Sunday, October 18, 2009

Keajaiban

“Kamu percaya pada keajaiban?” tanyanya padaku.
“Keajaiban?” yakinkanku padanya.
“Iya! Keajaiban,” jawabnya.
“Tentu saja! Tentu aku percaya adanya keajaiban.”
“Percaya? Memangnya kau pernah melihat keajaiban?" tanyanya menantang.
“Pernah katamu? Kulihat keajaiban setiap hari!” jawabku lantang.
”Setiap hari? Ha! Ha! Pasti kau tidak mengerti deh apa itu keajaiban,” ejeknya padaku.
”Kurasa kaulah yang tidak mengerti apa itu keajaiban!” balasku.
”Yang benar saja.. Kau mengetesku ya?”
”Tidak, sekarang kutanya, apa kau pernah melihat keajaiban?” ejekku padanya.
”He! He! Tentu saja tidak pernah! Karena tidak ada yang namanya si keajaiban itu! Hanya istilah bikinan manusia saja...” jawabnya sok tahu.
”Mmmm...” gumamku sambil tersenyum mengejek.
”Mengapa kau tersenyum menyebalkan seperti itu, hah?” dia sudah mulai sadar aku mengejeknya.
”Tidak, hanya saja hidupmu menyedihkan yah..” jawabku sok tahu.
”Apa maksudmu?”
”Keajaiban akan datang kalau kita percaya pada kekuatan Tuhan dan kita memujaNya dengan penuh rasa terima kasih,” jelasku jujur.
”Jadi maksudmu aku tidak percaya pada Tuhan, gitu?” wah, dia sudah mulai panas rupanya.
”Tidak begitu sih, mungkin kau kurang berterima kasih padaNya.”
”Sok tahu sekali kau! Seperti orang paling tahu terima kasih saja,” jawabnya yang sudah mulai mengajak ribut.
”Aku sih tidak bermaksud begitu, tapi menurutku kau juga pasti sudah pernah melihat keajaiban. Hanya kau tidak sadari saja,” jawabku dengan maksud menenangkan suasana.
”Keajaiban yang mana maksudmu?” keningnya mulai berkerut.
”Mungkin sejenis dengan yang sering kulihat.”
”Keajaiban apa sih yang kau lihat?” tanyanya tanpa sadar.
”Diriku! Setiap kubercermin, kusadar bahwa aku masih berdiri hingga kini karena kekuatan dan berkah dari Tuhan.”
”Hi... jadi maksudmu kau adalah keajaiban Tuhan? Jangan bikin aku muntah deh!” ejeknya geli.
”Terserah! Kalau mau muntah tolong jauh-jauh dariku.”
”Kurang ajar sekali kau!”
”Kau yang mulai membahas keajaiban, mengapa ketika kujawab kau jadi marah-marah? Padahal aku belum selesai menjelaskan.”
”Baiklah bodoh.. teruskan!” perintahnya.
”Manusia sering mengharap dan melihat terlalu tinggi, sehingga mereka lupa dan sombong untuk menyadari keajaiban Tuhan pada diri mereka. Keajaiban harus merupakan sebuah hal besar yang mereka inginkan.”
”Iyalah, kalau yang Tuhan inginkan itu takdir namanya.”
”Yang kita inginkan seringkali bukan yang terbaik untuk kita. Dulu aku sering menyerah, mengeluh, mengritik dan menghujat. Tuhan memberi keajaibanNya padaku dengan tetap memegang tanganku ketika hati, mata dan pikiranku telah menjadi hitam,” kumulai menahan tangis.
”Tapi kau kan memang hitam, temanku!” katanya jujur.
”.............” kutatap matanya dalam-dalam.
”Baiklah, teruskan!” menyerah juga dia.
”Ada kekuatan yang membantuku berdiri, mengangkat kepala, berjalan dan tersenyum. Bahkan kini, kupunya kekuatan untuk mengulurkan tanganku untuk membantu orang lain berdiri. Yang jelas, tadinya itu bukan kekuatanku, tapi kekuatanNya. Dia membantuku berdiri, tegap! Itu keajaiban, untukku, dariNya dan aku tidak mau menyia-nyiakan itu tentunya. Iya kan?”
”Jadi, cuma begitu yang kau bilang keajaiban? Kupikir benar-benar keajaiban.”

Sekarang, aku yang menjadi bingung tentang konsep keajaiban, menurutnya tentunya. Dia pikir apa itu keajaiban ya? Hah, jadi bingung.

No comments:

Post a Comment