Wednesday, April 7, 2010

Dio dan Nadya

Tok tok tok!
Tak ada orang.
Tok tok tok!
Srok srok srok, langkah berlari.
Tak ada orang.
Tok tok tok!
Kuintip melalui jendela.
Ada gadis kecil, tersenyum lebar, rambutnya mengingatkanku pada Dora.
Kubuka pintu rumahku.
“Halo tante! Tante baru pindah ya?”
“Iya.”
“Kita belum kenalan!”
Senyum manis mengembang lebar, yang kedua kalinya. Tangan kanannya menyambangi tangan kananku.
”Nadya. Tante siapa namanya?”
”Dega.”
Kucoba menandingi senyum pamungkasnya, walau sepertinya bahkan tak mendekati.
“Halo Nadya! Yang barusan ketok-ketok kamu ya?”
”Bukan aku, itu tuh si Dio! Dio sini, kenalan dulu sama tantenya!”
Dari balik tembok di kananku muncul seorang anak laki-laki, lebih tinggi dari Nadya.
”Sini! Ini namanya tante Dega.”
Kuyakin Nadya belum tahu bahwa kemampuannya memperkenalkan orang dengan cara manis seperti ini merupakan kemampuan yang tidak semua orang punya.
Anak manis yang tak mirip dengan Diego, sepupu Dora, ini menjulurkan tangannya.
”Dio.”
”Halo Dio! Aku Dega.”
“Tante siapa?”
“Dega,” jawab aku dan Nadya bersamaan.
“Namanya aneh. Hihihi..”

Keduanya kini berdiri di depanku, tak lagi malu-malu.
“Tante sama siapa di sini?” tanya Nadya.
”Sendiri.”
”Gak takut?” kali ini Dio.
”Nggak.”
”Nadya kelas berapa?”
”Satu,” jawab keduanya.
”Kalau Dio?”
”Tiga,” berdua juga.
”Kalau Tante?”
”Sudah kerja.”
Begitu awal perkenalan kami. Nadya tinggal di kontrakan depan, posisi rumahnya di kiriku. Sedangkan Dio berada di kontrakan yang sama, persis di sebelah kananku. Nadya, aku dan Dio, bertetangga.

Sore itu Minggu, suasana santai yang kusuka. Taksi yang kunaiki berhenti tepat di depan gerbang hitam kontrakan. Itu sepeda pink Nadya didepanku, dengan pemiliknya yang bergegas minggir menghindari taksi. Kuturun sambil memboyong ransel dan tas di kedua tangan. Berusaha untuk menutup pintu rapat dengan sekali dorongan.
”Tante Degaaaa!!”
Jujur, tersentak aku mendengar teriakan yang jika kau di sana, kau pun pasti merasakan kehangatan di dalamnya.
Ditinggalkan sepedanya di aspal, berlari-lari kecil ia menghampiriku. Rambut Doranya bergoyang bersama angin, gigi-giginya mengabsen diri satu per satu. Dia lalu meraih tangan kananku yang mengapit sebuah tas plastik. Tanganku tak sempat menyadarkan diri, hingga tiba-tiba saja sudah mendarat sebuah kecupan di punggungnya. Kecupan manis dari seorang gadis manis.
”Halo, sayang! Main sepeda sama siapa?”
”Sama Dio,” jari telunjuknya mengarah ke dalam gerbang. Menunjukkan Dio yang sedang berlari ke arah kami.
”Tante Dega dari Bandung, ya?”
“Iya, sayang. Kok tahu?”
“Itu ada tulisannya,” Dio menunjuk tulisan Bandung di salah satu tas oleh-olehku. Pintar sekali.
“Iya.”
“Tante ke mana aja? Kita kangen, ya Dio?”
”Iya, sepi gak ada tante Dega.”
Ah, andai kalian tahu jantungku sempat berhenti berdegup mendengarnya.
“Masa sih? Memangnya kalian gak main?”
”Main, tapi gak ada tante Dega.”
”Ini tante sudah pulang. Yuk! Kita main yuk!”
Keduanya lalu berjalan di sisi, menuju rumah kecilku.

Selepas magrib, Dio dan Nadya pergi mengaji bersama di masjid dekat rumah. Panggilan ”Diooooo...” atau ”Nadyaaaa...” menandakan salah satu sudah siap pergi ke masjid. Satu sore menjelang magrib, keduanya sedang asik bermain di halaman yang kemudian terhenti setelah melihatku di teras rumah, menyapu. Dio lebih dulu menghampiriku.
”Tante Dega, banyak yang suka ya?” bukanya.
“Hah? Siapa yang suka sama tante Dega? Hahahaha..”
”Itu, Om Edi,” dengan polosnya dia bercerita. Om Edi adalah teman mamanya yang sering datang dan pernah menyapaku berkali-kali. Entah apa yang diceritakan om Edi ini, tak tahu.
”Satu, om Edi. Siapa lagi?”
”Hmmm... siapa ya? Pasti banyak lagi deh! Iya kan?” matanya bermain nakal.
”Hahahahaha.. Gak ada! Om Edi doank, gak banyak berarti.”
”Aku! Aku suka sama tante Dega!” Itu Nadya yang suaranya melompat masuk.
”Hahahahaha... Aku juga suka sama Nadya, sama Dio juga.”
”Aku beneran, Tante! Aku suka sama tante Dega. Tante baik, gak kayak tante yang dipojok situ!”
”Iya betul!” Pastinya ini Dio yang mengamini.
”Tante cantik, putih lagi! Aku suka banget!” dia meyakinkanku dengan senyum manisnya itu.
Tersanjung? Pastinya.
”Nadya juga cantik. Manis sekali, tante suka!”
”Hahahaha... tante pasti bohong! Nadya kan gak cantik,” Itu Dio. Kadang kejujuran anak kecil itu merepotkan, bukan? Tapi tante jujur, Dio. Nadya itu cantik. Mungkin kalau Dio besar nanti baru sadar kalau Nadya itu cantik.
”Siapa bilang? Nadya cantik kok. Senyumnya manis,” yakinku padanya.
Nadya sedang mengumbar senyum manisnya, kesukaanku.
“Dio juga, kalau senyum manis sekali. Dua-duanya tante suka.”
”Kita juga suka sama tante Dega, ya Dio ya?”
“Iya.”

Aku bercerita bukan dalam rangka riya, seolah-olah memberitahu pada dunia bahwa aku juga ada penggemarnya. Bukan. Aku ingin berbagi, betapa dua adik kecil ini, Dio dan Nadya, yang semalam memintaku membeli jepitan agar jemuranku tidak terbang dan berjatuhan kala siang, membuatku ingin cepat pulang. Iya, pulang.

No comments:

Post a Comment