Monday, May 23, 2011

Bercerita bersama sore - dua puluh enam


Malam, Sore.

Iya, ini malam. Kau pergi sudah. Tapi aku sungguh ingin bercerita, besok mungkin bisa langsung kau baca.

Subhanallah, Sore. Subhanallah. Hanya kata itu yang sanggup menggambarkan hati ini. Hati yang dipenuhi bunga-bunga kecil warna warni; kuning, putih, jingga juga merah. Kala angin berhembus dapat kau lihat serbuk-serbuk menari kecil menaburi mereka, sambil tercium itu wewangian yang bersahaja.

Sejujurnya, ada sedikit keraguan untuk membagi ceritaku ini, Sore sayang. Bukan, ini bukan rahasia orang. Hanya saja, aku khawatir keajaibannya akan berpendar menghilang dari rasa. Tapi ku kira tak apa, meski itu harus terjadi, harus terganti dengan senyum bahagia darimu, ya!

Kemarin tepatnya, dua puluh satu Mei dua ribu sebelas. Hari yang dengan gelisah terus kunanti dari awal tahun ini. Hari Sabtu berbunga kala dia, pria yang mengisi dua tahun bersamaku datang membawa keluarganya. Keluarga yang entah sejak kapan menjadi keluargaku juga walau belum ada gunting pita. Datang mereka sekeluarga, besar, jauh-jauh dari kota tetangga mengunjungi keluargaku, besar juga, di Depok rumah uwak. Tahukah kau kalau ari-ariku dikubur di rumah ini, Sore? Iya, ini kota kelahiranku, aku datang di rumah bidan tak jauh dari sini. Sungguh tempat bersejarah untuk menorehkan lanjutan sejarah, bukan? Alhamdulillah.

Siang nyaris tengah hari, empat mobil tiba di depan halaman kami, dengan Aran sebagai penunjuk jalan. Iya, Aran memang kami utus untuk menjemput rombongan di jalan utama kota guna mempermudah tamu yang sudah kami nantikan sedari pagi ini. Tamu yang buat kami sibuk mempersiapkan ini itu karena kami setuju dengan pesan Rasulullah untuk memuliakan para tamu. Keluargaku sontak ke halaman, berbaris rapi tanpa komando siap menyalami tiap orang. Aku, malah masuk ke dalam. Tiba-tiba kikuk bingung harus apa, harus bagaimana. Menemukan Chokim, sepupuku, di dalam kamar Mbah aku merasa mendapat pencerahan. Aku masuk ke sana, mendekati jendela dan Chokim yang sibuk menempelkan wajahnya sambil mengabsen tamu dengan matanya. ”Yang mana orangnya?” tanyanya. ”Bukannya udah pernah ketemu?” jawabku. ”Lupa.” ”Yang itu!” tunjukku. Sambil terus mengenalkan anggota rombongan lainnya dengan telunjukku. Lega.

A Yasin, adalah MC hari itu. Alih-alih langsung memulai acara, dia berinisiatif untuk mengajak semua orang sholat zuhur dulu; laki-laki di masjid, wanita di rumah. Menghindari menunda sholat, jelasnya. Sungguh keputusan yang bijaksana, batinku. Aku, masuk ke kamar uwak duduk di atas kasur bersama piring-piring kue yang menanti disajikan dari pagi. Bersama Ade, Ebi dan Tsabita; sepupu dan keponakanku. Kipas-kipas kami di sana, gerah, sambil bercengkrama memandang uwak lalu lalang mengambil mukena.

Semua sudah sholat, kewajiban tunai. A’Yasin membuka ulang acara, kami para wanita berestafet piring-piring berisi kue aneka rasa. Setelah disuruh ke depan yang entah oleh siapa, aku lupa, barulah aku duduk di ruang tamu yang sudah kami alasi dengan karpet-karpet dan sajadah. Rame di sana. Deg-degan, aku tak menyapu pandang ruangan. Tunduk saja, sesekali lihat ke kanan, Bi Nia. Setelah beberapa lama baru ku mendongak dan menebar senyum tipis.

Tsabita Nur Azizah, jagoan mengaji keluarga kami. Cilik tapi hafal surat An-Naba luar kepala. Dan mengajilah ia. Lalu A’Yasin mempersilahkan wakil keluarga tamu kami untuk menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan mereka. And this is my favorite! Sang Papa lah yang berbicara langsung, tak diwakilkan. Beliau memperkenalkan anggota rombongan sambil berdiri di antara kami yang duduk, dengan santai, penuh canda dan menebar kehangatan. Dengan tak biasa, kemudian melanjutkan bercerita tentang kisah hubunganku dengan sang anak. Bernostalgia lah aku dibuatnya. Tidak, Sore. Aku tak mau menceritakannya sekarang, nanti saja. Cerita ditutup dengan kalimat tanya yang membuatku merasa sungguh berharga.

Om Yudi, favoritku, mewakili keluarga kami sebagai pemberi jawaban pada keluarga mereka. Berbekal kertas yang dicoret-coret sedari pagi, Om Yudi berhasil berkolaborasi menghangatkan suasana. Berbalut canda dan campuran bahasa Sunda, terjawablah sudah permintaan dari keluarga mereka tadi. Alhamdulillah. Terima kasih wahai alam semesta.

Kami bungkus dengan doa, semoga semua berkah, semoga semua berbahagia, Amin. A’Yasin kemudian mempersilahkan kami semua ke meja makan, santap siang. Saat itu lah malaikat menebar serbuk cinta; Papa dan Mama calon suamiku datang menghampiri, tersenyum hangat, bahagia, seperti berkata, “Selamat datang di keluarga kami, Nak!” Kucium tangan mereka, bahagia.

Semua orang bersantap dengan lahapnya, yang kecil juga orang tua. Aku juga, tentu saja. Sambil berbagi cerita dalam kelompok-kelompok kecil, duh hangatnya. Para tamu pamit, setelah tiga jam kami bersama. Aku dan keluarga berdiri di teras, mengantar mereka sambil menebar senyum bahagia.

Kami semua sibuk membereskan rumah, piring-piring dan makanan yang ada. Orang-orang terlihat mondar-mandir, tak ada yang bertangan kosong. Di sana aku, berdiri di ruang tengah, menyapu pandang mereka yang bekerja sambil tertawa-tawa. Semua yang sibuk berlelah-lelah demi acara hari ini, demiku.

Teruntuk Mbah, Mang Isa dan Adik Rambi di surga. Semoga kalian ikut berbahagia bersamaku, bersama kami semua, keluarga.


Photo

No comments:

Post a Comment