Selama hidup saya,
ditinggalkan hampir selalu saya alami. Mudah-mudahan tak terdengar mengiba,
tapi memang begitulah adanya. Mulai dari Izanami, kambing kami; mama, bapak,
Beny, mantan sahabat; beberapa mantan pacar, beberapa sahabat hingga beberapa
kenalan dekat. Ditinggalkan dalam arti pergi jauh secara jarak, ditinggalkan
dalam arti tak ingin berhubungan lagi, hingga ditinggalkan dalam arti keduanya.
Sedih.
Bertahan, menjadi
agenda saya dari cerita ke cerita. Mudah-mudahan tak terdengar berlebihan, tapi
memang saya tak mengada-ngada. Bertahan dari menahan rindu ingin bertemu,
bertahan dari keinginan ingin menelpon dan memohon agar mereka kembali
menyayangi saya lagi, juga bertahan dari hasrat membenci. Karena sungguh saya
tak ingin mengisi batre kehidupan dari rasa benci. Sungguh.
Beda, dan Tuhan pun
memutar rodanya membiarkan saya merasakan hal sebaliknya, meninggalkan. Meninggalkan
dalam arti pertama, pergi jauh secara jarak. Setelah menikah Februari lalu,
akhirnya janji saya pada suami terpenuhi, pindah ke Bandung tempat dia tinggal
dan bekerja. Terpaksa? Dipaksa? Tidak. Memang saya sudah lama ingin hengkang
dari Jakarta, kota kelahiran saya. Kurang lebih dari dua tahun lalu kiranya. Awal
April, bukan April Mop, beriringan 1 pick up dan 2 mobil hijrahlah salah satu
penghuni tetap Jakarta ke Bandung ditemani beberapa anggota keluarga. Ada yang
aneh hari itu, hati saya tergolong tenang dan senang, sungguh. Tapi entah
mengapa saat keluarga saya berpamitan pulang, air mata tak terbendung. Saya pun
enggan memeluk dan berpamitan pada Teh Upie, sepupu terdekat saya. Lucu.
Sehari sebelumnya
suami saya mengadakan farewell party dengan beberapa sahabat saya; Boiq, Nasto,
Dyence & Suami, serta Dewo. Agenda kami makan malam, bercengkrama,
memamerkan jaket baru kami, serta berpamitan tentunya. Tak
ada rasa yang berlebihan di dada, ringan dan riang. Tapi lagi-lagi saat
berpamitan dan berpelukan, dada ini seperti memohon oksigen tambahan. Sesak.
Mundur sehari sebelum
itu, adalah hari terakhir saya bekerja di kantor tempat saya mengabdi selama
lima tahun ini. Tugas dan barang-barang sudah saya bereskan dari seminggu
sebelumnya. Sekretaris pengganti pun sudah siap guna. Dua makan siang farewell
pun diadakan, keduanya kusuka; Manado dan Jepang. Konsentrasiku penuh pada
makanan sambil bernostalgia tentang hari-hari yang sudah kulewati bersama
keluarga keduaku di kantor ini. Ya, keluarga. Penuh tawa, tentunya. Hingga
tiba-tiba pelupuk mata basah, dialiri rasa yang entah apa, sedih bercampur
bahagia? Mungkin.
Kini dua minggu sudah
saya lewati di kota yang berjarak tempuh tiga jam dari Jakarta ini. So far so good, that’s all I can say. Selama di sini tak ada
rasa aneh lagi, saya pun tak menangis lagi. Rasanya
apa ya, ringan saja. Seperti terbang di atas trampoline. Baru.
Kabar saya baik,
kawan. Teteh bahagia disini, Mama. Saya siap jadi tuan rumah arisan berikutnya,
Bi Nia. Aunty Ega rindu tak tertahankan, Babar-Nazwa. Kita pantas berbahagia
bersama, Aran sayang. Terima kasih atas ‘rumah’ barunya, Syarif Maulana.
No comments:
Post a Comment