Tuesday, October 27, 2009

Bercerita bersama sore - dua

Kita lanjut lagi Sore, ke rumah kedua. Letaknya dekat sekali dari rumah pertama kami, hanya terpisahkan oleh empat rumah dan satu pos siskamling, tempat bapak-bapak hansip berjaga, menjaga kami yang sedang tidur pulas. Rumah ini jauh lebih kecil dari sebelumnya. Jika dulu kami punya dua kamar tidur, sebuah ruang makan, ruang tamu, dapur, kamar mandi dan pekarangan, kini kami hanya punya satu ruang tamu, satu kamar tidur, satu ruang makan, satu kamar mandi. Serba satu, tanpa pekarangan. Oh iya, kamar mandi kami tak berkakus. Jadi kami harus keluar ke belakang rumah dan mengunjungi sebuah kotak dari triplek tak berlampu jika ingin jumpa kakus. Pernah itu satu waktu aku pergi kesana malam hari ditemani lilin. Ketika sedang sibuk berkreasi, tiba-tiba saja aku mencium bau aneh, bau gosong, bau terbakar. Aku kaget dan entah mengapa takut sekali, mungkin takut jikalau ada kebakaran. Ternyata eh ternyata aku mendapati rambutku yang terbakar karena menunduk terkantuk ke arah lilin di depanku. Untung bukan wajahku yang terbakar!

Di rumah ini sepertinya kali pertama aku dan Aran belajar membaca. I en i ni ini, i be u bu ibu, bu de i di budi, ini ibu Budi. Itu kalimat pertama kami, pastinya. Terima kasih pada seluruh tim penyusun buku Bahasa Indonesia terbitan Yudistira, kalian telah menemani hari-hari kami belajar membaca. Satu malam, malam itu aku sudah melewati masa-masa suram saat aku dilarang tidur oleh mama sebelum bisa membaca. Sudah biasa itu aku tidur di atas jam sembilan malam karena metode mengajar mama, belum lagi biru-biru yang aku dapat di sekujur tubuh hasil cubitan gemasnya. Kenapa waktu itu bapak selalu tidak ada di rumah untuk menolongku yah? Ah, mungkin kalau bapak ada aku belum bisa baca sampai sekarang. Jadi tidak bisa lulus sekolah, tidak bisa bekerja, apalagi punya blog sendiri. Malam itu tiba giliran Aran belajar membaca. Aku? Sudah menyelesaikan PR dan sedang menonton televisi, TVRI. Aku lupa sedang menonton acara apa, yang aku ingat tiba-tiba saja aku kaget karena teriakan mama yang marah-marah setelah mengetahui kalau selama ini Aran berbohong, pura-pura bisa membaca padahal dia menghafal bacaan saat mendengarkanku belajar membaca di hari-hari sebelumnya. Kalian tahu bagaimana dia menghafalnya? Jadi, di setiap halaman ada gambar ilustrasi di atasnya. Nah, Aran cukup mengingat bunyi yang kubaca saat itu sambil mengingat gambarnya, begitu. Maka habislah dia dimarahi dan dicubiti mama. Sementara aku, tersenyum bahagia sambil menonton tv.

Di rumah ini juga kudapatkan panu pertamaku. Panu yang besarnya bukan main dan muncul di tempat yang tidak main-main, di pipi kananku. Bapakku, yang kreatif bukan main, mencoba mengobati panuku menggunakan obat cair bernama kalpanax, obat cair berwarna yang cukup dibubuhkan ke kapas untuk kemudian digosokkan ke panuku. Sederhana sekali bukan? Tidak! Tidak pernah sesederhana itu rasanya. Kau tahu sensasi saat kapas berkalpanax digosokan ke kulitmu? Itu panas sepanas-panasnya, perih seperih-perihnya. Perih sekali! Itu aku berteriak, menggelegar, memanggil para tetangga. Para tetangga yang akhirnya berkumpul menikmati pemandangan seorang perempuan kecil yang sedang dipiting bapaknya sambil dibakar kulitnya. Aku tidak melebih-lebihkan, memang kulitku sedang dibakar walau tak berapi, dan hasilnya, seratus persen terbakar. Jadilah aku memiliki penghuni baru di wajah, luka bakar besar seperti tompel yang memenuhi pipi kananku.

Itu belum seberapa, kalian tahu apa yang terjadi besoknya? Aku harus tampil di atas panggung, di depan guru-guru dan murid-murid sekolah tempat mama mengajar. Sudah terlanjur aku mengiyakan untuk bersenandung Islami di acara maulid sekolah itu. Malu sekali mendapati orang-orang sibuk memandangi tompel baruku, bukannya mendengar suaraku yang merdu. Tak cukup mereka mengganggu konsentrasiku, ada lagi seorang guru yang bertugas sebagai fotografer, dengan kamera sakunya mendekatlah ia ke panggung, mendekatiku, membidikku, dan dengan manis mengabadikan tompelku. Beberapa minggu setelahnya mama memberikan foto itu padaku dan, tidak lupa, menyuruhku menyimpannya. Untuk kenang-kenangan katanya. Ah, mama, tanpa foto itu pun aku masih mengenangnya dengan baik. Terima kasih mama, terima kasih bapak, atas kolaborasi yang indah.

Walau sempat berpanu, tidak seperti gadis kecil umumnya, tapi aku bermain barbie, bukti kalau aku juga gadis kecil yang manis. Barbieku dibelikan mama di Ramayana, asli katanya. Bukan cuma barbie, aku juga dibelikan mesin jahit untuk membuat baju barbie, warnanya merah jambu, keren sekali. Keren sekali karena cuma aku yang punya, tak ada teman-teman bahkan sepupu-sepupuku yang memiliknya. Barbieku punya nama, aku lupa beberapa namanya, yang kuingat semuanya berbau telenovela; dulu aku menggilai nama-nama yang kutemukan di telenovela, dan berhubung telenovela berganti-ganti, begitu pula nama barbieku. Barbieku juga berulang tahun, yang tanggalnya berubah-ubah mengikuti moodku. Akan kuundang tetangga-tetangga beserta barbie mereka untuk berpesta di rumahku, pesta yang seringkali menghabiskan isi kulkas mama, yang menyebabkan mama hampir membuang barbieku. Tapi tenang, aku selalu berhasil menenangkan mama dan barbieku masih selamat, sehat wal afiat.

Ada lagi satu cerita yang masih berputar dengan gambar yang jelas di ingatanku, hari itu satu hari menjelang lebaran, Idul Fitri. Itu siang hari, di belakang rumah, aku sedang berkumpul bersama Aran dan teman-teman kami mengerubungi beberapa ember. Ember berisi ikan-ikan cupang koleksi bapak. Ikan-ikan cantik berwarna-warni yang sedang sibuk berenang melenggak-lenggok seperti hendak pamer pada kami. Aku dan Aran sedang melatih jiwa usaha kami dengan menjual ikan-ikan itu ke teman-teman, para pengunjung. Tidak sulit, kami hanya membutuhkan saringan penangkap ikan; kami pinjam punya bapak saja, karena kebetulan bapak punya banyak, dan kantong plastik kecil tempat menaruh ikan; ini juga kami minta sama mama, maksudnya kami ambil dari laci dapur mama, karena toh mama juga punya banyak, lebih banyak dari saringan ikan bapak malah. Kami jual lima ratus rupiah, untuk sekantong ikan cupang, yang warnanya beragam, boleh pilih. Semua senang, semua suka, laris manis dagangan kami.

Dalam waktu singkat kami berdua punya uang banyak. Uang yang kami hitung lagi dan lagi hingga malamnya, malam takbiran. Mama sedang menggoreng kacang untuk lebaran di dapur, aku dan Aran di ruang tamu bersama uang-uang hasil jerih payah kami dan tiba-tiba saja bapak datang menghampiri kami, bertanya tentang kabar ikan-ikannya. Kami ceritakan kesuksesan kami padanya dan tak disangka tak diduga bapak marah semarah marahnya pada kami, dia bilang ikan cupang warna-warni itu dari Singapura, mahal harganya. Masa ada ikan cupang dari Singapura? Aku dan Aran takut sekali, kami hanya menduduk dan aku, menahan tangis. Tiba-tiba saja adik bapakku, Mang Isa, yang kala itu memang sedang di rumah dan menikmati kacang goreng mama mengambil alih kemarahan bapak. Bapak lalu mundur, sepertinya aku sempat melihat kode mamang ke bapak agar mundur, dan mamang melanjutkan bapak. ”Ega sama Aran mau apa? Bilang saja sama Mamang, nanti dibeliin. Jangan jualan, tinggal bilang saja. Mamang ’gak mau yah dengar lagi kalau Ega sama Aran jualan. Kalau ada apa-apa bilang saja sama Mamang, nanti dikasih”. Memangnya kalau kita jualan berarti kita butuh sesuatu ya? Aku dan Aran tidak mau beli sesuatu dengan uang tadi, kami hanya mau berjualan, itu saja. Lalu mamang mengelus kepala kami dan berpamitan pergi. Akan kuingat selalu itu, tidak boleh jualan dan tinggal bilang saja kalau mau sesuatu.

Beberapa jam kemudian saat sedang bermain di lapangan, kudengar mamaku teriak histeris, menangis ia, meraung-raung; khas orang Batak. Kuberlari ke rumah, mendapati mama sedang ditenangkan oleh beberapa tetangga. Ada apa? Aku lupa siapa yang menjelaskan padaku, menceritakan bahwa tadi setelah pergi dari rumah, mamang Isaku pergi ke studio foto untuk membuat pas foto, keluar dari studio mamang menyeberang jalan, dan saat menyeberang tiba-tiba ada sebuah mobil menabraknya. Menabraknya lalu pergi. Tabrak lari. Mamang juga pergi. Tak ada lagi. Sejak itu aku tak pernah berjualan ikan lagi. Dan tak pernah ada lagi yang bilang padaku, kalau mau apa-apa tinggal bilang saja.

Buat mamang di surga, tak pernah kulupa merahnya darah di sweater terakhirmu, tak juga kulupa pesan terakhirmu padaku, pada kami.

-bersambung-

No comments:

Post a Comment