Thursday, February 18, 2010

Bercerita bersama sore - delapan belas

Nasib anak kost
Aku makan tiap hari, kadang hanya makan mie
Gimana gak kurang gizi?
Ku... ingin bunuh diri...
Huhuhuhu...
Nasib anak kost


Itu lagunya Padhyangan Project, grup parodi musik asal Bandung. Tenar sekali masa-masa ku SD. Aku tak tahu kalau itu lagu sedih, Sore. Kisah nyata yang sudah biasa dialami anak kost ini kupikir hanya lucu-lucuan saja. Waktu itu tak terlintas sebersit pun di pikiranku bahwa kelak aku juga akan merasakannya. Tidak sama sekali.

Pasca perpisahan mama bapak, kami sekeluarga memang berpencar, kesana sini, tak bersama. Aku pun berpindah dari satu rumah keluarga ke keluarga lain. Sampai itu, masa-masa aku akhirnya sudah bekerja, maksudnya masa setelah lulus kuliah, aku mulai jadi anak kost.

Biasa tinggal di rumah-rumah bagus nan berfasilitas membuatku manja dan selektif memilih tempat kost pertamaku. Dengan bantuan sahabatku Mia (Mimi) dan Johan (Om Jo), kutemukan sebuah rumah tua di Setiabudi, di belakang SMAku, sejajar juga dengan rumah Mimi.

Rumahnya memang tua, keropos, gelap, lembab dan auranya agak mengerikan, tetapi letaknya tak jauh dari kantorku hanya butuh waktu lima belas menit, dekat dari jalan raya, banyak tukang makanan di sekitarnya, hanya ada satu tetangga, harga sesuai dengan rencana dan yang terpenting, berdekatan dengan Mimi, jadi kalau ada apa-apa aku tahu harus kemana. That’s what friends are for kan, Sore. Hehehe..

Aduh! Aku lupa nama pemiliknya, yang jelas orang Bali. Tetanggaku satu-satunya pun berasal dari sana, Mbak Ayu namanya. Alah! Semua wanita juga dipanggil Mbak sekarang, Sore. Walau bukan orang Jawa, tak apa. Aku dan Mbak Ayu tinggal di rumah sayap kiri, ada juga sayap kanan dengan keadaan yang lebih baru dan jumlahnya lebih banyak. Kami punya satu ruang tamu, di sisi kiri ada kamarku lalu Mbak Ayu. Kamar kami persegi, ukurannya, hmmm... tak tahu. Yang jelas cukup luas untuk ditinggali sendiri.

Tak ada jendela sama sekali, untungnya ada exhaust fan yang sedikit membantu sirkulasi udara dan juga atap yang tinggi layaknya bangunan lama. Lantainya bukan keramik, jadi tak terlihat jelas apakah aku pandai mengepel atau tidak. Pintunya pun model lama dengan kunci tebal yang membuatku ditertawakan teman-teman kantor karenanya. Padahal menurutku kunci model itu keren, Sore!
Pintu kamarku ada di sisi kanan, kalau dibuka akan kau temukan lemari baju kayu besar di hadapan, tempat tidur kayu ukuran double di sisi kiri, lalu masuklah. Baru bisa kau lihat meja besar sepasang dengan kursinya di sebelah lemari. Exhaust fan tergantung di tembok sisi berlawanan dengan pintu masuk. Oh, ada satu pintu lagi, tepat berseberangan dengan pintu masuk tadi, pintu yang menghubungkan dengan kamar mandi, pribadi.

Tak banyak barang baru di kamarku, hanya ada karpet ungu besar dari Anast, temanku dan kotak plastik yang juga besar dari Bi Nia, tanteku. Di atas meja ada dispenser yang baru ku beli di hari saat ku pindah ke sana dan tv yang kupinjam dari ibu, istri baru bapakku.

Mau tahu kamar mandinya, Sore? Keluar kita lewat pintu belakang, kau akan lihat cahaya remang dan ciumlah aroma kayu dan lembab yang pekat. Lorong sempit, kita ada di sebuah lorong sempit. Kalau lihat ke kanan, itu ada dapur dan kamar mandi Mbak Ayu. Kita ke kiri, di situ ada pintu kamar mandiku. Ya, itu, yang temboknya tak menutup sampai ke atas, tapi menganga seperempatnya. Masuklah. Di sisi kiri ada bak mandi kecil dengan sebuah kran yang hanya menyala di malam hari. Sisanya mati karena harus bergantian dengan tempat lainnya, terjadwal. Tutup dulu pintunya untuk melihat toilet duduk di sisi kanan, belakang pintu. Tak ada flusher, manual saja cara siramnya. Ada satu kran lagi di seberang pintu dengan satu ember kucel dan satu gayung.

Aku membersihkan kamar mandiku seminggu sekali, biar bersih, biar nyaman, biar tidak licin juga. Karena aku mencuci baju dan piringku di sana, jadi lah lantai seringkali bersimbah air sabun. Baju yang sudah dicuci kujemur di lorong kecil. Ada tiga tali pendek di sana, tempat ku menggantung hanger pakaian. Hanger yang kuminta dari tante.

Berhubung aku tak punya dapur, jadi lah tiap malam jajan di luar. Itu kali pertama aku sadar bahwa aku benci sekali makan sendiri. Menyiksa, Sore. Dan aku makan malam selalu sendiri. Pun, aku nyaris mati kebosanan dengan segala makanan yang dijual di sana, walau banyak pilihan. Aku rindu masakan rumah, rindu serindu-rindunya. Di kost pertamaku ini kudapati sakit maag pertamaku, Sore! Hahaha..

Mie? Iya donk, aku makan mie di pagi hari. Tak perlu dimasak, cukup disiram dengan air panas dari dispenser. Pintar kan? Dan kau tahu, Sore? Mie itu tak pernah enak jika tak direbus. Percaya padaku! Walau tersiksa dengan kerasnya, tetap saja kumakan itu mie setiap pagi. Oh, kadang aku juga suka beli gorengan, untuk sarapan. Irit sekali itu, menghabiskan hanya sekitar dua sampai tiga ribu. Tapi jangan kau tiru ya! Itu yang namanya sarapan menelan racun, jauh dari sehat! Haha..

Bagian terbaik dari tempat kost ini adalah sop buah. Kau tahu sop buah kah, Sore? Itu, potongan berbagai jenis buah dengan ukuran yang tidak mungil, disiram dengan kuah manis nan segar racikan rahasia mas penjual dan ditambahkan es batu. Hhmmm... itu sop buah terenak di dunia, Sore! Sungguh!

Kupamerkan ke seluruh kenalanku, sop buah ini. Dan hampir semuanya setuju dengan pendapatku. Yang tidak setuju pasti sedang sariawan deh! Kau juga mau? Kita ke sana kapan-kapan ya! Ke Setiabudi, tempatku melalui masa-masa SMA dan menghabiskan tujuh bulan pertama sebagai anak kost.

-bersambung-

No comments:

Post a Comment