Sunday, November 15, 2009

Untuk Madame, yang keseribu kalinya



Aku takut. Bagaimana jika satu hari nanti tak dapat kudengar lagi suaranya? Tak mampu lagi kubaca tandanya? Lebih mengerikan lagi, tak mau kuhiraukan semua, semua pintanya.
Jangan. Aku tak mau jadi aku yang itu.
Wahai semua, alam semesta, berdoalah untukku. Berdoalah untuk kami. Agar tak kudung tali ini. Izinkan telingaku selalu mengindahkan suaranya, terangi mataku hingga tak henti kutatap wajahnya, taklukan hatiku untuk segala pintanya. Semua.

Pagi itu, dua hari lalu, melintas sepintas tak kunjung tuntas, wajahnya. Samar. Tapi kukenali ia. Hadir sehari penuh, di hariku.
Pagi itu, dua hari lalu, terngiangku akan katanya, tentang kesetiaan, tentang pengorbanan. Betapa tak boleh ku menjadi sombong setelah semuanya. Tak ingin ia, jika ku menjadi seorang bakhil akan waktu dan energi untuk akarku. Kecewa sekali ia, jika tangan-tangan kami tak lagi saling tertaut, erat. Meneruskan semua yang telah ia torehkan, yang telah ia ceritakan, dengan tinta hitam nan membanggakan di buku kami. Pastilah sedih ia jika harus menyaksikan jari-jari anaknya merenggang, perlahan saling melepas; jari dengan jari, kulit dengan kulit, sentuhan dengan sentuhan, akar dengan akar.

Aku takut. Bagaimana jika satu hari nanti tak kulihat lagi wajah-wajah mereka? Anak-anaknya. Mereka, kami, semua. Bagaimana jika jenuh kami tertawa bersama? Bagaimana jika akar telah terbabat semua? Tak tersisa. Bagaimana jika ternyata anak lah pembunuh mimpi-mimpi sang Bunda? Jangan. Jangan.

Pagi itu, satu hari lalu, kubaca tandanya dengan jelas, pahamku. Kedatangannya, suaranya, tandanya.
Pagi itu, satu hari lalu, kugenggam akarku erat, erat. Tersenyumku bahagia karenanya. Kutahu harus apa.
Pagi itu, satu hari lalu, kupejamkan mataku di tempat itu, di rumah itu, tempat biasa kami bersama, para bunda bersama anak-anaknya. Menariku mundur ke waktu yang tlah berlalu. Itu dia, kami, duduk di sana, tertawa, bersama, berbagi cerita.
Pagi itu, satu hari lalu, kubuka mataku, mendadak memejamku kembali. Tak banyak yang duduk bersama, mana tawa, kembalikan semua cerita.

Haruskah kubuka atau kupejamkan lagi?
Yang mana nyata dan yang tinggal cerita?
Kuenyahkan takutku, pergi.
Ku rindu dia.
Ku rindu dia.
Rindukah kalian semua padanya?
Rindukah?

Jangan pergi.
Mana jari-jari? Mari kita kumpulkan lagi!
Genggam lagi, seperti dulu, seperti kemarin.
Ini jariku, genggamlah erat, jangan dilepas.
Aku tahu kau belum pergi, belum kan?
Hanya lupa. Pasti hanya lupa.
Tak apa, tak mengapa.

Bagaimana jika kita bersama lagi? Iya, kita semua.
Tertawa, berbagi cerita, berbahagia.
Bahagia kita, pasti bahagianya.
Iya kan, Madame?

Maafkan kami, maafkan aku.
Tetaplah tersenyum di sana, jangan lelah.
Izinkan kami melanjutkan cerita, ceritamu, cerita indahmu.
Untukmu Madame, yang keseribu kalinya.





No comments:

Post a Comment