Wednesday, April 25, 2012

Pernikahan dan Pelangkah(nya)

Pelangkah, sudah tak asing lagi di telinga. Saya tak ingat pasti kapan saya mulai mengenalnya, jika tak salah, 2006 ketika salah seorang sahabat menikah lebih dulu dari kakak perempuannya. Dia bercerita kalau salah satu rangkaian dari prosesi (persiapan) pernikahan adalah menyerahkan pelangkah yang kala itu adalah perhiasan emas.

Kali kedua juga dari sahabat saya yang 'dilangkahi' oleh adik perempuannya. Lagi-lagi perhiasan emas menjadi 'pil penenang' untuk si kakak agar tidak sedih karena tidak lebih dulu laku dari sang adik. Mengapa saya bilang laku? Agak kasar memang. Karena para orang tua bersikap bak pedagang di Tanah Abang yang menggantung daster dagangannya di depan toko. Tentu saja daster-daster pilihan yang dipamerkan. Daster yang lebih dulu digantung diharapkan lebih dulu dibeli tentunya, karena daster, jika terlalu lama digantung warnanya bisa pudar terkena sinar matahari, bisa berdebu hingga tak menarik lagi. 

Lebih cepat anak perempuannya menikah, lebih membanggakan. Begitu kurang lebihnya. 

Sang adik, yang merasa warnanya masih cerah dan bersih, seolah merasa tak enak pada sang kakak, sorry nih Kak, aku dipajang belakangan tapi laku duluan. Mungkin agar seolah terlihat sopan, sayang kakak, atau rendah hati, sang adik memberikan upeti pada kakak. Pelangkah. Kakak mau apa? Bilang saja. Kuberikan asal kakak senang. 

Saya sudah coba bertanya-tanya mengenai ritual pemberian pelangkah ini, konon katanya orang Jawa punya budaya. Kedua orang sahabat yang saya ceritakan tadi kebetulan memang orang Jawa. Kemudian saya temui lagi dua orang kakak yang kebetulan orang Sunda. Kali ini para kakak yang meminta pelangkah dari adik-adik mereka. Dik, kamu kan melangkahi saya. Sebagai gantinya saya minta ini itu donk. Biar semua senang, semua tenang. Kedua adik yang saya kenal dekat pusing, karena para kakak yang sudah bersama-sama begitu lamanya tiba-tiba berubah menjadi preman pemalak bak di pasar Senen saja. Mengapa lagi-lagi saya menggunakan istilah yang cukup kasar di telinga? Karena mana ada pemalak yang cukup puas mendapati hanya handphone atau jam tangan saja? 

Adik saya menikah lebih dulu, bukan melangkahi. Karena buat saya, kami berdua bukan daster. Adik saya berbahagia, saya apalagi. Tapi mama ternyata mantan pedagang di Tanah Abang juga, khawatir dia. Seyakin fogging akan memberantas seluruh nyamuk demam berdarah,seyakin itu juga bahwa pelangkah pasti akan mendatangkan pembeli daster tertuanya. Teteh mau apa? Bilang aja. 

Mama, aku nggak mau pelangkah. Karena menikah bukan sekolah, habis SD, SMP, lalu SMA. Habis kakak barulah si adik menikah. Jodoh itu tak ada rumusnya. Kalau nanti akhirnya aku tidak menikah, bukan karena pelangkah. Tapi karena ternyata rezekiku adalah tidak menikah. 

Kepada para kakak di dunia, tahukah bahwa dengan meminta pelangkah kalian menunjukkan diri sebagai kakak-kakak yang payah? Tahukah bahwa kalian sungguh terlihat menyedihkan karena melampiaskan ketidaklakuan dengan menyusahkan adik-adik kita? Tahukah bahwa jodoh sungguh Tuhan punya kuasa? Tahukah bahwa bukan tidak mungkin pintu jodoh jadi tertutup karena sebuah pelangkah yang memberatkan para adik atau orang tua kita?


Kangen Mbah Uwak


Mbah dan Wak Ani, putri keduanya

Mbah, lagi apa?
Aku baru pulang kerja, hari pertama. Jadi guru lagi, Mbah. Seperti yang Mbah suka. Mbah pengennya cucu Mbah kerja di bidang sosial, jangan cuma ngitung uang aja. Maaf ya Mbah lima tahun kemarin aku murtad jadi ibu guru. Tapi sekarang aku sudah kembali ke jalan yang lurus. Sekarang Mbah bisa mengingatku seperti dulu lagi, saat kita terakhir bertemu, saat aku masih ibu guru. Aku bahagia bisa jadi kebanggan Mbah, jadi penerus Mbah. Terus bangga padaku ya, Mbah.

Mbah, apa kabarnya?
Aku sekarang sudah tidak di Jakarta, sudah menikah, sudah jauh dari keluarga kita. Tapi aku baik-baik saja. Terasa kan, Mbah? Hidupku sudah tidak sedramatis terakhir kali kita jumpa. Tidak. Sudah baik, amat sangat baik. Allah sungguh Maha Baik, Mbah. Terima kasih karena selalu menguatkan doa-doaku, doa-doa kami. Aku bisa tahu? Tentu saja. Terasa.

Mbah, tidak kesepian kan?
Tidak boleh. Karena kita selalu sama-sama. Aku, Mbah, keluarga kita. Aku tidak kesepian lagi, karena Mbah sering mengunjungi. Tunggu aku, tunggu kami, kita semua akan sama-sama lagi nanti. Begitu janji Illahi Robbi.
 
Mbah, bahagia?
Harus. Walau hanya bisa melihat kami dari jauh, walau kami jarang mengunjungi, walau kadang masih ada ribut-ribut kecil antara kami, tapi kami saling menyayangi, Mbah. Sungguh. Mbah paling tahu itu kan? Memang iya, kami sempat jarang bersua. Tapi tidak lagi. Kini kami berkumpul tiap dua bulan sekali. Mbah Konde pun selalu berpartisipasi. Mbah Konde, kami selalu menjaganya, Mbah. Selalu. Silih berganti.

Mbah, kangen?
Aku kangen sekali.

Percakapan panjang selama di rumah sakit terpatri jelas di memori. Tatapan dan sentuhan kulit tipisnya tak bisa kurasa lagi. Tapi kebijakan dan keteguhannya harus terus kuwarisi.

Friday, April 20, 2012

Kutergila, Babar-Nazwa


Begini ya rasanya tergila-gila?

Babar-Nazwa, dua keponakanku tercinta. Mas, begitu Nazwa akan memanggil kakaknya; nanti jika si kecil Nazwa sudah bisa berbicara. Sekarang belum genap satu tahun usianya. Si Mas, baru saja menginjak empat tahun. Juni ini akan masuk TK.

Babar sudah mengerti ulang tahun dan hadiah. Bayangkan bertapa gembiranya si Mas bulan Maret lalu, tanggal dua puluh tiga. Saat sang Ompung datang membawa kue berlilin untuk ditiup setelah bernyanyi bersama, saat Eyang dan tante-tantenya datang membawa berbagai kado yang semua isinya Babar suka. Dan ditutup dengan perayaan makan sushi bersama si kecil Nazwa, Dadad dan Maminya. Aku yang mendengar pun mau berulang tahun jadinya. Haha.

Nazwa, si cantik yang melengkapi koleksi buah hati Aran & Kiki, adikku. Lahir bulan puasa tahun lalu, dengan paras yang remarkable dari hari pertama di dunia. Merah, cantik, menggemaskan. Subhanallah.

Babar-Nazwa, senangnya mengeroyok Dadad mereka. Baru saja motor Dadad diparkir di garasi, teriak mereka “Dadad pulaaanngg!!!” Si Mas yang membentuk ritual ini tak bosan mengulangnya tiap hari. Si kecil yang terlihat tak mengerti dengan apa yang Masnya lakukan belakangan ikut-ikutan melompat dan menyerang si Dadad. “Berani kamu sama aku?” kalimat menantang favorit Dadad yang membuat kedua malaikatnya semakin menggila. Babar dengan lantang memberi instruksi si adik, “Ceyaanngg!!!” 

Dua bulan sudah rasanya aku tak bertemu mereka. Rindu sekali ku dibuatnya. Kerinduan yang menyebabkan aku membuka lagi dan lagi album foto si mami di facebook. Mau ikut tergila-gila bersamaku juga?




Wednesday, April 18, 2012

Meninggalkan (ternyata) lebih baik daripada ditinggalkan


Selama hidup saya, ditinggalkan hampir selalu saya alami. Mudah-mudahan tak terdengar mengiba, tapi memang begitulah adanya. Mulai dari Izanami, kambing kami; mama, bapak, Beny, mantan sahabat; beberapa mantan pacar, beberapa sahabat hingga beberapa kenalan dekat. Ditinggalkan dalam arti pergi jauh secara jarak, ditinggalkan dalam arti tak ingin berhubungan lagi, hingga ditinggalkan dalam arti keduanya. Sedih.

Bertahan, menjadi agenda saya dari cerita ke cerita. Mudah-mudahan tak terdengar berlebihan, tapi memang saya tak mengada-ngada. Bertahan dari menahan rindu ingin bertemu, bertahan dari keinginan ingin menelpon dan memohon agar mereka kembali menyayangi saya lagi, juga bertahan dari hasrat membenci. Karena sungguh saya tak ingin mengisi batre kehidupan dari rasa benci. Sungguh.

Beda, dan Tuhan pun memutar rodanya membiarkan saya merasakan hal sebaliknya, meninggalkan. Meninggalkan dalam arti pertama, pergi jauh secara jarak. Setelah menikah Februari lalu, akhirnya janji saya pada suami terpenuhi, pindah ke Bandung tempat dia tinggal dan bekerja. Terpaksa? Dipaksa? Tidak. Memang saya sudah lama ingin hengkang dari Jakarta, kota kelahiran saya. Kurang lebih dari dua tahun lalu kiranya. Awal April, bukan April Mop, beriringan 1 pick up dan 2 mobil hijrahlah salah satu penghuni tetap Jakarta ke Bandung ditemani beberapa anggota keluarga. Ada yang aneh hari itu, hati saya tergolong tenang dan senang, sungguh. Tapi entah mengapa saat keluarga saya berpamitan pulang, air mata tak terbendung. Saya pun enggan memeluk dan berpamitan pada Teh Upie, sepupu terdekat saya. Lucu.

Sehari sebelumnya suami saya mengadakan farewell party dengan beberapa sahabat saya; Boiq, Nasto, Dyence & Suami, serta Dewo. Agenda kami makan malam, bercengkrama, memamerkan jaket baru kami, serta berpamitan tentunya. Tak ada rasa yang berlebihan di dada, ringan dan riang. Tapi lagi-lagi saat berpamitan dan berpelukan, dada ini seperti memohon oksigen tambahan. Sesak.

Mundur sehari sebelum itu, adalah hari terakhir saya bekerja di kantor tempat saya mengabdi selama lima tahun ini. Tugas dan barang-barang sudah saya bereskan dari seminggu sebelumnya. Sekretaris pengganti pun sudah siap guna. Dua makan siang farewell pun diadakan, keduanya kusuka; Manado dan Jepang. Konsentrasiku penuh pada makanan sambil bernostalgia tentang hari-hari yang sudah kulewati bersama keluarga keduaku di kantor ini. Ya, keluarga. Penuh tawa, tentunya. Hingga tiba-tiba pelupuk mata basah, dialiri rasa yang entah apa, sedih bercampur bahagia? Mungkin.

Kini dua minggu sudah saya lewati di kota yang berjarak tempuh tiga jam dari Jakarta ini. So far so good, that’s all I can say. Selama di sini tak ada rasa aneh lagi, saya pun tak menangis lagi. Rasanya apa ya, ringan saja. Seperti terbang di atas trampoline. Baru.

Kabar saya baik, kawan. Teteh bahagia disini, Mama. Saya siap jadi tuan rumah arisan berikutnya, Bi Nia. Aunty Ega rindu tak tertahankan, Babar-Nazwa. Kita pantas berbahagia bersama, Aran sayang. Terima kasih atas ‘rumah’ barunya, Syarif Maulana.