Wednesday, November 18, 2009

Bercerita bersama sore – delapan

Madrasah Ibtidaiyah Asasul Islam. Setingkat SD tetapi khusus mempelajari agama Islam. Itu agamaku, Sore. Dipilihkan oleh Mama dan Bapak. Agama yang sudah Bapak punya dari dia lahir, yang baru Mama punya beberapa saat sebelum dia menikah. Mualaf, namanya. Mama mualaf, tak mengerti banyak, jadi tak bisa mengajari anak-anaknya tentang agama. Bapak tahu banyak, sekolah Madrasah juga katanya, tapi tak mau mengajari kami agama. Mama harus belajar, aku belajar, Aran juga belajar.

Setiap selepas maghrib, Mama pergi ke rumah seorang guru ngaji dekat rumah. Belajar mengaji ia, juga sholat. Aku ingat Al-Quran yang selalu dibawanya, satu-satunya yang kami punya. Aku masih pakai Juz-Amma, masih belajar juga. Itu kumpulan surat-surat pendek di Al-Quran, tak tebal dan berat seperti Al-Quran. Aku dan Aran juga mengaji, bersama teman-teman, di rumah Kak Mala. Belajar sholat juga. Tak hanya bersama Kak Mala, pernah juga dengan Tante Anggi, dan beberapa orang lagi yang aku tak ingat namanya. Aku dan Mama masing-masing punya satu mukena. Punyaku kecil berbahan katun. Punya Mama lebih besar dan berbahan licin. Kalau sajadah, hanya satu, warna hijau. Aran punya satu sarung juga, dominan ungu. Aku suka pinjam untuk main ayunan. Kami bertiga belajar agama, Bapak tak perlu, sudah tahu ia.

Saat usiaku delapan tahun, Mama memutuskan memasukanku ke sekolah ini. Sebuah bangunan sederhana sekali, di belakang masjid At-Taqwa. Persegi panjang yang di dalamnya ada lima kelas, satu ruang guru, sebuah mushola sekaligus sebagai ruangan multi fungsi, satu kamar mandi yang untuk ke sana kami harus melalui sumur dan tempat wudhu. Sumur sungguhan, Sore! Sumur yang cukup dalam, kalau diintip. Dari sumur ini lah kami dapatkan air wudhu. Yang kemudian dilanjutkan dengan sholat berjamaah di mushola, sholat ashar. Kau pasti tahu itu, Sore. Sholat ashar itu khusus untukmu.

Pagi hari di Madrasah ramai katanya, kata teman-temanku yang juga sekolah pagi harinya. Tapi kala siang, tak banyak orang. Hanya ada empat kelas, yang dipegang oleh empat guru. Kelas satu punya ustad Hasanudin, kelas dua ustadzah Annisa, kelas tiga ustad Syamsudin, kelas tertinggi punya ustad Burhanudin. Nama ustadku berima, ya? Ustad Hasanudin suka kopi encer dan manis, ustadzah suka teh manis hangat, ustad Syamsudin dan Burhanudin kopi pahit. Kami harus tahu itu, karena itu salah satu tugas piket, selain menyapu kelas dan menghapus papan tulis. Di rumah seberang, rumahnya Ipit, murid madrasah pagi, kami biasa membuat minuman. Ambil gelas-gelas dari ruang guru, bawa dengan nampan, lalu cuci beserta alas dan tutupnya sambil menunggu air mendidih, kemudian masukkan teh, gula dan kopi dan tuang air panas sambil mengaduknya. Bawa keempat gelas ke Madrasah lagi, melewati kopaja-kopaja yang terparkir. Ipit punya banyak kopaja, Sore. Koperasi Angkutan Jakarta.

Teman sekelasku tak banyak, ada Suci, Rusdah, Cecep dan Asep. Iya, cuma berlima. Sepi, tapi bukan masalah. Sebab kami semua semangat belajar, selalu bermain dan bercanda bersama; main tebak-tebakan, benteng, tak jongkok, karet, juga kasti. Aku, Suci dan Rusdah harus memakai jilbab, warna putih. Meski rok kami berkontradiksi dengan hal itu, rok mini. Kemeja putih tangan pendek, rok hijau dan jilbab putih. Selalu begitu. Kalau Cecep dan Asep hanya berkemeja putih lengan juga pendek dan kemeja panjang hijau. Suci lebih muda setahun dari aku dan Rusdah. Anak Bang Jamal, pemilik warung besar di depan SD. Rusdah temanku di SD paginya, bersama kami dari pagi hingga sore. Rusdah punya cara unik menulis, pulpen di tangan kanan dan penggaris di tangan kirinya. Biar tegak dan rapih. Dia yang mengajarkanku rahasia menulis kaligrafi bahasa Arab biar indah. Rahasia, Sore, rahasia. Cecep sekolah di Madrasah ini paginya, datang lagi ia siang hari karena suka belajar katanya. Agak aneh memang, tapi dia memang pintar dan rajin belajar. Asep si penyemarak suasana karena kelakuannya yang lucu, adalah anak pemilik warung kecil di depan Madrasah. Ibu dan Bapaknya selalu di sana, tempat kami jajan gorengan dan limun. Permainan favoritku kala itu adalah cerdas cermat. Kami datang lebih awal sebelum kelas dimulai, biasanya aku dan Rusdah sudah menyiapkan soal-soal; dari pelajaran kami mauoun pengetahuan sosial. Sementara Suci membawa hadiah, chiki, cokelat atau minuman kaleng yang diambilnya dari warung ayahnya. Cecep dan Asep tentu saja jadi peserta. Pada akhirnya, siapapun yang menang kami akan makan hadiah-hadiah tadi bersama. Senangnya. Sayangnya kebersamaan kami hanya dari kelas satu hingga kelas dua, di tahun ketiga Asep dan Rusdah berhenti. Aku lupa kenapa.

Di tahun itu juga ada dua murid baru, seperti pengganti, kebetulan. Bahtiar dan Nurjanah. Keduanya teman sekelas Cecep di kelas pagi. Tertarik mengikuti kelas siang juga karena kekurangan aktivitas, katanya. Lebih enak di sekolah daripada di rumah. Jadilah kami berlima lagi. Nurjanah tinggal dekat Madrasah, pun Bahtiar. Kulitnya putih bersih, berbeda dengan anggota keluarganya yang lain. Karena sering wudhu katanya, aku percaya. Bahtiar tinggal dekat sawah, yang di pinggirnya ada pohon mete besar. Pohon mete yang menjadi saksi petualangan kami selama dua tahun berikutnya. Kami berlima datang lebih awal agar bisa main ke sawah. Ada juga sungai kecil yang airnya bening. Bermain kami di sana, menyebur ke sungai, melalui padang rumput bercapung, lalu berjalan setapak demi setapak menelusuri sawah. Ada orang-orangan sawah juga, Sore! Yang dipakaikan baju, kumal, agar lebih mirip seperti manusia hingga tertipu para burung.

Tempat terindah kala itu, di atas pohon mete. Berdahan utama besar dan kuat, serta beberapa dahan kecil yang juga kuat menopang tubuh kami. Memanjat kami, biasanya aku yang paling tinggi. Tidak, tidak takut jatuh aku, Sore. Aku suka di atas sana. Persis di bawahku ada sungai kecil, di hadapanku terhampar padi-padi hijau yang setia menyapa; selamat siang. Ditambah angin sepoi tak bosan menyapu lembut pipiku. Setelah menghabiskan kurang lebih satu jam di sana, berlari kami segera ke Madrasah, bahasa Arab yang artinya sekolah. Berlari karena kami dengar suara bel berbunyi. Berlari sambil tertawa riang. Mengingatnya saja membuatku merindukan semuanya, Sore. Teman-teman, pohon mete, Madrasah.

Di halaman Madrasah ini aku menerima kabar gembira. Kabar yang disampaikan Aran setelah mengayuh sepedanya sekuat tenaga dari rumah, biar sampai tepat ketika ku pulang. “Teteh, ada pos, buat Teteh!” katanya sambil memberikan sebuah kertas tebal berukuran kecil padaku. Ah, kartu pos dari idolaku, Sore! Eno Lerian. Aku ingat berbulan-bulan sebelumnya pernah mengirimkan surat untuknya. Surat yang kutulis di atas kertas surat berisi kekagumanku padanya. Ingin berteman, kataku. Ih, senang sekali saat itu, Sore! Kupamerkan langsung pada teman-teman. Aran juga senang, karena tetehnya berteman dengan artis. Kami bisa dibilang teman kan, Sore? Kan sudah berkirim surat!

Walau Eno Lerian sudah pernah menyambangi Madrasahku, tapi tetap tak menjadi tenar sekolah kami ini. Tak dianggap. Hingga untuk melaksanakan ujian nasional pun kami harus menumpang di sekolah lain, yang lebih besar, yang lebih banyak muridnya, maksudku. Setelah latihan soal-soal yang bertubi-tubi, ustad Burhanudin tak lupa melengkapi dengan wejangan-wejangan agar kami tak gugup hingga bisa menyelesaikan semua soal dengan baik. Diantarnya kami tiga hari itu ke sebuah Madrasah yang letaknya tak terlalu jauh dari tempat kami, cukup sekali naik angkot saja. Sekolahnya bertingkat, banyak sekali murid di sana, bercampur, terlihat dari seragam yang berwarna-warni. Kami ya berlima saja, aku, Suci, Cecep, Nurjanah dan Bahtiar. Selama kami mengikuti ujian, ustad setia menunggu di luar.

Hasil ujian diumumkan beberapa minggu setelahnya. Lulus semua. Nilai sangat memuaskan, lebih dari cukup. Bahagia, kami bahagia, ustadz sangat bahagia. Kelulusan dirayakan dengan sebuah acara perpisahan di ruang mushola yang disulap menjadi panggung dan kursi-kursi penonton. Dicampur, murid kelas pagi dan kelas siang, jadi banyak, ramai. Mengaji, saritilawah, menyanyi, menari, berpuisi. Tak lupa saling bertukan pas foto yang sudah kami siapkan sebelumnya, beserta alamat dan nomor telepon, kalau ada. Selamat tinggal para sahabat, selamat tinggal wahai ustadzah dan ustad. Empat tahun yang menyenangkan dan membanggakan. Aku mengerti banyak tentang Islam sekarang. Terima kasih.

“Ega itu, satu-satunya cucu yang lulus SD dan Madrasah bersamaan. Satu-satunya,” ujar almarhum Mbahku, bangga.

-bersambung-

No comments:

Post a Comment