Sunday, December 6, 2009

Bercerita bersama sore – sepuluh

Pernah merasa antara ada dan tiada, Sore? Biru dan putih, langit dan awan, melayang, tak menapak, antara ada dan tiada. Tiga tahun kurasakan itu. Tiga tahun putih biruku.

SMP, Sekolah Menengah Pertama, setelah SD. Pada masaku dulu, lulusan SD dapat memilih sekolah lanjutan sesuai dengan pilihan yang tersedia berdasarkan rayonnya, seperti area asalnya. Contoh, SD ku berada di kawasan Jakarta Selatan, maka mayoritas pilihan SMP yang kupunya adalah di daerah selatan. Tidak semua sekolah di daerah selatan, tapi sekolah-sekolah yang letaknya terdekat dari SD kami dan kualitasnya sesuai dengan kualitas para lulusan SD di sekitarnya.Tentu saja kami bisa memilih sekolah-sekolah di luar pilihan yang tersedia, tapi prosesnya rumit sekali, menurut Mama. Kalau mau pindah rayon ke sekolah yang prestasinya di bawah pilihan yang tersedia, mudah saja. Tapi kalau sebaliknya, kami harus menunjukkan bahwa kami berprestasi dan layak memilih sekolah-sekolah yang rayonnya lebih tinggi. Hampir sebagian besar teman-teman SDku memilih SMP 46, aku juga, tapi tidak Mama. Merasa bahwa NEMku, apa itu NEM? Aku lupa, Sore. Singkatnya, itu adalah hasil ujian akhir nasional.NEMku termasuk tertinggi di sekolah, merasa bahwa aku dapat masuk ke sekolah yang lebih baik, Mama berusaha untuk mengubah pilihan sekolahku, pindah rayon.

Ada itu, SMP yang cukup dikenal karena prestasinya yang baik, SMP 41. Adik Mbah perempuanku; Mbah konde ku memanggilnya karena rambutnya yang seringkali dikonde kecil, dulunya kepala sekolah di SMP itu, Mbah Nurdin, sudah almarhum sekarang. Mama meminta bantuan Mbah Nurdin untuk memasukanku ke sekolahnya, yang dulu sekolahnya. Aku, duduk saja di rumah tanpa mengerti apa-apa. Yang kutahu saat itu, aku tidak akan bersekolah bersama Evi dan Herman lagi, juga teman-teman yang lain. Tak apa, aku tak sedih. Sungguh, Sore. Aku tak sedih sama sekali. Buatku bersekolah di manapun sama saja, yang penting sekolah.

Jadilah hari itu, hari pertama aku memakai seragam putih biruku, hari pertama kuikuti MOS, Masa Orientasi Siswa. Aku suka seragam baruku, setelah memakai putih merah selama enam tahun, tentu saja aku merasakan kesegaran dan semangat baru kala bercermin. Walau ada satu hal yang tetap mengganggu, sepatu kets warrior hitam putih yang, lagi-lagi, wajib dipakai. Sekolah baruku besar sekali, Sore. Kami punya dua sekolah, yang satu terletak di dekat rumah Mbah Nurdin, satu lagi di dekat Rumah Sakit Hewan, keduanya di Ragunan. Kau tahu Ragunan, Sore? Itu terkenal sekali! Tempatnya para binatang, kebun binatang. Haha! Iya, aku selalu diledek, “kandang berapa?” kala bilang pada orang-orang bahwa ku bersekolah di Ragunan. Sudah biasa itu, Sore. Nah aku selalu menempati gedung kedua, yang lebih kusuka karena masih baru.

Seperti huruf L dan terdiri dari tiga lantai. Lantai dasar untuk ruang kepala sekolah, guru, ruang bimbingan, PMR; tempat merawat murid yang sakit, toilet, kantin dan beberapa ruang kelas satu. Lantai satu terdiri dari kelas satu dan dua. Lantai dua terdiri dari kelas dua dan tiga, dilengkapi toilet juga di ujungnya. Angkatanku terdiri dari sepuluh kelas dengan kurang lebih empat puluh murid tiap kelasnya. Absensiku nomor empat puluh dua atau empat puluh satu, selalu begitu.

Tak banyak yang kuingat di sana, Sore. Seperti tadi kubilang, antara ada dan tiada. Kuingat mulai belajar bahasa Inggris, ada banyak mata pelajaran baru, biologi, fisika, sejarah, geografi, tata boga, tata busana. Yang lainnya sama seperti di SD, tapi ada satu yang namanya berbeda, PMP jadi PPKn. Oh, kalau di SD kegiatan ekstra kami hanya pramuka, di sini banyak sekali pilihannya, Sore. Yang kuingat hanya drumband karena seragamnya cantik sekali. Aku sendiri ikut Paskibraka, pasukan pengibar bendera. Tidak lama, hanya beberapa bulan, karena hanya ikut-ikutan.

Ada beberapa guru yang masih lekat di ingatanku, Pak Heri guru bahasa Inggris. Karena apa ya, aku ingat dia? Entah. Oh, Pak Heri selalu memakai batik, dia membuat buku pelajaran bahasa Inggris untuk siswa SMP dan dia selalu memasukkan nama murid-muridnya di bukunya, alih-alih memasukkan nama yang lebih ke-Inggris-inggrisan. Aku ingat pernah mengiriminya kartu lebaran, batik. Sampai tidak ya?

Ada lagi Ibu Pudi, guru Biologi. Cantik, enerjik, pintar dan sederhana. Aku ingat selalu ingin lebih dekat dengannya, tapi aku payah sekali dalam Biologi, Sore. Nama-namanya itu lho, sulit diingat. Aku juga tak paham, mengapa kita harus memilih nama sesulit itu untuk tumbuh-tumbuhan dan binatang? Ah, aku ingat pernah membuat Ibu Pudi tertawa, geli sekali, saat kubisikkan di telinganya, “Ibu, bagaimana sperma bisa masuk ke ovarium? Kan tempatnya berbeda?” Kuingat itu tertawanya, lebar hingga bisa kulihat semua gigi gingsulnya. Lalu berdiri dia di depan kelas, berkata, “Ok, Ibu tidak menjelaskan bagaimana sperma bisa masuk ke ovarium karena Ibu pikir semuanya sudah tahu. Ada yang belum tahu lagi selain Dega?” Aku menengok kiri dan kanan menanti tangan mangacung, tapi yang ada malah kelas yang dipenuhi tawa teman-teman. Mengapa cuma aku yang tidak tahu itu, Sore? Aaarrrgghhh…

Aku punya beberapa sahabat di 41. Di kelas satu aku punya Rahmi dan Vivi, keduanya atlit bulu tangkis. Jadi, sekolahku ini memberikan beasiswa pada siswa yang berprestasi di bidang olah raga. Maka atlit-atlit bertebaran di sekitarku, Sore. Ada bulu tangkis, sepak bola, atletik dan voli. Mereka semua berlatih di Ragunan, ada tempat latihan khusus para atlit muda di sana. Dulu aku mengagumi mereka, keren sekali. Terutama kawan-kawan pria atlit bola, terlihat tampan dengan seragam mereka. Ada saat Rahmi dan Vivi tidak masuk berhari-hari karena pertandingan yang sedang mereka ikuti. Kalau sudah begitu, hari-hariku menjadi sepi sekali.

Sempat juga aku dekat dengan Wuri, kawan yang meminjamkanku uang untuk nonton konser Boyzone. Bisa-bisanya kau bertanya siapa itu, Sore? Itu boyband terkenal sekali dari Irlandia. Aku suka sekali, terutama pada Ronan Keating, dulu. Jadilah kami pergi bersama Kiki, teman dari kelas lain, diantar oleh mamanya. Berdandan kami, aku mengenakan celana dan u can see biru laut, wig tempel dan jam tangan dengan warna senada, bahagianya. Bernyanyi kami, melompat, berjoget selama dua jam, tak terasa.

Di kelas dua, aku punya teman baru, Reni dan sataw, singkatan dari sarang tawon. Kenapa dipanggil sataw? Karena rambutnya yang menyerupai sarang tawon. Hihi.. Reni salah seorang teman terdekatku, kami masih berhubungan hingga kini, setelah sempat kehilangan kontak selama beberapa tahun. Teman yang baik dan pengertian, kusayang. Kapan-kapan kukenalkan kau dengannya ya, Sore? Kalau sataw, siapa ya nama aslinya, aku lupa. Sataw, suka sekali mengoleksi kartu-kartu tokoh kartun. Hingga pernah itu satu hari dia menerapkan simbiosis mutualisme yang diajarkan Ibu Pudi. Rumahnya didatangi oleh seorang anak laki-kali, dari kelas lain, yang ingin memintanya untuk bercerita tentangku. Sataw dan aku duduk satu bangku di kelas dua, Sore. Sataw bilang padanya, dia akan bercerita banyak tapi setelah anak itu membelikannya beberapa kartu sailor moon. Jadilah mereka pergi ke toko buku untuk berbelanja kartu sambil, tentu saja, berbicara tentangku. Itu sataw yang menceritakannya padaku, Sore. Saat dia menyampaikan salam dari teman barunya, teman bisnisnya. Dia bilang, dia dapat kartu dragon ball juga, saat dia setuju untuk menyampaikan salam padaku. Sataw bilang, aku harus bilang salam balik, agar dia dapat kartu lagi. Dia tidak mau bohong pada teman barunya, jadilah dia memaksaku untuk mengucapkan, “Terima kasih, salam balik ya!”.

Di kelas tiga aku punya Nuri, Sapi dan Dini. Nuri baik sekali, banyak disukai. Punya rumah yang besar dan nyaman, jadilah kami sering main di sana. Punya televisi terbesar yang pernah ku lihat saat itu, seperti akuarium. Sapi, gadis cantik yang ceriwis. Safitri, namanya. Tapi tak enak bilang Safi, jadilah kami seperti orang Sunda, mengganti F menjadi P, Sapi. Sapi lah yang mengajariku bermain rollerblade di komplek rumahnya. Dini, seperti Reni, masih ada di hidupku hingga kini. Salah seorang penghuni kotak harta karunku. Dulunya tomboy, kini menjadi gadis yang manis dan anggun sekali. Iya, akan kukenalkan juga kau padanya. Nanti ya, suatu hari nanti.

Ternyata banyak juga hal manis yang kudapat di sana, Sore. Tidak terlalu gamang, masa SMPku. Terima kasih, Sore. Sudah membantuku mengumpulkan cerita yang terserak. Terima kasih.

Aku suka putih biruku, aku suka. Dan kini, ku rindu teman-temanku.

-bersambung-

No comments:

Post a Comment