Wednesday, April 18, 2012
Meninggalkan (ternyata) lebih baik daripada ditinggalkan
Tuesday, September 13, 2011
It's two pieces!
Here's the timetable; Arrived there at 5.20 pm and started to work out around 5.30 until 6.10, I prayed maghrib and changed the outfit for about 20 minutes. Continued to swim from 6.30 until 7.00, after that I needed 30 minutes to take a warm bath, change clothes and pack my things. And the night is wrapped with cup of tea, biscuits and a little chat with Sakti, my gym partner.
O, that's not the point! All I wanna share is about my swimsuit last night. Lol! Me started to swim since my childhood. It was my dear mom who introduced this best sport in universe. Okay I'm biased, sorry. She bought me a one piece blue strips swimsuit, a very nice one. I wore it to learn swimming in a sport club where she registered me when I was six. We went there twice a week. I looked so gorgeous with that blue strips suit and a blue mini buoy! ;p
I couldn't get in to that suit again when I was in junior high school. And mom bought me a new one, it was red, with three colors of strip at front. Not really like it cause the model is so common. Sorry, mom! Fortunately that suit didn't last long, I accidentally ironed the skirt. Lol! Accidentally I said, accidentally. And I separated with that poor red swimsuit.
Since that, I borrowed my auntie's or my bestie's swimsuit when I swam. I know, that wasn't cool and hygiene. But, what can I say? Lack of money, that was the only reason. But o but, on my second year on work world, I finally bought a swimsuit by my own money. Yay! I chose a one piece suit on leopard motif. Aaauummm... I wear it with a big confidence of my body shape on that while on TV and magazines, ladies nowadays wear more and more bikini in pool. And I found that hot!
And my dearest Karcut, another bestie of mine, answered it. She bought me a bikini, a beautiful one! O gosh! It's two pieces swimsuit with another piece of (something like) skirt to cover my body on my way to pool, all in rainbow's motif. Love it! O, I should've took a picture of it! Later, kay! I intend to wear that in Phuket. Yaaayy!! It's about one more month and two weeks. Can't wait! Really can't wait, so I wore it last night at the pool. Kekekee.. Somehow, the B makes me feel so light and hot. (No curse, please..)
It's two pieces and makes me look like hotties! *finger crossed*
Monday, June 27, 2011
Jakarta, kampung saya.
Ibukota, yang semestinya sudah dipindah ke luar Jawa, entah sejak kapan sudah jadi kian menyesakkan. Dada ini sesak karena nasib tragis para pendatang yang saya baca di berita, sesak karena asap knalpot kendaraan yang jumlahnya bak garam di lautan, sesak karena kena AC siang malam (maklum hidup tanpa AC di Jakarta badan bisa lengket bau keringetan), sesak karena uang lekas habis setelah gajian (maklum kontrakan, listrik dan uang makan sungguh menguras uang).
Dalam perjalanan pulang dari Bandung, calon kakak ipar saya bertanya, "Kamu betah tinggal di Jakarta?" Saya jawab, "Sudah terbiasa dengan ritmenya, sudah tahan banting juga dengan tekanannya, tapi sadar kalau saya pantas hidup lebih baik dari ini." Insya Allah.
Jayakarta, nama dulunya. Dari bahasa Jawa yang artinya complete victory, kemenangan mutlak. Pernah dengar nama adalah doa? Mungkin karena bawa-bawa "menang", jadilah Jakarta ajang pertandingan, antara pintar dan bodoh, kaya dan miskin, sial dan beruntung, sarjana dan tak berijazah, cantik dan jelek, aktif dan pasif, rajin dan malas, sederhana dan sombong, pendatang dan warga asli, semua bertanding. Harus pilih kalah atau menang. Tak ada zona aman.
Di tengah bincang santai di rumah mama, calon tante saya bertanya, "Bener kamu mau pindah ke Bandung? Gapapa gitu ninggalin Jakarta?" Saya jawab, "Gapapa, sudah dari lahir juga di sini, kelamaan."
Betul, dua puluh delapan tahun lalu saya dilahirkan. Di sini, di kota ini. Enam tahun sesudahnya saya ingat setiap hari melewati jalan raya Pasar Minggu, pergi ke sekolah. Jalan yang saya lalui tiap hari hingga sepuluh tahun kemudian. Saya ingat jalan itu masih lengang, meski mikrolet, metro mini dan kopaja sudah bersliweran. Saya pun tak takut menyeberang, asal, pesan mama, hati-hati lihat dulu kiri kanan. Kini, sudah setahun saya melalui rute itu lagi, bedanya sekarang bukan ke sekolah tapi ke kantor. Sungguh mengerikan untuk menyeberang jalan, para pengendara seperti kerasukan Valentino Rossi dan lupa posisi rem. Jalan ini sekarang juga saya beri nama "jalur setan." Karena melewatinya sungguh buat saya emosian. Emosi jiwa karena macetnya sungguh luar biasa, masa saya langsung menaiki bis yang dalam posisi berhenti? Iya, berhenti. Dikarenakan macetnya sudah dari depan rumah saya dan terus sampai Pancoran. Kalau normalnya butuh lima belas menit, di hari kerja memakan waktu satu setengah jam. I knoooowww... sucks!
Calon suami saya pernah bertanya, "Nanti kita kalau lebaran gimana?" Saya jawab, "Digilir saja. Setahun di Bandung, berikutnya di Jakarta, begitu seterusnya." Waduh, akhirnya bisa ngerasain pulang kampung nih!
Lahir, besar dan berasal dari bapak asli Jakarta membuat saya terkungkung di sini sini saja. Memang, mama saya asli Sumatera. Jadilah saya dua kali merasakan pulang ke kampung mama. Tapi sebagian besar hidup saya ya di kota kelahiran saya. Beruntungnya setelah besar saya punya kesempatan ke luar kota, ke luar pulau dan ke luar negeri. Jika tidak, mungkin kotak pengalaman saya akan terkungkung juga. Kalau Lebaran saya ke rumah Mbah, tadinya di Jakarta dan sekarang di lingkar luar Jakarta. Depok, Jakarta coret. Enak sih, orang-orang pada ribet, kena macet, saya ongkang-ongkang kaki di Jakarta nan lengang. Tapi boleh dong saya sedikit iri? Iri pada mereka yang harus mengeluarkan effort besar untuk bertemu sanak keluarga. Iri karena libur Lebaran kian dinanti-nanti.
Aaaaahhh.. Jadi tak sabar tinggal di luar kota. Walau Bandung hanya sekepretan dari Jakarta, tetap saja beda KTP. Eh, KTP sudah nasional ya sekarang? Gosipnya. Meski luas Bandung hanya sepersekiannya Jakarta, tetap saja tempat baru buat saya. Meski Bandung juga kota besar layaknya Jakarta, tetap saja bukan ibukota. Meski Cipularang buat Jakarta-Bandung hanya berjarak dua jam, tetap saja namanya pulang kampung buat Lebaranan. Meski Jakarta sudah mengalir kental di darah saya, tetap saja tak sabar saya untuk meninggalkannya.
Jakarta oh Jakarta, bersiaplah menjadi kampung saya!
Monday, June 6, 2011
Hightech cellphone, introversion and I.
I cant precise the year, but I remember that I was student that time. When Yahoo Messenger, also well known as YM, was a la mode, or it's still now? Dunno. Young people who started to use internet actively exchange their YM ID so that they can meet in their chat box. I don't know exactly how YM works, but my friends seem happy to communicate with others by using YM. While me, I wasn't interested to chat with others because I already have an intensive communication with people I want. So I wasn't a la mode.
Blackberry (BB) is a smart-phone which with it people not only can make a call and send sms, but also e-mailing and connecting to internet through mobile network service or Wi-Fi. It was released in 2003 and commonly use in Jakarta around 2006, as I remember. My friends, who are technology up-daters threw their conventional cellphone and started to use BB. And it didn't took so long for Jakarta people to follow the trend massively. I can see BB everywhere, in my house -mom and sister in law are two of the tech up-daters- at the office, mall, public transportation, even in public restroom -not the visitor, but the cleaning service officers.-
High tech means high price? Yes, it is. BB is an expensive stuff for me, from the launching and even 'till now. I was curious with "what make people adore it," so I asked them how they advantage their BB. Face-booking, BBM(Blackberry Messenger)-ing and chatting (most using YM). Hhmm.. not that interesting. But still, BB is a la mode!
My besties and I entered the working life since 2006. Since that we hardly arrange our time to hang out and update our news. Finding out that people out there are not so nice, we become more addicted one to other. Okay, we need to communicate intensively. We benefited phone call, sms and gtalk (Google messenger) at first, but since two of my besties live overseas, phone call and sms aren't recommended. So we become active skypers (Skype is also a messenger), we have conference chat almost every day and a video call sometimes. It's all for free! May God bless the inventor! Lol!
I connect to internet on work days and work hours only, by Wi-Fi in my office. So on weekend, I lost contact with my besties while the addiction grows more. Nasto and Karcut, who already use smart-phone (BB and i-phone), provoke me to buy it so that we can communicate whenever and wherever. Considering the need and the price, I decided not to buy it. It's still expensive for me though!
Until last week, I finally buy one -not BB neither i-phone- which is much cheaper! Yay! Samsung galaxy mini, my first smart-phone. Since I'm not a high-tech person, I need much time and concentration to learn using it. And communication problem solved! I'm online on skype most of time and we even find a new application, whatsup! It can connect BB, i-phone and other smart-phone with Android (this one you can googling) in it. I start to love tech! Lol!
With this phone, I can also be online in other social network and ready to chat. I was, for several first days. But no oh no, I can't help being online everywhere like others. When the phone beeps because of a "hi" from someone on my friend-list, I was panic. Feel I'm being forced to chat with him/her. Soooo uncomfortable! Now I realize that those who I want and need to communicate everyday are my besties and my boyfriend. They are more than enough to brighten up my days!
So Nasto, I'm online on skype, gtalk and whatsup where I can find you all there. And yes, I'm an introvert, dear! I'm not loner but I tend to have fewer numbers of friends, those who I believe are truly friends. I know that I have a good social skills, but I'm well energized by you all. Should I ask for more?
Wednesday, April 13, 2011
Feel sexy, hein?
You feel so damned sexy, hein? Waving your long hair imitating the shampoo advertisement that build an image of sexy lady who choose a right shampoo which make their hair light and smells nice. Ok, I admit that it looks sexy. Really. I even did that action several times. ^^V But, only but, there's no people close to me. As I walking on the sidewalk, wearing my working suite -with glasses and high heels, of course- I love to wave my hair when I know there are people around, but not very close! And why is that? Just to feel sexy and attractive. What? Don't laugh! Make survey about that and you'll see that shampoo advertisement successfully washed our brain. Lol!
Yes dear ladies, maybe you all forget that our hair, even we washed it, is not sterile from bacterias. Moreover, in Jakarta, as you walk out from your house and take public transportation, "clean" is exactly no longer exist. So, keep your dirtiness for your self and no need to spread it to others. Ok?
Wave your hair as many as you like, no problem with that. As long, I say as long, you don't spread all the bacterias to others faces. Note that, honey? And please, go sexy! *wink*
Thursday, March 17, 2011
Internasional keblinger!
Internasional: menyangkut bangsa atau negeri seluruh dunia; antarbangsa.
International school.
Adik-adik kecil, siswa-siswi yang diutus para orang tua untuk menuntut ilmu di sekolah, biar cerdas, pintar, membanggakan. Tak boleh kalah dengan generasi sebelumnya, tak boleh ketinggalan zaman, masa hari gini masih pakai bahasa Indonesia? Apa kata dunia? Dari absen, lagu-lagu, bahasa sehari-hari hingga kata sapaan pun harus berbau Inggris; Miss, Sir. Memangnya lama di luar negeri hingga harus berbahasa Inggris setiap hari? Tidak. Atau mungkin anak dari pernikahan campuran? Tidak kok. Ada rencana tinggal di negara berbahasa Inggris dalam waktu dekat? Belum sih, tapi nasib orang siapa yang tahu? Apapun itu lah, yang jelas lebih keren kan kalau adik-adik di Indonesia jago berbahasa Inggris semua?
International hospital.
Rumah sakit titik titik internasional. Widih, keren sekali! Hasil kerjasama dengan rumah sakit ternama di negara maju kah? Nggak donk, kita murni lokal. Terus kenapa harus ada internasional? Agar seolah standar pelayanan kami setara dengan rumah sakit di negara maju. Oh. Motto, papan pengumuman di ruang tunggu, nama ruangan, semuanya sudah terlihat internasional, memang. Berbahasa Inggris! Banyak yah, pasien asing yang berobat ke sini? Ada, beberapa. Berarti mayoritas orang Indonesia? Iya. Kenapa tidak menggunakan bahasa nasional saja? Sama saja belum internasional, donk!
International police station.
Speed and professional. Begitu moto yang terpampang di tembok luar kantor polisi di Jatiwaringin. Entah untuk siapa kata-kata itu ditujukan. Untuk sesama polisi kah? Untuk kami warga negara Indonesia kah? Atau untuk mereka warga asing saja? Lagi-lagi bahasa Inggris! Ah! Entah siapa yang punya usul untuk memilih kata-kata itu, yang jelas polisi juga pastinya. Polisi yang harus belajar bahasa Inggris lagi. Dan juga harus memperbaiki bahasa Indonesia, bahasa ibunya. Masa konsep kata kerja dan kata sifat saja tak paham? Memalukan.
Post office.
Saya ingat betul tadinya papan itu bertulis kantor pos dengan mayoritas warna oranye. Sekarang tiba-tiba jadi post office, dengan papan-papan tanda berbahasa Inggris juga di dalamnya. Ah, siapa bilang pos Indonesia sudah nyaris mati? Wong sudah go international, kok!
Begitulah, bahasa Inggris di mana-mana. Alasannya sama saja, biar Internasional.
Keblinger!
Monday, March 7, 2011
Di Hari Perempuan Internasional
Kalau saya punya suara, Kementrian ini tak ada gunanya, hanya sebagai tempat exist ibu-ibu pejabat saja, yang masih ber-make up menor dan berponi mumbul. Dengan gemerincing gelang emasnya sibuk meresmikan apalah itulah di kota-kota besar. Bukan mereka kok yang memberi ide agar ada gerbong khusus wanita di kereta api, bukan mereka juga yang membela para TKW yang nyaris mati disiksa para majikannya, atau lantang memarahi para pelaku pelecehan di TransJakarta. Alah! Sudah, daripada siang ini tumbuh gondok di leher saya, lebih baik disudahi saja keluhan atas harapan yang jauh dari kenyataan ini.
Ibu dari Kementrian tadi, parasnya sungguh mirip seperti satu-satunya mantan presiden RI yang berjenis kelamin wanita. Kala itu, saat beliau memimpin negara ini yang entah karena dipilih siapa, saya sempat menonton acara Oprah yang membahasa negara-negara yang mengakui persamaan pria dan wanita hingga mampu menjadikan seorang perempuan sebagai presiden mereka. Indonesia salah satunya. Banggakah saya saat negara ini disebut namanya? Sayangnya tidak. Kok bisa? Karena wujud pengakuan persamaan tak mesti dengan mengangkat perempuan sebagai pemimpin. Tetap harus dilihat kualitasnya. Perempuan negara saya yang satu ini, maaf-maaf saja, justru kualitas kelas bawah buat saya. Mengapa? Ya silahkan dicari-cari prestasi dan segala manuver beliau, lalu nilai lah sendiri. Malah saya merasa, R.A. Kartini, sang putri sejati merasakan malu di akhirat sana. Melihat perempuan Indonesia yang menjual keperempuanannya demi menunjukkan kehadiran mereka, tanpa menghiraukan kualitas dan loyalitas. Ah, sok tahu sekali saya ini. Seperti tahu saja rasanya jadi presiden wanita!
Kembali ke hari ini, saya sebagai salah seorang perempuan di dunia, di Indonesia dan di Jakarta, memiliki beberapa harapan yang mudah-mudahan saja diamini oleh ribuan perempuan lainnya; Betapa ingin saya agar perempuan memiliki gerbong sendiri, entah apa istilahnya untuk bagian dari bis gandeng, di TransJakarta. Hingga, mudah-mudahan saja, tak perlu lagi saya berhimpitan dengan mereka, para pria yang tak risih melekatkan bagian tubuh mereka. Juga, saya berdoa agar seluruh perempuan terutama ibu-ibu di negeri ini tak lagi menonton sinetron dan infotainment, racun mental yang jika ditelan terus menerus akan mengendap di hati dan merusak kebersihan nurani. Satu lagi, mudah-mudahan seluruh perempuan muda Indonesia mampu menyingkap identitas pribadi mereka tanpa perlu melabelkan diri dengan segala sesuatu yang bukan milik negeri ini. Agar semua perempuan muda mampu berdiri di atas kaki mereka sendiri dan lenyaplah itu para social climber yang selalu mendifinisikan diri melalui mata orang lain.
Amin. Amin. Amin.
Lalu apa yang bisa saya perbuat di hari kita ini, wahai para perempuan?
Saya akan melanjutkan bekerja setelah jam istirahat ini, lalu akan menggunakan TransJakarta untuk pulang ke rumah nanti, tak gentar menjaga diri dari para pria yang makin lama makin terlihat seperti magnet kulkas di dalam bis. Tak lupa saya akan membeli roti dan tomat, untuk sarapan esok hari, beli dengan uang sendiri dan masak dengan tangan sendiri karena saya perempuan Indonesia yang mandiri. Bersih-bersih rumah karena kebersihan sebagian dari iman dan sungguh saya ingin menjadi bagian dari mereka yang beriman. Tak lupa sholat dan mengaji karena saya harus memiliki ketenangan batin agar suatu hari bisa menjadi bagian dari cahaya kehidupan, dan satu lagi, melanjutkan membaca karya om Paulo Coelho yang selalu tampil mengagumkan sebagai jendela dunia. Karena, jika kelak nanti saya menjadi seorang ibu, haruslah saya menjadi ibu yang membantu anak-anak saya, anak-anak Indonesia, membuka jendela-jendela imaji, hati dan kecerdasan yang hakiki.
Selamat hari perempuan, perempuan.
Tuesday, September 28, 2010
Hujanku sayang

Kala mini kaki dan tanganku; kupuja kau selalu
Girang ku riang dibuatmu, seketika kau tiba kubuka bajuku
Kala hitam polos mataku; bahagiaku bersamamu
Basah ikal rambutku oleh tetesanmu
Kala tak mini lagi kaki dan tanganku; resah ku dibuatmu
Gundah seketika kala datang rintikmu; tak acap biru dadaku
Kala hitam tak polos lagi mataku; lupaku cara menikmati aromamu
Banjir, becek kau bawa bersama derasmu
Hujan oh hujan
Hujanku sayang
Sungguh bukan salahmu
Membawa genangan, banjir, macet ke kotaku
Jakarta oh Jakarta
Congkaknya kau salahkan hujan
Atas segala bencana yang sesungguhnya buatan
Hingga berkah basah kau artikan susah
Moga Tuhan tak marah bersamanya
Hujan oh hujan
Hujanku sayang
Maafkan sinis kami padamu
Yang lupa caranya berbahagia bersamamu
Hujan oh hujan
Hujanku sayang
Walau tak lagi mini kaki dan tanganku; sepertinya masih kulit yang sama kupunya
Lapisan berbuku yang kutahu merindukan rintik manismu
Walau tak ada lagi kepolosan di mata; tapi masih disanalah korneaku berada
Penangkap cahaya yang belum lupa irama tetes dalam deras
Hujan oh hujan
Hujanku sayang
Jangan ragu tuk datang
Hidungku siap menyeruput aromamu, tubuhku kuasa menikmati basahmu, mataku siap berirama bersamamu.
Hujan oh hujan
Hujanku sayang
Friday, July 9, 2010
Proud to be destroyer!
Kalau saya, pria berkacamata. Rambut tajam menjulang, rapi hasil tatanan. Kulit wajah mengkilap, tentu karena sering dilap. Tubuh semampai, berbalut otot bak Ade Ray. Saya anak band, yang pastinya keren. Gadis belia, para wanita hingga balita adalah para penggila. Kau dengar itu senandung laguku, rayu madu teruntuk para perindu. Diputar dari pagi, di televisi, channel sana sini. Acara musik televisi adalah kiblat band kami, dikarenakan para remaja menggilai hingga tak ingin sekolah pagi. Pembawa acaranya haruslah artis muda, tak punya karya tak apa. Yang penting muda dan bergaya. Tak perlu itu pemilihan kata, asal sok asik saja, pasti memuaskan sutradara. Kami pun jadi asik, atau ikut sok asik, yang penting terlihat asik. Mudah saja. Karena cuma itu tugas saya di sana. Tak perlu lah bernyanyi, karena sudah ada itu yang namanya CD. Diputar, bermusik ia. Saya pun bergaya, melebur dengan CD. Tak penting lagi siapa yang bernyanyi, saya atau si CD. Yang penting semua happy.
Ya? Ya? Nama saya? Wod. Iya, Wod. Itu nama pena. Maklum saya wartawan. Ini juga sambil mewarta, mencari berita. Sibuk. Nama benar? Sudah pakai saja itu nama. Saya kan wartawan, harus tetap jadi wartawan di mana-mana. Biarpun lagi jadi sumber berita juga, saya tetap saja wartawan. Ah, gak usah lah ditambah infotainment-nya. Tulis saja, wartawan. Kegiatan saya? Biasa lah, layaknya wartawan saja, lari sana lari sini mencari berita. Berita macam apa? Ya berita apa saja. Ya bahagia, sedih, tragis, semua. Sumber berita? Oh, kalau saya lebih susah, karena terbatas pada selebritas saja. Tak bisa itu tiba-tiba saya memberitakan orang biasa. Harus sudah terkenal. Yah, tapi bisa sih berita saya malah bikin orang makin terkenal, tergantung pesanan saja! Haha. Iya, biasanya artis baru, kalau mau cepat terkenal ya harus pakai jasa kita. Dunia artis sekarang mah di bawah kaki kita! Para wartawan! Kalau mau karir lancar, ya harus bina hubungan baik sama kita. Yah, kayak kerbau sama burung jalak lah, kurang lebihnya. Kalau yang berprestasi sih tetap kita liput pastinya. Tapi kalau tidak ada prestasi, terus tipenya pasaran, mau gak mau pakai kita sebagai dongkrak. Eh, si mbak mau kita dongkrak?
Sunday, March 21, 2010
Bukan matematika
“Kenapa pake malu, sih?”
“…………..”
“Kalo malu ya gak usah bilang, gapapa.”
“Gw bukan cewek bener.”
“Banci, maksud loe?”
“Bukanlah! Bukan cewek baik-baik, maksud gw.”
“Oh............”
“Gw dulu wanita malam. Dua tahunan. Ya itu lah, bener kata orang kalo jangan sampe salah pergaulan. Gw bisa dibilang salah pergaulan.”
“Kenapa?”
“Ya itu, gw butuh uang. Keluarga gw di Jakarta mana bisa hidup kalo gak gw kirimin uang?”
“Hmm…”
“Awalnya temen kost gw ngajakin, terus ya terus aja. Gw nginex, ngerokok, free sex, pulang pagi. Malam jadi siang, siang jadi malam.”
“Terus?”
“Ya begitulah aku bisa punya uang. Om-om sampe abg pun kuembat, asal ada uang.”
“……………..”
“Kalau ditanya rasanya, sampe sekarang pun gak ada enaknya! Bohong itu kalo orang bilang sex enak, bohong!”
“Sakit?”
“Kadang. Yang jelas di pikiran gw selama kerja; cepatlah kau selesaikan, biar pulang aku, gitu.”
“Punya bos?”
“Germo, maksudnya?”
“Iya.”
“Gak ada, sama temen-temen gw aja keluarnya, di pub.”
“…………………….”
“Sampai itu satu hari, gw sakit, nyaris mati. Kakak-kakak di kost ku yang merawat, ku sms mama di Jakarta, minta mereka telepon. Tapi loe tahu? Dari gw sekarat sampai sembuh, gak ada satu pun yang telepon. Gw pikir, mereka semua gak butuh gw, cuma butuh uang gw. Ngapain coba gw bela-belain kerja, nyiksa diri, buat mereka?”
“Iya.”
“Gw pulang lah ke Jakarta, berubah.”
“Alhamdulillah…”
“Iya, berhenti gw ngerokok, minum, keluar malam. Mau insyaf, gw. Jadi cewek baik- baik.”
“Iya.”
“Tiga tahun gw jadi orang baik-baik, tapi hidup tambah susah. Semua orang tambah jahat aja. Apa lah itu keluarga!”
“Sabar.”
“Iya lah, mesti lebih sabar, gw. Tuhan pasti ngampunin gw kan ya?”
“Insya Allah, Tuhan kan Maha Pengampun. Dia bisa tahu niat loe untuk beneran tobat.”
“Iya, Amin. Memang benar itu sinetron, orang baik mesti ditindas, mesti sengsara!”
“Hahahaha.. Sinetron jangan dipercaya!”
“Eh, loe percaya karma gak?”
“Hmm.. percaya gak percaya sih. Kenapa?”
“Nggak, gw suka ketakutan.”
“Takut apa?”
“Ya ntar, kl Tuhan mempercayakan gw untuk punya keturunan, gw takut.”
“Takut gimana?”
“Iya, takut anak gw nanti kena karma. Masa depannya ikut ibunya, kelam. Takut kalau anak gw bisa punya kehidupan normal tapi rumah tangganya dikacaukan sama racun rumah tangga seperti ibunya dulu.”
“Ya jangan berdoa gitu. Insya Allah nggak lah, selama didoain sama ibunya. Konon katanya doa ibu magicnya luar biasa.”
“Iya, tapi gw takut, beneran takut.”
“Kl gw sih percaya, Tuhan sungguh Maha Tahu. Dia yang paling tahu isi hati loe, dan Dia pasti melindungi umatnya yang percaya sama kekuatanNya. Dan apa itu ketakutan loe, gak beralasan. Parno. Memangnya sesederhana itu hukum Tuhan? 1+1=2. Ibunya begitu, keturunannya juga mesti begitu.”
“Hmmm..”
“Hukum-hukum yang kita punya kan buatan manusia tuh, ya karma, hukum negara, juga norma. Tuhan kan punya hukum lain, yang bisa kita pahami hanya jika kita pasrah dan percaya.”
“Iya.”
“Loe nganggep Tuhan kayak manusia aja!”
“Hehehehe.. iya.”
“Sekarang mah kalo loe memang sedang bertobat, fokus aja dulu bertobat, terus, jangan berhenti. Jangan ngabisin energi buat yang gak perlu, kayak ketakutan tadi. Jalan aja, nikmatin semuanya. Kalo masalah masa depan mah Tuhan punya kuasa.”
“Iya, iya, ngerti gw sekarang. Terasa.”
“…………..”
“Terima kasih ya”
“Sama-sama. Hidup bertobat!”
“Hahahaha.. Hidup!”
Logaritma
“Mak, kita kena kutukan kali ya, Mak?”
“Kutukan gimana?”
“Ya ini, kutukan miskin.”
“Memangnya orang miskin ada yang ngutuk?”
“Pasti lah, Mak! Ya ini kita ini, pasti kena kutuk!”
“Ngawur!”
“Mbah miskin, sodara-sodara kita miskin, kita miskin, dari saya lahir udah miskin, sampe tua gini masih aja miskin. Apa namanya kalo bukan kutukan, Mak?”
“Edan! Siapa yang mau repot-repot ngutuk kamu?”
“Ya orang kaya! Semua orang kaya di dunia! Ya Pak Haji Mamat, Pak Lurah, Pak Seno yang di ujung jalan sana juga.”
“Pak Seno mana?”
“Itu, yang rumahnya gedong cet ijo. Yang pembantunya ada sebelas.”
“Mana ada pembantu sampe sebelas?”
“Ya berapa lah itu. Pokoknya ganti-ganti terus orangnya.”
“Yang banyak pohon cemaranya ya?”
“Iya, itu.”
“Emak mau ngelamar ah.”
“Heh? Ngelamar apa, Mak?”
“Ya itu, jadi pembantu di sana, di rumah pak Seno.”
Kartesius
“Sialan tuh, cewek! Gak tahu apa kalo laki gw udah kawin? Udah pake cincin?”
”Dilepas kali.”
”Apanya?”
”Ya itu, cincin laki loe. Makanya tuh cewek jadi gak tahu.”
“Ah, masa iya! Gak mungkin. Laki gw mah cowok bener. Emang dasar tuh cewek kegatelan aja, murahan!”
”Belom tentu. Kalo laki loe yang kegatelan, gimana?”
”Loe apaan sih? Malah belain tuh cewek.”
”Bukan belain, tapi kan tuduhan loe emang belom pasti, gak ada bukti.”
”Cantik gak?”
”Siapa? Tuh cewek?”
”Iya.”
”Mana gw tahu!”
”Lah, kan loe abis ngelabrak dia. Masa iya loe gak liat mukanya?”
”Ya liat.”
”Terus?”
”Biasa aja.”
”Seksi?”
”Biasa aja.”
”Ini mata apa emosi yang bicara? Hehehe…”
“Mulut gw! Apaan sih loe?”
”Ya, gw mah cuma mau bantuin aja.”
”Loe gak bantu sama sekali. Malah bikin gw tambah emosi.”
”Ya udah, gw balik aja ya!”
”Kebangetan loe ya? Gimana kalo kejadian sama laki loe, hah!”
”Selingkuh sama cewek laen?”
”Ya iya! Simpati dikit donk sama gw! Keterlaluan loe!”
”Bukan gitu, gw ngerti kalo loe sakit hati. Tapi gw bisa bantu kalo loe udah gak emosi.”
”Kalo loe jadi gw, gimana?”
”Ya yang jelas, gw dapetin laki gw bukan hasil nyuri dari orang.”
”Maksud loe apa?”
”Ya loe inget gak, dulu? Laki loe kan udah tunangan, udah pacaran lama sama orang, tapi loe rebut. Emang sih, atas nama cinta, loe gak maksa juga, cuma minta dia milih aja. Tapi sama aja buat gw. Nah mungkin kaya gini nih perasaan mantannya waktu itu. Udah capek-capek bina hubungan, sayang-sayangan sampe tunangan, eh tiba-tiba aja ada cewek yang lebih cantik, lebih baik, lebih perhatian dateng, terus ngerebut. Ilang deh semua kisah cintanya. Kaya loe sekarang gini. Iya kan?”
”Thank you ya! Bijaksana banget, loe!”
”Iya, gw aneh aja sama loe. Seharusnya loe siap lah diginiin juga sama cewek lain, sama laki loe. Karena loe juga yang ngajarin dia buat milih yang lebih baik kapan pun dia suka, tanpa menghargai komitmen sama pasangan yang udah ada. Iya kan?”
”.....................................”
”Kalo gw bilang mah, loe ikhlasin aja laki loe. Mau loe iket juga kalo dia udah gak mau sama loe, mau gimana?”
”...................................”
”Karma beneran ada, ya?”
”Gw sih percaya.”
“………………………………….”
“Nyokap gw bilang, menebar kebaikan sama kejahatan itu sama-sama gak akan dipetik saat ini juga, tapi ya di masa nanti. Gw bilang ini hasil tebaran loe sendiri, yang loe tanam sendiri.”
“……………………………….. Hiks……….”
“Shuuuttt… sini, sini!”
Wednesday, January 20, 2010
Pukoroci
Dulu aku tinggal bersama kawan-kawanku. Bersama kami di etalase kaca, lantai dasar. Aroma menggiurkan menyelimuti hari-hari kami. Banyak orang datang di siang hari, datang mereka beramai-ramai dalam sebuah kotak beroda empat. Kotak yang ditinggalkan di halaman muka, turun mereka dari sana dan tring, bel pintu berbunyi saat didorong. Pasukan berseragam kemudian akan bergerak ke sana kemari membawa piring-piring berwarna senada, putih.
Kawan-kawanku seringkali pergi satu per satu, ikut orang-orang itu. Mereka selalu membawa temanku sambil tersenyum. Sepertinya mereka suka padanya, pada kami. Karena bentuk kami semua sama, tiada beda. Hanya nasib saja yang membuat kami punya cerita yang berbeda-beda.
Siang itu giliranku. Seorang pria berseragam mengeluarkanku dari etalase, dibawanya diriku ke sebuah meja. Ada lima orang di sana, empat pria dan satu wanita. Sang wanita menyambutku dengan senyumnya, manis, kusuka. Dipegangnya diriku erat.
Aku pergi, saat itu aku tahu bahwa aku akan meninggalkan teman-temanku. Tring, tahu-tahu kulihat temanku berjajar dari luar. Berjajar di dalam etalase, berdiri manis. Ku sunggingkan senyum terbaikku, selamat tinggal teman-teman. Kini tiba giliranku.
Bagus juga ternyata isi kotak beroda ini. Duduk ku manis di pangkuan, sambil menyimak pembicaraan teman-teman baruku. Tak sadar berhenti kami di depan sebuah gedung tinggi. Kotak berhenti sebentar, menuruni kami semua. Mobil, ternyata si kotak punya nama. Kalau yang ini memang gedung, aku tahu itu! Dulu aku pernah berpindah dari satu gedung ke gedung-gedung lain. Sudah tak asing lagi aku akannya. Mesin ini, sudah sering juga kulewati. Seperti pintu tapi tak berpintu yang akan berbunyi kala dia tak suka pada apa yang lewat di bawahnya. Jangan sampai dia berbunyi kala kau lewat, karena artinya penjaga di sampingmu akan menggeledah tas dan meraba tubuhmu.
Mesin ini, sudah sering juga kunaiki dulu. Kotak yang hanya bisa bergerak ke atas dan ke bawah guna mengangkut apa saja. Pencet tombol di tengah, pintu akan terbuka. Setelah masuk jangan diam saja, pencet lagi salah satu tombol yang tersedia, dan lampu akan menyala jika sudah tiba. Pintu terbuka, kemudian keluarlah dari kotak.
Pintu ini, kaca, seperti di rumahku yang tadi saja. Tapi yang ini tidak bertring. Wow! Tempat baru, sepertinya aku sudah tiba. Didudukkan aku di meja, besar dan kayu. Manis ku di pojok kiri, diapit kotak hitam tempat kertas-kertas dan kaleng permen.
Hihi! Geli sekali. Wanita tadi mengusap-ngusap sekujur tubuhku. Geli, sudah lama tak ada yang menyentuhku begini. “Pukoroci. Mulai sekarang namamu Pukoroci,” itu dia yang memberi nama. “Haha! Nama apa itu? Gak ada yang lebih lucu?” kalau yang ini salah satu pria yang kutemui tadi. “Ih! Ini sudah lucu tau! Beda, pasti gak ada yang punya kecuali dia! Iya kan Pukoroci?” aku dielus-elus lagi. “Haha.. kasihan dia sudah jauh-jauh, eh dikasih nama Pukoroci.” Tak apa, aku suka nama itu. “Biarin! Yang penting aku suka!” Iya tak mengapa, aku juga suka, sungguh.
Itu hari pertamaku. Hari-hari berikutnya kuhabiskan dengan menemaninya bekerja. Hafal sekali ku cerita hariannya; tiba jam delapan tiga puluh, ditaruh tasnya di bawah meja, dia hidupkan komputer di hadapannya, klik klik kemudian bunyi itulah yang akan kudengar seharian, juga bunyi kring kring kring. Itu teman-teman baruku juga, komputer, telepon, printer, mesin fax, masih banyak lagi.
Mereka semua teman-teman yang tak pergi setelah jam lima sore hari. Tinggal kami bersama di sini, di ruangan ini. Kadang panas, kadang dingin sekali. Kala kedinginan, dia akan mengenakan syal hitamnya, yang selalu ada disampirkan di punggung kursi. Di sore hari, sebelum pulang, dia akan mengintip melalui jendela. Mengintip ke bawah, memantau keadaan jalan. “Aduh! Macet lagi!” begitu katanya kala ada banyak kotak beroda di bawah. “Tumben gak macet!” itu katanya juga kala kotak-kotak tidak berseliweran di bawah sana.
Di hari Sabtu dan Minggu kala dia tidak datang, kulakukan itu kebiasaannya di pinggir jendela. Menatap jalan di bawah sana. Kau tahu menatap jalan bisa jadi sangat membosankan? Iya benar, membosankan. Karena tak ada yang bisa dilakukan selain menatap dan menatapnya.
Tak jarang kuikuti juga kebiasaannya yang lain. Minum di jendela. Baru sadar aku, mengapa suka sekali ya dia duduk di pinggir jendela? Kupinjam gelas hitamnya, kuisi air dan dudukku bersamanya, di sisi jendela.
Tiba-tiba, terlintas sesuatu di pikiranku. Bagaimanakah kabar teman-temanku yang lain? Masih kah mereka di etalase, atau sudah pergi dengan kotak beroda?
Tuesday, January 19, 2010
Jakarta oh Jakarta
Kau kah kota tercinta?
Jakarta oh Jakarta,
Orang memanggilmu ibukota,
Entah idenya siapa.
Jakarta oh Jakarta,
Di dirimu ku temukan pria duduk bangga di samping ibu hamil yang berdiri sambil berpegang kuat menahan goncangan bis kota.
Jakarta oh Jakarta,
Tak jengahkah kau dengan sampah bertebaran di mana-mana?
Jakarta oh Jakarta,
Tahukah kau betapa menyebalkannya supir-supir bismu yang seenaknya berhenti dan melaju?
Jakarta oh Jakarta,
Kurasa pening kau dibuat penyanyi-penyanyi jalanan yang entah memang ingin berseni atau meminta-minta.
Jakarta oh Jakarta,
Kau punya terlalu banyak warga,
Jakarta oh Jakarta,
Yang entah berasal dari mana saja.
Jakarta oh Jakarta,
Tak pahamku mengapa harus bangga,
Jakarta oh Jakarta
Menjadi bagian darimu, mungkinkah ku membusungkan dada?
Jakarta oh Jakarta,
Tahukan kau harus minta tolong pada siapa?
Jakarta oh Jakarta,
Atas kekacauan yang kini kau punya.
Jakarta oh Jakarta,
Dua puluh enam tahun kita habiskan bersama,
Jakarta oh Jakarta,
Kurasa sudah saatnya kita berpisah.
Jakarta oh Jakarta,
Jaga dirimu baik-baik.
Jakarta oh Jakarta,
Bertahanlah dengan sisa asa yang kau punya.
Jakarta oh Jakarta,
Izinkan ku berterima kasih atas semua cerita,
Jakarta oh Jakarta,
Semua cerita yang kupunya, suka dan duka, cerita kita.




