Saturday, November 21, 2009

Adik penjual korek api

Oleh-oleh dari Bandung bersama teman-teman baru di Reading Lights hari Sabtu, 21 November 2009.

Itu batang korek apinya yang terakhir. Digosok kedua telapak tangannya sejenak, dipandanginya, lagi dan lagi. Dihembuskan udara hangat dari mulutnya, persembahan seadanya bagi sang tangan.

Kupandangi ia dari sini, gadis kecil penjual korek api. Berambut panjang, wajah oval, senyum manis, tubuh mungil berbalut sweater dan syal merah. Merah, semerah api yang disulutnya. Tak habis pikirku mengapa ia ada di seberang sana, di malam kudus ini. Kemanakah pohon natalnya? Kado-kadonya? Kue-kue santanya, pun keluarganya?

Diambilnya batang terakhir itu, memejam matanya, rapat. Sungguhkah yang kulihat ini? Air mata. Menangis ia. Oh, wajah itu! Pernah kulihat wajah seperti itu, dulu. Adik kecilku. Adik kecil yang selalu bilang tak mau di sini lagi, tak mau hidup lagi. Mau pergi dia, ke surga saja, bertemu mama, katanya.

Bergegas kuberdiri, berlari melalui meja-meja yang berdesakan ini. Kudorong pintu sekuat tenaga, berlariku kencang sambil mengencangkan syal. “Adik kecil! Adikku!” Tersadar ia, mengerjap matanya. Menundukku tepat di hadapannya, terengah-engah membuang udara berembun ke wajahnya. Matanya, cokelat. Indah, seperti adikku. “Kenapa dibakar semua? Tidak dijual?” Mendongak dan menunduk ia, wajahku dan korek api. “Ini?” disodorkannya batang terakhir ke ujung hidungku. “Iya,” jawabku sambil mengangguk tak ragu. “Kakak mau beli?” Tersenyumku sambil mengangguk, lagi. “Berapa?” tanyaku. Tak salah lagi, kulihat itu senyum tipis di wajahnya. “Tinggal satu, Kak!” Kukeluarkan uang dari sakuku, tip dari pelanggan terakhir tadi. “Ini, kakak ambil koreknya, ya?” Tanpa kata, setuju ia. Tangan kanannya melepas korek, tangan kirinya menyambut uang kertasku. “Sekarang pulang, ya! Sudah malam,” pintaku cepat, menghindari saat-saat sentimentil yang kubenci. Berdiri ia, adik kecilku. Dikencangkan syal merahnya. Kakinya mengais salju, menimbun batang-batang yang telah terbakar. Ditariknya syalku, lalu dikecup pipiku, kecupan kecil. “Terima kasih, Kak!” katanya. Tersenyum manis ia, manis sekali.

Kupandang gadis kecil penjual korek api berjalan menjauh, merah. Santaku, mungkinkah dia santaku? Selamat natal, santa sayang!

No comments:

Post a Comment