Showing posts with label Bandung. Show all posts
Showing posts with label Bandung. Show all posts

Wednesday, April 18, 2012

Meninggalkan (ternyata) lebih baik daripada ditinggalkan


Selama hidup saya, ditinggalkan hampir selalu saya alami. Mudah-mudahan tak terdengar mengiba, tapi memang begitulah adanya. Mulai dari Izanami, kambing kami; mama, bapak, Beny, mantan sahabat; beberapa mantan pacar, beberapa sahabat hingga beberapa kenalan dekat. Ditinggalkan dalam arti pergi jauh secara jarak, ditinggalkan dalam arti tak ingin berhubungan lagi, hingga ditinggalkan dalam arti keduanya. Sedih.

Bertahan, menjadi agenda saya dari cerita ke cerita. Mudah-mudahan tak terdengar berlebihan, tapi memang saya tak mengada-ngada. Bertahan dari menahan rindu ingin bertemu, bertahan dari keinginan ingin menelpon dan memohon agar mereka kembali menyayangi saya lagi, juga bertahan dari hasrat membenci. Karena sungguh saya tak ingin mengisi batre kehidupan dari rasa benci. Sungguh.

Beda, dan Tuhan pun memutar rodanya membiarkan saya merasakan hal sebaliknya, meninggalkan. Meninggalkan dalam arti pertama, pergi jauh secara jarak. Setelah menikah Februari lalu, akhirnya janji saya pada suami terpenuhi, pindah ke Bandung tempat dia tinggal dan bekerja. Terpaksa? Dipaksa? Tidak. Memang saya sudah lama ingin hengkang dari Jakarta, kota kelahiran saya. Kurang lebih dari dua tahun lalu kiranya. Awal April, bukan April Mop, beriringan 1 pick up dan 2 mobil hijrahlah salah satu penghuni tetap Jakarta ke Bandung ditemani beberapa anggota keluarga. Ada yang aneh hari itu, hati saya tergolong tenang dan senang, sungguh. Tapi entah mengapa saat keluarga saya berpamitan pulang, air mata tak terbendung. Saya pun enggan memeluk dan berpamitan pada Teh Upie, sepupu terdekat saya. Lucu.

Sehari sebelumnya suami saya mengadakan farewell party dengan beberapa sahabat saya; Boiq, Nasto, Dyence & Suami, serta Dewo. Agenda kami makan malam, bercengkrama, memamerkan jaket baru kami, serta berpamitan tentunya. Tak ada rasa yang berlebihan di dada, ringan dan riang. Tapi lagi-lagi saat berpamitan dan berpelukan, dada ini seperti memohon oksigen tambahan. Sesak.

Mundur sehari sebelum itu, adalah hari terakhir saya bekerja di kantor tempat saya mengabdi selama lima tahun ini. Tugas dan barang-barang sudah saya bereskan dari seminggu sebelumnya. Sekretaris pengganti pun sudah siap guna. Dua makan siang farewell pun diadakan, keduanya kusuka; Manado dan Jepang. Konsentrasiku penuh pada makanan sambil bernostalgia tentang hari-hari yang sudah kulewati bersama keluarga keduaku di kantor ini. Ya, keluarga. Penuh tawa, tentunya. Hingga tiba-tiba pelupuk mata basah, dialiri rasa yang entah apa, sedih bercampur bahagia? Mungkin.

Kini dua minggu sudah saya lewati di kota yang berjarak tempuh tiga jam dari Jakarta ini. So far so good, that’s all I can say. Selama di sini tak ada rasa aneh lagi, saya pun tak menangis lagi. Rasanya apa ya, ringan saja. Seperti terbang di atas trampoline. Baru.

Kabar saya baik, kawan. Teteh bahagia disini, Mama. Saya siap jadi tuan rumah arisan berikutnya, Bi Nia. Aunty Ega rindu tak tertahankan, Babar-Nazwa. Kita pantas berbahagia bersama, Aran sayang. Terima kasih atas ‘rumah’ barunya, Syarif Maulana.

Saturday, November 21, 2009

Adik penjual korek api

Oleh-oleh dari Bandung bersama teman-teman baru di Reading Lights hari Sabtu, 21 November 2009.

Itu batang korek apinya yang terakhir. Digosok kedua telapak tangannya sejenak, dipandanginya, lagi dan lagi. Dihembuskan udara hangat dari mulutnya, persembahan seadanya bagi sang tangan.

Kupandangi ia dari sini, gadis kecil penjual korek api. Berambut panjang, wajah oval, senyum manis, tubuh mungil berbalut sweater dan syal merah. Merah, semerah api yang disulutnya. Tak habis pikirku mengapa ia ada di seberang sana, di malam kudus ini. Kemanakah pohon natalnya? Kado-kadonya? Kue-kue santanya, pun keluarganya?

Diambilnya batang terakhir itu, memejam matanya, rapat. Sungguhkah yang kulihat ini? Air mata. Menangis ia. Oh, wajah itu! Pernah kulihat wajah seperti itu, dulu. Adik kecilku. Adik kecil yang selalu bilang tak mau di sini lagi, tak mau hidup lagi. Mau pergi dia, ke surga saja, bertemu mama, katanya.

Bergegas kuberdiri, berlari melalui meja-meja yang berdesakan ini. Kudorong pintu sekuat tenaga, berlariku kencang sambil mengencangkan syal. “Adik kecil! Adikku!” Tersadar ia, mengerjap matanya. Menundukku tepat di hadapannya, terengah-engah membuang udara berembun ke wajahnya. Matanya, cokelat. Indah, seperti adikku. “Kenapa dibakar semua? Tidak dijual?” Mendongak dan menunduk ia, wajahku dan korek api. “Ini?” disodorkannya batang terakhir ke ujung hidungku. “Iya,” jawabku sambil mengangguk tak ragu. “Kakak mau beli?” Tersenyumku sambil mengangguk, lagi. “Berapa?” tanyaku. Tak salah lagi, kulihat itu senyum tipis di wajahnya. “Tinggal satu, Kak!” Kukeluarkan uang dari sakuku, tip dari pelanggan terakhir tadi. “Ini, kakak ambil koreknya, ya?” Tanpa kata, setuju ia. Tangan kanannya melepas korek, tangan kirinya menyambut uang kertasku. “Sekarang pulang, ya! Sudah malam,” pintaku cepat, menghindari saat-saat sentimentil yang kubenci. Berdiri ia, adik kecilku. Dikencangkan syal merahnya. Kakinya mengais salju, menimbun batang-batang yang telah terbakar. Ditariknya syalku, lalu dikecup pipiku, kecupan kecil. “Terima kasih, Kak!” katanya. Tersenyum manis ia, manis sekali.

Kupandang gadis kecil penjual korek api berjalan menjauh, merah. Santaku, mungkinkah dia santaku? Selamat natal, santa sayang!

Tuesday, November 3, 2009

Minggir sedikit duhai cemara


Cemara oh cemara! Cemara mini
Sedang apa kau disitu, menghalangi?
Iya, menghalangi pandanganku
Ah, kau bisa lihat itu disana, dia
Ya, dia. Kau tahu pasti siapa dia
Dia, diaku

Teralun halus petikannya
Halus, sehalus daunmu
Terbuaiku oleh lantunannya
Lantun, lantun, melantun itu laguku

Pendopo, kau dengar itu?
Lilin merah?
Dan kau pohon gantung?
Hei bantal-bantal kecil, jangan diam saja. Kalian dengar kan?

Cemara, itu teman-temannya
Ada lima
Memanggilku nyonya
Haha!

Eh, kalian lihat angin?
Tumben, belum tiba
Bermalam Minggu dulu kah?
Ya, tak apa-apa
Mari bermalam Minggu kita
Bersama-sama

Berkumpul saja disini kita
Melihatnya dari kejauhan
Di antara daun-daunmu, Cemara
Sambil menikmati petikannya
Petikan yang berhembus menyelusuri lorong telinga kita
Bahagia kah kau? Kalian semua?
Aku juga iya.