Wednesday, January 13, 2010

Namanya Wulan, Wulan namanya

Namanya Wulan, seperti judul sinetron yang pernah terkenal. Parasnya, seperti Wulan juga. Ya Wulan yang di sinetron Wulan. Rambut hitam lebat, panjang. Tubuh tinggi semampai, ramping. Kulit hitam tak kelam, manis. Logatnya sangat utara, maksudnya Sumatera Utara. Cukup lama tinggal di sana dia, ikut neneknya. Di sana pula bertemu kekasih hatinya. Kekasih yang tak bisa dinikahinya. Kenapa? Karena menikah berarti harus memuja Tuhan yang sama.

Wulan namanya, rajin sekolah hingga SMA. Tak lanjut kuliah, karena harus bergilir sekolah dengan adiknya. Adiknya, satu-satunya, lelaki, Bobby. Ada kakak juga, tapi tak bersama-sama lagi, sudah menikah. Bisa menikah karena kekasihnya memuja Tuhan yang sama. Setelah menikah keluar rumah dia. Jadi tinggal berempat saja di rumah, Wulan, Bobby, Mama dan Bapak.

Namanya Wulan, seringkali bilang dirinya tidak pandai karena bukan kutu buku. Ternyata yang pandai itu hanya para kutu. Walau tak pandai, jago berhitung dia. Tak mungkin salah, itu katanya tiap berhitung, hitung uang. Tak hanya pandai berhitung, tapi juga berdagang. Terbukti itu. Jengah melihat kestatisan bisnis para mantan bosnya, keluar dia, berhenti. Dari pegawai menjadi wiraswastawati. Ada tidak itu, wiraswastawati? Yah, pokoknya pasangan wiraswastawan lah ya.

Wulan namanya, wiraswastawati. Berjuang kesana kemari untuk cari modal usaha. Usaha apa? Mau buka warung katanya. Heran, ketika para perempuan beraset kecantikan berlomba menjadi SPG; Sales Promotion Girl, dia malah mau duduk di balik warung kecil, ditemani sembako, rokok dan kawanannya. Posisi yang biasa ditempati para ibu atau bapak.

Namanya Wulan, itu warungnya, kecil, di lantai dasar muka sebuah kos-kosan. Sewa katanya, dua ratus ribu per bulan. Sewa pada mama tuanya, kakak mamanya, empunya kos-kosan. Warung kecil tak bernama itu ramai sekali, ceritanya. Ramai karena banyak yang beli, beberapa hutang dulu sebelum dilunasi. Kala lebaran tiba, Wulan buat open house, layaknya Presiden. Open house sekalian promosi katanya. Para tetangga yang singgah bersilaturahmi disuguhinya alé-alé, minuman ringan kemasan gelas plastik siap saji. Gratis, agar setelah Lebaran para tetangga termotivasi untuk belanja lebih banyak lagi di warungnya. Cerdik.

Wulan namanya, tak pernah suka kestatisan. Perputaran barang dan uang di warung stabil dan sehat bak ban gerobak sayur di pagi hari, tapi bukan berarti puas dan berhenti. Gorengan, semua orang suka jajan gorengan. Hingga bertebaran lah itu tukang gorengan di mana-mana, juga di sekitar rumah Wulan. Diamatinya kehidupan para tukang gorengan; subuh pergi ke pasar membeli buah dan sayuran menumpang angkot dan becak, pagi ke warung membeli terigu, minyak dan telur, dilanjutkan menyiapkan adonan lalu berkeliling jualan. Tring! Muncul ide segar di kepala. Dihampirinya beberapa tukang gorengan, ditawarkannya perjanjian kerja sama; subuh Wulan akan mengantar tukang gorengan ke pasar dengan motornya, motor yang dikredit setelah beberapa bulan membuka warungnya. Dengan harga yang lebih murah jika dibandingkan dengan ongkos angkot dan becak, tentunya. Lalu pagi harinya, para tukang gorengan bisa mengambil terigu, minyak dan telur di warungnya. Tak perlu membayar dulu, nanti saja pulangnya, setelah gorengan laku. Setuju para tukang gorengan. Jadilah Wulan sekarang rekan kerja mereka.

Namanya Wulan, tak mau punya kekasih lain, ujarnya. Mau terus sama yang ini saja, walau tak bisa menikah karena Wulan tetap memuja Tuhannya. Kecewa karena ternyata dia bisa menjadi statis, tapi tak terlalu dihiraukannya. Mengapa? Punya sesuatu dia, baru saja ketemu, katanya. Cita-cita. Setelah sekian lama tak punya cita-cita, sekarang ada lagi. Mau punya toko grosir. Wow! Cita-cita yang sama sekali tak biasa. Akan mencari tempat yang strategis, lalu mendirikan bangunan dua lantai. Lantai dasar tempatnya berdagang, grosir. Seperti warung kecilnya, tapi menjual dengan jumlah yang lebih banyak. Guna menyuplai warung-warung kecil seperti warungnya. Lantai satu akan jadi tempat tinggalnya. Mau punya rumah sendiri, ujarnya bangga. Biar rumah yang sekarang untuk mama sama bapak saja.

Wulan namanya, masih Wulan hingga sekarang. Walau kadang ditulis dengan ejaan lama, Woelan. Biar tidak sama dengan orang kebanyakan, katanya. Karena sudah terlalu banyak Wulan. Padahal, tak perlu itu ejaan lama. Wulan tak pernah sama dengan Wulan-Wulan yang lain. Tak mungkin sama. Wulan yang ini, beda.

2 comments:

  1. Wulan artinya bulan. Melankolis. Pucet. Tapi punya pesona sinar tersendiri.

    ReplyDelete
  2. Oh yah? Baru tahu gw, De!
    Nanti gw kasih tahu si Wulan ah..

    ReplyDelete