Entah memang benar atau perasaanku saja, Changi jauh lebih luas dari Soekarno-Hatta. Kalau salah, sayang sekali, mari kita salahkan desainer bandara kita, teman-teman! Huuu... Belum habis kagumku pada bandara ini, tiba-tiba aku sampai di salah satu bagian bandara di mana aku menuruni escalator di tengah kaca-kaca. Ya, kaca. Di atas, dinding kiri, kanan, cermin semua. Apa hebatnya? Hhhmm.. apa yah? Terasa modern dan futuristik!
Skytrain, thats how they call it. Keren yaaaaahhh?? Hooh, itu kesan pertamaku pada alat ini. Dia lewat di samping, di luar pintu kaca. ”Din, Dinda, itu yang namanya MRT? Kita akan naik itu gak nanti?” Please, naik, please. ”Itu skytrain, buat pindah antar terminal, di bandara aja. Tapi tenang, nanti kita naik MRT kok, Mbak!”
Belum seberapa, baru masuk kereta, another magic comes, gak ada supirnya! Haha! Serius gw, ini kereta kayak di Harry Potter aja. Ternyata computerized, cckk..ckk.. Kalo di negaraku di pakai ini kereta, sudah berapa banyak orang yang mati kejepit pintu yaaa?? Hahahaha...
”Yan, Yan, tarik nafas, Yan!”
”Kenapa, bow?”
”Ini udara Singapura, mahal!”
”Hahahaha.. Iya yah, abis berapa juta neh kita buat nafas di sini!”
”Hahahaha.. Oon loe!”
”Loe yang oon!”
”Mbak, kita beli tiket MRT dulu. Ini bisa dipake buat naik MRT, bis, taxi juga. Sistemnya isi ulang, ada mesinnya. Nanti Sufi tunjukkin caranya. Sekarang kita beli dulu kartunya. Dinda ada tiga, siapa yang mau pake? Berarti harus beli dua lagi.”
Kesenjangan sosial negara maju dan negara berkembang, dua.
Di sono noh, di tumpah darahku, masih pake receh yang dekil and the kumel. Transfer bakteri dan virus dari penumpang laen, dari abang kenek juga. Hiks!
”Hahaha.. Boleh, kalo ada.”
”Gw pikir kayak di Indonesia, kalo jajan gak boleh pake uang gede, ntar diamarahin.”
”Heh? Beneran seribuan, Mbak? Gila! Umpetin-umpetin! Itu gede banget, tahu! Orang pegang lima puluhan aja udah nengok! Ini lagi seribuan!”
”Katanya gak papa..”
Damn! Dinda pun gak percaya kalo potongan kayak kita orang punya seribuan, guys! Hiks..hiks...
”Coba aja sih, Mbak. Biar Sufi yang bilang nanti.”
”Oke, oke.”
Singapur kan pake bahasa Inggris, gw juga bisa kali beli sendiri.
Jadilah aku dan Dian yang membeli kartu baru, sementara Dewi, Yeyen dan Anast top up, mengisi ulang kartu yang dari Dinda. Eh, udah giliran kami sekarang.
Heh?
”We want to buy a new card, please.”
”Wiamgneuanbjsnien.”
Aku dan Dian saling bertatap, tak mesra.
”Hjebauiaejafnk.”
Sufi mengambil alih.
”Wnamnuebgjrn.”
Pembicaraan berjalan lancar, transaksi selesai.
Anjrit, Singlish!
”Loe ngerti kagak, Yan?”
”Boro-boro, gw pikir itu Nci ngomong bahasa planet mana, lagi?”
”Hahahaha.. Gimana entar kita belanja yah?”
”Hahahaha.. Aventurier!”
”I’m ready, Singapour!”
”Yeah! We’re ready, Singapour!”
”Hahahaha...”
Bismillah.. MRT pertama.
Kesenjangan sosial negara maju dan negara berkembang, tiga. Hiks. How I love living here.
Kursinya oranye, kayak metro mini. Ada Mbak yang akan ngomong seperti di TransJakarta. Nah, di sisi atas pintu ada peta jalur MRT, ada jalur merah, ungu dan hijau. Masya Allah, di tiap kursi paling pinggir ada tulisan, kalau kursi itu untuk manula. Jadi, barangsiapa yang duduk di kursi paling pinggir, siaga lah selalu. Jikalau ada manula atau orang yang sekiranya butuh duduk, people with special needs, berdirilah. Karena kursi itu diperuntukkan bagi mereka. Ya Allah, betapa ku merasa sangat dekat dengan ajaranmu di sini.
Di depan pintu ada rak sepatu, kami lepaslah sepatu-sepatu kami di sana. Lalu masuk ke dalam rumah. Wow! It is a home! Tak seperti yang kubayangkan. Tak dingin dan sok modern seperti apartemen. It’s truly a home. Ada ruang tamu, tiga kamar dan dapur memanjang di mana di ujungnya ada jendela yang jikalau kita melongok ke luar ada tiang-tiang jemuran Singapura! Hahaha.. Di kiri jendela ada kamar mandi mini tanpa bak, ada shower dan WC jongkok di sana. Juga pipa-pipa besar yang menjulang ke atas serta menjulur ke bawah.
”Assalamualaikum, Ega datang!”
”Assalamualaikum!”
”Waalaikumsalam!” jawab Abah dan Mamah. Mirip Sufi, dua-duanya. Ya iya lah, bapak ibunya!
Kami berlima menempati kamar Dinda dan Sufi. Mereka? Numpang di kamar adiknya Sufi, sementara. ^^V Ada ranjang besi ukuran besar, tv besar dengan saluran Singapura! Huhuhu.. Come on, Dega! Sebuah lemari besar serta, pernak pernik Manchester United! Hahahaha.. Jangan sampai Sarap ke sini, bisa diacak-acak sama dia nanti! Hahahaha.. p.s. Sarap itu pacarku. ;p
Setelah istirahat, sholat dan beres-beres, kami pun pergi makan malam, ke banquette katanya. Apa itu? Kita lihat saja nanti.
Kami berlima, Dinda, Sufi, Abah, Mamah berjalan kaki. Hmm... bersih dan aman sekali di sini. Ada jogging track, ada kali besar dan lebar tapi tak ada airnya, ada ruang pertemuan para penghuni apartemen, ada anjing yang sedang jalan-jalan bersama majikan. Hihi.. Masih seperti mimpi, rasanya.
Banquette.
Oh itu dia, seperti mall, tapi kecil. Di lantai dasar ada semacam food court, kami masuk kesana. Aku sudah mulai baca-baca, hunting makanan, kiri kanan. Eh, eh! Kok Abah Mamah maju terus seh, kemana itu? Ada pintuuu.. Semacam pintu rahasia saja. Di dalam foodcourt ada foodcourt, saudara! Apa bedanya?
”Din, Din, apa bedanya sama yang di luar, Din?”
”Kalo ini khusus Muslim, di luar gak dijamin halal apa nggak.”
”Ooooohhh...” kami manyun berbarengan.
”Eh, pesen apa loe?”
”Meneketehe. Loe apaan?”
”Kita lihat-lihat dulu yuk!”
”Pesanlah! Pesan. Tengok-tengok dulu!”
”Iya, Mah!”
Aku tergiur dengan deretan sayuran segar dekat pintu tadi.
”Din, gw mau itu deh Din! Gimana caranya?”
”Sini, Dinda temenin! Jadi Mbak Dega pilih enam item, nanti dicampur kuah, mau sup atau kari pilihannya.”
”Waahh.. pake nasi bisa?”
”Hehehe.. iya, bisa.”
”Harganya berapa?”
”Tiga dolar.”
Tujuh kali tiga, dua satu, murah.
”Pilih dulu.”
Waduh! Menu makan malam pertama yang cukup membingungkan, karena banyak juga yang tak kukenal. Alah! Sikat aja, gak enak tinggal dilepeh!
”Udah Din!”
”Kuahnya?”
”Sop aja!”
”Pake nasi kan?”
”Iya.”
Widiiihh.. keren, sayur dan lauk segar yang tadi kupilih sekarang pada berendam di kuah bening sup. Hhhmmm.. Yummy! Ini baru makanan sehat!
”Udah, kakak duduk aja. Biar Dinda yang bayar.”
”Loh kok?”
”Mamah sama Abah yang traktir.”
”Eh, seriusan?”
”Iya, udah kakak duduk aja.”
”Alhamdulillah...”
Allahummabariklanafimmarozaktanahuwakinaadzabannaar. Amin...
No comments:
Post a Comment