Wednesday, January 20, 2010

Bercerita bersama sore – dua belas

Katanya sih sekolah artis, Sore! Iya itu karena tak terhitung lagi alumni sekolah ini yang menjadi artis, tak hanya artis tapi juga selebritis. Aku? Aku juga artis, tahu! Artis tingkat RT! Hahaha… Siapa saja? Ah, memangnya kalau aku sebutkan, kau kenal mereka? Makanya, percaya saja yah..

Sekolah artis ini besar sekali, bahkan teman-temanku yang dari Prancis pun setuju. Sini, sini, geser sedikit! Memang besar, kan? Lihat itu ada beberapa gedung. Ada satu, dua, tiga, empat sama masjid. Ada empat bangunan. Itu memang masjid kami, Sore. Jadi boleh dihitung juga. Gedung satu yang berpodium itu, tempat kami melaksanakan upacara bendera tiap Senin pagi. Kedua, gedung baru tempat murid-murid kelas satu. Ketiga, ada di belakang, isinya laboratorium semua, ada rumah kaca di depannya. Masjid, ada di belakangnya. Memang muridnya banyak, Sore. Jadi kami butuh gedung yang luas. Lapangan basket? Iya, ada tiga. Karena sekolah ini juga terkenal dengan prestasinya dalam bidang ini, termasuk pemandu soraknya yang seksi-seksi. Aku? Haha.. aku belum seksi waktu itu, jadi tak bisa ikut cheers. Oh iya, kalau deretan kantin dihitung juga, jadi ada lima bangunan. Memang kantinnya luas sekali, membentuk huruf L dan bertaman luas di depannya. Enak ya? Ada tahu goreng jumbo terenak sedunia, es belewah yang disajikan di gelas besar, mie yamin yang gurih luar biasa, roti bakar dengan selai aneka rasa, aneka soto mulai dari betawi sampai sulung. Jadi lapar aku, Sore! Hehe..

Kau lihat di hadapan kantin ada kotak kecil beratap? ITu tempat latihan tinju. Yang itu namanya sansak, boleh kita tinju kalau kita kesal. Aku pernah mencobanya kala tak ada yang sedang latihan. Rasanya lumayan, Sore! Keras memang, tapi bisa membuatku merasa seperti jagoan. Tapi tak sanggup kutinju dia kuat-kuat, bisa remuk jariku! Ah, mungkin jika kukenakan sarung tangan seperti yang Nevi kenakan, akan lebih aman. Nevi, dia teman sekelasku yang suka latihan tinju.

Aku? Aku suka latihan nyanyi untuk upacara pagi, fotografi di hari Minggu, juga teater di sore hari. Ketiganya kusuka, Sore! Tapi teater tak bertahan lama karena apa ya? Aku lupa alasannya. Bernyanyi untuk paduan suara dan fotografi kuikuti hingga kelas tiga. Eh, fotografi hanya sampai kelas dua. Maaf, aku lupa. Enaknya ikut paduan suara, tak perlu itu aku berbaris di lapangan kala upacara, tapi di samping podium di bawah pohon-pohon rindang. Jadi saat teman-temanku kepanasan, aku tidak ikutan dan malah bernyanyi dengan riang.

Yang paling kusuka dari kegiatan fotorgrafi adalah syalnya, Sore! Keren sekali, warna hitam, bahannya bagus, beremblem STIFOC; SMA Tiga Fotografi Club. Terdengar keren kan, Sore? Aku tak punya kamera kala itu, meminjam saja. Disediakan oleh STIFOC, tak jarang pula oleh Putri, temanku yang punya kamera besar nan bagus. Ah, andai kau tahu betapa inginku punya kamera sendiri, Sore. Agar tak luput itu pemandangan indah di hari-hariku. Biar bisa juga kuabadikan dan kubagi, seperti yang lainnya. Karena mereka punya kamera, yang bisa dibawa bersama, kapan saja.

Ah, pintar? Tidak, aku bukan anak yang pintar. Haha! Maaf mengecewakanmu, Sore! Tapi nilaiku memang parah sekali di SMA ini, warna warni. Sudah biasa itu merah menghiasi. Waktu SD mungkin aku akan menangis karena malu, tapi tidak setelah beberapa kali. Malah ku koleksi itu merah-merah. Haha! Koleksi yang selalu membuatku kehilangan kesempatan dapat hadiah. Dulu setiap sehabis menerima hasil belajar di sekolah, aku selalu diajak ke Ramayana sama Bapak untuk beli hadiah. Tapi sudah lama itu tak terjadi. Ya karena merah-merah tadi.

Malah pernah juga nilai ulangan fisika ku terendah satu sekolah. Bayangkan, Sore, satu sekolah! Haha.. Satu kelas itu kurang lebih ada empat puluh siswa, satu angkatan ku ada sepuluh kelas, jadi totalnya kurang lebih empat ratus. Jika kita kalikan tiga; untuk kelas satu, dua dan tiga, maka jumlah semuanya ada seribu dua ratus siswa. Dan aku yang terendah nilai fisika nya diantara mereka. Keren sekali kan aku, Sore? Haha..

Siapa suruh aku belajar fisika? Orang aku tak suka, tak pernah suka. Fisika, kimia, matematika, hiy! Tak tahan tahu! Untungnya tak selamanya aku harus belajar hal-hal mengerikan tadi. DI kelas tiga aku masuk ke jurusan IPS; Ilmu Pengetahuan Sosial. Karena fisika dan kimia jarang muncul di kehidupan sosial, jarang jadi pergunjingan masyarakat, maka tidak perlu diperdalam di jurusan ini. Oh, bahagianya! Sebagai gantinya aku belajar antropologi; tentang budaya bangsa Indonesia dan dunia, juga sosiologi; tentang manusia dan tetek bengeknya. Tiap minggu antropologi adalah salah satu pelajaran yang kutunggu, bukan hanya karena pelajarannya yang menarik, tapi juga cara belajarnya yang berbeda. Tak melulu duduk di kelas, tapi seringkali kami diajak ke ruang audiovisual, dengan kursi-kursi dan layar besar, tempat kami menonton film-film dokumenter, rekaman cerita budaya.

Itu belum bagian terbaiknya, Sore! Di catur wulan kedua, kami pergi ke Bali untuk study tour namanya. Belajar dengan melihat langsung kebudayaan di sana setelah selama ini selalu kami pelajari di layar besar tadi. Bersemangat sekali aku mengikutinya. Setelah berhasil mencari sponsor untuk kepergianku ke sana, akhirnya aku termasuk juga dalam rombongan dua belas bis dalam perjalanan seminggu ke Bali. Itu kali pertama aku ke Bali. Menyenangkan sekali, Sore! Setelah sekian lama mendengar ceritanya, kini kupijakkan kakiku di sana. Bali oh Bali!

Oh iya, banyak sekali acara yang kuikuti selama bersekolah di sini, Sore. Bukan hanya Bali, tak jarang ku menginap di Puncak, di hotel-hotel, rumah teman, di mana saja, dalam rangka acara-acara yang memang sudah membudaya. Seperti kenaikan kelas, awal catur wulan, ulang tahun teman, maupun acara-acara lainnya. Kalau biasanya aku sulit mendapat izin mengikuti acara-acara di luar kegiatan sekolah seperti ini, tapi semenjak ku bersekolah di sini, tidak lagi. Kau tahu mengapa, Sore? Karena, sederhana saja, kegiatan-kegiatan tadi jarang sekali dipungut biaya! Haha.. Tak perlu dipungut biaya karena kami punya terlalu banyak donatur di sini, di sekolah ini. Jadilah tak ada itu pungutan-pungutan liar. Yang ada hanya iuran sekolah setiap bulan, uang buku dan uang jajan, itu saja.

Hah.. jadi rindu masa-masa itu, Sore! Masa di mana mudah sekali untuk tertawa. Tertawa bahagia karena menghabiskan hari-hari dengan teman-teman yang luar biasa, teman-teman yang memberitahuku apa itu teman. Berpetualang bersama, melihat dan mencoba hampir semua; mulai dari rokok impor, minuman yang tak kunjung memabukkan, lompat pagar yang selalu menegangkan, ciuman pertama yang tak seromantis bayangan, konvoi mobil tiap tujuh belasan, pertandingan domino di kelas kala guru tak ada, teman yang tepar overdosis di kelas, pasangan hot yang suka membuat risih orang sekelas, satpam sekolah yang terbiasa pura-pura tak lihat asal diselipkan lima ribu di kantongnya, guru pria dan murid wanita yang menjalin cinta, jaguar dan BMW dua pintu di depan gerbang utama, bahkan artis-artis yang tak pernah mengartis selama jam sekolah, kepala sekolah yang berlari-lari mengejar murid yang tertangkap bolos, semua ada.

Semua ada, Sore! Semua ada, di SMA tiga.

-bersambung-

No comments:

Post a Comment