Mbah dan Wak Ani, putri keduanya
Mbah, lagi apa?
Aku baru pulang kerja,
hari pertama. Jadi guru lagi, Mbah. Seperti yang Mbah suka. Mbah pengennya cucu Mbah kerja di bidang
sosial, jangan cuma ngitung uang aja. Maaf ya Mbah lima tahun kemarin aku
murtad jadi ibu guru. Tapi sekarang aku sudah kembali ke jalan yang lurus.
Sekarang Mbah bisa mengingatku seperti dulu lagi, saat kita terakhir bertemu,
saat aku masih ibu guru. Aku bahagia bisa jadi kebanggan Mbah, jadi penerus
Mbah. Terus bangga padaku ya, Mbah.
Mbah, apa kabarnya?
Aku sekarang sudah
tidak di Jakarta, sudah menikah, sudah jauh dari keluarga kita. Tapi aku
baik-baik saja. Terasa kan, Mbah? Hidupku sudah tidak sedramatis terakhir kali
kita jumpa. Tidak. Sudah baik, amat sangat baik. Allah sungguh Maha Baik, Mbah.
Terima kasih karena selalu menguatkan doa-doaku, doa-doa kami. Aku bisa tahu?
Tentu saja. Terasa.
Mbah, tidak kesepian
kan?
Tidak boleh. Karena
kita selalu sama-sama. Aku, Mbah, keluarga kita. Aku tidak kesepian lagi,
karena Mbah sering mengunjungi. Tunggu aku, tunggu kami, kita semua akan
sama-sama lagi nanti. Begitu janji Illahi Robbi.
Mbah, bahagia?
Harus. Walau hanya
bisa melihat kami dari jauh, walau kami jarang mengunjungi, walau kadang masih
ada ribut-ribut kecil antara kami, tapi kami saling menyayangi, Mbah. Sungguh.
Mbah paling tahu itu kan? Memang iya, kami sempat jarang bersua. Tapi tidak
lagi. Kini kami berkumpul tiap dua bulan sekali. Mbah Konde pun selalu berpartisipasi.
Mbah Konde, kami selalu menjaganya, Mbah. Selalu. Silih berganti.
Mbah, kangen?
Aku kangen sekali.
Percakapan panjang
selama di rumah sakit terpatri jelas di memori. Tatapan dan sentuhan kulit tipisnya
tak bisa kurasa lagi. Tapi kebijakan dan keteguhannya harus terus kuwarisi.
No comments:
Post a Comment