Friday, January 22, 2010

Bercerita bersama sore - tiga belas

Ang, de, trowa. Ayo lagi! Ih, memang begitu bacanya, tahu! Beneran, Sore! Jangan tertawa terus, dong! Serius. Harus serius kita belajarnya. Itu tulisannya; un, deux, trois. Tapi bukan begitu cara bacanya. Ya seperti yang kuajarkan tadi, ang, de, trowa.

Hahaha.. Kenapa jadi geli sendiri? Tadi siapa yang bilang mau belajar? Kuajari malah ketawa-ketawa sendiri. Tak percaya ya aku pernah jadi ibu guru? Cukup lama, dari tingkat dua, semester tiga waktu aku kuliah.

Muti, murid pertamaku namanya Muti. Belajar bahasa Prancis karena permintaan mamanya. Muti pasti sudah besar sekarang, sudah kuliah. Dulu masih SMP ia, walau badannya seperti anak SMA, tinggi. Lebih tinggi dariku, yang jelas. Setiap ku datang dan pulang, Muti akan mencium tanganku. Ini kali pertama aku punya murid, Sore! Kali pertama juga tanganku dicium penuh hormat. Ternyata begitu ya rasanya? Tak heran guru adalah profesi yang membahagiakan. Muti harus membungkukkan badannya saat mencium tanganku, ya karena itu, karena tubuhnya terlalu tinggi. Hihi..

Espace 1, itu buku yang kugunakan untuk belajar bersama Muti. Buku yang juga kugunakan kala belajar di kampus. Muti belajar dari dasar, sepertiku juga, seperti kau juga. Ang, de, trowa. Haha! Pintar sekali Muti ini, Sore. Di pertemuan pertama saja, materi yang kusiapkan habis dalam waktu satu jam. Jadilah setengah jam berikutnya kami belajar materi baru tanpa persiapan terlebih dahulu. Sudah, satu jam pertama sudah termasuk pengulangan dan latihan. Memang tak biasa, Muti ini.

Aku juga tak biasa, tak biasa mengajar. Tapi SAP yang aku buat sudah kukonsultasikan dengan Kak Meiji, senior kesayanganku di kampus. Apa? SAP? Oh, Satuan Acara Pengajaran, isinya rencana pengajaran yang disiapkan guru per pertemuan. Kusampaikan kecepatan Muti ke Kak Meiji, dan dia bilang memang kadang ada murid yang cepat sekali menangkap pelajaran dan Muti salah satunya. Jadi, mulai pertemuan selanjutnya kutambah materi khusus untuk Muti.

Aku dan Muti belajar bersama setiap Sabtu pagi, jam tujuh di rumah Muti. Awalnya Imam ikut serta, Imam itu adiknya Muti. Tapi karena Imam harus belajar bahasa Indonesia pada jam yang sama, dan bahasa Indonesia lebih mendesak sifatnya, terpaksa dia meninggalkan kelas kami. Rumah kami berdekatan, itu salah satu alasan aku mau mengambil kesempatan mengajar ini, selain ingin terjun langsung ke dunia pengajaran, setelah di kampus aku banyak dicekoki dengan teori-teori pengajaran. Dengan dorongan semangat dari Kak Meiji, aku akhirnya berhasil mengalahkan ketidakpercayaandiriku untuk mengajar. Terima Kasih Kak Meiji.

Aku lupa berapa lama aku dan Muti belajar bersama, tapi cukup lama. Setahun lebih, kukira. Diakhiri karena Muti tak ada waktu lagi, kewalahan setelah terlalu banyak kegiatan. Sudah kelas tiga SMP dia, ikut ekskul juga, ditambah bimbingan belajar di mana-mana. Tapi aku tetap sering bertemu Muti, di sekolahnya. Sekolah yang letaknya satu komplek dengan kampusku. Bagaimana kabarmu sekarang, Muti?

Murid kedua, Tante Yani, tantenya Putri. Putri itu sahabatku dari SMA. Tante Yani akan bertuga ke luar negeri, ke Niger katanya. Jadi butuh kursus bahasa Prancis singkat sebelum pergi ke sana. Tante Yani bekerja untuk Departemen Luar Negeri, yang waktu itu terdengar keren sekali karena bisa sering jalan-jalan ke luar negeri, begitu saja pikirku. Setelah berhubungan lewat telepon akhirnya disepakati bahwa kami akan belajar dua kali dalam seminggu, tiap sore hari, sepulang Tante Yani bekerja.

Belajar kami di salah satu kamar di rumah Putri, lagi-lagi berbekal buku Espace dan kumpulan kata-kata yang sudah kususun berdasar tema. Teknik mengajar pun berbeda dengan Muti, karena kata Kak Meiji, Tante Yani harus langsung praktek mendengar dan berbicara. Pragmatis. Berkenalan, berhitung, bertanya dan menjelaskan arah, berbelanja, memasak, percakapan singkat di bandara, kantor polisi, imigrasi, juga hotel. Satu bulan kami punya, delapan kali pertemuan.

Tahu tidak? Tante Yani tak kalah dengan Muti, cepat sekali! Cepat sekali daya tangkapnya. Belajar kami, berlatih menulis, membaca serta bercakap-cakap. Taraaa!! Di pertemuan terakhir, ajaibnya, aku yakin Tante Yani siap menjalankan tugasnya, dengan bahasa Prancis sederhana yang sudah dikuasainya. Tante Yani, memang pintar sekali. Lagi-lagi kuceritakan pada Kak Meiji.

Selanjutnya mengajar ku di sekolah, Sore. SMIP, Sekolah Menengah Ilmu Pariwisata, dalam rangka Praktek Pengalaman Lapangan atau PPL. Ini salah satu syarat kelulusan, dan harus di lakukan di semester ke sembilan. Jadi begini, Sore. Dosen kami menempel daftar sekolah-sekolah yang bersedia bekerjasama di mading. Jumlah mahasiswa yang ditampung di tiap sekolah berbeda-beda. Nah kami, mahasiswa, berebut mencantumkan nama di sekolah pilihan. Biasanya yang terdekat dari rumah, karena seperti kau tahu, Sore, sekolah dimulai pada pukul tujuh, itu berarti kami harus sampai sebelum itu, pagi sekali.

Aku memilih SMIP Paramitha, letaknya dekat rumah, hanya setengah jam untuk ke sana. Naik angkot sekali, bayar dua ribu. Berlima kami di sana, aku, Dian, Anast, Dewi dan Putri. Setelah sebelumnya menyiapkan baju-baju khas ibu guru, kami datang ke sekolah diantar oleh Monsieur Nuryadin, itu bapak dalam bahasa Prancis, dosen pembimbing kami. Tugasnya memantau kegiatan kami selama tiga bulan di sana. Ada juga guru pamong, Monsieur Aji, yang dulunya mahasiswa di kampus kami juga. Mereka berdua yang akan menilai kelebihan dan kekurangan kami dalam mengajar dan bekerja sama di sekolah, bukan hanya dengan murid-murid saja, tapi dengan guru-guru dan staf sekolah. Nilai yang menentukan apakah kami lulus PPL atau tidak, dan juga secara tidak langsung menentukan apakah kami dapat memulai menyusun skripsi kami atau tidak. Karena kalau belum lulus PPL, kami tidak boleh secara resmi menyusun skripsi. Skripsi itu tugas akhir perkuliahan, Sore. Nanti kuceritakan lebih lengkap ya..

Sekolah ini cukup besar, Sore. Posisinya sangat strategis untuk tempat belajar, mudah dicapai karena dekat jalan raya yang dilewati banyak angkutan umum, dan juga terletak di pojok, diapit bangunan-bangunan bertembok tinggi, hingga hanya ada satu pintu masuk yang membantu mengontrol lalu lalang murid. Suasananya juga sepi, tidak berisik. Ada dua bangunan di sana, yang besar terletak di depan tempat kelas-kelas nasional, kami menyebutnya. Bangunan kedua agak ke dalam, lebih kecil, tempat kelas internasional, restoran dan staf yayasan. Keduanya bertingkat. Oh iya, di belakang gedung besar ada deretan kantin.

Kelas nasional dan internasional mempelajari materi yang sama, bedanya hanya pada bahasa pengantarnya saja. Benar, di kelas nasional berbahasa Indonesia, internasional bahasa Inggris. Empat temanku mengajar di gedung pertama, aku di gedung kedua, sendiri. Guru pamong kami melepas kelas internasionalnya selama tiga bulan dan berkonsentrasi penuh bersama keempat temanku di kelas nasional. Jadilah aku sendiri, Sore, di gedung yang satu lagi. Guru pamong yang menentukan aku supaya mengajar empat kelas, tiga kelas dua, dan satu kelas tiga.

Tidak hanya mengajar bahasa Prancis, kami juga harus piket. Duduk di satu meja seharian, mendata siswa yang absen serta menerima tamu-tamu. Hari-hari di sana hampir selalu menyenangkan dengan segala ceritanya. Bagian terbaik selain kala mengajar adalah saat makan siang. Berkumpul kami semua di restoran, guru-guru, menikmati makan siang yang menu dan rasanya selalu enak. Makan siang disediakan oleh yayasan, dimasak oleh staf sekolah setiap harinya.

Menu favoritku; sayur santan daun singkong, ikan asin yang ku tak tahu namanya, tahu goreng dan kerupuk udang. Waaa... jadi terbayang-bayang, Sore! Oh iya, seragam di sekolah ini bagus-bagus, baik desain maupun warnanya, unik. Jadi ketika kami ikut lomba Pekan Bahasa Prancis tingkat SMA murid-murid kami cukup mencolok, karena seragam mereka yang cantik itu.

La Semaine Française, itu namanya. Pekan Bahasa Prancis, artinya. Saat di mana jurusan bahasa Prancis di kampusku, ada acara pemutaran film, seminar dan lomba-lomba untuk murid SMA. Sekolah kami mengikuti empat lomba, vocal group, nyanyi solo, story telling dan cerdas cermat.

Je lui dirai, lagu yang dinyanyikan Celine Dion, itu lagu yang kami pilih untuk lomba vocal group. Temanku Dian yang melatih para siswa yang jumlahnya kalau tidak salah sepuluh orang, ditambah dua orang yang mengiringi dengan gitar. Aku dan Anast membantu dengan menjadi pengarah gaya. Haha! Kau tahu ada berapa peserta yang mengikuti lomba ini, Sore? Tak terhitung. Haha! Berlebihan. Sepertinya sampai dua puluh sekolah. Sekolah kami dapat nomor urut hampir belakang, jadi murid-murid ada yang sudah bosan, ada yang tak bersemangat karena tidak percaya diri setelah menonton peserta lain seharian, ada yang semangat sekali karena yakin bisa menang.

Dan kami, para guru PPL, mencuci otak mereka sebelum naik ke panggung. Kami katakan, ”Kalian itu bukan peserta, tapi bintang tamu! Kenapa harus deg-degan?” Lalu ada yang menyeletuk, ”Kok bintang tamu, Mademoiselle?” Aku jawab saja, ”Ya iya lah, wong kalian jauh lebih bagus daripada peserta yang lainnya. Masa mau dibandingin?” Hahahaha... Yang lain juga tertawa, Sore. Lalu mereka jadi bersemangat dan penuh percaya diri, berlebih malah.

Akhirnya, di sana mereka, dua belas anak didik kami, bernyanyi setelah satu bulan berlatih. Bernyanyi mereka dan berimprovisasi. Berteriak kami, aku tepatnya, dari bawah. Tak tahan melihat mereka, senangnya. Bernyanyi mereka dan bernyanyi sampai para juri terkesima dan tersenyum setelah sedari tadi tampak kebosanan oleh penampilan peserta lain yang semuanya hampir sama, tak berani beda.

Lomba selanjutnya, nyanyi solo. Aku tidak bisa bercerita banyak, Sore. Karena untuk lomba ini aku tak banyak terlibat. Lagi-lagi temanku Dian yang melatih murid kami ini. Kelas satu, wanita, bersuara tipis dan lumayan tinggi. Aku lupa namanya. Kudengar beberapa kali suaranya menyanyikan le vol d’un ange, cantik sekali. Tapi sayang, ketika lomba, musik pengiringnya kacau, jadi merusak penampilan anak kami ini.

Story telling, lomba yang ini tanggung jawabku. Siswa kelas tiga, wanita juga. Bersemangat ku bercerita tentang Cinderella, Cendrillon bahasa Prancisnya. Bercerita ku dalam bahasa Prancis, tentang kisah salah satu gadis favoritku ini. Ku ceritakan kembali padanya, pada murid yang satu ini. Berjanji kami untuk berlatih, setiap pulang sekolah. Tapi dasar kurang motivasi, tidak muncul dia setiap hari. Jadilah aku ikut melatih cerdas cermat bersama teman-teman yang lain.

Cerdas cermat, pesertanya dua murid laki-laki, satu perempuan, kelas tiga semua. Berlatih kami setiap hari, bersemangat luar biasa mereka. Aku dan Anast senang sekali mengadu mereka. Haha! Iya, seperti ayam saja. Niat kami adalah agar ketiganya sigap dan terbiasa memencet bel, kami tak suka pada pembagian tugas memencet bel. Memangnya kenapa kalau dalam satu grup ketiganya memencet bel? Bukankah itu bertanda ketiganya tahu jawabannya, dan pasti kami sebagai guru mereka bangga melihatnya. Haha!

Benar saja, terjadi itu, Sore. Kala peserta cerdas cermat lain terlihat rapih dan tenang ketika lomba, anak-anak kami rusuh sekali karena mereka berebut memencet bel yang hanya ada satu itu. Haha! Benar-benar menyenangkan melihatnya! Aku dan Anast duduk bangga di hadapan mereka, di bawah panggung. Kau harus lihat itu, Sore! Betapa lomba jadi seru karena aksi mereka, yang ricuh dan saling berdebat hampir di setiap soalnya. Tapi ada hasilnya! Karena ketiganya gesit luar biasa, hampir semua soal dialahapnya.

Lolos. Tiga tahap sampai babak final. Itu hari terakhir, menonton kami semua, berlima juga Monsieur Aji, guru pamong kami. Duduk kaku karena tegang, murid-murid lain juga tegang, padahal lomba mereka sudah usai, hanya tinggal tunggu pengumuman saja. Harus tegang karena ketiga anak kami yang di atas panggung panik luar biasa mengikuti babak final ini. Malah lawan mereka dari sekolah-sekolah berprestasi, lagi! Ada juga yang lama tinggal di luar negeri dan berbahasa Prancis. Tapi lagi-lagi kami sudah mencuci otak anak-anak kami hingga mereka kini sudah panik tapi tak sabar berlomba.

Ada tiga babak, konsentrasi penuh. Para penonton tidak ricuh. Aku dan Anast berbisik-bisik pelan setiap mendengar soal, saling memastikan apakah kami sudah memberikan materi ini. Kau harus lihat wajah ketiga juri, Sore! Mendecak kagum mereka melihat murid-murid kami yang, lagi-lagi melahap banyak soal. Membuat peserta lain yang juga pintar-pintar, gusar. Iya betul, mereka lincah sekali memencet bel, selain tahu jawabannya, ya! Hehe..

Cukup jauh skor mereka dengan dua grup lainnya. Dan tentu saja, kami menang telak! Juri pun bertanya kepada mereka, siapa gurunya? Anak-anak menyebutkan nama kami semua, sambil berterima kasih dalam bahasa Prancis. Dan kau tahu, Sore? Aku, Anast, Dian, Dewi dan Putri sibuk menangis. Menangis terharu. Dosen kami, yang juga juri lomba kali itu pun mengucapkan selamat, padahal kan bukan kami ya pesertanya? Hihi..

Acara selanjutnya adalah pengumuman pemenang atas semua lomba yang sudah dilaksanakan dua hari sebelumnya. Duduk kami bersama, murid dan guru. Hingga pembawa acara mulai mengumumkan, ”Juara pertama lomba cerdas cermat, SMIP Paramitha!” ”Yeaaaahhhh!!!” itu kami bersorak bergembira, saling berpelukan. Murid kami yang tiga naik ke atas panggung. ”Juara lomba nyanyi solo, sekolah X!” ”Yeaaahh!!!” kalau yang itu bukan kami yang bersorak gembira. ”Gak pa pa.. Gak pa pa..” spontan kami menenangkan murid kami, si le vol d’un ange. ”Juara lomba story telling, sekolah Y!!!” ”Yeaaahhh!!!” Yang ini juga bukan suara kami. ”Gak pa pa..” Yang lain menghibur anak kami peserta lomba, tapi aku tidak. Karena aku masih kesal padanya, malas latihan. ”Pemenang lomba vocal group, SMIP Paramitha!!!” ”Whaaaattt??? Yeaaahh!!!!” Itu kami, Sore! Itu kami! Kami menang lagi! Juara satu lagi!

Berdiri kami semua, besorak ramai, bergembira, sambil menangis tersedu aku. Bukan hanya aku, Anast, Dewi, Dian, juga Putri, Menangis kami sampai mata bengkak. Menangis terharu. Ternyata begini ya rasanya, pikirku. Bagaimana jika anak kami jadi presiden ya?

Itu mereka, lima belas anak kami di atas panggung. Bersiap menerima piala dan hadiah sambil difoto oleh banyak orang. Tiba-tiba pembawa acara mengumumkan lagi, ”Ada satu pemenang lagi, juara umum, untuk sekolah paling berprestasi. Dan, juara umum untuk La Semain Française tahun ini adalah, SMIP Paramitha!!!” Masya Allah, Sore ! Tidak selesai-selesai kebahagiaanku, kebahagiaan kami. Baru saja kering air mata, mengucur lagi. Tak tahan, aku dan Anast menangis sampai lemas. Sampai sampai salah satu dosenku ikut menenangkan dan berkata, ‘Selamat ya kalian, sukses sekali! Selamat ya!” Aduh, Sore. Luar biasa, itu luar biasa!

Air mata menutupi pandanganku, ketika sudah kering, kulihat itu anak-anak kami juga menangis terharu. ”Merci Mesdemoiselles, merci Monsieur!” ujar mereka dari atas panggung. Tunggu! Biar kuabadikan lagi pemandangan kala itu.

Sepertinya tak satu pun dari kami ingin hari itu berakhir. Tak satu pun. Bahkan Putri, yang susah payah menyetir mobil Carry milik sekolah guna mengangkut kami ke tempat lomba. Tak kepayahan dia, malah tambah ngebut saja pulangnya. Ternyata terlalu semangat bisa membahayakan juga, Sore. Itu, si Putri sampai sering lupa menginjak rem saat melintasi polisi tidur. Jadilah kami terpelanting di dalam mobil. Kami, lima guru dan tujuh belas murid di dalam satu Carry.

-bersambung-

No comments:

Post a Comment