Tuesday, February 9, 2010

Bercerita bersama sore - enam belas

Mas, salah satu personil senyawa kimia, emas. Ada itu nama ilmiahnya, tapi aku lupa! Karena pelajaran kimia, aku tak suka. Ini senyawa idola ibu-ibu, Sore. Suka sekali mereka memakai perhiasan berlapisnya. Bisa memicu rasa percaya diri rumornya. Tak percaya? Tanyakan lah pada mereka.

Mas, panggilan untuk laki-laki dalam bahasa Jawa. Contoh, Sore jika dipanggil oleh orang Jawa jadi Mas Sore. ”Halo Mas Sore! Apa kabar?” Begitu. Kalau perempuan jadi Mbak. ”Halo Mbak Sore. Sudah pulang?” Begitu. Terserah kamu, maunya Mas atau Mbak? Hahaha.. Kalau aku sih bebas saja. Dipanggil Mas Dega juga tak apa.

Mas, dari Dimas. Kalau sudah akrab, kita potong nama teman jadi satu suku kata saja, biar singkat, biar tambah akrab. Contoh, ”Hai, Sor! Kemana saja kamu?” atau, ”Deg, sudah makan belum?” Begitu. Dimas, temanku di kampus, belajar seni rupa dia. Apapun rupa-rupa merupa dan berupa. Kenapa seni rupa? Entah. Aku tak tahu, atau tahu tapi aku lupa. Tapi sepertinya karena dia suka. Iya, suka. Hmmm... terlihat itu kalau dia suka, terasa.

Tubuhnya kecil, pendek maksudku, tidak gemuk, tidak kurus, rambutnya tidak kerinting, juga lurus, wajahnya, bagaimana ya? Kalau kata Anast, temanku, mirip Jay Chou! Siapa itu? Aku juga tahu dari Anast, sepertinya tak ada lagi yang tahu Jay Chou di sini selain dia! Haha.. Si Jay ini penyanyi asal Taiwan yang katanya, kata Anast maksudku, jago main piano, kaya ayam.


Suka memakai kaos berukuran pas di badan, untung bukan berbahan kulit, bisa menyaingi roker sembilan puluhan nanti! Jins panjang menyangkut di pinggul yang seringkali melorot karena tak ada pengganjal, juga sepatu kets kumal. Kalau tas, aku lupa! Sepertinya tas ransel. Suka memakai gelang-gelang kayu kadang berbahan lain yang jelas bukan emas. Dimas tak suka emas, berima!

Dengan kata lain, tidak eye catching si Dimas ini dibandingkan dengan anak-anak seni rupa lain, kebanyakan. Aku tak ingat pernah melihatnya, tak pernah menyadari kehadirannya sampai itu, hari itu, Yeyen salah seorang temanku memanggil sambil mengintip di balik pintu gedung E, tempat kuliah kami, ”Itu Gul! Yang itu orangnya, ketua BEMJ SR. Inget kan loe?” Tentu saja tidak, aku malah merasa itu kali pertama aku melihatnya. ”Gak inget. Terus loe udah kenalan belom?” Karena menurutku kalau naksir, ya minimal mesti kenalan donk! Kalau kenal saja tidak, cinta platonik namanya! Haha.. ”Udah, tapi belom ngobrol banyak. Tar sore loe temenin gw ya! Kita ngobrol di sini, di pintu ini, oke?” Apa sih yang tidak buat temanku, Sore? ”Oke!”

Ada kau itu Sore, sekitar jam empat, di sekitar gedung E dan F, menghadap pendopo. Kau ingat tidak? Ada aku, Yeyen dan Dimas di sana, mengobrol yang aku lupa tentang apa. Yang masih melekat, itu hanya obrolan biasa. Sampai tiba saatnya pulang, sekitar jam lima, Dimas mengantar aku dan Yeyen ke gerbang untuk menunggu bis. Aku naik bis lebih dulu karena bis Yeyen lewat di kala dia ingin saja. Hehe..

Hari-hari berikutnya aku tak ingat lagi, tak tahu lagi bagaimana perkembangan Yeyen dan Dimasnya. Yang kuingat, setiap jam pergantian perkuliahan aku jadi ikut-ikutan mengintip ke arah gedung sebelah mencari si Dimas itu, entah untuk apa, dan hampir selalu dia menangkap basah mataku kala mencarinya. Mata sungguh berdaya luar biasa.

Jadilah terulang kejadian itu, Sore. Kau, aku, Dimas, selanjutnya tanpa Yeyen, mengobrol di pintu gedung. Berlanjut hingga menunggu bis, setiap hari. Pulang. Kami tetap mengobrol, tentang apa saja. Dimas menceritakan banyak hal yang tidak ku ketahui. Dan ku suka. Dimas mengajak ku melakukan banyak hal yang tak pernah ku lakukan. Dan ku suka. Dimas menelponku berjam-jam hampir setiap malam. Dan ku suka. Dimas membuatkanku barang yang tak ada lagi duplikatnya, haute couture. Dan ku suka. Dimas membelikanku harmonika. Dan ku suka.

”Yen, loe marah gak kalo gw suka sama Dimas?” kaget dia. ”Heh? Serius loe? Haha.. ya gak papa lah.. Loe beneran suka sama dia?” Untung senyumnya Yeyen tulus, jadi kubatalkan saja niat untuk merasa bersalah. Tulus memang salah satu harta karun yang dimiliki seorang sahabat. ”Iya nih kayaknya,” pasti wajahku merah waktu itu, muka si Yeyen yang mengatakannya. ”Haha! Terus udah sampai mana?” Kuceritakan saja semuanya, bahwa aku dan Dimas seringkali bersama. Merestui dia. Fyuuhh...

Sore itu aku dan Dian, temanku yang lain, baru saja selesai sholat di sebuah masjid besar dekat kampus. Sedang berjalan kami di lorong, hendak pulang, kala handphone ku berkring. Dari Dimas, ternyata. Bertanya apakah aku mau jadi pacarnya, ku jawab mau, dengan semangat. Tertawa dia, geli sekali. Kenapa dia tertawa? Aku kan serius. Bwahahahaha.. ada tawa lain. ”Dian! Ngapain loe duduk di ubin gitu?” Kenapa tuh anak sama gelinya? ”Hahahaha.. sorry Gul! Gak tahan gw. Mana ada cewek jawab gitu? Hahahahaha.." Apa yang salah sih?

”Dimas, kenapa malah ketawa? Gw serius loh..” Ini orang dua tetap saja sibuk tertawa, menyebalkan. ”Iya, iya, maaf. Gw tahu loe serius, Cuma gw gak pernah denger cewek jawab selugas itu. Hihi! Maaf ya.. Dega lagi dimana?” Oh, gitu aja alasannya, kirain apa. ”Mau ke halte sama Dian,” jawabku lugas, seperti biasa. ”Oh, tunggu ya! Gw kesana sekarang.”

Entah butuh waktu berapa lama untuk membungkam tawa Dian. Dimas, sempat ikut tertawa lagi dia, tapi berhasil dihentikan karena tak tega melihat wajahku, nampaknya. Dan jadilah! Kami berpacaran; mengobrol di kampus, nonton di bioskop, melukis bersama di museum, mural di tembok gedung F, menonton acara kampus, bertelepon hingga malam, juga diantar pulang sampai depan gang.

Iya, depan gang juga sudah terlalu dekat. Kalau ketahuan orang rumah, bisa mati aku, Sore! Kala itu, pacaran adalah kegiatan terlarang. Jadi harus diam-diam. Setahu orang rumah, kami hanya suka-sukaan saja, jadi tak mengapa. Dimas kujelaskan keadaannya, bisa menerima dia, katanya.

Tujuh bulan setidaknya kami bersama, berpasangan. Aku suka. Tidak dengan Dimas. Bosan dia, mengobrol hanya di kampus, menelpon berjam-jam kenapa tidak bertemu saja, mengantar hanya sampai gang padahal mau main ke rumah bertemu semuanya, pergi ke bioskop memanfaatkan kesempatan bolos kuliah padahal pasangan lain menghabiskan malam Minggu bersama, aku sakit tak bisa menjenguk dia.

Selesai. Akhirnya kami selesai. Bukan dia yang mengakhiri, punya berlipat kesabaran Dimas itu. Baik. Kami menyudahi semuanya baik-baik. Pria yang baik, sangat baik. Aku suka kebersamaan kami berdua.

”Masa sih loe gak tahu? Gak sadar gitu?”
”Kan, gw bilang apa, Gul! Loe gak percaya sih..”
”Gw sering ngeliat mereka berduaan, tahu..”
”Ih, mereka selalu sama-sama. Sabtu aja pasti ke kampus!”
”Emangnya temen-temen loe gak cerita? Mereka pasti tahu deh!”
”Nggak! Gak mungkin baru-baru ini. Semua orang juga tahu kalo mereka pacaran sebelum loe putus!”
”Ya ampun, loe kenal ceweknya. Anak jurusan kita juga!”
”Ngapain loe sedih. Tuh cewek gak ada apa-apanya sama loe!”
”Udah Gul, bajingan pantesnya dapet cewek kaya gitu. Gak usah diambil pusing ya!”

Yang seperti itu jadi makananku di bulan berikutnya. Suara-suara dari orang terdekat hingga yang baru kukenal. Terkejut, iya. Mendapati fakta seperti di sinetron saja. Ternyata beneran ada, ya?

Tidak, aku tidak sedih. Kecewa juga. Percaya kau, Sore? Harus percaya karena memang begitu adanya. Aku tak turut berbahagia untuk mereka, tak juga bersedih karenanya. Aku, baik-baik saja.

Kisah cinta. Iya kan? Biar begitu juga ini tetap kisah cinta. Bagaimanapun cerita dan akhirnya, tapi tetap, pernah membuatku bahagia. Terima kasih kisah cintaku, terima kasih, Dimas. Terima kasih juga, Sore.

-bersambung-

sumber foto : http://images.google.co.id/imglanding?q=jay%20chou&imgurl=http://backstage.blogs.com

No comments:

Post a Comment