Thursday, May 20, 2010

Cerita dari Singapura - sembilan

Hari kedua:
Rumah Sufi.
Hooaaammm... Jam enam. Morning, Singapore!

Kubuka gorden, kuintip ke bawah. Lengang.

Mobil terparkir rapi di parkiran, mentari pun sama cantiknya di sini, hanya terlihat lebih jelas saja. Jendela-jendela beberapa ada yang sudah terbuka, jemuran bertengger di tempatnya. Pagi di Singapura.

Sesuai rencana yang kami susun malam tadi, pagi ini kami ke mini market dulu, membeli bahan untuk bekal makan siang hari ini.
”Mending bawa bekel, Kak! Nanti Dinda buatin sandwich deh!”
”Memangnya susah cari makan di jalan, Din?”
”Gak susah sih, Cuma kita gak tahu aja itu halal apa nggak.”
Susahnya jadi muslim yang baik.
”Oke deh, besok beli apa?”
”Roti aja, Dinda ada tuna.”

Seven eleven.
Waktu Dewi nyebut-nyebut seven eleven jujur aku tidak tahu itu nama apa. Eh, ternyata mini market, kaya Indomaret gitu kalo di Jakarta, atau Alfa, atau Circle K. Kalo gak salah 24 jam juga deh bukanya kaya Circle K. Kalo gak salah. Isinya ya standar mini market aja, ada beda dikit sih, di sini ada oven buat manasin makanan yang siap makan, trus ada dispenser khusus gitu, buat masak mie. Kesananya jalan kaki, deket rumah kok!

Berhubung gak suka jajan, jadi gak ikut muter-muter sama anak-anak. Kusibukkan diri di pojok toko, tempat roti-roti, to the point. Kupilah pilih, berdasar kekerasan, bahan dasar dan harga, tentu saja. Kupanggil teman-teman dan mengajukan roti pilihan, semua setuju saja. Baiklah, setelah beli, kutunggu semua di luar. Ada parkiran sepeda, lucunya. Rapih gitu! Mau deh, sepedaan tiap hari, kemana-mana. Tapi cuma mimpi kalo di Jakarta.

Rumah Sufi.
Sambil bergantian mandi, kami menyiapkan sandwich tuna, dengan Dinda tentu saja chef utamanya. Jadi ikan tuna kemasan kaleng dicampur dengan bawang bombay, lada dan garam, lalu di masukkan di tengah setangkup roti tawar. Eh, jangan lupa saosnya, kita kan orang Indonesia! Haha..

Yang pada repot masak, aku, liat2saja! ^^V

Dinda pesan ini pesan itu, memastikan kami tak nyasar. Tak lupa diberikan handphonenya pada Dewi, biar lebih murah kalo nelpon-nelpon katanya. Dinda tak ikut di hari pertama, harus istirahat, demi her little baby. ^^

Bugis Street.

Berbekal penjelasan mami Dinda, naiklah kami LRT,

MRT

dan bis hingga tiba-tiba sampai di Bugis. Untukku tiba-tiba, tapi tidak untuk Dewi dan Yeyen, sang penunjuk jalan. Hihi!

Ada tulisan, Bugis junction, di seberangnya ada Bugis street. Pilih yang mana? Streeettt!! ^^V
Jadi, Bugis Junction itu mallnya, tempat barang bermerk terkenal. Nah, kalo Bugis street itu Melawainya. Huhu.. I love Melawai! Tempat barang bermerk tak jelas. Alah! Gapapa gak jelas, asal harganya jelas!

Tempatnya, hmm... ya seperti Melawai, kurang lebih. Toko-toko gitu, yang dagangannya di gantung di sana-sini, etalasenya juga ditumpukin barang-barang. Mesti nego sana-sini, kalo Anda tak bisa menawar, gunakanlah jasa tante Dian! Hahaha... Gak terlalu besar juga, tidak kotor dan kumuh juga pastinya. Di pintu depan ada banyak kacamata dan jam tangan lima dolaran. Lima kali tujuh, tiga lima, murah. Itu jam tangan cakep-cakep, lumayan jauh dibanding bajakan di Jakarta, keliatan banget murahannya. Teuteup, beli murah tapi mesti keliatan mahal. Masuk sedikit ada baju-baju, banyak kaos tulisan Singapore berbagai warna, gambar dan ukuran. Nah di sini kami beli tiga kaos untuk si Mul, keponakan kami yang usianya baru beberapa bulan.

Lebih dalam ada tas, dompet yang biasa saja, masih lebih bagus di Melawai. Lalu baju-baju wanita yang modelnya gak up to date dan harganya jelas-jelas murahan di Plaza Semanggi. Males banget gak seh? Nah, my favorite, di bagian tengah ada gantungan kunci Singapore yang variatif banget modelnya, harga murah (lupa persisnya berapa), juga ada kartu pos dan korek api yang sekalian ada tempat rokoknya, sesuai request Aal, teman kami. Memang rezekinya, jadilah kami beli.

Yang kubeli: 20 gantungan kunci untuk oleh-oleh dan tiga postcard untuk koleksi. ^^V

National Library.
”Excuse me, do you know how to go to the National Library?”
”National Library?”
”Yes, this one here.”
Itu Yeyen yang nanya sama bapak-bapak yang lewat di depan kami.
”I’m sorry, I don’t know.”
”Gak tahu, guys!”
”Kayaknya ke arah situ deh! Gak jauh,” ramal Dewi.
Biasa, saya, Anast dan Dian nurut aja. Huhu..
Maka berjalanlah kami ke arah kanan Bugis street.

Aneh, di sini mentari tidak terik, tapi terasa panas sekali karena tak ada angin. Kenapa yah anginnya jarang? Pantesan pada pake kuntung-kuntung cewek-cewek di sini. Aku juga ikut-ikutan. Kapan lagi bisa pake baju laknat di jalanan dan gak diliatin sama cowok-cowok norak?

Berdasar pengamatanku di MRT, para wanita di sini bebas sekali berbusananya. Bukan bebas exhibitionist, tapi bebas berekspresi, gak separah harajuku juga seh, maksudnya ya gitu, bebas pake kuntung, pendek, panjang, rok, daster, celana, bebas aja. Gak seragam. Gak kayak di Jakarta, satu pake legging, semua pake legging! Satu pake terusan panjang, semua juga pakeeee.. Common. Terus, Anast juga merhatiin kalo mereka yang ndut juga tidak terlihat tidak percaya diri, sama bebasnya. Keren. And the best part, orang-orang di sini tidak suka ngeliatin dari atas sampe bawah ke orang lain, kayak di Jakarta. Gak sopan, tahu! Pria-prianya, Masya Allah, gak melecehkan sama sekali, even by their eyes, their way of looking.

Selama jalan aku sibuk tengok kanan kiri, cekrak cekrek sama Ranyu, tiba-tiba aja udah sampe di National Library of Singapore.
Bangunannya, hmmm.. biasa saja, modern sih. Ada tempat duduk kayu di luar, banyak pohon, adem.
Masuk ke dalam, di depan pintu ada (lagi-lagi) parkiran sepeda.

Ckk..cckk... Jadi penasaran, Fauzi Bowo udah pernah ke Singapur belum sih? Katanya ahli tata kota, udah jadi gubernur, pula! =(

Masuk ada beberapa komputer di sebelah kiri. Di kanan ada meja informasi lengkap dengan brosur-brosur. Setelah Yeyen bertanya jikalau kami boleh masuk, barulah kami tahu kalau semua orang boleh masuk, untuk umum. Tapi kalau meminjam, harus warga negara Singapura. Sip! Dan kata ibu informannya, jarang ada orang Indonesia ke sana, turis maksudnya yah..

Berhubung lapar, jadilah kami ke sisi luar dulu untuk menyantap sandwich buatan Dinda. Kami lewat pintu sisi lain, di situ banyak orang duduk-duduk di bawah, lantainya bukan keramik, tapi juga bukan semen. Apa yah? Gak ngerti, hehehe.. Ada café di sisi kiri, menggiurkan. Bukan makanannya, tapi suasananya. Café yang tenang, tak rusuh, banyak orang membaca. Bon appetit! Nikmat sekali sandwich buatan Dinda! (Bukan exageration, ini! Asli!)

Wiets! Apa itu? 24hr bookdrop??

Kesenjangan negara berkembang dan negara maju, empat. Hiks!

Jadi saudara-saudara, untuk mengembalikan buku yang dipinjam, kita bisa datang kapan saja, cukup scan bukunya dan masukkan ke kotak bookdrop tadi. Canggihnyaaa... ToT

Tapi cuma di situ saja, di dalamnya, hhmm.. walau banyak orang, tapi banyak buku yang membingungkan, karena mayoritas berbahasa Mandarin. Ada juga karya-karya sastra Indonesia, tapi tak banyak. Ya iya lah, wong ini perpus Singapur! Eh, ada anak-anak SD lagi berkunjung loh, dalam rangka perkenalan dengan perpustakaan. So sweet. Aku malah menikmati mengamati mereka. Tak lama di dalam sana, aku keluar, mencari toilet.

Nah di sanalah Saudara-saudara, aku menikmati potable water pertama. Ada kran yang terhubung dengan kotak aluminium di bawahnya. Ada dua kran, satu untuk langsung minum di sana, satu lagi yang lebih panjang untuk mengisi tempat minum kita. Subhanallah...

Kupanggil anak-anak, minum kami bergantian, tak lupa diabadikan! ^^V Still, Indonesiana! Hahaha..

Ikea.

Kau tahu salah satu tujuanku ke Singapura? Ke Ikea. Beli penghancur lada. Itu loh, yang kalo koki-koki di tv suka puter-puter kalo mau masukin lada ke masakannya. Voila! Itu dia!

Jadilah kami semua naik bis yang cukup jauh ternyata, kesana. Besar, tulisannya kuning di atas biru, IKEA. Aku baca aykia, Yeyen bilang ikeya. Entah mana yang benar, yang jelas ini bukan asli Singapura, salah satu negara di Eropa kata Kak Ero, bosku. Tapi bukan Prancis, Jerman ataupun Belanda. Besar sekali, ada dua lantai.

Menggila, kami semua.
Aku beli: 1 pan (akhirnya punya pan sendiri setelah sekian lama pinjem terus!), 1 gantungan syal (yg ini magic!). Setelah menurunkan kembali barang-barang yang atas saran anak-anak tak perlu dibeli. ”Harus irit, Gul! Ini baru hari pertama.” Baiklah..
Yeyen beli: 1 pan, 1 barbeque pan, 1 serbet tangan, 1 gantungan syal.
Dian beli: 1 gantungan syal, kotak makan plastik, (tupperware wannabe) dan 1 serbet tangan.
Dewi beli: 1 gantungan syal.
Anast beli: Kotak makan plastik (sama kayak Dian punya) dan serbet tangan.

Tempat ladanya manaaaaa?? Gak ada, habis kata masnya. Bisa-bisanya habis pas kami disana. Belum jodoh. ToT
Kami kembali naik MRT dan menikmati mentari terbenam di LRT. Hmm... tak kalah menentramkan walau bukan di rumah sendiri.

Rumah Sufi.
”Assalamualaikum!”
”Masya Allah, pada belanja apaan loe, Mbak?”
”Iniiii..” jawab kami sambil pamer gigi.
”Hah? Ngapain pada beli penggorengan? Kayak gak ada aja di sana.”
”Ih, Dinda, ini beda, dari ikeeaaaa..”
”Tahu tuh anak-anak, pada menggila. Loe gak liat aja yang mereka turunin dari keranjang, lebih gak masuk akal!”
”Ih Dewi, yang penting kan kita seneng, ya gals?”
”Hooh...”
”Loe seneng gak?”
”Seneng.”
”Loe?”
”Hihi.. seneng!”

Banquette.

Masih di tempat yang sama, kami makan malam bersama, kali ini tanpa Abah, Mama dan Sufi. Menu malam ini, beda. Aku coba nasi ayam. Hmm.. nasinya hainam. Enak! Memang benar enak, plus lapar. ^^V

Perut penuh, terisi lagi energi. Manfaatkan dengan baik untuk foto-foto sebelum pulang, gals!!!

-bersambung-

2 comments:

  1. Hai..senang baca nya, terutama komentar yg soal kebebasan mslh berbusana & staring thing..hihihihih...persis sama yg gw rasakan!

    ReplyDelete
  2. Hai Satriana..
    Terima kasih sudah mampir yah..
    Dirimu juga suka jalan2, nanti aku gantian mampir yah.. ;)

    ReplyDelete