Monday, May 17, 2010

Cerita dari Singapura - delapan

Day 1:
Changi Airport.
Sebagai bandara ketiga yang pernah kusinggahi, Changi ini sungguh mengubah image bandara yang sudah ada di kepala. Apa itu Bandara Adi Sucipto dan Soekarno-Hatta, dingin. Begini neh baru bandara, mampu merubah aura. Membuat pendatang sadar, aku maksudnya, kalau ini sudah bukan di Indonesia, lagi.

Ckkkk..cckk... Itu lantai, cling, kotak lebar, entah marmer atau bukan, yang jelas terlihat kinclong, bersih dan modern. Juga dindingnya, senada. Belum lagi desainnya, mantap. Benar keputusan kita, Yenq, keluar negeri saat natal dan tahun baru. Huhuhu.. Here we come, Santa!

Entah memang benar atau perasaanku saja, Changi jauh lebih luas dari Soekarno-Hatta. Kalau salah, sayang sekali, mari kita salahkan desainer bandara kita, teman-teman! Huuu... Belum habis kagumku pada bandara ini, tiba-tiba aku sampai di salah satu bagian bandara di mana aku menuruni escalator di tengah kaca-kaca. Ya, kaca. Di atas, dinding kiri, kanan, cermin semua. Apa hebatnya? Hhhmm.. apa yah? Terasa modern dan futuristik!

Di bawah kudapati toko-toko souvenir layaknya bandara. Lalu kami pun keluar, memasukkan barang-barang ke bagasi mobil Sufi, sambil kemudian mengikhlaskan Abah membawa itu semua ke rumah mereka, di daerah Fajar atau Segar, gitu! Jangan tanya di mana. Aku kan baru sampai!
”Dinda, kira-kira di mana yang kalo kita foto, orang akan tahu kalo itu Singapura?” Hahahaha.. Beneran, aku bertanya seperti itu padanya. Dinda pun menganjurkan menara yang ada di belakang kami. Entah itu menara apa, aku nurut saja. Dan voila! Ini dia hasilnya:

You know what is the best part of Changi Airport? This one:

Skytrain, thats how they call it. Keren yaaaaahhh?? Hooh, itu kesan pertamaku pada alat ini. Dia lewat di samping, di luar pintu kaca. ”Din, Dinda, itu yang namanya MRT? Kita akan naik itu gak nanti?” Please, naik, please. ”Itu skytrain, buat pindah antar terminal, di bandara aja. Tapi tenang, nanti kita naik MRT kok, Mbak!”

Yup! Jangan iri saudara-saudara, aku, kami, menaiki skytrain ini untuk pindah dari terminal satu ke terminal lain, bukannya lupa tapi aku memang tidak tahu terminal mana saja yang sudah kusinggahi. Kami pun duduk di kursi menanti skytrain datang lagi, dan ketika dia datang mendekat, saat itu lah aku menemukan one of modern country’s magic, relnya cuma sattuuu!!! Heh! Jangan bilang norak, seumur hidup baru ini kereta yang relnya cuma satu yang gw lliat pake mata sendiri. Masya Allah, beneran cuma satu itu rel di tengah. Gak terbalik lagi, keretanya.

Kesenjangan sosial negara maju dan negara berkembang, satu.

Belum seberapa, baru masuk kereta, another magic comes, gak ada supirnya! Haha! Serius gw, ini kereta kayak di Harry Potter aja. Ternyata computerized, cckk..ckk.. Kalo di negaraku di pakai ini kereta, sudah berapa banyak orang yang mati kejepit pintu yaaa?? Hahahaha...

”Yan, Yan, tarik nafas, Yan!”
”Kenapa, bow?”
”Ini udara Singapura, mahal!”
”Hahahaha.. Iya yah, abis berapa juta neh kita buat nafas di sini!”
”Hahahaha.. Oon loe!”
”Loe yang oon!”

”Mbak, kita beli tiket MRT dulu. Ini bisa dipake buat naik MRT, bis, taxi juga. Sistemnya isi ulang, ada mesinnya. Nanti Sufi tunjukkin caranya. Sekarang kita beli dulu kartunya. Dinda ada tiga, siapa yang mau pake? Berarti harus beli dua lagi.”

Kesenjangan sosial negara maju dan negara berkembang, dua.

Di sono noh, di tumpah darahku, masih pake receh yang dekil and the kumel. Transfer bakteri dan virus dari penumpang laen, dari abang kenek juga. Hiks!
”Din, Din, uang pecahan seribu gede gak? Kita cuma ada selembar doank neh!”
”Hahaha.. Boleh, kalo ada.”
”Gw pikir kayak di Indonesia, kalo jajan gak boleh pake uang gede, ntar diamarahin.”
”Heh? Beneran seribuan, Mbak? Gila! Umpetin-umpetin! Itu gede banget, tahu! Orang pegang lima puluhan aja udah nengok! Ini lagi seribuan!”
”Katanya gak papa..”
Damn! Dinda pun gak percaya kalo potongan kayak kita orang punya seribuan, guys! Hiks..hiks...

”Coba aja sih, Mbak. Biar Sufi yang bilang nanti.”
”Oke, oke.”
Singapur kan pake bahasa Inggris, gw juga bisa kali beli sendiri.

Jadilah aku dan Dian yang membeli kartu baru, sementara Dewi, Yeyen dan Anast top up, mengisi ulang kartu yang dari Dinda. Eh, udah giliran kami sekarang.

”Wacuceyanwljkhifasna?”
Heh?
”We want to buy a new card, please.”
”Wiamgneuanbjsnien.”
Aku dan Dian saling bertatap, tak mesra.
”Hjebauiaejafnk.”
Sufi mengambil alih.
”Wnamnuebgjrn.”
Pembicaraan berjalan lancar, transaksi selesai.
Anjrit, Singlish!
”Loe ngerti kagak, Yan?”
”Boro-boro, gw pikir itu Nci ngomong bahasa planet mana, lagi?”
”Hahahaha.. Gimana entar kita belanja yah?”
”Hahahaha.. Aventurier!”
”I’m ready, Singapour!”
”Yeah! We’re ready, Singapour!”
”Hahahaha...”

Bismillah.. MRT pertama.

Kalian tahu bagaimana caranya antri di negara maju? Begini, berdiri di, lagi-lagi, belakang garis kuning, cari di bawah. Nah, nanti MRT akan berhenti di posisi yang pas, selalu begitu, kecuali komputernya hang, kena virus Dian Sastro. Ada garis kuning yang membatasi pintu nantinya kalau sudah berhenti, di sisi kiri dan kanan. Bagi penumpang yang mau naik, antri lah di sisi kiri dan kanan, jangan di tengah. Karena di tengah garis itu wilayah mereka yang baru turun dari kereta. Satu lagi, jangan naik sebelum seluruh penumpang yang akan turun habis, tunggu saja, kalau sudah beres baru kita naik. Eits, jangan ngebut! Gak perlu ngebut, gak perlu rusuh. Santai saja. Kenapa? Karena orang-orang di sana tidak suka saling menyakiti. Very civilized.

Kesenjangan sosial negara maju dan negara berkembang, tiga. Hiks. How I love living here.

Kursinya oranye, kayak metro mini. Ada Mbak yang akan ngomong seperti di TransJakarta. Nah, di sisi atas pintu ada peta jalur MRT, ada jalur merah, ungu dan hijau. Masya Allah, di tiap kursi paling pinggir ada tulisan, kalau kursi itu untuk manula. Jadi, barangsiapa yang duduk di kursi paling pinggir, siaga lah selalu. Jikalau ada manula atau orang yang sekiranya butuh duduk, people with special needs, berdirilah. Karena kursi itu diperuntukkan bagi mereka. Ya Allah, betapa ku merasa sangat dekat dengan ajaranmu di sini.

Merasakan laju MRT yang cepat tapi tak memacu jantung, aku dan Yeyen sibuk berusaha memahami di mana kami harus turun untuk menuju rumah Sufi. Dian dan Anast memberi saran yang manis sekali, ”Udah, ada Dinda Sufi ini, ntar juga sampe! Ngapain loe berdua ribut-ribut!” Untunglah Dora dan Nobita tak main dalam film yang sama.

Sehabis MRT, kami sambung dengan LRT karena ternyata rumah Sufi ini agak jauh, pemirsa. Bisa gak yah dibilang Singapur coret? Hahaha.. Kami lalu turun di stasiun Segar, lalu jalan kaki. Rumah di sana, hmmm... apartemen semua. Sebagai sesama orang Indonesia pastilah kalian paham kalo kukatakan apartemen, kan? Gedung.

Lucu deh! Jadi rumah-rumah di Singapur itu perpaduan antara rumah susun dan apartemen di Jakarta. Rumah susun karena bentuknya bangunan bertingkat-tingkat. Apartemen karena kerapihan dan kebersihannya. Rumah Sufi terletak di gedung bercat hijau, lantai tiga. Kami naik lift ke sana. Di satu lantai ada empat rumah yang halamannya berhadapan membentuk huruf U. Sufi dan Dinda tinggal di sisi kiri lift, paling pojok.

Rumah Sufi.
Di depan pintu ada rak sepatu, kami lepaslah sepatu-sepatu kami di sana. Lalu masuk ke dalam rumah. Wow! It is a home! Tak seperti yang kubayangkan. Tak dingin dan sok modern seperti apartemen. It’s truly a home. Ada ruang tamu, tiga kamar dan dapur memanjang di mana di ujungnya ada jendela yang jikalau kita melongok ke luar ada tiang-tiang jemuran Singapura! Hahaha.. Di kiri jendela ada kamar mandi mini tanpa bak, ada shower dan WC jongkok di sana. Juga pipa-pipa besar yang menjulang ke atas serta menjulur ke bawah.

”Assalamualaikum, Ega datang!”
”Assalamualaikum!”
”Waalaikumsalam!” jawab Abah dan Mamah. Mirip Sufi, dua-duanya. Ya iya lah, bapak ibunya!

Kami berlima menempati kamar Dinda dan Sufi. Mereka? Numpang di kamar adiknya Sufi, sementara. ^^V Ada ranjang besi ukuran besar, tv besar dengan saluran Singapura! Huhuhu.. Come on, Dega! Sebuah lemari besar serta, pernak pernik Manchester United! Hahahaha.. Jangan sampai Sarap ke sini, bisa diacak-acak sama dia nanti! Hahahaha.. p.s. Sarap itu pacarku. ;p

Setelah istirahat, sholat dan beres-beres, kami pun pergi makan malam, ke banquette katanya. Apa itu? Kita lihat saja nanti.

Kami berlima, Dinda, Sufi, Abah, Mamah berjalan kaki. Hmm... bersih dan aman sekali di sini. Ada jogging track, ada kali besar dan lebar tapi tak ada airnya, ada ruang pertemuan para penghuni apartemen, ada anjing yang sedang jalan-jalan bersama majikan. Hihi.. Masih seperti mimpi, rasanya.

Banquette.
Oh itu dia, seperti mall, tapi kecil. Di lantai dasar ada semacam food court, kami masuk kesana. Aku sudah mulai baca-baca, hunting makanan, kiri kanan. Eh, eh! Kok Abah Mamah maju terus seh, kemana itu? Ada pintuuu.. Semacam pintu rahasia saja. Di dalam foodcourt ada foodcourt, saudara! Apa bedanya?
”Din, Din, apa bedanya sama yang di luar, Din?”
”Kalo ini khusus Muslim, di luar gak dijamin halal apa nggak.”
”Ooooohhh...” kami manyun berbarengan.

”Eh, pesen apa loe?”
”Meneketehe. Loe apaan?”
”Kita lihat-lihat dulu yuk!”
”Pesanlah! Pesan. Tengok-tengok dulu!”
”Iya, Mah!”

Aku tergiur dengan deretan sayuran segar dekat pintu tadi.
”Din, gw mau itu deh Din! Gimana caranya?”
”Sini, Dinda temenin! Jadi Mbak Dega pilih enam item, nanti dicampur kuah, mau sup atau kari pilihannya.”
”Waahh.. pake nasi bisa?”
”Hehehe.. iya, bisa.”
”Harganya berapa?”
”Tiga dolar.”
Tujuh kali tiga, dua satu, murah.
”Pilih dulu.”
Waduh! Menu makan malam pertama yang cukup membingungkan, karena banyak juga yang tak kukenal. Alah! Sikat aja, gak enak tinggal dilepeh!

”Udah Din!”
”Kuahnya?”
”Sop aja!”
”Pake nasi kan?”
”Iya.”
Widiiihh.. keren, sayur dan lauk segar yang tadi kupilih sekarang pada berendam di kuah bening sup. Hhhmmm.. Yummy! Ini baru makanan sehat!
”Udah, kakak duduk aja. Biar Dinda yang bayar.”
”Loh kok?”
”Mamah sama Abah yang traktir.”
”Eh, seriusan?”
”Iya, udah kakak duduk aja.”
”Alhamdulillah...”

Aku lupa anak-anak memesan apa, sudah sibuk sendiri, lapar, lelah dan excited. Alhamdulillah ya Allah. Terima kasih atas segala nikmatmu. Sungguh Engkau maha pengabul mimpi.

Allahummabariklanafimmarozaktanahuwakinaadzabannaar. Amin...
Abah yang gak mau difoto teuteup aja gaya!

-bersambung-

No comments:

Post a Comment