Thursday, April 15, 2010

Cerita dari Singapura - satu

Tak ada kata terlambat. Masih berlaku kan ungkapan itu? Please, jangan bilang sudah dihapus dari muka bumi. Need that, desperately. Hahaha.. Sedikit menyesal memang, kenapa tidak dimulai dari kemarin-kemarin, dari tiga bulan lalu, atau dua bulan lalu, bahkan mungkin sekali sejak hari itu, hari kepulanganku ke sini, negeri ini, Indonesia. Ah, terdengar keren sekali, bukan? Seolah sudah kulewatkan masa kecilku di Eropa, atau habis kuliah setelah mendapat beasiswa di sebuah negara maju; yang sistem pendidikannya terbukti sangat bagus hingga membuat banyak orang berlomba untuk menuntut ilmu di sana seolah saat kembali ke negeri ini, mereka totally full charged dan siap membawa perubahan besar bagi Indonesia bukannya hanya berbangga-bangga bahwa mereka lulusan luar negeri, seolah-olah. Bukan, sayangnya bukan salah satu dari keduanya. Aku hanya pergi beberapa hari ke luar negeri, Singapura.

Tolong, jangan bilang itu sudah biasa, tempat mamamu berbelanja. Eits! Jangan juga katakan, “Kirain ke mana!” seolah-olah Singapura ada di sebelah Singaparna. Singapura itu tetap ibukota dari Singapura, ada di atas sana, agak ke kiri, dekat Batam, salah satu pulaunya Indonesia.

Sudah dari akhir dua tahun lalu, ku putuskan bahwa aku akan ke luar negeri, sudah saatnya. Ku tulis kalimat itu di agendaku, pergi ke luar negeri. Luar negeri mana? Belum tahu. Sama siapa? Tidak tahu, yang jelas tidak sendiri, belum berani. Uang darimana? Yang jelas dari Allah. Tahu gimana caranya? Jangan percuma berteman dengan om-om di kantor yang lama tinggal di Eropa. Itu abstraknya, belum menjadi kerangka.

Rangka-rangka belum ada, motivasi tak terduga tiba. Yeyen, one of my gal, mengusung ide, “Gul, kita ke luar negeri yuk natal tahun ini.” Mengapa tahun ini? Karena kami berasumsi bahwa tahun depan kami berdua tak bisa backpacking bersama karena dia akan melanjutkan sekolah ke Swiss, meski pengumuman dari kedutaan belum ada, tapi kami percaya bahwa yang akan terjadi adalah apa-apa yang kami percaya. Kami tidak merayakan natal, jadi bolehlah kami pergi bersama saat natal, sambil membuktikan apakah benar suasana natal di luar negeri cantik nan indah seperti di tv-tv.

Malaysia, adalah negara tujuan pertama yang diajukan Yenq, panggilan rahasiaku untuk Yeyen. Cantik penuh lampu di malam hari, katanya, itu dia lihat waktu transit on the way ke Prancis; jangan tanya tentang cerita dibaliknya, masih tersiksa iri ku dibuatnya, Tanya saja langsung padanya, ya! Hmmm… “Kenapa harus Malaysia?” tanyaku padanya. Yah, kau mungkin bisa menebak alasanku bertanya begitu. Bukan, bukan hanya karena batik dan reog ponorogo, tapi karena Malaysia, menurutku, warga negara yang mendapat informasi hanya dari media negeri sendiri ini, bukan tetangga yang baik. Mengapa? Ya sederhana saja, karena banyak dari mereka tak bisa memperlakukan asisten rumah tangga mereka, yang sudah diimpor jauh-jauh dari negeri tetangga, dengan penuh kasih sayang. Dan lagi, sepertinya sudah cukup lah income Malaysia yang didapat dari Indonesia, kenapa tidak ke negara lain saja? Kan? Kan?

Singapura! Itu usul Dewi, teman kami yang mau ikutan pergi juga katanya. Mengapa Singapura? Karena ada Dinda, adiknya di sana. Ada juga Sufi, suaminya, serta keluarga mereka. Terus kenapa? Ya asik kan? Dewi bisa sekalian megunjungi mereka. Untungnya buat aku dan Yeyen? Bukannya enak, ada kenalan di negeri antah berantah? Ya, siapa tahu, bisa bantu-bantu, gitu. Good idea!

We’re ready, Singapour! We? Siapa saja we? Ada Yeyen, Dewi, Anast, Dian dan aku! Dulu, kami sekelas di kampus, satu jurusan. Sekarang, kami tetap berkawan, ada juga yang bilang bersahabat. Terserah, apa saja labelnya. Tambah banyak peserta, tambah banyak masalah. Kenapa? Ya itu, harus berkompromi terus. Belum pergi saja, kami harus mulai bermusyawarah. Dian tidak bisa pergi saat natal, tak mungkin ambil cuti katanya. Tapi yang lain bisa. Gimana? Kita tinggal Dian saja? Sebagian dari diriku mengatakan iya, sebagian lain jangan. Mengapa? Ya karena pasti semua orang tak suka ditinggalkan, terluka, iya kan? Tak jadi natalan, kami putuskan tahun baruan di sana. Keren juga kan? Kalau ada yang bertanya, ”Tahun baruan di mana loe?” Itu pertanyaan standar di akhir tahun. Gw bisa jawab, ”Singapur.” Widih, keren kan? Kesannya mau ikutan year end sale yang terkenal itu. Haha!

Jadi ingat mata kuliah communication orale zaman kuliah dulu; Qu’est-ce que vous avez besoin pour aller en ailleurs? Passeport, visa, billet d’avion, valise, et bien sure, l’argent! Haha.. Ok, gals, step one; passeport. Anast dan Dian, mari kita kejar ketertinggalan! Paspor oh paspor, bagaimanakah cara mendapatkanmu? Konon katanya hargamu lumayan mahal yah? Eh, itu dulu! Kini tidak lagi. Kata siapa itu ? Pak Noviyan, teman kantorku. ”Gampang kok, Deg! Kamu daftar di website mereka, terus print bukti daftarnya. Nanti kamu tinggal dateng ke kantor imigrasi bawa dokumen asli.” Terdengar mudah, tapi aku masih burem, ”Imigrasi mana, Pak? Bukannya ada banyak? Harus sesuai KTPku yah?” ”Itu dulu, sekarang di mana saja bisa tahu!” Ketinggalan zaman yah? Hehe.. ”Imigrasi Jakarta Selatan aja, Deg! Kepalanya cewek, konon katanya streng! Jadi anak buahnya gak ada yang berani macem-macem. Aku kemarin aja di sana, ngurus sendiri.” Wow! Terdengar keren tuh, ngurus sendiri! ”Berapa, Pak? Mahal?” ”Dua ratus empat puluh ribu saja!” Yipppiiieee!! Ternyata murah, kupikir mahal, sampai lima ratusan ribu. Jadi tambah semangat. Dokumen yang dibutuhkan kartu keluarga, KTP, surat rekomendasi dari kantor dan akta kelahiran; berhubung aktaku hilang, jadi diganti dengan ijazah yang tertera nama orang tuanya. Kami buktikan itu cerita Pak Nov, aku, Dian dan Anast mengurus semua sendiri, datang pagi-pagi biar tetap bisa masuk kantor setelahnya, butuh satu minggu tiga hari dari penyerahan formulir, bayar, foto, wawancara hingga pengambilan paspor. Senangnya; tanpa calo, tanpa mahal, tanpa ribet, tanpa lama. Hidup imigrasi Jakarta Selatan! ^^V


Pasporku, muah muah!


Tante Dian dan paspornya!

-bersambung-

No comments:

Post a Comment