Thursday, November 19, 2009

Sahur Bhineka Tunggal Ika (1 Ramadhan 1430 H)

Mari kubawa kau ke pagi itu, jam tiga kurang sepuluh di meja makan dan dapur kami. Kala kami sedang bersama-sama menyiapkan makanan untuk sahur pertama Ramadhan ini, sahur pertamaku tanpa keluarga. Bukan terpaksa, tapi pilihan. Kami pagi itu terdiri dari lima wanita berusia sekitar dua puluhan, kita pukul rata saja. Ada asli Sunda, Jawa tulen, campuran Jawa Lombok tapi lebih bangga menjadi orang Jawa, Sunda Cina dan bangga akan keduanya, satu lagi campuran Batak Betawi dan hanya bangga menjadi orang Batak, itu aku. Kau sudah siap? Mari kita mulai!

Kau lihat itu aku? Yang sedang menggoreng tempe bacem kiriman mama di dapur mini ukuran SSSSSD (sangat sangat sederhana sekali sumpah deh). Empat orang lainnya sedang duduk di kursi ruang makan sambil menyiangi sayur bayam dan jagung hasil belanja semalam. “Ada temukunci gak?” tanya salah seorang Jawa. “Nggak, gak perlu lah pake temukunci segala,” jawab Sunda Cina yang menurutku paling jago masak. “Ya sudah, tapi kita masih punya gula kan?” tanyanya lagi. “Masih, tapi kan sayurnya gak akan pake gula,” jelasnya sambil menjawab pertanyaan tersirat dan tak tersirat. Sudah rahasia umum kalau orang Jawa mewajibkan semua makanan berasa manis. “Hahahahaha…” itu aku tertawa bahagia karena tidak harus makan sayur manis layaknya kolak. Tawaku bersambut kecewa dua orang Jawa, walau Jawa kedua ikut tertawa dan tidak protes. Nah kalau tidak suka protes itu salah satu nilai jual wanita-wanita Jawa, nrimo dalam bahasa mereka. Pria mana yang tak suka kalau pasangannya cuma bilang, “enggeh…enggeh, Mas!”, yang artinya iya, ok, tidak masalah, Mas.

Di sela proses masak memasak tiba-tiba saja aku merasakan ada sesuatu, “Aduh, gw mau kentut!” umumku sambil berlari ke arah lorong biar yang lain tidak mati keracunan karena gasku. “Kentut aja pake bilang-bilang, kalau orang Jawa pasti langsung kentut, tapi diam-diam. Hahahahaha…” aku Jawa satu yang langsung diiyakan oleh Jawa dua. “Kalau orang Sunda mah, kentut aja langsung yang kenceng! Hahahahaha…” kalau itu kentut versi Sunda yang blak-blakan.

Sambil ketawa, Jawa satu bolak-balik melihat ke kaki semua orang, termasuk kakiku. “Sendal hitamku mana yah?” tanyanya sambil berteriak. Sendal hitam itu sedang menempel di kakiku, tadi pagi langsung kupakai tanpa permisi. Walau tahu apa yang dia cari, aku tetap tak bergeming. Yang lain menjawab tidak tahu sambil tengak-tengok, basa-basi, mencoba membantu menemukan apa yang dicari. “Ih susah yah, udah disindir juga, tetep aja dipake. Bukan balikin sendal gw!” marahnya sambil mengambil alih sendal di bawah meja makan yang tepat di bawah kakiku juga. “Hahahahaha… Orang Batak disindir, mana ngaruh..” jawabku santai, bukannya berpikir dan merasa bersalah.

Waktu makan tiba, sudah ada lima piring dan sendok di atas meja. Kami ambil satu-satu piring itu. “Gw mau piring yang paling gede ah!” ujarku sigap biar bisa ambil makanan lebih banyak. Yang lain langsung bilang, “Dasar!”. “Ih, aku gak mau pake piring gompal!” si koki ikut-ikutan jadi pemilih. “Hahahaha.. dasar Cina!” timpal si Jawa. Koki Cina kami mempercayai mitos bahwa jikalau kita makan menggunakan piring yang sudah gompal, maka hal buruk akan menimpa. Ada-ada saja memang orang Cina itu. Saat kami sudah mulai makan, dia masih sibuk mengambil tisu dan mengelap piringya. “Ngelapnya harus searah dengan mata angin ya mbak?” guyonku yang langsung disambut dengan tawa semuanya.

Jadilah kami makan sayur asin buatan koki andalan kami, semuanya sepakat kalau sayur itu memang asin, keasinan tepatnya. Tentu saja si koki bilang, “Nggak kok, ini udah pas banget rasanya!”. “Gw putuskan besok-besok gw yang akan masak sayur!” itu si Jawa yang sedang susah mati menghabiskan sayur di piringnya. Selanjutnya kami sibuk makan, cuci piring dan siap-siap menyambut imsak.

Selamat berpuasa semuanya! Sampai jumpa di sahur berikutnya.

No comments:

Post a Comment