Monday, December 14, 2009

Izinkan ku tuk berteriak di telingamu

Apa kau tahu artinya memohon? Memohon dengan sepenuh hati, berarti aku telah melewati garis meminta, berarti aku telah membunuh harga diriku pada saat bersamaan, berarti aku memberimu secarik kertas untuk kau tulis dengan apapun sesukamu untuk meminta apapun sesukamu, berarti sudah tidak ada pilihan lain untukku, berarti hanya kau pilihan terakhirku, berarti kau memiliki kuasa untuk mendorong atau menarikku dari pinggir lubang, berarti aku sedang ditunjukkan olehNya bagaimana rasanya tidak punya kuasa atas diri sendiri, berarti aku sedang menjadi orang yang teramat lemah, saat itu.

Apa kau tahu memohon adalah salah satu hal yang kubenci di dunia ini? Meminta, bahkan memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu untukku, menjadi orang yang penuh ego di saat yang bersamaan karena meneriakkan keinginanku sendiri, meminta orang lain untuk menyorotkan lampu panggung hanya padaku, mengakui ketidakberdayaanku pada orang lain, menambah jumlah parasit di bumi saat sudah terlalu banyak parasit di sini.

Apa kau tahu sensasi yang timbul saat ku memohon? Wajahku serta merta memerah tanpa komando, tanah menjadi pemandangan yang menetramkan dada, tiba-tiba saja backsound kehidupanku berhenti, marsupilami datang dan melilitkan buntutnya di dadaku, dan jika kau memberi jeda panjang, palang air di pangkal hidungku bekerja keras untuk menahan air mata yang bersiap membasahi wajahku. Hingga kau memutuskan untuk pergi, tanganku serta merta meraihmu, berusaha untuk menahanmu di sisiku, meracaukan janji-janji yang bahkan tak bisa kuingat lagi, dan palangku akhirnya tak sanggup lagi bertahan.

Apa kau tahu jawabanmu benar-benar telah merubahku? Membuatku sadar bahwa masih banyak hal yang lebih berharga dariku, menurunkanku dari awan mimpi di mana hidup itu indah dan tidak kejam, membantuku meninjau ulang kualitas hubungan kita, mengingatkanku bahwa tidak pernah ada hukum pasti di dunia ini, bahkan cinta hanya perasaan menggebu yang berumur pendek, merumuskan bahwa kekuatan darah hanya sebatas cairan yang mengaliri tubuhku, tidak lebih.

Apa kau tahu rasanya tidak terpilih dan terbuang? Saat anak lain berlomba untuk menyimpan semua ilmu di kepalanya hingga mereka bisa disebut pintar dan membanggakan, kusaksikan mereka disambut oleh senyuman bangga dan pelukan hangat, lalu aku pun memutuskan untuk melakukan hal serupa, menyerap semua sebisaku hingga kan kudapatkan senyum dan pelukan itu, milikku, hanya milikku. Dan kudapati diriku tanpa sambutan, sepi, sepi sekali, dan perih. Saat mereka sibuk menyiapkan hal remeh untuk hari kelulusan nanti, aku sibuk mencari orang yang sudi datang ke salah satu hari besarku itu. Saat sahabatku terkapar lemah di rumah sakit, kudapati seseorang di sisinya menemaninya sepanjang hari, merawatnya, menghujaninya dengan senyum, sentuhan, perhatian dan pelukan, dan di sini lah diriku, di kamarku, sendiri, menahan sakit, berusaha untuk tidak merintih apalagi menangis, karena tangis hanya untuk mereka yang lemah, sendiri dan tak berdaya.

Apa kau tahu kalau hari ini aku berterima kasih padamu karenanya? Aku memang tidak seistimewa itu, bahkan pintaku pun memang bukan hal besar karena hal besar hanya keluar dari mulut orang besar, kehidupan di awan memang indah tapi ternyata bukan keindahan yang kubutuhkan untuk bertahan, selama ini aku memang bukan berbicara denganmu tapi dengan bentukan dirimu yang kupahat di benakku, hidup ini memang bukan matematika jadi tidak ada hukum pasti, kekuatan cinta dan darah pun hanya bagian dari kisah yang datang, singgah dan pergi sesukanya.

Apa kau tahu bahwa kau telah membantuku berdiri di atas kakiku? Kakiku, tak pernah kunyana kekuatan yang dimilikinya mampu menopang air mata dan palang besarnya, kepala yang dipenuhi dengan tanda tanya dan kerutan yang tegurat di dahi, leher yang seringkali menunduk dan memuja indahnya tanah dan terkadang angkasa, tangan yang seringkali kuharap ukurannya lebih besar hingga aku tak memerlukan tangan orang lain, tubuh dan dada yang dihuni oleh organ-organ vital yang masih setia menemani perjalananku, serta hati yang entah tersimpan di mana.

Apa kau tahu siapa yang akan kau temui kali ini? Seseorang yang tersenyum di jendelanya setiap pagi, menghirup udara pagi sambil menikmati tempat tidurnya, seragam tidurnya, buku paginya, musiknya, kamarnya, bahkan tembok di luarnya. Seseorang yang walau bertangan kecil tapi tangannya kerap menjadi ujung tombak terwujudnya mimpi-mimpi, membantunya bertahan di padatnya bis kota sore hari, menunjukkan padanya indahnya memasak, mencuci, membersihkan kamar, dan berbelanja, cerita harian yang membantunya untuk tetap utuh dan bertahan untuk berdiri di atas kaki sendiri. Seseorang yang sekarang sudah memiliki angkasanya sendiri dengan penghuni lintasan yang makin bertambah tiap tahunnya, penghuni lintasan yang amat sangat dicintainya. Penghuni yang datang dan singgah tanpa perlu kekuatan darah. Hingga menjaga mereka untuk tetap berada di lintasanya menjadi salah satu misi besar hidupnya. Hidupnya, untuk saat ini, bukan untuk nanti apalagi kemarin. Karena nanti tak pernah pasti, layaknya cinta yang dulu pernah kita punya. Seseorang yang memang sudah terluka dan entah kapan bisa anti luka, tetapi sadar dan siap untuk melanjutkan kisahnya dengan luka. Karena luka, layaknya air mata dan cinta, akan datang, singgah dan pergi sesukanya. Satu hal yang kuserap dari cerita kita ini, tak ada yang abadi, jadi mengapa tidak ku berdiri dan melanjutkan ceritaku, dengan atau tanpamu, bukan kuasaku. Aku, penaku, ceritaku.

2 comments:

  1. Kenapa jadi inget lagu "Unwritten"-nya Natasha Bedingfield, ya, Deg ?

    ReplyDelete
  2. Iya gitu, De?
    Sebenernya setelah menulis ini, gw baru bisa "menyanyikan" lagu itu. Hihihi...

    ReplyDelete