Wednesday, October 28, 2009

Bercerita bersama sore - tiga

Sore, Sore, di mana kamu?
Iya, aku kan berjanji datang lagi. Iya, maaf sedikit terlambat, tadi aku tidur siang, enak sekali. Iya, tidur siang terus, aku kan memang suka tidur siang. Iya, sini aku lanjutkan lagi ya. Sampai mana kita sekarang? Rumah ketiga?

Rumah yang ini agak jauh dari rumah kami sebelumnya. Kalau yang lain berada jauh dari jalan utama, lain dengan yang ini, persis setelah jalan utama letaknya. Di sepanjang jalan raya Pasar Minggu itu ada toko-toko, nah rumahku di belakang toko peralatan listrik, tidak tepat di belakangnya sih, ada kali kecil memisahkan. Konon katanya itu kali terusan kali Ciliwung. Iya, kali itu sama dengan sungai. Tapi kalau dengar sungai, yang terbayang di benakku aliran air bening, tempat ikan-ikan bagus berenang, aliran yang membuat kita betah duduk di pinggirannya. Kalau kali itu aliran sungai berwarna cokelat, bolehlah kehitaman, yang kita tidak tahu pasti apakah ada ikan di dalamnya, dan yang pasti aku tak mau duduk di tepinya karena aromanya yang menyiksa. Seandainya kali itu sama dengan sungai di persepsiku, maka rumah kami ini pastilah asri sekali, karena itulah pemandangan pertama saat kami membuka jendela. Kali.

Rumah kami ini merupakan rumah paling luas yang pernah kami punya, paling panjang tepatnya. Mama selalu bilang bahwa rumah kami seperti kereta. Orang yang berkunjung seringkali tertipu saat mereka menemukan bagian belakang rumah kami yang tak kunjung habis. Oh iya, saat kamar tidur utama seringkali terletak di depan atau di tengah rumah, di rumah ini kamar tidur utama, kamar tidur mama dan bapak, ada di ujung rumah. Kamar yang paling besar dengan pintu geser seperti di film Oshin. Agak ke depan ada dapur luas yang menyatu dengan ruang makan dan tempat mencuci piring. Ini satu-satunya dapur kami yang berjendela sehingga sirkulasi udara membuat kami betah berlama-lama di ruang makan. Dilanjutkan dengan kamar mandi kecil, tempat aku sering menghabiskan masa-masa hukumanku karena dikurung mama di sana. Setelah melakukan kenakalan; menurut mama, aku akan disuruh masuk ke kamar mandi yang kemudian pintunya dikunci dari luar dan tidak lupa lampunya dimatikan. Mengerikan sekali, aku ingat. Aku takut kalau-kalau melihat setan yang tersenyum padaku. Setan yang bisa muncul kapan saja di kotak kecil nan pengap itu. Guna menghindar darinya, kupejamkan mataku rapat-rapat. Alih-alih merasa tenang dan tidak diganggu setan, aku malah tambah takut karena setan masuk ke dalam mataku yang terpejam, dia datang melalui pikiranku. Oh, mungkin ini sejarah yang membuatku takut berada di ruang sempit dan gelap sekarang.

Kita lanjut, ke kamar tidurku. Kamar tidur aku dan Aran maksudnya. Kamar tidur kami tak bepintu, hanya bergorden. Di dalamnya ada meja besar; tempat kami mengerjakan PR, lalu kasur tak berdipan yang digelar di lantai, sebuah meja kecil tempat menaruh celengan kami; celengan ayam yang terbuat dari tanah liat, harganya seribu seingatku, dan sebuah lemari kecil dua pintu. Pintu kiri wilayah kekuasaan Aran dan kanan kekuasaanku. Tertempel itu sticker-sticker tokoh Sailor Moon dan Disney kesukaanku serta Dragon Ball dan Pro Wrestling kesukaan Aran. Lalu, ruang terakhir adalah ruang tamu, kecil dan minim cahaya. Ada yang baru di ruang tamu kami, Nintendo Aran yang berhasil dimilikinya setelah mengorbankan sedikit kulit di kokoknya. Haha, disunat maksudku. Benar-benar buat iri, setelah pesta sunatan yang bersamaan dengan pernikahan salah seorang tanteku itu, Aran menjadi kaya mendadak. Bisa membeli banyak hal yang dia mau. Seperti Nintendo, sepeda, apa lagi ya? Aku lupa. Tapi tak apa, toh aku juga jadi bisa main Nintendo. Mario Bros, Street Fighter, dan Pacman favoritku. Kami main tak kenal waktu, tentu saja setelah menyelesaikan PR, itu peraturan pakem mama.

Oh, aku ingat, di rumah itu mama menemukan semangat belajarnya kembali. Tiba-tiba saja tidak puas dengan semua yang didapatnya di SPG; Sekolah Pendidikan Guru setara SMA yang sudah lama dihapus keberadaannya, mama memutuskan melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi, perguruan tinggi. Membuatnya memiliki rutinitas baru, pagi mengajar di SD, siang mengajar les, lalu pulang untuk bekerja sama dengan kami, aku dan Aran, mengerjakan pekerjaan di rumah. Seingatku kami sudah terlatih mencuci piring, menyapu, mengepel, bersih-bersih rumah, menghangatkan makanan, memasak mi dan air, membersihkan sayur mayur, mencuci walau menggunakan mesin, kecuali menyetrika, kami tak bisa. Lalu malamnya mama pergi ke kampus, berkuliah ia. Biasanya bapak yang mengantar jemput dan kami diam manis di rumah, berdua saja. Entah apa yang membuat kami tidak takut ditinggal berdua di rumah tiap malam.

Satu sore, itu kau, Sore. Aku dan bapak sedang main, berkeliling dengan motornya. Kami singgah di sebuah warung tempat om-om teman bapak berkumpul. Bapak mengobrol dengan mereka dan aku sibuk memilih es krim di warung seberangnya. Tiba-tiba ada seorang om datang membawa bayi, bayi kambing, masih merah, manis sekali. Dia bilang kalau bayi ini baru saja dilahirkan, jenisnya kacang; jenis kambing yang badannya tidak bisa tinggi dan besar seperti kambing kebanyakan, dan si om sedang mencari orang tua asuh untuknya. Bapakku langsung bereaksi, digendongnya itu bayi, aku hanya diam menatap keheranan, menatap bayi kambing untuk kali pertama dalam hidupku. Aku tak sempat menyimak pembicaraan mereka karena sibuk terpesona dengan bayi itu dan tiba-tiba saja kutersadar saat bapak bertanya, ”Gak pa-pa kan Ga?”. Heh? Apa katanya? ”Gak pa-pa kan kita aja yang pelihara?” Iya, kataku tanpa berpikir. Bukan karena antusiasme yang besar, tapi kaget sekali atas ide bapak hingga tak bisa kuberpikir.

Itu kami, pulang ke rumah bermotor. Bapak duduk di depan menyetir, aku di belakangnya masih tertegun memandangi bayi kambing yang dipeluk bapak, bayi kambing yang sedari tadi tak henti menatapku. Tiba di rumah, aku ingat itu raut wajah bahagia mama menyambut bayi baru kami. Heran, aku kok tidak melihat sebersit pun rasa kaget di wajahnya. Semua orang lalu sibuk. Mama sibuk ke warung membeli dot bayi; untuk manusia, dan susu Dancow. Sedangkan bapak sibuk mencari bahan-bahan untuk membuat kandang. Setelah menyusui si bayi, mama lalu mengambil buku tebalnya. Ah, akhirnya mama berhenti bertingkah aneh. Mama pasti sedang belajar, pikirku. Aku dan Aran duduk di sana, di halaman rumah sedang memandangi bayi kambing yang lelap tertidur. Kasihan dia, pikir kami, dia tidak akan bertemu mamanya lagi. Setidaknya ada kami yang turut bersedih bersamanya saat itu. Tiba-tiba mama datang, memanggil kami dan berkata, ”Izanami Kotaro”. Heh? ”Itu namanya. Itu nama bagus, nama dewa Jepang. Dewa apa ya? Mama lupa”. Jadi itulah yang mama lakukan dengan buku tebalnya, mencari nama. Izanami Kotaro, Nami kami memanggilnya.

Nami tinggal di lapangan kosong sebelah rumah, kandangnya bapak buat di sana. Kandang kayu berpintu hasil tempelan kayu-kayu bekas. Di dalam ada sebuah mangkuk bagus tempat susu, mangkuk yang mama relakan dari dapurnya; karena Nami hanya menghabiskan waktu beberapa hari dengan dotnya. Jadwal Nami minum susu empat kali sehari, diselanya Nami hanya boleh minum air putih. Tergantung dengan rapih di dapur susu Dancow sachet khusus untuknya, full cream. Satu sachet per jadwal. Lalu, entah sejak kapan, Nami juga membutuhkan nutrisi tambahan. Mama memberinya roti. Roti yang kami beli di warung Bang Uus, langganan kami, seharga seribu. Nami suka sekali yang rasa keju, atau cokelat jika yang keju tidak ada. Kalau rasa lain akan dilepeh olehnya. Tidak suka katanya. Selain roti, Nami juga suka memakan kertas, entah sudah berapa banyak buku kami yang dimakannya. Jadilah kami harus menyimpan buku di tempat rahasia, layaknya emas. Nami tahu di mana kami meletakkan hampir semua benda di rumah. Maklum, dia memang penghuni rumah kami, bagian dari keluarga, walau tempat tidurnya di luar rumah.

Pernah beberapa kali kami terlibat situasi yang tidak enak dengan tetangga, berkat Nami. Nami masuk ke rumah tetangga yang pintunya terbuka. Biasanya Nami akan segera keluar dan tidak sampai menjamah dapur karena dia kan bukan kucing. Tapi Nami itu jeli sekali, dia melihat taplak meja tetangga kami yang terbuat dari kertas. Tanpa bertanya dulu, langsung saja dilahapnya itu taplak. Jadilah mama tak berhenti minta maaf di sana. Kali lain, Nami sedang berjalan-jalan sore; Nami tidak kami ikat pun kurung sepanjang hari kecuali saatnya tidur, dan dia melihat ada seorang bocah yang memegang uang. Bukan menggenggam tapi mengibarkannya bak bendera. Nami menghampiri si bocah, bukan untuk menyapanya, tapi untuk meminta sedikit uangnya, setengah saja. Mendapati uangnya tak utuh lagi, menangislah bocah itu. Untung saja bapak kebetulan datang dan menggantikan uang yang ternyata untuk membeli gado-gado buat mamanya.

Ternyata benar, badan Nami tidak bisa membesar ataupun meninggi. Membesar sih, sedikit. Meninggi juga, sedikit. Tetap saja ukurannya masih di bawah kambing-kambing lain. Pernah dulu ia bertanduk, kecil. Tapi entah bagaimana, satu waktu ia memasukkan kepalanya ke kaleng bekas yang ditemukan dekat kandang dan terperangkap kepalanya di sana, menangis ia. Aku dan Aran yang kala itu sedang bermain Nintendo keluar untuk melihatnya, membantunya mengeluarkan kepala. Berhasil, kami berhasil mengeluarkan kepala Nami, tapi tanpa tanduk mininya. Tanduknya patah, berdarah ia. Kasihan sekali. Aran mengobati dengan Betadine, aku sibuk memeluk dan menenangkan Nami. Jadilah ia tambah tidak seperti kambing kebanyakan, tanpa tanduk. Aku yakin aromanya juga berbeda dengan yang lain. Nami kami mandikan setiap hari, usai dia main. Kami bawa ke kamar mandi, kami siram dengan air; harus sambil dipeluk karena kalau tidak dia akan lari, lalu kami sabuni dengan sabun favorit kami, Dee-dee aroma strawberry. Kami sabuni semuanya, kepalanya, lehernya, buntutnya, kakinya juga. Lalu kami handuki dan kami bawa keluar rumah. Nah, ada bagian yang kusuka sekali setelahnya. Nami akan bergidik dan menggoyangkan kepalanya dengan cepat, lalu air akan bercipratan dari tubuhnya, dan, semua rambutnya akan berdiri, keren sekali. Mengapa tidak terpikir olehku untuk memotretnya ya?

Nami selalu menemaniku, menemani kami, di kala senang maupun susah. Pernah itu aku dihukum oleh mama, tidak boleh masuk rumah, tinggal di teras saja. Padahal waktu itu sudah jam sembilan malam, sudah gelap. Aku duduk di teras, ketakutan. Terus aku ingat bahwa Nami juga tidur di luar rumah, di kandangnya. Kubuka kandangnya, kulihat ia sedang tidur tapi terbangun oleh bunyi pintu dan kugendong ia keluar. Itu kami, tidur bersama di teras, berdua. Sampai mama membangunkanku, entah jam berapa, menyuruhku masuk dan tidur di kamar. Kubawa Nami bersamaku, tidur kami di kasurku, bertiga, sama Aran juga.

Nami adalah yang pertama aku dan Aran cari sepulang sekolah, yang bapak dan mama cari sepulang kerja. Seperti sore itu, sepulang Madrasah; tidak seperti teman-temanku yang bisa beristirahat sepulang sekolah, aku hanya punya waktu setengah jam untuk kemudian sekolah lagi di sekolah agama, Madrasah, hingga sore. Kupanggil Nami, tak ada jawaban. Kubuka kandangnya, tak ada ia. Kucari di lapangan, sepi. Kutanya mama, berubah wajahnya. Kata mama beberapa siang ini bos bapak dan anaknya main ke rumah. Kali pertama iseng saja. Tapi ternyata anak bos bapak yang lebih kecil dari kami menyukai Nami. Sampai rumah minta balik lagi, mau ketemu Nami. Mau main sama Nami lagi dan lagi. Saat dibilang tidak bisa sering-sering datang marah ia, sedih sampai sakit. Lalu bos bapak bertanya jikalau mereka bisa mengasuh Nami. Aku tak mengerti mengapa, bapak bilang iya, mama juga. Dan sore itu, Nami dibawa pergi. Baru saja, beberapa menit yang lalu tambah mama.

Berlariku ke jalan raya, kutahu pasti mereka naik mobil, kulihat itu bapak berdiri melambai ke arah mobil Kijang. Itu Nami, itu Nami, melompat ke kursi belakang, memandangku lewat kaca sambil melompat-lompat. Bisa kulihat kakinya, kaki yang kemarin baru kuikatkan pita. Kudengar tangisnya, benar kudengar. Nami, Nami, panggilku sambil lari mengejarnya. Berlariku sampai tak bisa lagi, sampai bapak memeluk dan menahanku di dadanya. Itu Nami, pergi. Sore dia datang, sore juga dia pergi.

Aku ingat menangis berhari-hari. Aku ingat Aran bersamaku melancarkan serangan tanpa kata ke bapak. Kami tak mau bicara, tak mau diajak ke Ramayana, tak mau ditraktir es campur juga. Mama bukannya ikut sedih malah mendukung bapak. Kami tak suka.

Izanami Kotaro, notre chère chèvre pas comme des autres.

-bersambung-

Mandi

Salah satu hal yang kusuka di dunia ini, biasa kulakukan dua kali sehari. Kadang bahkan lebih. Seingatku rasanya selalu menyenangkan, apalagi sensasi rasa sepersekian detik sesudahnya, seperti ketika air pertama kali mengalir di tenggorokan kita saat berbuka puasa. Kuambil kain itu, handuk namanya. Tak mau aku pakai sembarang handuk, mauku berbahan tebal, lembut menyapu tubuhku, berwarna halus dan sederhana, benar-benar kering dan tidak lembab, makanya harus lah ku jemur setiap hari di bawah sinar matahari.

Jangan lupa membawa keranjang ungu nan manis itu, layaknya wanita di film-film yang akan mandi di kali, aku pun membawanya. Punyaku jauh lebih kecil, lebih mudah dibawa sepertinya dengan dua telinga di sisi. Kalau mereka membawa pakaian di keranjang untuk dicuci sambil mandi, aku mengisi keranjangku dengan botol-botol dan spon. Satu botol sabun yang sudah diisi ulang entah berapa kali, satu sabun muka dee-dee aroma strawberry favoritku yang tiada tandingannya, satu conditioner penghalus rambut sebagai upaya mengurangi kekusutan karena jarang berhubungan dengan sisir, satu pasta gigi tanpa deterjen untuk menghindari rasa pedas yang membuatku buru-buru ingin menyudahi ritual sikat gigi, satu sikat gigi yang memang tersimpan di dalam botol ungu; warna senada yang tak sengaja kudapatkan, dan dua botol sampo, satu sampo yang biasa kupakai dan satu sampo rekomendasi dari Dyence, temanku yang baru mewarnai rambutnya. Konon katanya sampo itu bisa membantu menghaluskan rambut-rambut yang sudah diwarnai berkali-kali seperti punyaku. Kalau spon berwarna oranye, dengan merk terkenal dan berharga mahal, terpaksa kubeli karena merk lain terasa kasar di kulit. Belum lengkap, satu lagi, jangan lupa bawa handphone seri walkman hasil menabung tiga bulan itu. Kau tahu, aku bisa melakukan dua hal yang aku sangat sukai dalam waktu yang bersamaan, mandi dan bernyanyi. Ya, bernyanyi!

Setelah masuk dan menutup pintu dengan rapat, tak lupa kukunci, kugantungkan handuk, handphone dan keranjangku. Handuk di gantungan handuk, handphone di paku kecil yang biasanya tempat menggantungkan gayung jika tidak sedang dipakai, dan keranjang ungu di engsel pintu kamar mandi. Kuputar lagu yang sedang ingin kunyanyikan, keras-keras. Kubasahi tubuh dengan air, tunggu, itupun kalau aku sedang tidak ingin membuat patung. Kalau sedang mood berkesenian, aku akan mengambil posisi membuat patung dan berkreasi, bisa sambil bernyanyi, bisa juga sambil menyikat gigi. Setelah patung jadi, terpaksa kuucapkan selamat tinggal karena aku tak punya tempat yang aman untuk menyimpannya. Kulanjutkan dengan mencuci peralatan membuat patung. Barulah kubasahi tubuhku, lalu tubuhku akan bercakap dengan spon dan busa dari sabun cair aroma buah-buahan. Tunggu, itu kalau aku sedang tidak ingin keramas. Berarti itu untuk ritual mandi pagi. Karena sore hari, aku harus keramas, kecuali sedang sakit. Kalau tidak, bisa-bisa aku tidak bisa tidur memikirkan makhluk-makhluk di kepalaku. Hiiiyyy....

Baiklah, aku mengguyur kepalaku, menaruh sampo di tanganku untuk kemudian kutuang di rambutku, lalu kugosok, kuputar, dan kugaruk-garuk biar bersih. Tidak lupa membuat gaya seperti menyisir, karena ini lah satu-satunya pertemuan rambutku dengan sisir (jadi-jadian). Kusiram kepalaku dengan air, sambil memperagakan gaya memeras, memeras rambut maksudnya. Untuk apa? Entahlah, rasanya keren saja. Tahap selanjutnya adalah membubuhkan conditioner yang kemudian kudiamkan, sambil kemudian kubasuh wajahku dengan air, kutaruh sabun wajah di tanganku, kutambahkan sedikit air, dan kugosok-gosok wajahku dengan gerakan memutar, konsentrasi penuh di sekitar mata dan hidung. Kubilas keduanya, ya wajah, ya rambut.

Baru kemudian bermain dengan sabun dan spon seperti tadi. Biasanya busa-busa akan menghujaniku, rasanya seperti melihat kembang api yang bertebaran, jadi bingung mau melihat kemana. Seringkali juga ada jeda dari satu ritual ke ritual lain, jeda yang datang karena aku berkonsentrasi mencapai nada-nada tinggi, berupaya mengikuti penyanyi asli lagu yang sedang kunyanyikan saat itu. Sudah selesai? Aku akan menghujani tubuhku dengan air beberapa kali lagi. Kuambil handukku, kubuat gerakan ke atas dan ke bawah dengan cepat; ceritanya biar debu di handuk pergi, lalu kusapu air-air di tubuh dengan kelembutan handukku. Kumatikan musik, konser selesai. Maaf mengecewakan kalian semua penonton setiaku. Kubuka pintu dengan kesegaran, kebersihan, dan senyum puas setelah konser setengah jam. Sampai jumpa di konser berikutnya! ;)

Tuesday, October 27, 2009

Pensil dan rautan

Apa yang kausuka di dunia ini?

Wah, pertanyaan yang sulit. Banyak sekali. Apa ya? Baiknya kumulai darimana?
Oh, ini saja, yang ada di genggamanku saat ini. Pensil kayu. Betapa kusuka menulis dengannya. Pensil kayu panjang nan ringan, tidak mudah patah ketika dipakai menulis, bisa menghasilkan ketebalan yang pas; tidak terlalu tipis atau tebal, kayunya dilapisi cat berwarna bagus; hijau dan hitam favoritku.

Ah, dan satu lagi, ujungnya runcing. Keruncingan yang selalu membantuku menulis lebih bagus dan jelas. Untuk menghasilkan keruncingan yang ideal, rautan besar favoritku. Rautan yang terbuat dari besi berbentuk kotak. Menggunakannya mudah saja, cukup menekan tombol di bagian atas sisi berlubang ke arah dalam, lalu masukan pensil sampai mentok dan lepas tombolnya, maka pensil akan terjepit di sana. Selanjutnya putar gagang di sisi berlawanan ke arah dalam. Putar hingga tak terasa lagi getaran pisau yang meraut. Untuk mengeluarkan pensil, tekan lagi tombol tadi dan voila! Pensilku runcing dan siap digunakan.

Terima kasih rautan, terima kasih pensil, sudah berkolaborasi membuat menulis menjadi indah.



Pensil terjepit di rautan


Pensil siap diraut



Dua sejoli

Sumpah Wanita Indonesia

Menyambut peringatan Sumpah Pemuda, saya atas nama wanita Indonesia yang sekeyakinan dengan saya, sekaligus sebagai generasi penerus para pemuda di masa Sumpah Pemuda, akan membuktikan pengabdian pada negara tercinta dengan turut bersumpah. Sumpah yang dibuat dengan sesadar-sadarnya, tanpa tekanan dari pihak manapun, maupun imbalan dari siapapun, kecuali Tuhan.

Kami, wanita Indonesia, berjanji:
  1. Berpria satu, pria asli Indonesia
  2. Bergaya satu, gaya orisinil Indonesia
  3. Berbelanja selalu ingat satu, produk-produk Indonesia
  4. Berperilaku santun, kebanggaan wanita Indonesia
  5. Bersatu padu membentuk anak-anak tangguh Indonesia


Delapan puluh satu tahun setelah Sumpah Pemuda di Indonesia.

Bercerita bersama sore - dua

Kita lanjut lagi Sore, ke rumah kedua. Letaknya dekat sekali dari rumah pertama kami, hanya terpisahkan oleh empat rumah dan satu pos siskamling, tempat bapak-bapak hansip berjaga, menjaga kami yang sedang tidur pulas. Rumah ini jauh lebih kecil dari sebelumnya. Jika dulu kami punya dua kamar tidur, sebuah ruang makan, ruang tamu, dapur, kamar mandi dan pekarangan, kini kami hanya punya satu ruang tamu, satu kamar tidur, satu ruang makan, satu kamar mandi. Serba satu, tanpa pekarangan. Oh iya, kamar mandi kami tak berkakus. Jadi kami harus keluar ke belakang rumah dan mengunjungi sebuah kotak dari triplek tak berlampu jika ingin jumpa kakus. Pernah itu satu waktu aku pergi kesana malam hari ditemani lilin. Ketika sedang sibuk berkreasi, tiba-tiba saja aku mencium bau aneh, bau gosong, bau terbakar. Aku kaget dan entah mengapa takut sekali, mungkin takut jikalau ada kebakaran. Ternyata eh ternyata aku mendapati rambutku yang terbakar karena menunduk terkantuk ke arah lilin di depanku. Untung bukan wajahku yang terbakar!

Di rumah ini sepertinya kali pertama aku dan Aran belajar membaca. I en i ni ini, i be u bu ibu, bu de i di budi, ini ibu Budi. Itu kalimat pertama kami, pastinya. Terima kasih pada seluruh tim penyusun buku Bahasa Indonesia terbitan Yudistira, kalian telah menemani hari-hari kami belajar membaca. Satu malam, malam itu aku sudah melewati masa-masa suram saat aku dilarang tidur oleh mama sebelum bisa membaca. Sudah biasa itu aku tidur di atas jam sembilan malam karena metode mengajar mama, belum lagi biru-biru yang aku dapat di sekujur tubuh hasil cubitan gemasnya. Kenapa waktu itu bapak selalu tidak ada di rumah untuk menolongku yah? Ah, mungkin kalau bapak ada aku belum bisa baca sampai sekarang. Jadi tidak bisa lulus sekolah, tidak bisa bekerja, apalagi punya blog sendiri. Malam itu tiba giliran Aran belajar membaca. Aku? Sudah menyelesaikan PR dan sedang menonton televisi, TVRI. Aku lupa sedang menonton acara apa, yang aku ingat tiba-tiba saja aku kaget karena teriakan mama yang marah-marah setelah mengetahui kalau selama ini Aran berbohong, pura-pura bisa membaca padahal dia menghafal bacaan saat mendengarkanku belajar membaca di hari-hari sebelumnya. Kalian tahu bagaimana dia menghafalnya? Jadi, di setiap halaman ada gambar ilustrasi di atasnya. Nah, Aran cukup mengingat bunyi yang kubaca saat itu sambil mengingat gambarnya, begitu. Maka habislah dia dimarahi dan dicubiti mama. Sementara aku, tersenyum bahagia sambil menonton tv.

Di rumah ini juga kudapatkan panu pertamaku. Panu yang besarnya bukan main dan muncul di tempat yang tidak main-main, di pipi kananku. Bapakku, yang kreatif bukan main, mencoba mengobati panuku menggunakan obat cair bernama kalpanax, obat cair berwarna yang cukup dibubuhkan ke kapas untuk kemudian digosokkan ke panuku. Sederhana sekali bukan? Tidak! Tidak pernah sesederhana itu rasanya. Kau tahu sensasi saat kapas berkalpanax digosokan ke kulitmu? Itu panas sepanas-panasnya, perih seperih-perihnya. Perih sekali! Itu aku berteriak, menggelegar, memanggil para tetangga. Para tetangga yang akhirnya berkumpul menikmati pemandangan seorang perempuan kecil yang sedang dipiting bapaknya sambil dibakar kulitnya. Aku tidak melebih-lebihkan, memang kulitku sedang dibakar walau tak berapi, dan hasilnya, seratus persen terbakar. Jadilah aku memiliki penghuni baru di wajah, luka bakar besar seperti tompel yang memenuhi pipi kananku.

Itu belum seberapa, kalian tahu apa yang terjadi besoknya? Aku harus tampil di atas panggung, di depan guru-guru dan murid-murid sekolah tempat mama mengajar. Sudah terlanjur aku mengiyakan untuk bersenandung Islami di acara maulid sekolah itu. Malu sekali mendapati orang-orang sibuk memandangi tompel baruku, bukannya mendengar suaraku yang merdu. Tak cukup mereka mengganggu konsentrasiku, ada lagi seorang guru yang bertugas sebagai fotografer, dengan kamera sakunya mendekatlah ia ke panggung, mendekatiku, membidikku, dan dengan manis mengabadikan tompelku. Beberapa minggu setelahnya mama memberikan foto itu padaku dan, tidak lupa, menyuruhku menyimpannya. Untuk kenang-kenangan katanya. Ah, mama, tanpa foto itu pun aku masih mengenangnya dengan baik. Terima kasih mama, terima kasih bapak, atas kolaborasi yang indah.

Walau sempat berpanu, tidak seperti gadis kecil umumnya, tapi aku bermain barbie, bukti kalau aku juga gadis kecil yang manis. Barbieku dibelikan mama di Ramayana, asli katanya. Bukan cuma barbie, aku juga dibelikan mesin jahit untuk membuat baju barbie, warnanya merah jambu, keren sekali. Keren sekali karena cuma aku yang punya, tak ada teman-teman bahkan sepupu-sepupuku yang memiliknya. Barbieku punya nama, aku lupa beberapa namanya, yang kuingat semuanya berbau telenovela; dulu aku menggilai nama-nama yang kutemukan di telenovela, dan berhubung telenovela berganti-ganti, begitu pula nama barbieku. Barbieku juga berulang tahun, yang tanggalnya berubah-ubah mengikuti moodku. Akan kuundang tetangga-tetangga beserta barbie mereka untuk berpesta di rumahku, pesta yang seringkali menghabiskan isi kulkas mama, yang menyebabkan mama hampir membuang barbieku. Tapi tenang, aku selalu berhasil menenangkan mama dan barbieku masih selamat, sehat wal afiat.

Ada lagi satu cerita yang masih berputar dengan gambar yang jelas di ingatanku, hari itu satu hari menjelang lebaran, Idul Fitri. Itu siang hari, di belakang rumah, aku sedang berkumpul bersama Aran dan teman-teman kami mengerubungi beberapa ember. Ember berisi ikan-ikan cupang koleksi bapak. Ikan-ikan cantik berwarna-warni yang sedang sibuk berenang melenggak-lenggok seperti hendak pamer pada kami. Aku dan Aran sedang melatih jiwa usaha kami dengan menjual ikan-ikan itu ke teman-teman, para pengunjung. Tidak sulit, kami hanya membutuhkan saringan penangkap ikan; kami pinjam punya bapak saja, karena kebetulan bapak punya banyak, dan kantong plastik kecil tempat menaruh ikan; ini juga kami minta sama mama, maksudnya kami ambil dari laci dapur mama, karena toh mama juga punya banyak, lebih banyak dari saringan ikan bapak malah. Kami jual lima ratus rupiah, untuk sekantong ikan cupang, yang warnanya beragam, boleh pilih. Semua senang, semua suka, laris manis dagangan kami.

Dalam waktu singkat kami berdua punya uang banyak. Uang yang kami hitung lagi dan lagi hingga malamnya, malam takbiran. Mama sedang menggoreng kacang untuk lebaran di dapur, aku dan Aran di ruang tamu bersama uang-uang hasil jerih payah kami dan tiba-tiba saja bapak datang menghampiri kami, bertanya tentang kabar ikan-ikannya. Kami ceritakan kesuksesan kami padanya dan tak disangka tak diduga bapak marah semarah marahnya pada kami, dia bilang ikan cupang warna-warni itu dari Singapura, mahal harganya. Masa ada ikan cupang dari Singapura? Aku dan Aran takut sekali, kami hanya menduduk dan aku, menahan tangis. Tiba-tiba saja adik bapakku, Mang Isa, yang kala itu memang sedang di rumah dan menikmati kacang goreng mama mengambil alih kemarahan bapak. Bapak lalu mundur, sepertinya aku sempat melihat kode mamang ke bapak agar mundur, dan mamang melanjutkan bapak. ”Ega sama Aran mau apa? Bilang saja sama Mamang, nanti dibeliin. Jangan jualan, tinggal bilang saja. Mamang ’gak mau yah dengar lagi kalau Ega sama Aran jualan. Kalau ada apa-apa bilang saja sama Mamang, nanti dikasih”. Memangnya kalau kita jualan berarti kita butuh sesuatu ya? Aku dan Aran tidak mau beli sesuatu dengan uang tadi, kami hanya mau berjualan, itu saja. Lalu mamang mengelus kepala kami dan berpamitan pergi. Akan kuingat selalu itu, tidak boleh jualan dan tinggal bilang saja kalau mau sesuatu.

Beberapa jam kemudian saat sedang bermain di lapangan, kudengar mamaku teriak histeris, menangis ia, meraung-raung; khas orang Batak. Kuberlari ke rumah, mendapati mama sedang ditenangkan oleh beberapa tetangga. Ada apa? Aku lupa siapa yang menjelaskan padaku, menceritakan bahwa tadi setelah pergi dari rumah, mamang Isaku pergi ke studio foto untuk membuat pas foto, keluar dari studio mamang menyeberang jalan, dan saat menyeberang tiba-tiba ada sebuah mobil menabraknya. Menabraknya lalu pergi. Tabrak lari. Mamang juga pergi. Tak ada lagi. Sejak itu aku tak pernah berjualan ikan lagi. Dan tak pernah ada lagi yang bilang padaku, kalau mau apa-apa tinggal bilang saja.

Buat mamang di surga, tak pernah kulupa merahnya darah di sweater terakhirmu, tak juga kulupa pesan terakhirmu padaku, pada kami.

-bersambung-

Sunday, October 25, 2009

Bercerita bersama sore - satu

Sore, sedang apa?
Oh, lagi-lagi kau senyum-senyum sendiri menikmati kelakuan gadis-gadis cilik di padang rumput itu. Ah, tawa itu! Gelak damai yang seperti itu masih ada rupanya. Betapa Tuhan masih menyayangi kita. Iya, dan kau juga tak kunjung bosan mengunjungi kami, pastilah Ia sayang sekali.
Sore, tadi itu aku terkejut sekali saat terbangun dari tidur siangku. Karena tiba-tiba saja ingat kalau belum shalat Ashar, padahal ingat kalau adzan melantun tadi sekali. Nah, ketika wudhu dalam keadaan setengah sadar melintas lah itu kilasan mimpi tidur siangku. Tidak, bukan mimpi buruk, yang ini indah kok.

Kembali ku ke beberapa rumah mungil di masa kecil. Empat, tepatnya. Yang tiga rumah kontrakan dan yang terakhir rumah sendiri, rumah kami, bapak, mama, aku dan Aran. Saat itu entah berapa umurku, tapi masih kecil sekali, masih TK atau sudah SD, aku lupa.
Ada satu rumah kecil dan satu-satunya rumah kami yang berhalaman. Ada beberapa pohon mama di sana, tapi yang di pot-pot saja. Pohon-pohon yang berakar langsung di tanah pekarangan kami semuanya punya Pak Amu sang pemilik rumah, yang kini sudah almarhum. Kalau kau kubawa berkunjung kesini, setelah kau lihat itu pekarangan sederhana kami, kau akan masuk ke ruang tamu berukuran sedang, cukup untuk meletakkan sebuah meja kaca, sofa berbentuk huruf L dan sebuah lemari tempat pecah belah mama. Ruang itu sanggup memuat cukup banyak orang seingatku.

Aku ingat itu dua puluh lima Juni tahun berapa aku lupa, hari itu ulang tahun Aran, adikku. Dulu, waktu kami kecil ulang tahun artinya pesta dengan teman-teman, memakai topi kertas bertuliskan nama kami, memakai baju bagus, bernyanyi ”Selamat Ulang Tahun” dan ”Panjang Umurnya” bersama, memotong kue cantik nan lezat, dan membawa pulang kantong kue berisi jajanan-jajanan enak, jelly dan wafer superman selalu menjadi favoritku. Ah, kau pasti ingat semua itu, karena kau selalu menemani kami, Sore. Eh, apakah waktu itu kau juga senyum-senyum sendiri memandangi kami? Iya, kurasa.

Kembali ke hari itu, ke pagi saat mama memberitahu kami bahwa hari itu adalah hari ulang tahun Aran, maklum kami belum bisa mengingat ulang tahun kami sendiri dan aku tidak ingat kalau tanggal merupakan hal yang penting untuk kami. Kalau hari-hari kami ikuti benar pergantiannya, sambil terus menanti Sabtu dan Minggu. Mendengar berita bagus itu, Aran langsung menemui teman-temannya, teman-teman kami, guna mengundang mereka semua ke rumah, untuk berpesta. Entah berapa orang yang sudah dia undang saat itu, saat mama sedang berbelanja sayur mayur di gerobak keliling, saat seorang ibu tetangga bertanya padanya jam berapa acara Aran akan dimulai. Kaget mendengar pertanyaan itu dan tidak menunjukkan bahwa dia terkejut, yang ini salah satu kekhasan mama, mama menjawab jam empat sore. Itu kau Sore, sudah menjadi bagian dari kami. Sepulangnya dari berbelanja, mama memanggil Aran untuk menginterogasi, berapa orang yang sudah diundang, dan kenapa dia mengundang teman-teman tanpa sepengetahuan mama. Dengan polosnya Aran menjawab, banyak, dan karena tadi pagi mama bilang kalau hari ini ulang tahun Aran itu berarti hari ini saatnya berpesta. Kini aku bisa menertawakan kejadian itu, Sore. Lucu sekali. Ini contoh benturan orang dewasa dan anak-anak yang menggelikan untukku.

Tanpa menghabiskan banyak waktu, pergilah mama ke pasar Minggu, pasar terdekat dan terbesar di daerah kami. Berbelanja ia semua keperluan ulang tahun. Aku ingat sibuk sekali mama, dibantu beberapa orang tetangga. Aku juga sibuk, sebangunnya dari tidur siang aku sibuk mandi, memilih baju terbagusku, membantu mengisi tas-tas kue kemudian menyusunnya rapi. Aku ingat ada tumpeng nasi kuning karya mama, cantik sekali. Ada kue ulang tahun menggiurkan, sayang bukan rasa cokelat. Saat teman-teman sudah mulai berdatangan, Kak Mala, tetangga kami, menyuruhku untuk menemani Aran menyambut mereka. Aran, yang kala itu necis sekali dengan celana jins, kemeja merah dan dasinya. Aku, terlihat manis dengan baju berpita dan rok dengan warna dan motif senada, merah polkadot hitam. Kami harus memakai sepatu, kata mama. Tak lupa juga kupakai kaos kaki berendaku.

Ramai sekali sore itu. Kami bernyanyi, bermain, meniup lilin, memotong kue dan tumpeng, memakannya sambil difoto oleh tanteku, kalau tidak salah. Waktu itu malu sekali rasanya saat difoto. Malu sekali hingga kami sulit tersenyum dan bergaya. Hingga tanteku harus selalu menyuruh kami berdiri berjajar, merapat dan tersenyum. Oh, aku ingat juga kado-kado bagus yang Aran terima, banyak sekali. Ramai dan menggembirakan hati ulang tahun Aran kali itu. Haruslah kuberterima kasih padanya atas inisiatifnya mengadakan pesta. Satu-satunya pesta ulang tahun yang pernah kami punya. Ah, kenapa tidak kutiru caranya biar bisa kupunya pestaku sendiri?
Selamat Ulang Tahun Aran.

-bersambung-


Friday, October 23, 2009

Pulang

Apa yang selalu hadir dalam dunia khayalmu? Di duniaku, selalu saja satu kata itu. Aku seringkali berkhayal untuk mengatakannya, entah kapan bisa benar-benar terwujud. Bukan berarti karena ku menyimpannya di kotak khayal maka aku tidak melakukan apa-apa untuk membuatnya berpindah ke kotak cerita hidupku. Seringkali aku mengatakannya tanpa suara saat orang lain mengajukan pertanyaan, “Mau ke mana?”. Bahkan tanpa suara saja rasanya sudah menyenangkan, mungkin jika sudah bersuara nanti akan benar-benar menyenangkan.

Rumah, adalah syarat utama untuk mengucapkan kata itu, karena rumah dan kata itu memang melebur menjadi satu, benar-benar bersatu. Dan suatu hari nanti namaku akan menjadi trio dengan dua kata itu. Rumah seperti apa yang ada di dunia khayalmu? Di duniaku, tidak ada gambar yang jelas, karena aku memang tidak pernah menggambarnya, jadi walau kucari dan kucari di kotak khayalku, tetap saja tak kutemukan. Hari itu salah seorang penghuni lintasan terdalamku menanyakannya, dan tidak puas dengan jawabanku yang tidak memilikinya di kotak, dia memintaku untuk menggambarnya saat itu juga. Mulailah aku meracau dengan hal-hal yang kuinginkan, mulai dari taman, pagar yang terbuat dari tanaman, balkon, perpustakaan, dapur besar, karaoke, cinema room, sofa putih, plafon yang tinggi, jendela besar, cat putih, aroma pantai, bath tub, dan bintang-bintang di langit-langit tepat di atas tempat tidurku.

Apa yang ingin kau lakukan di rumahmu? Apalagi ini, aku tidak pernah memikirkannya. Lagi-lagi dia memaksaku untuk mulai menulisnya lalu menaruh ceritanya di kotak khayal. Aku ingin bangun siang tanpa rasa segan, karena aku berada di rumahku dan aku bisa melakukan apa saja sesukaku; aku ingin menata buku-bukuku di perpustakaan dan menulis hingga pagi di sana; aku ingin bernyanyi hingga ku menangis kala aku sedang sedih di ruang karaoke; aku ingin menonton film-film yang sudah lama aku ingin tonton di cinema room seharian, memasak menu Eropa di dapurku, membaca buku sambil minum teh di taman, dan mondar-mandir sesukaku tanpa sehelai pakaian di seluruh ruangan, karena ini rumahku.

Apa yang kau lakukan saat seseorang berkata bahwa dia ingin menjadi bagian dari rumahmu, rumah yang bahkan belum berpindah ke kotak cerita hidupmu? Aku sedikit terkejut dan bingung, tetapi aku senang saat itu juga karena kalimat, “Aku ingin menjadi bagian dari rumahmu” keluar dari mulutnya. Tapi siapa yang bisa menjamin kalau penghuni lingkaran terdalammu akan tetap berada di sisimu dan tidak pergi? Jadi, bagaimana dia dapat menjadi bagian dari rumahku jika aku baru bisa memindahkannya ke kotak kisah hidup entah kapan, entah 1, 2 atau 10 tahun lagi? Masihkan dia di sini? Entahlah.

Ternyata dia punya cara lain, yang baru kupahami seminggu setelah dia menyampaikan keinginannya. Dia memberiku bintang-bintang untuk kupasang di langit-langit kamarku. Ide yang tak terduga dan benar-benar menyentuh, ide yang membuktikan bahwa dia memang penghuni lingkaran terdalam angkasaku. Kini cerita di dunia khayalku bertambah, aku ingin sekali mengatakan satu kata itu padanya, suatu hari nanti. Aku benar-benar menginginkan itu, dan akan kukerahkan seluruh yang kupunya untuk mengucapkan kata itu padanya, suatu hari nanti.

Masih dari kotak khayalku, sepuluh tahun mendatang, “Dega, mau kemana?”, tanyanya padaku. Lalu kutersenyum dan menjawab, “Pulang”. Dega, rumah dan pulang, kami benar-benar cocok kan?

Wednesday, October 21, 2009

Ini punyaku


Ini bintangku
Mana bintangmu?
Ini yangku
Mana yangmu?

Ini wadah getah racunku
Mana wadahmu?
Ini tempat sampahku
Mana tempatmu?


Ini pembunuh egoku
Masihkah kau berkutat dengan egomu?
Ini tuan rumahku
Sudahkah kau temukan tuan rumahmu?

Ini penaklukku
Mana penaklukmu?
Ini pelipur perihku
Mana pelipurmu?

Ini pelangi mimpiku
Mana pelangimu?
Ini pusat angkasaku
Mana pusat angkasamu?

Tim Rusuh


Yup! TIM RUSUH adalah nama gankster yang tepat untuk mereka. Beranggotakan tiga orang, tim ini benar-benar membuat kerusuhan ketika bergabung. BERGABUNG! adalah salah satu kata favorit mereka, sambil menirukan gaya personil Power Rangers. (Hufff!!! tetep tenar aja itu Power Rangers, walaupun sudah berganti personil!)


Anggota pertama a.k.a BIANG RUSUH adalah ade alief, (walau baru-baru ini doi dikarunia adik baru, tapi gw tetap saja belum bisa memanggil doi abang alief. Omong-omong, doi loh yang ngasih nama tengah adik barunya!). Berbadan sekel, kepala botak, gigi depan ompong dan diberkahi dengan wajah tampan nan menggemaskan. Doi sadar sekali akan kelebihannya yang satu ini, hingga doi suka memanfaatkan wajah manisnya untuk merayu orang sambil berlagak manja dan bersalah seperti yang biasa doi lihat di sinetron. Sebenernya doi bukan pecinta sinetron, sampai muncul sinetron aya CAHAYA aya, jadilah tiap malam doi nungguin itu sinetron sambil mesem-mesem pamer gigi ompongnya! hi!hi!


Kenapa gw memutuskan doi adalah biang rusuhnya, karena telah tebukti ketika hanya ada dua personil lain, Tim Rusuh tidak terlalu mengganggu ketentraman bumi. Dengan tenaga besarnya yang dihasilkan dari berbagai makanan dan minuman yang dilahapnya, doi benar-benar enerjik dan sulit sekali mengenal kata lelah. Mainan favoritnya adalah mainan yang berbau kewanitaan dan hal ini lah yang bikin mami papinya deg-degan (takut jadi rada-rada feminim sepertinya). Tapi buat gw, ade alief cowo banget! Buktinya, doi benar-benar bisa menggoda para wanita. Buktikan saja kalo gak percaya! Gw sering banget manggil doi "playboy-ku". Baru-baru ini doi berhasil mewujudkan impiannya untuk foto di studio untuk akhirnya dicetak ukuran 20R dan dipajang di ruang tamu rumahnya! ha!ha! Dasar banci foto kamu de!


Anggota kedua adalah Tsabita, biasa dipanggil kakak sejak doi punya adik. Berambut lurus jatuh menuju tanah, tubuhnya sangat kurus dibanding anak-anak seumurnya, selalu memakai jilbab di luar rumah dan hobinya adalah show off lagu-lagu baru bersama anggota pertama. Suaranya agak cempreng, agak cengeng juga, susah makan, tetapi termasuk enerjik jika diibandingkan dengan asupan makanan yang dikonsumsinya. Seringkali gw ajak tukeran rambut dan doi selalu menolak, hingga suatu hari doi menyerah karena merasa kasihan sama tantenya dan mengatakan mau tukeran rambut sama gw, tapi sekarang gw yang bingung! Gimana cara nukernya coba?


Tahun depan doi akan resmi menjadi siswa Sekolah Dasar, Minggu kemarin doi habis survey sekolah sama abi dan uminya dan doi memutuskan pilihan pada SD tempat abang anggota pertama sekolah (Demokratis sekali yah keluarga masa kini?). Doi benar-benar match sama anggota pertama, tapi kalau sudah bersitegang? Wuuuu… jangan mendekat! Walau kecil dan seorang wanita, doi juga bisa segalak harimau (maklum, keturunan Batak. oooopss! kaya siapa yah?). Jikalau berkelahi dengan anggota pertama, habislah semua orang jalan delima dibuat pusing! Hiyyy!!!


Anggota ketiga, Kamal, a.k.a. abang Kamal, karena doi sekarang sudah punya adik. Badannya kecil gila, kalo kena angin pasti melayang. Tapi jangan salah, apapun dimakan sama doi, sampe nasi goreng pedes pun diembat juga. Dan jangan coba-coba gendong tubuh mungilnya, karena dijamin tangan saudara-saudara sekalian akan kepegelan bahkan bisa kesemutan! It happened to me! Suara doi nyaring sekali, bahkan ditelepon kita gak bisa dengar dengan jelas kata-katanya, karena suara doi tek tok! Ha!ha!ha!


Rambutnya lurus dan modelnya kayak Ariel Peter Pan. Hobinya jungkir balik dan lompat-lompatan tanpa takut kejedot sama sekali. Hobi lain adalah setel VCD robot, apapun. Doi seneng banget mampir ke rumah anggota pertama hanya untuk ngotak-ngatik dan akhirnya pinjam VCD. Berkali-kali ditawarin untuk sekolah doi selalu jawab gak mau, alasannya karena malu katanya. (Malu-maluin orang Batak aja kamu bang!). Tapi akhirnya doi mau juga sekolah, tapi gak tau deh kalo tiba-tiba berubah pikiran.


Nah, kalo mereka bertiga sudah bersatu, jadilah kerusuhan yang bikin kepala pusing tujuh keliling. Bisa dilihat dari ekspresi wajah-wajah penghuni Delima Raya dan Delima 2 yang biasa dijadikan base camp mereka. Sampai-sampai ketika temen-teman gw telepon, reaksi pertama mereka adalah "Gila Ga, rame banget rumah loe! Lagi ada acara apa?" Yeah… yeah… acara perhelatan Tim Rusuh! He!he! Mereka tidak akan segan-segan menjamah seluruh bagian rumah, pastiya. Yah, begitulah kelakuan keponakan-keponakanku tercinta yang selalu disambut dengan jingkrakan Admam, keponakan terkecilku, yang ingin sekali bergabung dengan mereka. Well, tetaplah merusuh sayangku!

Tuesday, October 20, 2009

Terselip Surga


Kupu putih
Capung kuning
Rumput hijau
Langit biru
Apa lagi?

Surga benar-benar ada, bukan?
Diselipkan di tengah kota
Jika di dunia saja begini indahnya,
Apalagi di sana?

Jatuh lagi kupu

Mendongak lagi kupu
Meneguni langit nan biru
Sebiru kalbu kupu
Memasrahkan kepakan sang penakluk

Mendongak kaku kupu
Meratapi sanubari memilu
Rintih perih menopang kupu
Kupu yang tak ingin jatuh

Tak dengar kah kau pesan rubah wahai penakluk
Jangan pernah kau taklukan kupu
Jangan pernah kau taklukan kupu
Jikalau di ujung cerita kau cambuk kupu dengan campakmu

Tak paham kah kau wahai penakluk
Jangan pernah kau taklukan kupu
Jangan pernah kau taklukan kupu
Jikalau di ujung cerita kau hempas tanggung jawabmu

Wahai penakluk dari segala penakluk
Kurasakan hembusmu di lukaku
Wahai penakluk dari segala penakluk
Merintih hati mengharap kalamMu


Dan akhirnya dia pergi.

Sunday, October 18, 2009

Keajaiban

“Kamu percaya pada keajaiban?” tanyanya padaku.
“Keajaiban?” yakinkanku padanya.
“Iya! Keajaiban,” jawabnya.
“Tentu saja! Tentu aku percaya adanya keajaiban.”
“Percaya? Memangnya kau pernah melihat keajaiban?" tanyanya menantang.
“Pernah katamu? Kulihat keajaiban setiap hari!” jawabku lantang.
”Setiap hari? Ha! Ha! Pasti kau tidak mengerti deh apa itu keajaiban,” ejeknya padaku.
”Kurasa kaulah yang tidak mengerti apa itu keajaiban!” balasku.
”Yang benar saja.. Kau mengetesku ya?”
”Tidak, sekarang kutanya, apa kau pernah melihat keajaiban?” ejekku padanya.
”He! He! Tentu saja tidak pernah! Karena tidak ada yang namanya si keajaiban itu! Hanya istilah bikinan manusia saja...” jawabnya sok tahu.
”Mmmm...” gumamku sambil tersenyum mengejek.
”Mengapa kau tersenyum menyebalkan seperti itu, hah?” dia sudah mulai sadar aku mengejeknya.
”Tidak, hanya saja hidupmu menyedihkan yah..” jawabku sok tahu.
”Apa maksudmu?”
”Keajaiban akan datang kalau kita percaya pada kekuatan Tuhan dan kita memujaNya dengan penuh rasa terima kasih,” jelasku jujur.
”Jadi maksudmu aku tidak percaya pada Tuhan, gitu?” wah, dia sudah mulai panas rupanya.
”Tidak begitu sih, mungkin kau kurang berterima kasih padaNya.”
”Sok tahu sekali kau! Seperti orang paling tahu terima kasih saja,” jawabnya yang sudah mulai mengajak ribut.
”Aku sih tidak bermaksud begitu, tapi menurutku kau juga pasti sudah pernah melihat keajaiban. Hanya kau tidak sadari saja,” jawabku dengan maksud menenangkan suasana.
”Keajaiban yang mana maksudmu?” keningnya mulai berkerut.
”Mungkin sejenis dengan yang sering kulihat.”
”Keajaiban apa sih yang kau lihat?” tanyanya tanpa sadar.
”Diriku! Setiap kubercermin, kusadar bahwa aku masih berdiri hingga kini karena kekuatan dan berkah dari Tuhan.”
”Hi... jadi maksudmu kau adalah keajaiban Tuhan? Jangan bikin aku muntah deh!” ejeknya geli.
”Terserah! Kalau mau muntah tolong jauh-jauh dariku.”
”Kurang ajar sekali kau!”
”Kau yang mulai membahas keajaiban, mengapa ketika kujawab kau jadi marah-marah? Padahal aku belum selesai menjelaskan.”
”Baiklah bodoh.. teruskan!” perintahnya.
”Manusia sering mengharap dan melihat terlalu tinggi, sehingga mereka lupa dan sombong untuk menyadari keajaiban Tuhan pada diri mereka. Keajaiban harus merupakan sebuah hal besar yang mereka inginkan.”
”Iyalah, kalau yang Tuhan inginkan itu takdir namanya.”
”Yang kita inginkan seringkali bukan yang terbaik untuk kita. Dulu aku sering menyerah, mengeluh, mengritik dan menghujat. Tuhan memberi keajaibanNya padaku dengan tetap memegang tanganku ketika hati, mata dan pikiranku telah menjadi hitam,” kumulai menahan tangis.
”Tapi kau kan memang hitam, temanku!” katanya jujur.
”.............” kutatap matanya dalam-dalam.
”Baiklah, teruskan!” menyerah juga dia.
”Ada kekuatan yang membantuku berdiri, mengangkat kepala, berjalan dan tersenyum. Bahkan kini, kupunya kekuatan untuk mengulurkan tanganku untuk membantu orang lain berdiri. Yang jelas, tadinya itu bukan kekuatanku, tapi kekuatanNya. Dia membantuku berdiri, tegap! Itu keajaiban, untukku, dariNya dan aku tidak mau menyia-nyiakan itu tentunya. Iya kan?”
”Jadi, cuma begitu yang kau bilang keajaiban? Kupikir benar-benar keajaiban.”

Sekarang, aku yang menjadi bingung tentang konsep keajaiban, menurutnya tentunya. Dia pikir apa itu keajaiban ya? Hah, jadi bingung.

Indonesia


Indonesia, oh Indonesia!
Nusa dan antara
Dua musim, lima agama, tiga puluh tiga provinsi, beribu budaya, berjuta pulau, Bhineka Tunggal Ika
Oh! Inilah kebebasan yang sesungguhnya
Nasi, singkong, sagu, jagung, semua kami suka
Emas, batu bara, gas bumi, timah, semua kami punya
Sampah, banjir, gempa, longsor, itu kami juga punya cerita
Indah dibidik dari angkasa, rupa ukiran kepulauan nan membuat iri para tetangga
Ah, bolehlah kau turut menikmati semua, wahai dunia! Asal jangan lupa pergi kala kami sudah tak suka.

Thursday, October 15, 2009

Sahabat




Sahabatku, ya mereka!
Mereka semua adalah sahabatku
Beda, itu biasa
Beda, sesungguhnya harus ada
Tepi tetap, satu buku menuju satu pintu

Tujuh rona tidak cukup
Sembilan pun belum cukup
Kita butuh berjuta-juta rona
Jatuh, terbang, bersama
Senyumnya, senyumku
Dukanya, dukaku
Tak ada alasan
Tak ada penjelasan

Ya, begitulah!
Mempunyai sahabat seperti menambah nyawa dan jiwa
Apalagi mempunyai beberapa sahabat?
Kekuatan dan keberanian pun pasti datang dengan sendirinya
Perlukah pengorbanan?
Jelas!
Mengerti dan memahami seseorang bukan hal mudah
Butuh membunuh banyak ego

Sahabat, turut berkerut wajahnya ketika kugundah
Kerutan yang membuatku tersenyum dan mendatangkan kekuatan
Semua menjadi mudah dan aku pun pasti bisa!
Sahabat tetap sahabat
Letaknya di lintasan terdalam angkasaku

Seseorang selalu berkata padaku bahwa hidup adalah pilihan
Seringkali sebuah pilihan adalah hal yang tak kusuka
Mengisi buku harianku adalah sebuah pilihan
Begitu pun untuk tidak lagi mengisinya
Bebas saja, bukan masalah
Tetap ku harus lanjutkan menggores pena di bukuku

Dia hanya berhenti menullis
Tetapi tulisan-tulisannya tidak terhapus
Tetap ada, masih ada

Menjadi dewasa belum kupahami
Menerima saja dengan lapang dada pun belum kukuasai
Ini aku, tetap aku
Yang merindukan tulisan-tulisanmu
Diam, bukan hidupku
Melepas orang-orang yang kusayangi pun bukan misi hidupku

Nantikan aku,
Entah di buku baru atau tetap pada buku ini
Ceritaku, ceritamu, cerita kita, akan tetap berdampingan
Dua kata
Aku kangen

Sahabat adalah kita
Kita adalah sahabat

BISUL

Kata orang, bisul itu darah kotor
Mengapa kotor?
Tahu darimana kalau dia kotor?
Aku tidak tahu banyak tentang kotor
Eh, tidak!
Aku ralat..
Aku tahu sesuatu tentang kotor
Isi otakku ketika melihatmu.

Wednesday, October 14, 2009

Sehatkah aku?


Sore itu kita bertemu, makan bersama, buka puasa bersama, sama-sama.
Sore itu kita bertemu, kau dan aku duduk disana, berhadapan.
Sore itu kita bertemu, berbagi cerita, berbagi suka, bolehlah duka.
Sore itu kita bertemu, kulihat mentarimu tak riang bekerja, kemana sinarnya?

Malam itu kau bagi aku kisah hidupmu, pusat angkasamu.
Malam itu kau beri aku tanda tanya yang kau simpan selama ini.
Malam itu kau minta aku menjadi yang mu, berpikir untukmu.
Malam itu tergores hatiku melihat redup matamu.

Kau bilang masa depanmu sudah terkonsep dengan jelas dan pasti.
Ku bilang kau sedang membangun tembok tinggi nan tebal.
Kau bilang sudah ada tempat untuk pendampingmu kelak.
Ku bilang kau menyediakan sedikit ruang untuk seorang pelengkap.
Kau bilang harus berjuang sampai akhir.
Ku bilang biarkan ini berakhir.
Kau bilang doakan agar kau dapat yang terbaik.
Ku bilang doaku tak pernah putus untuk yang terbaik.
Kau bilang kepala dan jantungmu ikut merintih.
Ku bilang kau tidak bahagia sahabatku.
Kau bilang kau harus kuat.
Ku bilang tak apa jikalau kau tak kuat.

Istirahatlah wahai teman, lelah berteriak di telingamu.
Mari duduk wahai teman, ku pastikan kan duduk bersamamu.
Berbaringlah sebentar wahai teman, ku kan terjaga menjagamu.
Bersandarlah wahai teman, ini pundakku untukmu.



Untuk Beny, seorang sahabat yang tak pernah pergi.

Tuesday, October 13, 2009

Anastasia Khairunnisa


Anast namanya, Nasto begitu biasa kumemanggilnya. Setahun lebih muda dariku, tapi tidak akan terlihat kecuali jika kau telah menghabiskan banyak waktu dengannya. Karena fakta itu akan terangkat melalui tema-tema yang seringkali dibahasnya, mulai dari aktor-aktor Asia pujaannya, jajanan favoritnya (jajanan yang dimaksud adalah jajanan definisi anak-anak, seperti chiki, cokelat yang rasanya tidak seperti cokelat, snack rasa keju yang benar-benar membuat haus karena kaya akan MSG), film-film yang sanggup membuatnya menangis termehek-mehek, serta cerita-cerita konyol kejadian di rumahnya, lebih tepatnya pertengkaran yang terjadi antara dia dan abangnya atau mamanya.


Ada satu cerita favoritku, suatu hari saat dia kecil, mamanya memasakkan ikan lele, Nasto dan abangnya yang ternyata suka dengan ikan ini berebut hingga akhirnya berkelahi (Ini yang namanya perut kosong membawa maut ya? Istilah yang sering kudengar di acara-acara kriminal). Esoknya sang mama menggoreng 1 kg ikan lele sebagai bentuk kekesalan atas kelakuan anak-anaknya, Nasto dan abang menyambut lele-lele tersebut dengan riang gembira hingga mereka mendengar persyaratan yang disampaikan sang mama bahwa mereka berdua harus menghabiskan semua ikan lele tersebut, tanpa sisa. Wuakakakakak… (oops! Sorry Nasto..) Jadilah mereka memakan lele-lele tersebut tanpa sisa, tapi menyisakan rasa trauma yang mendalam pada diri temanku itu.


Salah satu kenalanku yang benar-benar menguasai kemampuan membaca adalah si Nasto ini. Yang kumaksud adalah kemampuan membaca, lalu mencerna, memahami dengan mencoba menghubungkan cerita dengan dirinya, orang-orang dalam hidupnya, hingga membayangkan bahwa dia adalah tokoh dalam cerita. Tidak berhenti di situ, pemahaman yang sudah didapatnya seringkali diterapkan dalam kehidupan nyatanya, mulai dengan mengadaptasi menjadi caranya menghadapi masalah, menghadapi orang lain, kebudayaan baru, hingga menjadi ilmu yang seringkali bermanfaat di kelas. Oh iya, awal kedekatan kami karena kami teman sekelas di kampus. Nasto ini juga memiliki tingkat kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan sosialnya, kemampuannya yang satu ini juga kuyakini terasah karena buku-buku yang sudah dilahapnya. Jadilah kami berdua seringkali berkolaborasi dalam membaca keadaan, masalah hingga fenomena di sekitar kami.


Temanku ini juga memiliki selera busana yang sangat baik, kumenyadarinya di masa-masa kuliah. Tapi kini, sorry to say Nasto, keterampilan padu padannya berhenti di satu titik, entah mengapa. Kumenduga pasti ada hubungannya dengan isu berat badannya yang kini mengikuti tren ekonomi, mengalami inflasi! Hahahahahaha… Kalau kalian melihat tampilan fisiknya, pasti akan berpikir kalau temanku ini keturunan Batak dan memiliki tingkat emosi dan keberanian layaknya orang Batak kebanyakan, begitu juga pikiranku awalnya. Tenot! Benar-benar valid ungkapan “don’t judge a book by its cover” itu.


Satu hari, Nasto dan salah seorang teman kami yang juga teman terdekatnya, Karien, biasa kupanggil Karcut, mengantri di BAAK (bisa di googling mungkin kepanjangannya, karena memori selektifku sudah bekerja dengan baik untuk hal ini) untuk mengurus salah satu proses akademis perkuliahan, hingga tiba-tiba saja ada mahasiswa lain yang menyalip antrian mereka dan tidak ada mahasiswa lain yang protes pada si penyelak itu, termasuk kedua temanku ini. Bukan berarti mereka ikhlas diselak, mereka kesal sekali, mendumel satu sama lain, hingga Nasto punya ide brilliant untuk memanggilku yang saat itu berada sekitar 5 gedung dari gedung BAAK supaya aku bisa memberi pelajaran baik lisan maupun perbuatan pada si penyelak tadi. Jadilah mereka berdua membagi tugas, Karcut bertugas untuk memanggilku dan Nasto tetap mengantri guna tidak menyia-nyiakan waktu yang sudah mereka habiskan sebelumnya.


Agak sedikit kaget juga ketika Karcut menghampiriku dengan tergopoh-gopoh, setelah mendengar laporan singkat nan jelas darinya, tanpa banyak cing cong berangkatlah kami ke tempat Nasto berada dan tanpa tedeng aling-aling langsung kutunaikan tugasku secara lisan, karena ternyata peringatan lisan sudah cukup untuk membuat si penyalip menyadari kesalahannya dan insyaf hingga kembali mengantri dari belakang lagi. Sekilas kulihat senyum sombong dan bangga di wajah kedua temanku nan konyol itu. Yah, begitulah, dua teman yang tidak memiliki keberanian untuk membela dan menjaga diri sendiri. Pembelaan yang selalu mereka bilang, “Buat apa punya temen galak kayak loe! Hahaha…”. Benar-benar teman-teman yang menyusahkan bukan????


Tak lengkap bercerita tentang Nasto tanpa menyebut Agus Jemat. Siapa itu Agus Jemat? Yang pasti dia seorang pria, karena Agus memang nama pria, menggelikan sekali membayangkan wanita bernama Agus. Hihi! Kalau Jemat aku tak punya petunjuk sama sekali, entah apa artinya, aku tak peduli. Baiklah, si Agus ini adalah sama-sama mahasiswa seperti kami saat itu, dari angkatan yang sama, universitasnya juga sama, tapi jurusan kami berbeda. Dia mempelajari bidang yang tak kami mengerti, berkumpul dengan komunitas yang tak kami mengerti, melakukan kegiatan yang juga seringkali tak kami mengerti, berbicara tentang hal-hal yang kami usahakan sebisa mungkin untuk dimengerti.


Jujur saja, aku pura-pura mengerti ketika mengobrol dengannya guna mencari-cari celah biar Nasto bisa melancarkan serangannya, ralat, maksudku biar aku bisa melancarkan serangan-seranganku atas nama Nasto. Begitulah yang harus kau lakukan jika temanmu pasif, kau harus aktif. Jika temanmu lapar, kau harus usaha cari makan. Jika temanmu tak bisa berpikir, kau harus berpikir untuknya. Jika temanmu sedih, kau harus melucu, bukan menyediakan tisu. Jika temanmu tak kunjung menerima tepukan dari tangan yang lain, kau harus mendorong tangan lain itu agar menepuk tangan temanmu.


Aku yakin kau tidak akan menyadari kehadiran si Agus ini jika kalian berada dalam satu ruangan, karena memang dia tidak eye catching. Kapan pertama kali aku menyadari keberadaannya? Saat Nasto dan aku menjenguk mantan pacarku yang kala itu di masa yang lalu sedang dirawat di rumah sakit. Ternyata oh ternyata, Agus adalah teman mantan pacarku. Di tengah kemesraanku dengan mantan pacar, Nasto membisikkan bahwa pria kurus berambut panjang yang mengenakan baju hitam di tempat tidur sebelah adalah Agus Jemat, pria yang ditaksirnya. Terkejut ku mendengarnya, tapi berhubung terlalu sibuk dengan hal lain jadilah kulupakan hal besar itu, termasuk wajah pria di tempat tidur sebelah tadi.


Singkat cerita, kisah hidup Nasto selanjutnya diwarnai oleh, apa warna baju Jemat hari ini? (jawabannya selalu hitam), duduk di sisi pendopo bagian mana dia hari ini? (pindah-pindah), terlihat mengobrol dengan siapa dia hari ini? (seringkali dengan wanita dan beberapa sahabatnya), bagaimana raut wajahnya hari ini? (jarang tersenyum, kecuali di tahun terakhir perkuliahan), siapa pacarnya kali ini? (ganti-ganti, tapi seleranya kurang ok karena pacar-pacarnya tipe wanita kebanyakan), apa kegiatannya saat ini? (banyak, tapi yang paling kami suka adalah melukis dengan teknik khas Bali yakni menggunakan potongan bambu. Ini kegiatan yang paling berpengaruh dalam proses pendekatan Nasto, maksudku dalam proses mendekatkan Nasto dengannya), ada kabar terbaru apa tentang dia? (rambutnya yang panjang keriting itu akhirnya di potong pendek, membuat dia terlihat lebih segar dan rapih), apa dia mau datang ke tempat dimana Nasto menunggu dengan hati yang pasti ingin meledak? (Iya, ternyata dia bukan jenis pria yang sok jual mahal), bagaimana reaksinya mendengar ungkapan hati Nasto? (Hangat dan menghargai semua yang keluar dari hati), apakah dia berubah setelah pengungkapan itu? (iya, menjadi seseorang yang lebih ramah, tidak hanya pada Nasto juga pada teman-temannya), bagaimana kabarnya saat ini? (entahlah, karena aku tidak berhubungan lagi dengan teman-temannya, jembatan penghubung Nasto dan pujaannya. Maaf Nasto, it’s time to move on!). Jemat, Jemat, seandainya kau tahu apa yang telah kau lewatkan. Satu paket kasih sayang, kebahagiaan dan petualangan dari seorang wanita dan sahabat-sahabatnya. Iya, memang kita satu paket Nasto! Paket hemat! Hahaha....


Nasto ini suka sekali tertawa. Tawanya menular bagai penyakit. Menular bahkan sebelum kutahu sebabnya. Seringkali kumenertawakan sesuatu, girang sekali, tanpa alasan. Seperti orang gila saja. Mungkin dia yang mulai gila. Jika tidak, mengapa tawanya lepas, membahagiakan dan bahkan menular seperti penyakit? Aku tidak simpatik pada orang-orang yang suka menertawakan orang lain, ternyata aku lebih parah dari mereka, aku bahkan tidak punya orang lain untuk ditertawakan! Sangat tidak bijak memang, jika aku menyalahkannya atas kelakuanku itu. Tapi, sejak kapan aku mencoba menjadi orang yang bijak? Haha.. Iya, memang dia yang membuatku tertawa. Seringkali saat kami bersama, dia melakukan itu, menyebar penyakitnya. Bukannya aku tak suka, hanya saja terlalu aneh dan sederhana. Kalau tertawa lepas bisa semudah ini, untuk apa ada pelawak di televisi? Buat apa ada Tom & Jerry? Buat apa cobaaa?


Pernah satu kali kami tersandung masalah karena tawa ini. Lagi-lagi, dialah penyebabnya, maaf, aku memang bukan teman yang bijak, jadi tetap ku akan menyalahkannya. Waktu itu Nasto menjabat sebagai sekretaris Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan kami, dan aku sebagai ketua salah satu departemen. Pada salah satu rapat evaluasi, salah seorang teman kami yang menjabat sebagai ketua sedang menyampaikan idenya, ditengah-tengah paparannya, tiba-tiba saja si Nasto tertawa terbahak-bahak karena dia menganggap ide sang ketua itu lucu, dan aku serta merta ikut tertawa lebih terbahak-bahak karena, aku tak tau kenapa Nasto tertawa karena tidak ada yang lucu menurutku, jadi kuputuskan karena tertular tawa bodohnya itu. Jadilah ketua kami itu marah karena tersinggung saat kami menertawakan idenya. Ralat, saat Nasto menertawakan idenya dan aku lagi-lagi tertular tawanya tanpa tahu kenapa. Jadilah kami dua orang dungu yang bisa-bisanya melakukan itu pada orang lain, di depan forum pula. Beruntungnya kami karena ketua kami itu orang yang bijak dan mudah memaafkan.


Mungkin dia memang sudah gila, atau menjelang gila. Kecurigaanku ini bukan tanpa alasan, tapi dia memang mudah sekali tertawa, terutama karena hal-hal kecil, seperti ekspresi anak kecil yang merengut, kelakuan temanku yang selalu tertinggal saat kami mendiskusikan sesuatu, waduh aku tak bisa memberi contoh lagi karena sepertinya dia menertawakan semua hal yang ada di dunianya. Mungkin tingkat kegilaanku sudah jauh diatasnya, karena aku mudah sekali tertawa, dan selalu karena satu hal, tawanya. Anehnya, walau dia gila, tapi dia terlihat amat bahagia. Tetapi rumornya, orang-orang gila memang seringkali terlihat bahagia, karena mereka tidak mengambil pusing kehidupan ini. Patut dicontoh hal yang satu itu, tidak mengambil pusing kehidupan ini. Ikuti saja, alurnya, arusnya, ceritanya, tanpa harus melawan, sedikitpun. Mungkin energi yang biasa digunakan untuk melawan arus dapat kita manfaatkan untuk menyimak hingga sum-sum kehidupan ini pun menjadi tak terlalu sulit untuk diraih dan dikumpulkan. Baiklah teman, aku akan ikut gila bersamamu. Gila dan bahagia, karena kau, dan karena tawa kita.

Monday, October 12, 2009

Kepompong lalu kupu







Mari kawan, sini, kuberi tahu cerita kata kupu, kupu-kupu, papillon, namaku. Bukan benar-benar namaku, kau tahu itu. Tapi “nama”ku.

Hari itu, sepuluh Oktober dua ribu dua, lahirku ke dunia. Bukan, bukan tahun itu, tapi sembilan belas tahun lalu. Sembilan belas tahun lalu, kala kertasku masih kosong, putih. Dan sembilan belas tahun setelah itu, kertasku terisi guratan warna warni. Itu guratanku, guratanmu, warnaku, warnamu juga ada di situ. Kita bercerita bersama di kertasku, kau lihat itu?

Hari itu kudapat hari yang tak biasa, haruskah kusebut spesial? Tidak juga. Cerita baru, bab baru, banyak hal baru di hari itu. Pergiku ke tempat baru guna bersua dengan Bapakku, iya Bapakku. Berjingkrak hatiku dari pagi, berenyut jantungku kala jumpa tinggal sedikit lagi, itu dia, itu dia. Selamat ulang tahun katanya, sembari mengusap keningku dengan kecupan. Senangnya.

Sua bukan untuk selamanya, selalu begitu bukan? Aku pergi dulu, Bapak. Kudapat satu kecup lagi, bahagia. Diselipkannya lipatan kertas kecil nan tebal ke genggamku. Pasti ini hadiahnya. Benar kusuka berulang tahun.

Kubuka dan kubaca sendiri saja, kala itu. Mari kubacakan untukmu juga kawan, sayang. Hadiah dari Bapakku.

Kupuku peri dunia
Terbanglah wahai kupuku
Pandang dan sorot dunia seluasmu
Berikan keharuman setiap hinggap
Lahirkan rekah saat kau tinggal
Maka, kupuku peri dunia.

Sunday, October 11, 2009

Kupu lepas landas – di tahun ke dua puluh enam

Terlihat tenang sekali kupu, juga senang.
Terdengar hingga sini bisikan doanya, lanjutan mimpinya, kupu.
Terasa gelombang hangatnya, berselimut pemanjaan cinta.
Teralun menikmati senyum hangat, khas kupu.

Tercium aroma tubuhnya, paduan harum buah dan peluh.
Tertawa menggemakan tawanya, ringan nan mengundang terbang.
Tergegau menyaksikan hasratnya, benar sudah dewasa ia.
Tertegun melepas kupu ke langit berikutnya, terbang ia.
Selamat terbang kupu, selamat menghinggap.