herman di mana? Dekat sama rumah Evi juga? Kalau pulang kalian lewat mana? Suka belajar bersama juga? Evi suka jajan apa? Herman punya kakak tidak? Pernah berantem? Baikan Herman atau Evi? Selalu seputar mereka. Tak apa, aku juga suka. Mereka, Evi dan Herman kesukaanku. Kami punya kesukaan yang sama, sama-sama suka jajan gorengan sebelum pulang, untuk dimakan sepanjang perjalanan. Sama-sama suka jalan kaki di samping rel kereta, lalu menyeberanginya di pagar besi yang menganga. Tengok kiri tengok kanan sambil mendengar suara kereta, aman, berlari kami menyeberangi dua jalur kereta sambil berteriak. Tidak, cuma aku yang berteriak, yang lain tidak. Terpingkal bahagia kami, maut tertaklukan. Tapi ini rahasia, Sore. Rahasia besar. Jika ketahuan bisa dimarahi kami. Kenapa tidak menyeberang di depan sekolah sama Bang Mada? Tapi kan Bang Mada juga menantang maut, mana dia tahu kalau kereta mau lewat atau tidak? Sama saja seperti kami. Iya kan, Bang Mada?

Hanya di SD ini lah aku dan Aran bersekolah bersama, sisanya, berbeda. Saat ku kelas empat, Aran masuk ke sekolah yang sama, kelas satu ia. Waktu itu kulitnya belum hitam kelam, masih cokelat bersih, belum banyak main. Enak sama-sama? Apanya yang enak? Aku tak ingat kesenangan bersekolah bersama adikku itu. Kau tahu, Sore. Di setiap sesaat sebelum istirahat kedua, keluar main kami menyebutnya, Aran akan setia mengintipku di depan pintu kelasku. Awalnya aku pikir dia belum punya teman, aku melupakan sifat supelnya yang tak kupunya. Pastilah sudah punya banyak teman ia, bahkan sampai murid-murid kelas enam. Kuhampiri dia, yang mendekat membisikkan sesuatu ke telingaku, ”Teteh, uang Aran habis. Aran lapar, minta uang ya?” Ada udang di balik batu. Itu menjadi rutinitas yang disadari Ibu guru, yang kemudian menceritakannya pada Mama saat bagi rapor, ”Ega sama Aran akur banget ya? Setiap istirahat kedua pasti Aran nyamperin kakaknya, Bu.” Mama senyum-senyum bangga, aku, tertunduk saja.

Pernah itu satu hari saat aku sedang belajar, Bu Syarifah, kepala sekolah datang ke kelas, memanggilku. Ada apa ya? Kalau Ibu kepala sekolah sampai memanggilmu, tandanya ada masalah besar, Sore. Permisiku pada Ibu guru lalu berjalan mengikuti Bu Syarifah ke ruangannya. Tak dinyana tak diguda, sudah ada Aran di sana, duduk berdampingan dengan anak laki-laki, kelas enam. Aran duduk santai, si kelas enam duduk tegak sambil memegangi sapu tangan menutupi hidungnya. Bu Syarifah mempersilahkanku duduk lalu bercerita ia. Aran menonjok anak laki-laki itu, katanya, sampai hidungnya berdarah. Aku diminta untuk menyampaikan pada Mama untuk datang esok, bertemu Bu Syarifah juga. Di sela cerita Aran berkata, ”Tapi kan Aran dipalak, Bu!” Terjawab sudah pertanyaan di benakku. Tak mungkin adikku memukul tanpa sebab, karena Bapak bilang, kalau kita dipukul baru boleh pukul balik. Tidak boleh itu memukul duluan. Aku hanya menjawab, iya.

Sepulangnya dari sekolah kudapat cerita selengkapnya. Si anak kelas enam berbadan besar tadi memalak Aran, lalu ditolaknya, tentu saja. Tapi si kelas enam memaksa, dipojokannya Aran kemudian Aran mendorongnya. Kesal dia, ditarik Aran ke arahnya, paksa. Lebih kesal lagi, Aran menonjoknya sekuat tenaga, lunglai dia, berdarah. Haha! Tertawa kami hingga menangis sepanjang jalan, tak sabar ingin cepat tiba, bercerita pada Bapak. Bapak tertawa, sampai nangis juga. Malamnya kusampaikan pada Mama, tentang undangan Bu Syarifah. Aran diminta cerita, menurut versinya, tentu saja. Setelah itu Mama tertawa, juga. Tapi tak sampai menangis ia. Tak apa, kata Mama. Aku lupa esoknya kasus perkelahian itu dimenangkan oleh siapa. Tak kami bahas lagi di rumah. Sudah berlalu, tak penting lagi.

Aku lulus tiga tahun lebih dulu, Aran melanjutkan ceritanya sendiri setelah itu. Entah bagaimana dia jajan di istirahat kedua. Ah, dia tidak meniru cara si kelas enam kan, Sore?

-bersambung-

Sunday, November 15, 2009

Untuk Madame, yang keseribu kalinya



Aku takut. Bagaimana jika satu hari nanti tak dapat kudengar lagi suaranya? Tak mampu lagi kubaca tandanya? Lebih mengerikan lagi, tak mau kuhiraukan semua, semua pintanya.
Jangan. Aku tak mau jadi aku yang itu.
Wahai semua, alam semesta, berdoalah untukku. Berdoalah untuk kami. Agar tak kudung tali ini. Izinkan telingaku selalu mengindahkan suaranya, terangi mataku hingga tak henti kutatap wajahnya, taklukan hatiku untuk segala pintanya. Semua.

Pagi itu, dua hari lalu, melintas sepintas tak kunjung tuntas, wajahnya. Samar. Tapi kukenali ia. Hadir sehari penuh, di hariku.
Pagi itu, dua hari lalu, terngiangku akan katanya, tentang kesetiaan, tentang pengorbanan. Betapa tak boleh ku menjadi sombong setelah semuanya. Tak ingin ia, jika ku menjadi seorang bakhil akan waktu dan energi untuk akarku. Kecewa sekali ia, jika tangan-tangan kami tak lagi saling tertaut, erat. Meneruskan semua yang telah ia torehkan, yang telah ia ceritakan, dengan tinta hitam nan membanggakan di buku kami. Pastilah sedih ia jika harus menyaksikan jari-jari anaknya merenggang, perlahan saling melepas; jari dengan jari, kulit dengan kulit, sentuhan dengan sentuhan, akar dengan akar.

Aku takut. Bagaimana jika satu hari nanti tak kulihat lagi wajah-wajah mereka? Anak-anaknya. Mereka, kami, semua. Bagaimana jika jenuh kami tertawa bersama? Bagaimana jika akar telah terbabat semua? Tak tersisa. Bagaimana jika ternyata anak lah pembunuh mimpi-mimpi sang Bunda? Jangan. Jangan.

Pagi itu, satu hari lalu, kubaca tandanya dengan jelas, pahamku. Kedatangannya, suaranya, tandanya.
Pagi itu, satu hari lalu, kugenggam akarku erat, erat. Tersenyumku bahagia karenanya. Kutahu harus apa.
Pagi itu, satu hari lalu, kupejamkan mataku di tempat itu, di rumah itu, tempat biasa kami bersama, para bunda bersama anak-anaknya. Menariku mundur ke waktu yang tlah berlalu. Itu dia, kami, duduk di sana, tertawa, bersama, berbagi cerita.
Pagi itu, satu hari lalu, kubuka mataku, mendadak memejamku kembali. Tak banyak yang duduk bersama, mana tawa, kembalikan semua cerita.

Haruskah kubuka atau kupejamkan lagi?
Yang mana nyata dan yang tinggal cerita?
Kuenyahkan takutku, pergi.
Ku rindu dia.
Ku rindu dia.
Rindukah kalian semua padanya?
Rindukah?

Jangan pergi.
Mana jari-jari? Mari kita kumpulkan lagi!
Genggam lagi, seperti dulu, seperti kemarin.
Ini jariku, genggamlah erat, jangan dilepas.
Aku tahu kau belum pergi, belum kan?
Hanya lupa. Pasti hanya lupa.
Tak apa, tak mengapa.

Bagaimana jika kita bersama lagi? Iya, kita semua.
Tertawa, berbagi cerita, berbahagia.
Bahagia kita, pasti bahagianya.
Iya kan, Madame?

Maafkan kami, maafkan aku.
Tetaplah tersenyum di sana, jangan lelah.
Izinkan kami melanjutkan cerita, ceritamu, cerita indahmu.
Untukmu Madame, yang keseribu kalinya.





Wednesday, November 11, 2009

Bercerita bersama sore - enam

Hahaha! Kau lihat itu, Sore? Gadis kecil berseragam merah putih, berlari kencang, menghindari tangkapan ibunya. Tergopoh-gopoh si ibu di lapangan becek itu. Aku juga dulu begitu, tak mau mandi, maunya main saja. Ah, mamaku juga sama, melarangku bermain kala berseragam. Harus ganti baju dulu, katanya. Baju putih, susah mencucinya. Kenapa sekolahku tidak mengganti warna baju kami, ya? Biar kami leluasa bermain dan belajar. Biar mama tak marah saat kami main sepulang belajar. Nanti, di sekolahku, sekolah milikku nanti, seragamnya oranye saja, atau hijau. Iya, Sore. Aku mau punya sekolah sendiri. Sekolah tempat aku dan kawan-kawan menjaga penerus bangsa ini, dari debu-debu perkembangan zaman yang tak lagi sejalan dengan iman dan kebahagiaan.

Tidak, tak serta merta aku memiliki cita-cita ini. Dulu, waktu aku kecil, banyak sekali cita-citaku. Berganti-ganti. Aku kecil, Ega, berbadan kurus, rambut tipis, lurus, pendek dan berbuntut bagai kuda. Bukan dikuncir kuda, tapi bapak sengaja memanjangkan rambut bagian belakangku, saja, untuk kemudian dirawatnya bagai ekor kuda. Aku tak tahu rasanya, tak ingat. Yang kuingat, aku satu-satunya murid di Taman Kanak-kanak Bintara Indonesia Tiga yang berbuntut. Satu hari, ibu guru memanggilku, “Ega, besok buntutnya digunting ya. Bilang sama Bapak.” Pulang sekolah, kutemui bapak, “Pak, kata ibu guru besok buntut Ega mesti digunting.” Bapak bilang, “Bilang sama Ibu Guru, uangnya mana, buat ke salon?” sambil tertawa. Esok harinya aku ditanya ibu guru, ”Kenapa buntutnya belum digunting, Ega?” Kusampaikan pesan bapak, amanah, ”Kata Bapak, uangnya mana Bu? Buat ke salon.” Tertawa ibu guruku, tapi tak memberiku uang, pun pesan buat bapak. Malamnya bapak memanggilku ke halaman rumah, dibawanya gunting dan selembar koran bekas. Aku disuruhnya jongkok dan membelakanginya. Bapak lalu memotong buntutku, sambil bilang dadah. ”Gak jadi ke salon kita, Pak?” tanyaku. ”Kan gak dikasih uang sama Bu Guru,” jelasnya sambil, lagi-lagi, tertawa. Aku tak mengerti kenapa bu guru memintaku menggunting buntutku, padahal lucu. Tak suka kah ia? Aku juga tak mengerti kenapa bapak menurut saja sama bu guru, tak suka juga kah ia?

Kali pertama ku bersekolah saat usiaku tiga tahun. Mama menuruti pintaku untuk bersekolah, tergoda oleh cantiknya seragam biru bak pelaut itu. Kemeja tangan pendek dan rok bergaris biru putih, seperti langit. Tak lupa topi warna senada dengan karet pengait untuk di dagu. Kelas A waktu itu, kelas paling kecil, kelas bermain. Aku, salah satu anak terkecil di sekolah. Kecil sekali hingga teman-teman suka menindasku, apalagi si Uki. Uki, badannya lebih besar dariku, laki-laki, wajahnya lancip, nakal, suka menarik buntutku, merebut ayunanku, meminta bekalku, menertawakanku. Aku tak suka dia, Sore.

Bekalku, selalu itu, wafer superman, astor, jelly dan sebotol air putih. Di jam istirahat aku dan teman-teman suka jajan bubur ayam, lewat sela pagar sekolah. Aku belum mengenal uang saku, jadi cukup ku meminta bubur dan mama akan membayar tiap Minggu pada si Abang bubur.

Di TK, aku dikenalkan pada istilah absen. Di sisi kanan kelasku, ada papan tempat tergantung buah-buahan. Buah dari kayu, tertempel di papan kayu. Ada jeruk, apel, pisang, mangga, nanas, durian, punyaku, anggur. Anggur berwarna ungu, ada daun hijau di atasnya. Kalau aku sudah datang, ku gantungkan anggurku di papan. Sebelum pulang, ku turunkan lagi dan ku taruh di kotak panjang di bawah papan. Anggurku, bagaimana kabarnya ya, Sore?

Kala ku di kelas B dan C, sudah mulai ku ikuti banyak kegiatan. Olah raga, bernyanyi dan menari. Seingatku paling sering menari. Satu hari, menari ku di sebuah ruangan, bersama teman-teman, tapi bukan di sekolah. Di sekitar kami ada banyak orang tak dikenal, juga ada kamera. Shooting. Menari kami untuk kemudian disiarkan di televisi, TVRI. Ditayangkan beberapa Minggu kemudian, sore hari. Kau tahu rasanya masuk tv, Sore? Aneh. Aneh sekali melihat dirimu di tv, sedang menari, sementara dirimu ada di luar tv, menonton dirimu yang sedang menari. Tapi Mbahku tidak merasa aneh. Senang sekali ia. Menonton cucunya yang sedang menari di tv, sambil menangis. Itu terharu namanya, kata mama. Kalau kita menangis kala bahagia. Sering juga aku dan teman-teman menari di panggung, di halaman sekolah, dekat kolam pasir. Kami memakai baju warna-warni, jari kami diikatkan sapu tangan agar melambai cantik kala menari, tak lupa wajah kami diwarnai. Ingat aku mama yang seringkali mengeluh kala mewarnai wajahku, mendandaniku dengan peralatan make upnya. ”Tipis sekali sih bibir kamu. Susah tahu pakai lipstiknya!” Jadilah mama mencolek lipstiknya untuk kemudian dioleskan ke bibirku dengan jarinya, begitu saja.

Sekolah dimulai jam tujuh pagi sampai sebelas siang. Kebanyakan teman-teman diantar jemput oleh mobil sekolah. Aku ingin sekali bergabung bersama mereka, tertawa bercanda di dalamnya. Tapi tak bisa, rumahku dekat sekali dari sekolah, hingga tak perlu diantar jemput. Tidak, aku memang tak diantar, Sore. Tapi aku selalu dijemput. Ada seorang penjemput setiaku, adikku, Aran. Setia sekali dia menungguku di gerbang sekolah, bersama para penjemput lain. Adikku penjemput termungil di sana. Dia akan melambaikan tangannya sambil memanggilku, ”Teteh!” dengan kencang. Kuhampiri dia, lalu dia akan mengambil tas dari tanganku, disampirkannya di pundak. Kuraih tangannya, berjalan kami, pulang. Tak lupa ku ceritakan cerita di sekolah hari itu.

-bersambung-

Tuesday, November 10, 2009

Bercerita bersama sore - lima

Jangan kemana-mana dulu, Sore. Di sini saja, menemaniku. Aku lagi tak mau sendiri. Tapi di sini lah aku, sendiri. Setidaknya ada kau, Sore. Mau ya? Terima kasih. Kau memang baik sekali, tak kunjung bosan menemaniku. Biar ku bercerita untukmu, lagi. Biar tak bosan kita. Kau belum bosan kan?

Kenapa aku terdampar di sini, di sore yang cerah bermatahari ini sendiri, di kamarku, adalah karena aku sedang tak ingin keluar. Tak ingin menyapa, tak ingin disapa. Bukan, aku tidak sedang marah dengan siapapun pun bosan apalagi sombong. Hanya sedang tak mau. Kawan-kawan, tetangga, mereka pergi, sendiri-sendiri, dari tadi pagi. Semua punya urusan, punya kesibukan. Tidak, aku sedang tidak ada urusan, apalagi kesibukan.

Sepertinya ada yang aneh dengan tubuhku, Sore. Agak lemas dan tak bersemangat. Tidak, aku tak lelah. Wong tidak banyak berkegiatan sedari kemarin. Agak tidak sehat, nampaknya. Mau tidur tapi enggan. Bangun pun segan. Tak bisa berpikir banyak aku, Sore. Gantian, kau saja yang bercerita, bagaimana? Ah, harus dilatih itu. Aku juga dulu tak suka bercerita, tapi lama-lama biasa. Kutanya, kau jawab, bagaimana? Setuju?

Kita mulai dari mana ya? Oh, apa kau suka pagi, siang dan malam? Jangan cuma iya, ceritakan padaku mengapa. Berceritalah tentang mereka. Bercerita hingga ku terlelap, ya?

Oh, jadi tugas Pagi itu mencerahkan hari, hari-hari. Makanya bersahabat ia dengan matahari ya? Sejak kapan mereka bersama, Sore? Pantas saja tak pernah berpisah mereka, sejak lahir sudah bersama. Pagi dan matahari, kolaborasi yang indah sekali. Tolong katakan pada mereka, betapa ku berterima kasih karena selalu dibangunkan dengan bersitan cahaya melalui tirai kamarku, cahaya selamat pagi dari sang Pagi. Cahaya yang menelusup masuk kala kubuka tiraiku, menyinari seluruh ruangan laksana berkata, ”Selamat pagi semua.” Matahari seringkali bersiul memanggilku, berkedip memintaku melihat mereka, burung-burung di angkasa. Burung-burung kecil yang sepertinya hendak bekerja, membuatku ikut bersemangat bersama mereka.

Bagaimana dengan siang? Bersahabat juga kah dengan matahari? Siang menyambung pagi, bersinergi bersama matahari. Siang menyukai energi, keringat dan semangat. Ada ia untuk memicu semua, memicu manusia, pohon, bunga, kupu-kupu, penghuni hutan, pantai, pegunungan, alam semesta. Memicu kita untuk terus bekerja, bersama. Matahari pun merekahkan senyumnya, bergandengan bersama siang, untuk kita. Iya kan, Sore?

Kalau Malam, tak suka kah dengan matahari, Sore? Oh, jadi malam itu sahabatmu? Apakah kau tak suka dengan matahari? Iya benar, bulan. Kalian bersahabat dengan bulan. Tapi aku tak sering melihat bulan bersamamu, hanya bersama malam. Kau lah yang memanggilnya, untuk kemudian menemani malam. Manis sekali dirimu, Sore. Malam mencintai keremangan dan kedamaian. Bahagia ia melihat keluarga yang bercengkrama, melalui jendela. Tak henti tersenyum ia mengamati induk burung yang meninabobokan anak-anaknya. Terbuai sang malam menyaksikan kekasih yang sedang bercinta. Tak jarang tertegun memandangi para penjaga yang setia melindungi tuannya. Ia juga setia menaungi mereka yang berduka. Malam dan bulan sering berbagi cerita, cerita mereka. Bintang tak jarang turut serta. Ah, malam memang mendamaikan, Sore. Tak pernah aku bosan ditemaninya menulis, bercengkrama dengan para tetangga, makan bersama. Malah aku ingat pernah memintanya untuk tinggal lebih lama, kala ku bersama kekasihku. Kali lain kala ku dirundu biru. Malam selalu mendengar pintaku. Kau percaya itu, Sore? Sampaikan juga terima kasihku padanya, ya.

Dan kau, Sore. Biarkan ku yang bercerita tentangmu. Kau bersahabat dengan matahari dan bulan. Kau yang mengucapkan selamat tinggal pada matahari dan setia memanggil bulan. Kau mendamaikan angkasa, selalu menari bersama angin seraya menyapa semua membisikkan kata, ”Mari beristirahat, kawan!” Kau tertawa menyaksikan gadis-gadis kecil bermain di taman, menikmati pemandangan orang tua memandikan anak mereka, memastikan para penyendiri menutup semua tirai, menyertai para pekerja kembali ke rumah, mengingatkan kami semua bahwa masih ada hari esok. Dan kau, Sore. Aku suka dansamu bersama angin itu. Membuaiku, sendu.

Sore, mataku hampir terpejam. Bolehkah ku menginggalkanmu kini? Jangan berhenti membuaiku, kawan. Aku suka. Jangan lupa esok datang lagi. Sore, soreku.

-bersambung-

Monday, November 9, 2009

Kado dari Keraton


Pohon itu cukup menarik, dengan perpaduan sedikit warna yang sederhana, bentuk yang terlihat kokoh tapi bersahabat, apalagi dengan tulisan antiknya yang walaupun tak bisa kubaca tetapi terlihat unik dan cantik. Tulisan yang memahat nama-nama penghuni pohon. Batang utama pohon itu berwarna cokelat muda, ukurannya cukup lebar, akar-akarnya banyak dan besar, menunjukkan bahwa mereka sedang menopang pohon yang kekar. Pohon cokelat itu menopang beberapa dahan besar, seingatku jumlahnya delapan, jumlah yang melambangkan pasangan hidup yang dimiliki pohon kekar semasa hidupnya. Dahan-dahan digelayuti oleh daun-daun besar berwarna hijau muda dan cokelat muda, pembeda kaum Adam dan Hawa untuk buah cinta pohon kekar dan dahan-dahannya.


Mataku langsung terpaku pada satu dahan, tak seperti dahan yang lain yang bergerak ke samping kiri dan kanan pohon kekar, dahan ini menjulang ke atas, seperti mendongak ke langit, dengan satu, hanya satu, daun hijau dengan ukuran yang sama seperti daun-daun lainnya. Di tengah daun tersebut tertulis nama anak pertama yang dimiliki pohon kekar dari pasangan hidup pertamanya. Di tujuh dahan lainnya bergelayutan daun-daun yang tidak sendiri, daun-daun yang terlihat berpegangan erat pada dahan-dahan penyangganya, ibu mereka. Entah mengapa daun hijau yang sedang mendongak ke langit itu terlihat tegar melihat ke atas dan bukannya berpegang erat pada dahannya, tetapi sebaliknya, seluruh penghuni pohon terlihat berpegangan erat padanya. Saat pohon kekar berdiri tegak menjadi penyangga dahan dan daun, daun hijau tadi bersiap untuk melanjutkan misi pohon kekar selanjutnya dengan tetap berada dan menjadi bagian dari keluarga besar pohon kekar.


“Tante, aku lagi buat pohon keluarga, tante ada di dahan yang mana ya? Aku bingung,” tanya keponakan cantikku tiba-tiba saat aku baru saja masuk ke rumah neneknya. “Mana, coba tante lihat pohonnya?” jawabku. Lalu dia pun menunjukkan pohon yang sudah digambarnya dengan pensil dan penggaris di atas kertas dari buku gambar. “Bagus, sudah benar kok tempatnya,” komentarku saat mengecek posisi keluargaku di pohonnya. “Iya, tapi tante tempatnya di mana?” ulangnya. Memoriku berputar mundur dengan cepat dan aku mendapati kenyataan yang tak pernah kusadari sebelumnya, bahwa keponakanku belum pernah bertemu ibuku dan mungkin juga ayahku, aku tak yakin. Dia beberapa kali bertemu adikku tapi aku jadi mempertanyakan apakah dia tahu kalau adikku yang ditemuinya itu adalah adikku. “Aku bingung tante sama om ada di dahan mana?” tanyanya lagi. Jadi dia tahu kalau adikku itu adalah adikku.


Kuambil pensil yang ada di tangannya lalu aku menarik garis di atas kertasnya dan menggambar dahan baru, tempat aku dan adikku seharusnya berada. “Sudah, selesai!” tutupku setelahnya. Sejenak aku melihat raut bingung di wajah keponakanku, dan seperti kuduga, dia mempertanyakan nama orang tuaku yang kutulis di atas namaku. Dengan enteng aku berkata, “Iya, kakak belum pernah ketemu ya? Mungkin nanti Lebaran kakak bisa ketemu.” Begitulah kami memanggilnya sejak keponakanku punya adik kecil, kakak. “Tapi kenapa tante tinggal di sini?” lanjutnya. Siapa bilang kalau kita menjawab dengan enteng maka anak kecil pun akan menerima dengan enteng juga? Terus terang saja ini adalah salah satu subyek yang tak suka kubahas, karena subyek ini selalu membuat hatiku terasa seperti dicubit, agak perih walau sesaat. Alih-alih berkata jujur yang berarti memerlukan penjelasan panjang lebar, aku malah menjawab layaknya orang dewasa yang tidak bertanggung jawab, “Iya, soalnya tante suka tinggal di sini. Ya sudah, tante ke kamar dulu ya. Kakak lanjutin lagi gambarnya, harus diwarnain gak?” Tiba-tiba saja terlontar ide hebat dari otakku, keponakanku yang satu ini suka sekali menggambar dan mewarnai, pasti subyek ini bisa mengalihkan perhatiannya. “Iya, mau kakak warnain juga,” jawabnya sambil langsung membuka kotak krayonnya. Aha! Benar kan? Aku cukup mengenal keponakanku dengan baik rupanya.


Ternyata pohon kekar tidak hanya memiliki delapan dahan, seharusnya lebih dari itu. Tapi kenapa dahan lain tidak ada di pohon itu? Menurut penjelasan Bapak yang menemaniku berjalan-jalan dari tadi, dahan-dahan yang lain tidak berdaun, maka tidak perlu menambahkan dahan-dahan itu di pohon kekar, karena tanpa daun dahan tidak lagi istimewa. Heran, bukankah daun merupakan bagian dari pohon kekar dan dahan? Jadi kehadiran atau ketidakhadiran daun merupakan andil dari keduanya bukan? Jika dahan menjadi tidak istimewa hingga dihilangkan dari pohon berarti pohon kekar juga tidak lagi istimewa, bukan? Aku masih tidak mengerti tentang konsep istimewa dan tidak istimewa ini. Inginku mencari tahu lebih dalam, tapi entah hanya perasaanku saja atau bukan, sepertinya Bapak ini enggan untuk membahas dahan-dahan hilang itu lebih jauh. Baiklah, maka berhenti di sini pembahasanku mengenai dahan hilang.


Sejujurnya aku tidak suka membuat pohon keluarga, menarik garis, menggambar daun, hingga akhirnya menuliskan nama penghuni pohon. Karena itu artinya pada saat yang sama aku harus membuka buku kecilku, membacanya dan lagi-lagi menorehkan luka di lukaku yang tak kunjung pulih. Tapi pohon itu, yang kulihat hari itu bersama seorang Bapak tua yang menemaniku berkeliling berjam-jam di sebuah bangunan luas yang menjadi kebanggaan kota Jogjakarta, pohon yang sederhana dengan warna cantik yang sederhana pula, menginspirasiku untuk membuat pohon yang sama. Bisa dibilang pohon yang kulihat itu tidak lengkap, karena ada dahan-dahan yang dibuang dari pohon itu. Mungkin aku bisa melakukan hal yang sama, sedikit berimprovisasi, maksudnya.

Aku ingin menjadi pohon kekar yang kulihat hari itu. Pohon kekar yang akan memiliki dahan dan daun-daun. Tetapi mungkin aku hanya ingin memiliki satu dahan, walau beberapa dahan juga tidak akan menjadi masalah sepertinya. Sayangnya aku belum bisa memulai menggambar pohonku, karena menggambar pohon berarti aku harus siap dengan dahan, yang belum kumiliki saat ini, apalagi daun-daun. Baiklah, bersabar sedikit tidak akan sulit, akan kutemukan dahanku, atau dahan-dahanku. Lalu menantikan kedatangan daun-daunku, hingga nantinya akan kugambar pohonku sehingga keponakan dari daun-daunku tidak akan bingung untuk menggambar pohonnya, dengan versinya sendiri, dan mungkin dengan sedikit improvisasi di dalamnya.

Sunday, November 8, 2009

Jeritanku

Jangan kawan, jangan! Kau hanya akan menambah satu diriku lagi di dunia ini.
Jangan teman, jangan! Kau tidak benar-benar mencintainya, aku tahu itu.
Jangan sayang, jangan! Lepaskan tanganmu darinya.
Ketergantungan hanya akan membuat kita lemah, percayalah.

Kumohon sahabatku, percayalah padaku, kumohon..
Demi senyum anak-anak di dunia ini,
Demi kemuliaan para ibu yang melindungi anak-anak mereka sepenuh hati,
Demi persahabatan yang mengalahkan kekuatan darah,
Demi Tuhan yang telah meminjamkan kita nyawa,
Demi kenaifan dirimu yang masih tersisa.

Lepaskan tanganmu, serahkan padaku, katakan pada dirimu bahwa kau percaya.
Mari kita lanjutkan perjalanan kita.
Pinjamkan bukumu padaku, dunia ini akan tetap bercerita.
Hingga nanti kau sudah benar-benar kembali, bukumu akan kembali menemanimu.
Dan kupastikan kau tak akan tertinggal sedikitpun, asal kau kembali.
Walau saat itu, kau mungkin takkan memaafkan kesemena-menaanku.

Thursday, November 5, 2009

Bisa tidak aku jadi presiden?

Bisa tidak aku jadi presiden?
Menggantikan dia yang pengecut itu
Bisa tidak aku jadi presiden?
Anti melempem kala rakyat butuh tanganku
Bisa tidak aku jadi presiden?
Yang berani, tak tunduk bagai babu
Bisa tidak aku jadi presiden?
Berpendirian teguh tanpa disetir kronco-kroncoku
Bisa tidak aku jadi presiden?
Bangga berdampingan dengan orang-orang hebat tanpa cemburu
Bisa tidak aku jadi presiden?
Berjuang sampai mati untuk warisan budayaku
Bisa tidak aku jadi presiden?
Tak perlu sok santun, tapi selalu ada tulus itu
Bisa tidak aku jadi presiden?
Mundur saat gagal, tak perlu malu

Bercerita bersama sore – empat

Sini, mari mendekat, Sore. Lebih dekat lagi! Kau lihat itu rumah panjang yang dijepit kali dan sekolah? Iya itu, itu rumahku. Rumah kami yang keempat dan terakhir. Kali yang ini jauh lebih besar dari rumah sebelumnya, bukan? Tentu saja, kalau yang kemarin itu anaknya, ini ibunya. Ini baru kali Ciliwung. Lebar dan panjang. Konon katanya banyak buaya di sana. Seram ya? Ditambah pohon-pohon bambu lebat di tepinya, buatku bergidik saja.

Karena posisi rumah yang terlalu dekat dengan kali, kami menghabiskan banyak batu kali sebagai pondasi. Biar tidak longsor, kata mama. Kalau pagar besi ini bukan kami yang memasangnya, tapi PAM; Perusahaan Air Minum. Itu, letaknya di bawah sana, persis di tepi kali. Di sebelah kiri ada SD Inpres, nol berapa ya? Aku lupa. Di situ lah sepupu-sepupuku bersekolah; Teh Ebi, Eman, Fahrina juga. Tiga bersaudara yang rumahnya beda satu rumah di depan kami. Anak-anaknya Wak Taufik, kakak bapak. Kalau yang di depan itu rumahnya Rizal, temanku di Madrasah dulu.

Ini sebenarnya tanah milik almarhum Mbah, beliau memberikan pada anak-anaknya, ya bapak, ya Wak Taufik. Entah bagaimana ceritanya hingga keluarga Rizal bisa terselip di antara kami. Kau perhatikan tidak di belakang rumah ada apa, Sore? Bukan, selain kolam ikan lele. Iya, itu kuburan. Kober, orang bilang. Dulunya tanah Mbah juga, diwakafkan katanya. Aku lupa kata siapa. Kalau aku pulang malam dan naik ojek, tukang ojek selalu menatapku curiga tiap aku minta turun di ujung gang itu. Mungkin takut mendapati kalau-kalau kakiku tak menapak. Hiii....

Kami pindah ke sini saatku di bangku SMP, kelas dua. Daerah ini namanya Pejaten Timur, tepat di seberang Pejaten Barat, tempat ketiga rumah kami sebelumnya. Kalau dulu rumah kami dekat jalan raya, yang satu ini jauh sekali. Enak, lebih tenang dan tak berdebu. Tapi kalau jalan kaki lumayan jauh. Siang hari di sini panas sekali, itu karena atapnya terbuat dari asbes. Tapi kalau malam, dingin dan sejuk. Oh ya, kau tahu kalau ini rumah pertama kami? Maksudnya rumah pertama yang kami miliki, bukan mengontrak. Entah bagaimana ceritanya, yang aku tahu satu hari kami pindah ke sini.
Rumah baru, masih bersih, desain sendiri, tapi belum jadi. Iya, belum selesai pembangunannya. Belum ada pembatas di atas plafon, hingga asbes dan kayu-kayu menjadi pemandangan kala mendongak. Ruangan yang berlantaikan keramik baru ruang tamu dan kamar depan. Sisanya masih beralaskan semen, yang bergerigi dan tak rata. Tembok sisi luar pun belum dihaluskan, masih kasar dan tak bercat. Ya, begitulah rumah kami.

Mari kita berkeliling, Sore. Ini halaman kecil, dulu ditanami pohon-pohon mama, kini berubah jadi kandang ayam bapak. Lalu teras ini cukup untuk memarkir dua motor. Dulu mama menghias teras dengan bagus, pot-pot bunga di sekeliling juga digantung, bikin rumah terlihat asri. Bapak pernah berkontribusi satu pot, aku ingat. Ditanami pohon yang tak kukenal. Pohon ganja namanya, kata mama.

Mari masuk, ini ruang tamunya. Sempit ya? Semua ruang di sini memang sempit. Barang-barang yang kami punya masih sama saja; sofa berbentuk huruf L, meja kaca, lemari pecah belah, tv di atasnya. Yang tergantung itu samurai bapak, dari temannya. Kemudian ini kamarku, kamar Aran juga. Lagi-lagi tak berpintu, pun bergorden. Mama bilang lemari kami cukup untuk menutupi kamar, sekaligus membatasinya dengan lorong kecil, amat kecil hingga jika dua orang berpapasan, salah satunya harus mengalah untuk berhenti dan menepi. Lalu ini kamar mama dan bapak. Sama juga keadaannya seperti kamarku. Barulah ada pintu penghubung dengan dapur. Di dapur ada pintu keluar, yang selalu dibuka mama kala memasak.

Lalu terakhir, kamar mandi. Di bagian atas ada lubang-lubang udara yang ukurannya terlalu besar. Lubang yang dari dulu kami minta bapak menutupnya tapi tak pernah didengar. Hingga satu sore, aku mandi. Mandi sambil bernyanyi. Di tengah nyanyiku, kurasakan ada yang aneh. Tak sengaja melihatku ke arah salah satu lubang dan kudapati seorang laki-laki sedang memandangiku. Kaget luar biasa, pun dia. Kuraih handukku lalu berlari memanggil mama. Berceritaku dengan segera sambil menangis; ada anak laki-laki mengintipku mandi, anak laki-laki yang suka main kemari. Mama lekas keluar mengejarnya, terlanjur pergi ia. Tak puas, pergi mama ke rumah si anak pengintip. Ditemukannya sedang memanjat pohon di halaman, tak mau turun, ditimpuki mama dengan batu hingga dia turun. Dibawanya ke rumah karena tak mau mengaku. Dimarahi habis-habisan oleh mama setelah ku meyakinkannya bahwa memang benar dia orangnya. Aku tahu dari matanya, ku ingat betul tatapannya. Yang juga kutahu saat itu, aku harus melawan rasa malu. Biar dia yang malu, malu karena sudah mengintipku.

Mari kita lanjut, Sore. Di belakang rumah ada bak panjang dan dalam. Dulunya tempat ikan-ikan lele berenang. Entah program apa yang mama ikuti dari Departemen Perikanan, hingga mereka membangun kolam itu yang kemudian diisi oleh bibit-bibit ikan. Mungkin ini yang namanya budidaya. Jadilah ikan-ikan itu kami punya. Tiap hari mama beri makanan, cukup ditaburi saja. Doyan sekali mereka, lahap terus makannya. Lahap hingga badan mereka membengkak, buat kami tergoda. Lele oh lele, menu kami berturut-turut entah hingga berapa lama. Anehnya tak pernah itu aku bosan, kami bosan. Selalu semangat kami menyantap mereka. Mama cukup menambahkan nasi panas, sambal mentah dan jangan lupa lalap. Apa kalian tahu perjuangan mama untuk menghidangkan itu semua? Dia harus menangkap ikan-ikan dengan serokan, di taruh di ember, kemudian dibunuh dengan mengantukkan ulek ke kepala si ikan, mati dia. Mama lalu akan membedah perutya, dibersihkan, dimandikan lalu digosok kulitnya dengan daun bambu yang sudah dipetik Aran, biar tidak licin katanya. Belum selesai perjalanan si ikan, dia kemudian diceburkan ke bumbu kuning racikan spesial untuk kemudian berendam di dalam minyak panas. Kalau sudah terlihat keriting buntutnya, baru lah diangkat dan ditidurkan di piring lonjong. Saat semua menu sudah siap, tugas aku dan Aran adalah membawa peralatan makan dan makanan ke ruang tamu. Lalu makan kami di lantai, bersama. Duh, nikmatnya!

Di rumah ini Aran memiliki kenangan indah dengan rokok pertamanya. Di samping sebuah warung dekat rumah, di sana lah Aran menghisap rokok bersama teman-temannya. Bersama mereka sambil bergurau dan tertawa. Hingga tak menyadari mama yang tak sengaja lewat. Sepulangnya bermain, Aran mendapat kejutan tak terduga. Diinterogasi ia mengenai kegiatan siang tadi. Bapak yang didelegasikan tugas itu oleh mama. Aku menonton tv saja, pura-pura. Karena Aran tak kunjung mengaku bahwa tadi dia merokok bersama kawan-kawannya, turun tangan lah mama. Geram dengan kebohongan Aran, mama memintaku mengambil rokoknya di meja berserta korek. Dijepitkannya lima batang rokok ke bibir Aran lalu dinyalakan. Bapak diam saja tak mampu membantu Aran yang meminta tolong sambil menangis. Pergi bapak ke belakang, menghindar; ini salah satu sifatnya yang tak patut kucontoh. Kunikmati kemudian adegan yang tak pernah terulang, Aran bercucuran air mata sambil menghisap lima rokok di mulutnya. Dan mama yang berteriak menjelaskan bahwa ini hukumannya sambil meminta Aran berjanji untuk tak merokok lagi. Jangan kau pikir Aran jera setelahnya, Sore. Sekarang dia sudah menjadi bagian dari mama dan bapak, perokok.
Mama dan bapak kan juga perokok, entah kenapa mereka harus marah jika anaknya merokok. Katanya sih karena Aran masih SD, terlalu kecil. Jadi umur berapa kita bisa mulai merokok mama, bapak?

Satu siang, tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh delapan terjadi itu kerusuhan. Aku dan mama lihat di tv. Presiden kami, dipaksa turun oleh mahasiswa. Semua orang marah. Semua orang menjarah. Itu kali pertama aku mengenal kata menjarah. Seperti mencuri, tapi bersama-sama. Siang itu cukup mencekam. Aku dan mama di rumah saja sambil resah menanti bapak dan Aran yang entah sedang ke mana. Takut kalau mereka nanti jadi korban kerusuhan. Sore tiba, bapak pulang. Bilang kalau di jalan ramai orang, jadi sulit pulang. Aran belum tiba juga, panik kami, takut terjadi apa-apa. Berkeliling bapak mencarinya, bertanya pada teman-temannya. Dekat maghrib bapak kembali, tak ketemu juga katanya. Takut sekali kami, tambah takut karena berita di tv bilang banyak korban yang mati. Mama meracau menyebutkan tempat-tempat biasa Aran berada. Aku juga memutar otakku mengingat nama teman-temannya.

”Assalamualaikum.” Itu dia! Aran pulang. Menyambut kami semua, penuh lega. ”Mama lihat! Ini Aran bawa banyak makanan.” Masuk dia ke rumah sambil mengeluarkan isi kantong besar, layaknya belanjaan. Benar habis belanja dia, menjarah dari Goro; supermarket besar dekat rumah. Bersama teman-teman katanya sambil tertawa bangga. ”Seru sekali, semua orang bisa ambil apa saja. Aran ambil saja yang biasa mama beli. Ini ada sabun juga Ma!” Kau tahu wajahnya, Sore? Seperti kepala rumah tangga yang baru saja pulang berlayar dan sedang membagikan oleh-oleh hasil jerih payahnya. Dia lalu cerita bahwa tadi hampir saja terbakar dan terkurung di sana, tapi berhasi lari. Mendengar cerita seru anak bungsunya, mama dan bapak bereaksi. Yah, kau tahu lah mereka akan berkata apa. Marah-marah keduanya, sama-sama. Kemarahan yang terlampiaskan dengan mata berkaca-kaca. Kaca yang mungkin datang dari rasa syukur karena Aran tak terperangkap di sana. Marah mereka dengan kompaknya, meski sempat disela oleh perintah mama padaku untuk menyimpan semua oleh-oleh Aran ke lemari belakang. Kutinggal mereka, kudengar sayup-sayup saja teriakannya. Entah wajah Aran seperti apa selanjutnya. Tapi kuyakin sekali dia jera.

Sore, apa kau punya nama panggilan? Maksudnya nama selain Sore. Seperti nama kesayangan begitu. Bapak punya, Pikun namanya. Cara menulisnya begini, Лqoen; lambang matematika yang dibaca pi lalu qoen ejaan zaman dulu yang dibaca kun. Pikun. Kata bapak dulu di STM punya gank dan itu namanya. Bapak ketuanya, jadilah itu nama panggilannya. Aku tak pernah tahu kekuatan nama itu sampai suatu hari sepulang sekolah aku dan Aran berjalan bersama. Itu kami di pinggir jalan raya dekat volvo; merk mobil yang billboardnya terpampang besar hingga menjadi nama pemberhentian. Tiba-tiba saja ada segerombolan anak sekolah tawuran, berkelahi. Membuat orang-orang ketakutan dan berlari. Begitupun kami. Sambil berlari tetap kami pandangi mereka, anak-anak pria berseragam putih abu-abu, membawa berbagai macam senjata, ada golok, celurit, penggaris besi, ikat pinggang dan satu membawa samurai. Si samurai berjalan di depan, mungkin ketuanya pikirku. Dia memberhentikan metro mini dengan menghadangnya di tengah jalan sambil mengeluarkan samurainya dan berkata lantang, ”Lu tahu siapa gua? Anak buahnya Bang Pikun!” Heh? Aku dan Aran berhenti berlari, saling pandang, membeku beberapa saat, lalu lari lagi. Saat sudah jauh dari jalan raya, kami membahas kemungkinan jika benar bapak adalah bos mereka. Berarti keren sekali kami, Sore. Anak ketua gangster. Sayangnya penjelasan bapak mematikan imajinasi kami. Katanya itu hanya karena gank bapak dulu terkenal menakutkan dan orang-orang masih terpengaruh oleh nama besarnya, padahal banyak yang tidak tahu siapa gerangan anggota-anggotanya.
Kali lain aku dan Aran membeli nasi goreng yang mangkal di volvo, nasi goreng terenak sedunia. Sering sekali kami jajan di sana. Dan kau tahu? Setiap jajan, kami tidak boleh membayar. Salam saja buat Bang Pikun kata mereka, para pedagang. Sakti sekali nama Bang Pikun itu ternyata.

Hubungan bagaimana yang kau punya dengan pagi, siang dan malam, Sore? Aku, Aran dan mama punya hubungan yang sentimentil sekali. Tiap salah satu dari kami berulang tahun pasti lah kami akan membuat atau memberikan sesuatu yang spesial. Di ulang tahun anak-anaknya, mama seringkali membawa kami makan di Mc.Donald, cuma ada satu, di Sarinah Thamrin. Di ulang tahun mama, aku dan Aran punya hadiah favorit untuknya. Mic Mac. Kau tahu itu? Tak apa, memang sudah tidak ada lagi sekarang. Itu biskuit rasa keju, bungkusnya biru. Biasa kami beli di warung Bang Ende, dekat rumah. Kami akan membeli pita lalu menulis puisi atau kata-kata romantis. Ah, memangnya romantis hanya untuk pacar? Dan kami berikan padanya. Di hari ibu pun kami pasti berkreasi. Sentimentil bukan?

Banyak sekali cerita kami, ya kan Sore? Sayangnya tak lama kami bercerita di rumah ini. Tak lama karena entah ada apa. Ada rahasia yang lama sesudahnya baru bisa kubaca. Hanya tiga tahun, aku ingat. Tiga tahun pertama dan terakhir kami bersama, di sana. Tiga tahun kami sebagai keluarga. Bangun, tidur, makan, minum, mandi, masak, nonton tv, bercanda, berbagi rahasia, jalan-jalan, belajar, bersantai, menangis, tertawa, bersama. Mama dan bapak tak suka bersama. Tak mau lagi mereka jadi keluarga. Aku dan Aran tak ditanya. Padahal kami masih mau jadi keluarga. Sama-sama.

Tak ada lagi ikan lele keriting di meja, tak ada lagi biru-biru hasil cubitan mama, tak ada lagi bekas cakaran Aran di kulitku, tak ada lagi berebut remote tv dengan bapak, tak ada lagi karaoke bersama, tak ada lagi sayur bayam mama, tak ada lagi tertawa bersama. Tak ada.

Malam itu, dan malam-malam berikutnya, berdoa ku pada Tuhan. Semoga mama, bapak, Aran dan aku yang tak lagi sama-sama, tak lagi satu rumah, keempatnya, bisa terus berbahagia.

Amin.

-bersambung-