Monday, April 25, 2011

Bercerita bersama sore – dua puluh dua

Hai Sore! Sungguh melelahkan ya perjuangan kita tiga bulan belakangan ini? Fyuuuhhh.. perjalanan pulang kantor dengan Transjakarta memang pergulatan bercabang tak berujung! Harus melawan para penyalip antrian, pengguna yang walau sudah sore herannya masih memiliki pasokan tenaga besar untuk saling mendorong, ditambah harus melekatkan tubuh di dalam bis dengan para pegawai kantoran lainnya yang sama-sama berkulit lengket hasil asinan keringat seharian, belum lagi kalau sial bertemu dengan orang-orang stres Jakarta! Halah...

Sudah, sudah. Jadi lupa tadi aku mau bercerita apa. Apa yah? Oh iya! Apa hadiah ulang tahun terindah bagimu? Iya, yang pernah kau terima. Apa saja, terserah! Coba ceritakan.

Pelangi? Ooohh.. manisnya... Benar, cantik luar biasa; l’arc en ciel. Beruntung sekali dirimu, Sore. Mendapat pelangi di hari ulang tahun. Pastilah kelakuanmu manis luar biasa, hingga Tuhan memberimu hadiah semanis itu.

Aku? Ada!

Hari itu usiaku genap sembilan belas tahun. Mahasiswa. Seperti tahun-tahun sebelumnya, sungguh kunantikan kedatangannya. Ulang tahun, kusuka. Rasanya, seperti segala kebahagiaan pastilah datang bersamaan, hanya untukku. Tak ada cacat, tak boleh ada cela. Walau nyatanya tak seperti itu, tapi aku tak pernah lelah berharap. Bangun tidur kuterima ucapan, doa dan hadiah dari keluarga tersayang di rumah. Keluarga yang telah tiga tahun menghiasi hari-hariku. Iya, aku sudah tak tinggal bersama Mama, Bapak dan Aran. Kau masih ingat?

Kukenakan baju tercerah yang kupunya, lalu pergi ku ke kampus. Masih satu daerah, di timur Jakarta. Ada tiga kuliah hari itu, tapi tak kuasa ku berkonsentrasi menyerap semua karena hati dan pikiranku melayang lebih cepat ke suatu tempat. Bagai deja vu. Asal kau tahu saja, aku termasuk mahasiswa yang rajin, Sore. Jarang bolos. Tidak seperti masa SMP dan SMA dulu. Kini, belajar sungguh menyenangkan, karena di universitas kita mempelajari bidang yang kita pilih, yang mestinya kita suka. Tak ada lagi itu nama-nama aneh tumbuhan, pasal-pasal yang bahasanya berbelit-belit, apalagi angka-angka yang memabukkan. Haleluya! Tapi tidak siang itu, aku memutuskan untuk membolos di pelajaran ketiga. Ada janji.

Jangan tertawa ya, Sore! Janji! Sini, kubisikkan rahasia. Sesungguhnya tiap ulang tahun aku meyakini, salah, maksudku mengharapkan pesta kejutan dari teman-teman. Kadang ku dapat, seringkali tidak. Hehehe.. Ya iya lah, masa pesta kejutan tiap tahun, bukan kejutan lagi namanya! Hahaha.. Pun hari itu, ku menantikan pesta kejutan selepas kuliah. Jadi lah ku buat janji istimewaku di tengah hari agar bisa ku kembali setelahnya tepat seusai kuliah ketiga dan kudapat pesta kejutanku. Yay! Jadilah ku mengendap-endap pergi dari kampus, tak ingin teman-teman mengetahui kepergianku hingga mereka berpikir aku tak akan kembali ke kampus lagi dan mereka kecewa hingga tak akan ada lagi pesta kejutan tahun depannya.

Sneaking. Aku pergi ke tempat janjian dengan bermetro mini, Sore. Warnanya seperti warnamu, oranye. Di tempat janjian aku akan menemui om ku, Mang Sukma, yang menawarkan untuk menemaniku hari itu, hariku. Sepanjang jalan ku terus mengendap-endap, takut-takut ada yang melihat. Karena ini pertemuan rahasia, tak boleh itu orang-orang tahu. Siang terik mengilapkan hitam rambut Mamang yang sudah tiba lebih dulu. Ah, wajah Mamang cerah, memang wajah macam itu lah yang kubutuhkan di hari ulang tahunku. Kunaikkan tingkat kecerahan wajahku dua tingkat saat itu. Satu untuk berterima kasih pada Mamang, satu lagi pada mentari.

Di sana kami, di bangku kayu panjang; Aku, Mamang dan Bapak. Iya, Bapakku. Dengan Bapak lah sungguh ingin kubagi hari ini. Bapak tampak sehat, gemuk dan bercahaya. Mengapa semua tampak berkilau ya hari itu? Bercengkerama kami, cukup lama. Bahagia kurasa. Tiba-tiba, teringat akan pesta kejutan di kampus, kukatakan kalau aku harus pulang. Mamang juga ikut pulang. Kucium tangan Bapak, pamitan. Bapak menarik tubuhku, dipeluk dan dikecupnya keningku sambil diselipkannya sesuatu di tanganku. Kugenggam, kubawa pulang.

Ku tiba beberapa saat setelah kuliah ketiga usai, teman-teman masih di sana, di halaman gedung E, jurusan kami. Tak ada pesta, tak ada kejutan. Tak apa. Kami bercanda dan bercanda di sana, menyenangkan. Beberapa orang teman menyadari kepergianku dan menanyakannya. Kujawab, rahasia. Lalu seperti biasa kami pun pulang ber-bis bersama, dan berpisah di pemberhentian masing-masing. Tiba giliranku turun, pamit.

Itu kita sore, kau dan aku. Dudukku di kursi ujung mikrolet, senyum-seyum sendiri. Oh, bahagianya berulang tahun! Seketika ku teringat kado selipan Bapak yang belum kubuka. Kuambil dari dalam tasku, selembar kertas terlipat-lipat. Kubuka dan kubaca.

Terbanglah wahai kupuku

Pandang dan sorot dunia seluasmu

Berikan keharuman setiap hinggap

Lahirkan rekah saat kau tinggal

Maka, kupuku peri dunia.

Tersedak rongga dadaku, tertusuk perih pelupuk mataku. Bulir-bulir air mata, menutup kado indah ulang tahunku kali itu. Hanya kau dan Tuhan yang tahu, Sore. Kepakan pertamaku hari itu.

No comments:

Post a Comment