Monday, April 5, 2010

Bercerita bersama sore – dua puluh

Selamat sore, Sore. Bagaimana kabarmu?
Aku? Alhamdulillah, sehat. Ke mana saja?
Iya, maaf. Agak ribet kemarin, jadi tak sempat mengunjungimu.
Iya, aku juga rindu.
Kulihat semakin cerah saja dirimu belakangan ini. Sedang bahagia ya?
Iya donk, walau tak bercerita, tetap kupandangi mu setiap hari.
Iya, cukup gundah aku, Sore.
Cerita? Bagaimana ya?
Bukan, bukan aku tak mau. Hanya saja bingung mulai dari mana.

Kau kan punya sahabat ya, Sore?
Iya, si senja.
Hmmm....
Bagaimana kalau si senja, sahabatmu, ternyata seorang pencuri?
Iya, pencuri.
Ya terserah, mencuri apa saja. Yang jelas mencuri; mengambil hak orang lain, entah itu barang, manusia, hati, atau binatang, apapun.
Yang jelas, gimana? Ya kau pilih lah salah satu dari contoh yang kuberi tadi.
Ih, kenapa harus aku yang tentukan, sih?
Sejak kapan kau jadi seperti orang dewasa begini? Bercerita harus jelas, semuanya. Tak bisa pakai imajinasi sedikit. Bukankah lebih menyenangkan jika kau turut terbang bersama ceritaku, terbang ke arah manapun yang kau mau. Masa harus aku juga yang jadi navigatornya?
Iya, iya, sudahlah. Kulanjutkan, dengan jelas, cara dewasa.

Bagaimana seandainya jika sahabatmu, senja, suka mencuri hati orang lain yang sudah ada pemiliknya?
Iya, itu, kau pasti tahu maksudku.
Semua orang tahu kalau matahari adalah milik pagi, seorang.
Mereka bersama sejak dulu, merangkai banyak cerita mereka berdua, menerangi dunia, mengajak semua tersenyum bahagia, bahkan senja pun turut merasakan sinarnya.
Tapi tiba-tiba, suatu hari, si senja berkata padamu bahwa dia mencintai matahari, sepenuh hatinya. Hingga ia tahu bahwa hanya matahari lah yang mampu membuatnya bahagia. Dia tak mau yang lain, tak juga mau berbagi sinar mentari dengan siapa-siapa lagi.
Mentari? Entah karena hanya terpukau dengan penyerahan diri seorang senja di tengah kejenuhan cerita bersama pagi, atau benar matahari juga merasakan cinta yang senja punya. Entah. Hingga dia memutuskan meninggalkan pagi untuk bersama senja.
Senja dan mentari kini.
Berbahagia mereka, katanya.

Bagaimana menurutmu, Sore?
Pagi?
Ya tak ada yang peduli dengan nasib sang pagi, apalagi senja. Tak mau tahu dia.
Yang dia tahu hanyalah, mentari kini miliknya, hanya miliknya. Dan mereka berbahagia.
Mentari kemudian bersamanya tiap waktu, melupakan cerita yang pernah terajut bersama pagi, kala mereka bersepakat untuk berkomitmen dan berkolaborasi. Pergi saja ia, seolah semua cerita pagi tak ada artinya. Seolah pagi hanya kata, tanpa rasa. Seolah janji hanya berlaku saat keduanya sepakat berpadu, dan ketika dua menjadi satu, maka janji tak lagi berlaku.

Dan senja, berbagi padamu, Sore. Kau lah yang pertama dicarinya, untuk berbagi suka. Sekedar untuk meluapkan rasa bahagia. Bahagia atas cintanya yang kini tlah bersama.
Senja, tak merasa bahwa dia baru saja mencuri. Mencuri dari pagi.
Senja, seolah berdiri mendongak bangga atas kemenangannya, kemenangan atas nama cinta.
Senja, berkumandang pada semua, bahwa hanya matahari yang mampu membuatnya bahagia.
Senja, tak punya alasan untuk merasa bersalah, karena mentari datang atas maunya.
Senja, menghapus dari ingatan, apa-apa yang dia katakan dan lakukan hingga matahari mau berpaling padanya. Apa-apa yang hanya senja dan Tuhan yang tahu pesan sesungguhnya.
Senja, tak suka disalahkan karena cinta bukan dia yang minta.
Senja, bersikeras tak mau membohongi hatinya dengan berusaha merengkuh mentarinya, lagi-lagi atas nama cinta.

Sore oh Sore, seolah cinta datang hanya untuk melepas dahaga hati.
Moga cinta tak bersedih karena melulu dijadikan tumbal atas kejahatan macam ini.
Moga Tuhan tak menyesal karena telah meniupkan cinta pada senja.
Semoga pagi tak memandang semua makhluk itu seperti senja.
Semoga mentari tak akan mengulang cerita ini dengan senja-senja lainnya.
Moga senja diterangi hati nuraninya dan teringat akan pesan Tuhan pada kita; untuk saling menyayangi, sesama makhlukNya.

Sore oh Sore, kini kau dengar semua gundahku.
Apa yang akan kau lakukan pada senjamu, Sore?
Apa?
Katakan padaku.

Sungguh gulana tak henti menggodaku dengan cerita ini.
Aku benci pencuri, Sore.
Benci.
Aku sayang sahabatku, Sore.
Sepenuh hati.

Apakah aku harus menyayangi seorang pencuri, kini?
Atau membenci sahabatku sendiri?
-bersambung-

No comments:

Post a Comment