Wednesday, January 20, 2010

Pukoroci

Pukoroci. Begitu biasa dia memanggilku. Bukan, dia bukan bosku. Bukan juga teman apalgi ibuku. Dia, orang yang membawaku kemari. Ke tempat tinggi ini. Tempat di mana aku bisa melihat gedung-gedung bertingkat. Tempat ini pun kuyakin bertingkat banyak, tapi aku tak tahu aku di tingkat berapa. Tinggi, itu pasti.

Dulu aku tinggal bersama kawan-kawanku. Bersama kami di etalase kaca, lantai dasar. Aroma menggiurkan menyelimuti hari-hari kami. Banyak orang datang di siang hari, datang mereka beramai-ramai dalam sebuah kotak beroda empat. Kotak yang ditinggalkan di halaman muka, turun mereka dari sana dan tring, bel pintu berbunyi saat didorong. Pasukan berseragam kemudian akan bergerak ke sana kemari membawa piring-piring berwarna senada, putih.

Kawan-kawanku seringkali pergi satu per satu, ikut orang-orang itu. Mereka selalu membawa temanku sambil tersenyum. Sepertinya mereka suka padanya, pada kami. Karena bentuk kami semua sama, tiada beda. Hanya nasib saja yang membuat kami punya cerita yang berbeda-beda.

Siang itu giliranku. Seorang pria berseragam mengeluarkanku dari etalase, dibawanya diriku ke sebuah meja. Ada lima orang di sana, empat pria dan satu wanita. Sang wanita menyambutku dengan senyumnya, manis, kusuka. Dipegangnya diriku erat.

Aku pergi, saat itu aku tahu bahwa aku akan meninggalkan teman-temanku. Tring, tahu-tahu kulihat temanku berjajar dari luar. Berjajar di dalam etalase, berdiri manis. Ku sunggingkan senyum terbaikku, selamat tinggal teman-teman. Kini tiba giliranku.

Bagus juga ternyata isi kotak beroda ini. Duduk ku manis di pangkuan, sambil menyimak pembicaraan teman-teman baruku. Tak sadar berhenti kami di depan sebuah gedung tinggi. Kotak berhenti sebentar, menuruni kami semua. Mobil, ternyata si kotak punya nama. Kalau yang ini memang gedung, aku tahu itu! Dulu aku pernah berpindah dari satu gedung ke gedung-gedung lain. Sudah tak asing lagi aku akannya. Mesin ini, sudah sering juga kulewati. Seperti pintu tapi tak berpintu yang akan berbunyi kala dia tak suka pada apa yang lewat di bawahnya. Jangan sampai dia berbunyi kala kau lewat, karena artinya penjaga di sampingmu akan menggeledah tas dan meraba tubuhmu.

Mesin ini, sudah sering juga kunaiki dulu. Kotak yang hanya bisa bergerak ke atas dan ke bawah guna mengangkut apa saja. Pencet tombol di tengah, pintu akan terbuka. Setelah masuk jangan diam saja, pencet lagi salah satu tombol yang tersedia, dan lampu akan menyala jika sudah tiba. Pintu terbuka, kemudian keluarlah dari kotak.

Pintu ini, kaca, seperti di rumahku yang tadi saja. Tapi yang ini tidak bertring. Wow! Tempat baru, sepertinya aku sudah tiba. Didudukkan aku di meja, besar dan kayu. Manis ku di pojok kiri, diapit kotak hitam tempat kertas-kertas dan kaleng permen.

Hihi! Geli sekali. Wanita tadi mengusap-ngusap sekujur tubuhku. Geli, sudah lama tak ada yang menyentuhku begini. “Pukoroci. Mulai sekarang namamu Pukoroci,” itu dia yang memberi nama. “Haha! Nama apa itu? Gak ada yang lebih lucu?” kalau yang ini salah satu pria yang kutemui tadi. “Ih! Ini sudah lucu tau! Beda, pasti gak ada yang punya kecuali dia! Iya kan Pukoroci?” aku dielus-elus lagi. “Haha.. kasihan dia sudah jauh-jauh, eh dikasih nama Pukoroci.” Tak apa, aku suka nama itu. “Biarin! Yang penting aku suka!” Iya tak mengapa, aku juga suka, sungguh.

Itu hari pertamaku. Hari-hari berikutnya kuhabiskan dengan menemaninya bekerja. Hafal sekali ku cerita hariannya; tiba jam delapan tiga puluh, ditaruh tasnya di bawah meja, dia hidupkan komputer di hadapannya, klik klik kemudian bunyi itulah yang akan kudengar seharian, juga bunyi kring kring kring. Itu teman-teman baruku juga, komputer, telepon, printer, mesin fax, masih banyak lagi.

Mereka semua teman-teman yang tak pergi setelah jam lima sore hari. Tinggal kami bersama di sini, di ruangan ini. Kadang panas, kadang dingin sekali. Kala kedinginan, dia akan mengenakan syal hitamnya, yang selalu ada disampirkan di punggung kursi. Di sore hari, sebelum pulang, dia akan mengintip melalui jendela. Mengintip ke bawah, memantau keadaan jalan. “Aduh! Macet lagi!” begitu katanya kala ada banyak kotak beroda di bawah. “Tumben gak macet!” itu katanya juga kala kotak-kotak tidak berseliweran di bawah sana.

Di hari Sabtu dan Minggu kala dia tidak datang, kulakukan itu kebiasaannya di pinggir jendela. Menatap jalan di bawah sana. Kau tahu menatap jalan bisa jadi sangat membosankan? Iya benar, membosankan. Karena tak ada yang bisa dilakukan selain menatap dan menatapnya.


Tak jarang kuikuti juga kebiasaannya yang lain. Minum di jendela. Baru sadar aku, mengapa suka sekali ya dia duduk di pinggir jendela? Kupinjam gelas hitamnya, kuisi air dan dudukku bersamanya, di sisi jendela.

Tiba-tiba, terlintas sesuatu di pikiranku. Bagaimanakah kabar teman-temanku yang lain? Masih kah mereka di etalase, atau sudah pergi dengan kotak beroda?

No comments:

Post a Comment