Wednesday, October 28, 2009

Bercerita bersama sore - tiga

Sore, Sore, di mana kamu?
Iya, aku kan berjanji datang lagi. Iya, maaf sedikit terlambat, tadi aku tidur siang, enak sekali. Iya, tidur siang terus, aku kan memang suka tidur siang. Iya, sini aku lanjutkan lagi ya. Sampai mana kita sekarang? Rumah ketiga?

Rumah yang ini agak jauh dari rumah kami sebelumnya. Kalau yang lain berada jauh dari jalan utama, lain dengan yang ini, persis setelah jalan utama letaknya. Di sepanjang jalan raya Pasar Minggu itu ada toko-toko, nah rumahku di belakang toko peralatan listrik, tidak tepat di belakangnya sih, ada kali kecil memisahkan. Konon katanya itu kali terusan kali Ciliwung. Iya, kali itu sama dengan sungai. Tapi kalau dengar sungai, yang terbayang di benakku aliran air bening, tempat ikan-ikan bagus berenang, aliran yang membuat kita betah duduk di pinggirannya. Kalau kali itu aliran sungai berwarna cokelat, bolehlah kehitaman, yang kita tidak tahu pasti apakah ada ikan di dalamnya, dan yang pasti aku tak mau duduk di tepinya karena aromanya yang menyiksa. Seandainya kali itu sama dengan sungai di persepsiku, maka rumah kami ini pastilah asri sekali, karena itulah pemandangan pertama saat kami membuka jendela. Kali.

Rumah kami ini merupakan rumah paling luas yang pernah kami punya, paling panjang tepatnya. Mama selalu bilang bahwa rumah kami seperti kereta. Orang yang berkunjung seringkali tertipu saat mereka menemukan bagian belakang rumah kami yang tak kunjung habis. Oh iya, saat kamar tidur utama seringkali terletak di depan atau di tengah rumah, di rumah ini kamar tidur utama, kamar tidur mama dan bapak, ada di ujung rumah. Kamar yang paling besar dengan pintu geser seperti di film Oshin. Agak ke depan ada dapur luas yang menyatu dengan ruang makan dan tempat mencuci piring. Ini satu-satunya dapur kami yang berjendela sehingga sirkulasi udara membuat kami betah berlama-lama di ruang makan. Dilanjutkan dengan kamar mandi kecil, tempat aku sering menghabiskan masa-masa hukumanku karena dikurung mama di sana. Setelah melakukan kenakalan; menurut mama, aku akan disuruh masuk ke kamar mandi yang kemudian pintunya dikunci dari luar dan tidak lupa lampunya dimatikan. Mengerikan sekali, aku ingat. Aku takut kalau-kalau melihat setan yang tersenyum padaku. Setan yang bisa muncul kapan saja di kotak kecil nan pengap itu. Guna menghindar darinya, kupejamkan mataku rapat-rapat. Alih-alih merasa tenang dan tidak diganggu setan, aku malah tambah takut karena setan masuk ke dalam mataku yang terpejam, dia datang melalui pikiranku. Oh, mungkin ini sejarah yang membuatku takut berada di ruang sempit dan gelap sekarang.

Kita lanjut, ke kamar tidurku. Kamar tidur aku dan Aran maksudnya. Kamar tidur kami tak bepintu, hanya bergorden. Di dalamnya ada meja besar; tempat kami mengerjakan PR, lalu kasur tak berdipan yang digelar di lantai, sebuah meja kecil tempat menaruh celengan kami; celengan ayam yang terbuat dari tanah liat, harganya seribu seingatku, dan sebuah lemari kecil dua pintu. Pintu kiri wilayah kekuasaan Aran dan kanan kekuasaanku. Tertempel itu sticker-sticker tokoh Sailor Moon dan Disney kesukaanku serta Dragon Ball dan Pro Wrestling kesukaan Aran. Lalu, ruang terakhir adalah ruang tamu, kecil dan minim cahaya. Ada yang baru di ruang tamu kami, Nintendo Aran yang berhasil dimilikinya setelah mengorbankan sedikit kulit di kokoknya. Haha, disunat maksudku. Benar-benar buat iri, setelah pesta sunatan yang bersamaan dengan pernikahan salah seorang tanteku itu, Aran menjadi kaya mendadak. Bisa membeli banyak hal yang dia mau. Seperti Nintendo, sepeda, apa lagi ya? Aku lupa. Tapi tak apa, toh aku juga jadi bisa main Nintendo. Mario Bros, Street Fighter, dan Pacman favoritku. Kami main tak kenal waktu, tentu saja setelah menyelesaikan PR, itu peraturan pakem mama.

Oh, aku ingat, di rumah itu mama menemukan semangat belajarnya kembali. Tiba-tiba saja tidak puas dengan semua yang didapatnya di SPG; Sekolah Pendidikan Guru setara SMA yang sudah lama dihapus keberadaannya, mama memutuskan melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi, perguruan tinggi. Membuatnya memiliki rutinitas baru, pagi mengajar di SD, siang mengajar les, lalu pulang untuk bekerja sama dengan kami, aku dan Aran, mengerjakan pekerjaan di rumah. Seingatku kami sudah terlatih mencuci piring, menyapu, mengepel, bersih-bersih rumah, menghangatkan makanan, memasak mi dan air, membersihkan sayur mayur, mencuci walau menggunakan mesin, kecuali menyetrika, kami tak bisa. Lalu malamnya mama pergi ke kampus, berkuliah ia. Biasanya bapak yang mengantar jemput dan kami diam manis di rumah, berdua saja. Entah apa yang membuat kami tidak takut ditinggal berdua di rumah tiap malam.

Satu sore, itu kau, Sore. Aku dan bapak sedang main, berkeliling dengan motornya. Kami singgah di sebuah warung tempat om-om teman bapak berkumpul. Bapak mengobrol dengan mereka dan aku sibuk memilih es krim di warung seberangnya. Tiba-tiba ada seorang om datang membawa bayi, bayi kambing, masih merah, manis sekali. Dia bilang kalau bayi ini baru saja dilahirkan, jenisnya kacang; jenis kambing yang badannya tidak bisa tinggi dan besar seperti kambing kebanyakan, dan si om sedang mencari orang tua asuh untuknya. Bapakku langsung bereaksi, digendongnya itu bayi, aku hanya diam menatap keheranan, menatap bayi kambing untuk kali pertama dalam hidupku. Aku tak sempat menyimak pembicaraan mereka karena sibuk terpesona dengan bayi itu dan tiba-tiba saja kutersadar saat bapak bertanya, ”Gak pa-pa kan Ga?”. Heh? Apa katanya? ”Gak pa-pa kan kita aja yang pelihara?” Iya, kataku tanpa berpikir. Bukan karena antusiasme yang besar, tapi kaget sekali atas ide bapak hingga tak bisa kuberpikir.

Itu kami, pulang ke rumah bermotor. Bapak duduk di depan menyetir, aku di belakangnya masih tertegun memandangi bayi kambing yang dipeluk bapak, bayi kambing yang sedari tadi tak henti menatapku. Tiba di rumah, aku ingat itu raut wajah bahagia mama menyambut bayi baru kami. Heran, aku kok tidak melihat sebersit pun rasa kaget di wajahnya. Semua orang lalu sibuk. Mama sibuk ke warung membeli dot bayi; untuk manusia, dan susu Dancow. Sedangkan bapak sibuk mencari bahan-bahan untuk membuat kandang. Setelah menyusui si bayi, mama lalu mengambil buku tebalnya. Ah, akhirnya mama berhenti bertingkah aneh. Mama pasti sedang belajar, pikirku. Aku dan Aran duduk di sana, di halaman rumah sedang memandangi bayi kambing yang lelap tertidur. Kasihan dia, pikir kami, dia tidak akan bertemu mamanya lagi. Setidaknya ada kami yang turut bersedih bersamanya saat itu. Tiba-tiba mama datang, memanggil kami dan berkata, ”Izanami Kotaro”. Heh? ”Itu namanya. Itu nama bagus, nama dewa Jepang. Dewa apa ya? Mama lupa”. Jadi itulah yang mama lakukan dengan buku tebalnya, mencari nama. Izanami Kotaro, Nami kami memanggilnya.

Nami tinggal di lapangan kosong sebelah rumah, kandangnya bapak buat di sana. Kandang kayu berpintu hasil tempelan kayu-kayu bekas. Di dalam ada sebuah mangkuk bagus tempat susu, mangkuk yang mama relakan dari dapurnya; karena Nami hanya menghabiskan waktu beberapa hari dengan dotnya. Jadwal Nami minum susu empat kali sehari, diselanya Nami hanya boleh minum air putih. Tergantung dengan rapih di dapur susu Dancow sachet khusus untuknya, full cream. Satu sachet per jadwal. Lalu, entah sejak kapan, Nami juga membutuhkan nutrisi tambahan. Mama memberinya roti. Roti yang kami beli di warung Bang Uus, langganan kami, seharga seribu. Nami suka sekali yang rasa keju, atau cokelat jika yang keju tidak ada. Kalau rasa lain akan dilepeh olehnya. Tidak suka katanya. Selain roti, Nami juga suka memakan kertas, entah sudah berapa banyak buku kami yang dimakannya. Jadilah kami harus menyimpan buku di tempat rahasia, layaknya emas. Nami tahu di mana kami meletakkan hampir semua benda di rumah. Maklum, dia memang penghuni rumah kami, bagian dari keluarga, walau tempat tidurnya di luar rumah.

Pernah beberapa kali kami terlibat situasi yang tidak enak dengan tetangga, berkat Nami. Nami masuk ke rumah tetangga yang pintunya terbuka. Biasanya Nami akan segera keluar dan tidak sampai menjamah dapur karena dia kan bukan kucing. Tapi Nami itu jeli sekali, dia melihat taplak meja tetangga kami yang terbuat dari kertas. Tanpa bertanya dulu, langsung saja dilahapnya itu taplak. Jadilah mama tak berhenti minta maaf di sana. Kali lain, Nami sedang berjalan-jalan sore; Nami tidak kami ikat pun kurung sepanjang hari kecuali saatnya tidur, dan dia melihat ada seorang bocah yang memegang uang. Bukan menggenggam tapi mengibarkannya bak bendera. Nami menghampiri si bocah, bukan untuk menyapanya, tapi untuk meminta sedikit uangnya, setengah saja. Mendapati uangnya tak utuh lagi, menangislah bocah itu. Untung saja bapak kebetulan datang dan menggantikan uang yang ternyata untuk membeli gado-gado buat mamanya.

Ternyata benar, badan Nami tidak bisa membesar ataupun meninggi. Membesar sih, sedikit. Meninggi juga, sedikit. Tetap saja ukurannya masih di bawah kambing-kambing lain. Pernah dulu ia bertanduk, kecil. Tapi entah bagaimana, satu waktu ia memasukkan kepalanya ke kaleng bekas yang ditemukan dekat kandang dan terperangkap kepalanya di sana, menangis ia. Aku dan Aran yang kala itu sedang bermain Nintendo keluar untuk melihatnya, membantunya mengeluarkan kepala. Berhasil, kami berhasil mengeluarkan kepala Nami, tapi tanpa tanduk mininya. Tanduknya patah, berdarah ia. Kasihan sekali. Aran mengobati dengan Betadine, aku sibuk memeluk dan menenangkan Nami. Jadilah ia tambah tidak seperti kambing kebanyakan, tanpa tanduk. Aku yakin aromanya juga berbeda dengan yang lain. Nami kami mandikan setiap hari, usai dia main. Kami bawa ke kamar mandi, kami siram dengan air; harus sambil dipeluk karena kalau tidak dia akan lari, lalu kami sabuni dengan sabun favorit kami, Dee-dee aroma strawberry. Kami sabuni semuanya, kepalanya, lehernya, buntutnya, kakinya juga. Lalu kami handuki dan kami bawa keluar rumah. Nah, ada bagian yang kusuka sekali setelahnya. Nami akan bergidik dan menggoyangkan kepalanya dengan cepat, lalu air akan bercipratan dari tubuhnya, dan, semua rambutnya akan berdiri, keren sekali. Mengapa tidak terpikir olehku untuk memotretnya ya?

Nami selalu menemaniku, menemani kami, di kala senang maupun susah. Pernah itu aku dihukum oleh mama, tidak boleh masuk rumah, tinggal di teras saja. Padahal waktu itu sudah jam sembilan malam, sudah gelap. Aku duduk di teras, ketakutan. Terus aku ingat bahwa Nami juga tidur di luar rumah, di kandangnya. Kubuka kandangnya, kulihat ia sedang tidur tapi terbangun oleh bunyi pintu dan kugendong ia keluar. Itu kami, tidur bersama di teras, berdua. Sampai mama membangunkanku, entah jam berapa, menyuruhku masuk dan tidur di kamar. Kubawa Nami bersamaku, tidur kami di kasurku, bertiga, sama Aran juga.

Nami adalah yang pertama aku dan Aran cari sepulang sekolah, yang bapak dan mama cari sepulang kerja. Seperti sore itu, sepulang Madrasah; tidak seperti teman-temanku yang bisa beristirahat sepulang sekolah, aku hanya punya waktu setengah jam untuk kemudian sekolah lagi di sekolah agama, Madrasah, hingga sore. Kupanggil Nami, tak ada jawaban. Kubuka kandangnya, tak ada ia. Kucari di lapangan, sepi. Kutanya mama, berubah wajahnya. Kata mama beberapa siang ini bos bapak dan anaknya main ke rumah. Kali pertama iseng saja. Tapi ternyata anak bos bapak yang lebih kecil dari kami menyukai Nami. Sampai rumah minta balik lagi, mau ketemu Nami. Mau main sama Nami lagi dan lagi. Saat dibilang tidak bisa sering-sering datang marah ia, sedih sampai sakit. Lalu bos bapak bertanya jikalau mereka bisa mengasuh Nami. Aku tak mengerti mengapa, bapak bilang iya, mama juga. Dan sore itu, Nami dibawa pergi. Baru saja, beberapa menit yang lalu tambah mama.

Berlariku ke jalan raya, kutahu pasti mereka naik mobil, kulihat itu bapak berdiri melambai ke arah mobil Kijang. Itu Nami, itu Nami, melompat ke kursi belakang, memandangku lewat kaca sambil melompat-lompat. Bisa kulihat kakinya, kaki yang kemarin baru kuikatkan pita. Kudengar tangisnya, benar kudengar. Nami, Nami, panggilku sambil lari mengejarnya. Berlariku sampai tak bisa lagi, sampai bapak memeluk dan menahanku di dadanya. Itu Nami, pergi. Sore dia datang, sore juga dia pergi.

Aku ingat menangis berhari-hari. Aku ingat Aran bersamaku melancarkan serangan tanpa kata ke bapak. Kami tak mau bicara, tak mau diajak ke Ramayana, tak mau ditraktir es campur juga. Mama bukannya ikut sedih malah mendukung bapak. Kami tak suka.

Izanami Kotaro, notre chère chèvre pas comme des autres.

-bersambung-

No comments:

Post a Comment