Wednesday, September 22, 2010

Tentang Wangu

Akan ada sebuah kejadian di satu hari yang akan mengubah kita, selamanya. Dan setelah hari itu, tak mungkin kembali menjadi kita yang sebelumnya, tak mungkin. Sekuat apapun kita menginginkannya.

”Wangu, lagi di mana? Aku mau ke Arion sama anak-anak. Mau ikut?” Dan datanglah dia di hadapanku, setelah harap-harap cemas menantikan balasan smsnya. Ya, begitulah Wangu. Lebih memilih berbuat daripada berkata. Dengan terengah-engah dia berhenti di muka lalu tersenyum berkata, ”Ayo!”

Orang bilang percintaan masa SMA adalah masa-masa terindah. Menurutku sebaliknya, biasa saja. Aku punya, justru masa kuliah. Waktu itu lah benar kurasakan istimewanya menjadi wanita. Dipuja dan dimanja.

Sudah rapih dia, dengan seragam bola. Pertandingan antar jurusan se fakultas. ”Nanti nonton gak?” tanyanya. Pastilah, batinku. ”Kenapa emangnya?” Diam dia, gundah, kusuka. ”Memang harus pulang cepet ya? Nanti dianter, deh! Nonton dulu yah?” Memelas, oh indahnya. ”Iya.” Sedikit senyum mengembang di wajahnya. ”Asal..” kubiarkan mengambang. ”Asal apa?” Hihi, batinku tersenyum lebar. ”Asal setiap gol teriak buat Dega.” Gila, berani-beraninya diriku. Haha! ”Sip,” jawabnya jantan. Huhuu...

Jadilah itu, tiga atau empat gol, aku lupa. Yang jelas lebih dari dua, dia persembahkan untukku. Gol-gol yang membuat jantungku berhenti sepersekian detik kala jarinya menunjukku, bibirnya bersuara rahasia, “buat Dega”. Dan mereka, ya mereka, orang-orang yang tak kukenal gegap gempita menyaksikannya. Marun ku dibuatnya.

Roller coaster, aku tak pernah naik roller coaster. Kecuali halilintar yang di Dufan itu benar termasuk roller coaster. Jatuh cinta yang klepek-klepek konon seperti itu rasanya. Mereka yang beruntung pasti pernah merasakannya. Can’t help falling in love. Hihi, ya kini kutahu rasanya. All out, lumat. Seperti lilin yang tak kuasa menahan terbakar dan lumer, luluh lantah dibuat sang api. Oh, rasa itu. Masuk ke rumah makan padang, aku tahu pasti akan kepedesan, tapi tak kuasa menahan godaan hingga tetap kupesan sambal hijau dan semua yang mampu memanaskan lidah. Nikmatnya.

”Dia Hindu,” kata Owe, sahabatku. ”Masa sih, We?” maklum tidak pernah punya kenalan orang Hindu, masa sih giliran udah klepek-klepek gini mesti sama yang beda. ”Bener, gw udah liat KTPnya!” Hahahaha, beginilah kalau punya teman over protective. ”Hahahaha.. serius loe, We? Ngapain loe pake liat KTPnya segala?” Si Owe memicingkan mata sipitnya seraya cemberut, ”Biar pasti. Sekarang loe percaya gak?” Mau gak mau.

Mirror oh mirror, tega amat sih. Kalau beda begini, mesti backstreet donk. Karena gak lulus policy di rumah sini. Apa dilawan aja yah? Masih banyak cowok oke ini di kampus. Yeah..yeah.. I wish! Tapi masa iya dilawan udah sejauh ini. Sms langsung disamperin. Request langsung diwujudin. Mau pulang langsung dianterin. Gimana ini? Dia juga pasti punya rasa. Tidak, tidak, kali ini aku tak besar rasa. Pasti itu.

”I can’t help it, this feeling. Really can’t take my mind of you. So I’m wondering if you want to be mine.” Hiks, persis seperti di film remaja Hollywood yang sering kutonton. Romantis sekali. Masih teringat suasana di ruang tamu kala itu. Tangan terjabat, gayung bersambut, jemari bergenggam. What do you expect? Of course I said yes. Yes, yes, yes. Be mine pernah terdengar sangat romantis untukku. Hahahaha..

Adjectif possessif, kepemilikan. Akan ada saatnya segala sesuatu yang bersifat memiliki, dimiliki, seutuhnya; walau tak pernah ada itu seutuhnya, menjadi hal yang kau puja. Kau suka. Karena yang akan kau rasa: damai, tak lagi sepi, indahnya bersama, beriringan. Entah itu benar semu atau memang ada yang namanya menyatu. Mine, his, her.

Tuhan yang maha tahu yang terbaik untuk kita. Manusia berencana tapi Tuhan yang menentukan jua. Jika kalimat tersebut terdengar memuakkan di telinga, maka kau sedang di tengah perjalanan, teman. Jangan takut, melangkah saja lagi. Jika kau merasa seperti berada di hutan remang-remang, maka kau sudah di jalan yang tepat. Semangat. Sesungguhnya remang-remang, datang dari sinar dan juga kegelapan.

”Dega sudah tahu sekarang keadaannya. Gimana, bersedia ikut keyakinan kita?” Akhirnya kudengar juga permintaan yang menurutku sangat fair. Iya teman, fair. Alih-alih memaksa menyudahi hubungan dengan anak sulungnya, orang tua Wangu bertanya dengan bijaksana jika aku bersedia mengikuti keyakinan mereka. Ya seperti kau tahu, agama tidak memperbolehkan dua manusia bersama jika Tuhan mereka berbeda. Tuhanku bukan tuhannya Wangu, et vice versa. Marahkah aku? Tidak. Kecewakah aku? Tergantung akan apa.

”Tante, memang orang tua saya yang memilih Islam menjadi agama saya, awalnya. Tapi beberapa tahun lalu, saya memilihnya sendiri, saya pribadi. Jadi maaf tante, saya meyakini apa yang saya yakini sekarang ini. Seperti juga tante sekeluarga meyakini apa yang tante yakini sekarang ini. Jadi iya, saya akan menganggapnya sebagai kakak saya,” dan aku pun tersenyum. Ikhlas. Seandainya sahabat-sahabatku menyaksikan kejadian malam itu, di ruang tamunya Wangu; pasti lah mereka bangga. Aku yang telah membuat mereka khawatir ketar ketir karena keputusan untuk belajar hingga mendalam ke akar, kualitatif.

Seringkali pada usia remaja kita terganggu akan perlindungan dan perhatian yang berlebihan. Benar? Aku pun pernah merasakannya. Alih-alih berteriak hingga serak, aku kala itu memilih diam dan berjalan dengan hati-hati demi membuktikan bahwa kekhawatiran sesungguhnya bukan yang diperlukan, tetapi akan lebih baik jika saja, mereka yang kubutuhkan memberikan dukungan.

”Tolong dijagain itu tetehnya, ntar tahu-tahu udah pindah agama, lagi!” Tertawaku mendengarnya, tentu saja. Apalagi ketika itu sungguh ku masih remaja. Memang begitulah orang dewasa, lebih memilih berpikir bahwa remaja harus benar-benar dijaga daripada membiarkan mereka memilih jalannya hingga pada akhirnya mereka bisa menghampiri orang dewasa dan berkata, ”Saya akhirnya tahu siapa saya.”

Terima kasih Wangu, atas cerita suka duka bersama. Sungguh engkau banyak menorehkan tinta hingga bisa kusampaikan pelangi pada cucu-cucuku nanti. Sampai jumpa di surga, bukan tak mungkin Tuhan-tuhan kita mendirikan konsorsium hingga ada itu surga bersama. ;)

No comments:

Post a Comment