Wednesday, November 25, 2009

Bercerita bersama sore – sembilan

Sore, Sore! Di mana kamu? Sulit sekali menemukanmu belakangan ini. Si siang tampak serupa hingga ku tak tahu kapan kalian berganti. Aku kangen sekali, Sore. Sudah lama ya kita tidak bercerita?

Dingin. Aku kedinginan dari pagi tadi. Hujan terus, ya? Aku heran, sudah hujan begini, kenapa AC harus dinyalakan terus? Aneh. Jadilah dingin alami dan dingin buatan bertemu, mengangkat bulu kuduk tanganku. Apa, hujan? Tidak bisa apa-apa kala hujan? Siapa bilang!

Paling enak main hujan-hujanan, Sore. Aku dan Aran boleh main hujan, asal itu bukan hujan pertama. Hujan pertama itu hujan yang pertama kali turun setelah hari panas yang berturut-turut. Banyak penyakitnya, kata Mama. Air sibuk menyapu debu di jalan, ranting-ranting di genting, juga patung-patung peninggalan para kucing. Hujan pertama juga bahaya untuk kepala, bisa bikin kita pusing setelahnya. Jadi, jangan main-main dengan hujan pertama, Sore. Lebih baik di rumah saja, kita pandangi itu air yang meluncur di jendela, dari atas, ke bawah. Sambil menikmati pisang goreng renyah mama. Mengobrol kami berempat, tentang apa saja, suka-suka. Bapak menyeruput kopi pahitnya, Mama menghisap rokoknya, aku dan Aran sibuk dengan sendok kecil dan teh panas kami. Sesaat terlihat seperti iklan-iklan di televisi adegan ini. Entah iklan apa.

Di ujung genting halaman rumah ada air terjun, Sore. Air yang mengalir deras dari atap, terjun ke tanah tanpa rehat, dengan kecepatan penuh kalau kata Aran, melalui paralon plastik yang dipasang Bapak. Buat rumah kami serasa di tengah pegunungan saja. Sekilas air terjun itu tampak bening dan bersih, turun langsung dari langit. Nyatanya dia membawa kotoran dari genting kami, termasuk kotoran tikus, kata Mama. Jadilah kami tak boleh mandi di bawahnya.

Hujan kadang datang ramai-ramai, dengan teman-temannya. Ya petir, guntur, juga angin. Kalau sudah berkumpul mereka, menjauh kami dari jendela. Berbahaya, bisa disambar petir, kami. Pun televisi dan telepon, harus dimatikan, karena sang petir juga menyukai mereka. Telepon Mbah seringkali menjadi korbannya. Untung tidak kami punya.

Kalau hujan semalaman, tidurku jadi nyenyak sekali, Sore. Adem, udaranya.Tapi kalau sedikit-sedikit turunnya, bikin suasana tidak enak, karena udara jadi pengap dan panas. Aku suka hujan yang all out. Seperti juga kalau mandi hujan, tidak boleh tanggung-tanggung. Kubuka bajuku, tapi tidak kaos singlet dan celana dalam, kumulai di halaman depan atau belakang, sambil lompat-lompat, girang. Aran akan membawa pistol air dan helmnya. Bermain kami, bersama air. Air dari atas, depan dan bawah. Langit, pistol air, genangan di tanah.

Tanah lembek nan becek kami manfaatkan untuk membuat karya rupa, piring kecil untuk makan tahu gejrot, bola yang kemudian digunakan untuk perang, mangkuk mie, lubang tempat persembunyian, juga anak kura-kura. Di lapangan dekat rumah ada lebih banyak tanah, tapi sayangnya kami tak boleh merambah ke sana, Mama khawatir jikalau tiba-tiba petir datang dan menyambar kami. Jadilah kami main dengan tanah seadanya. Eh, kau tahu, Sore! Di rumah pertama kami, di belakang pohon-pohon pandan yang menempel di dinding muka rumah, kami pernah menemukan es batu kala hujan, kecil-kecil dan ada juga yang besar. Itu kejadian langka sekali, Sore! Kata Mama, kadang memang ada hujan es. Aku suka hujan es, sayang sekali hujan es tak pernah lagi datang. Hanya satu kali itu saja.

Tak lama setelahnya kulihat hujan salju di televisi. Seperti hujan es, tapi es yang satu ini seperti es serut, putih. Indah sekali. Aku mau lihat hujan yang itu, langsung dengan mataku. Aku ingin menyentuh es serutnya, mungkin bisa langsung kutuangkan sirop moka di atasnya. Aku ditengah putihnya, bermain bola-bola. Apalagi aku sudah terbiasa membuat bola-bola tanah sama Aran, pasti mudah sekali bagi kami untuk membuatnya lagi, bola-bola es. Hihi! Membayangkannya saja sudah sangat menyenangkan!

Kau ingat Nami? Pernah itu beberapa kali Nami ikut main hujan. Tapi kami tak membuat bola-bola tanah, pun main pistol air, tapi kami main kejar-kejaran. Nami dengan sigap akan mengejar aku dan Aran tiap kali kami berlari menjauhinya. Kami berlari kecil, kecil pula larinya. Kami berlari kencang, lebih kencang lagi larinya. Aku ingat, Nami seringkali tak bisa mengerem. Alih-alih mendapatkanku dan Aran, dia malah berlari mendahului kami. Butuh beberapa saat baginya untuk tersadar bahwa aku dan Aran sudah dilewatinya. Kalau sudah sadar, akan mengerem dia, mendadak, hingga menekuk kakinya. Lalu menoleh dan berlari ke arah kami lagi, sambil menyeringai memamerkan gigi putihnya.

Setelah cukup lama main kejar-kejaran, Mama akan memanggil kami bertiga sambil mengeluarkan sabun dan sampo dee-dee strawberry kami. Lalu kami membersihkan tubuh dengan busa-busa sabun dan sampo di bawah air hujan. Aku dan Aran memandikan Nami, dan di luar kebiasaan, Nami mandi dengan senang hati. Setelah selesai kami masuk ke rumah, aku dan Aran lalu berpakaian. Berkumpul kami di ruang makan, minum teh panas dan kudapan yang sudah disiapkan Mama. Nami menikmati susu dan roti sebagai kudapannya.

Kau tahu kalau main hujan itu melelahkan, Sore? Sehabis main hujan, tubuhku terasa lemas, perutku keroncongan dan mataku perlahan menjadi berat. Selanjutnya pergi kami ke kamar, meluruskan badan di tempat tidur, Nami di atas karpet, lalu pelan-pelan terbang ke sana, alam mimpi. Terlelap kami bertiga, pulas.

Aku bermimpi sedang mandi hujan, hujan es, es serut. Bersama Aran dan Nami. Main perang bola, kejar-kejaran, Nami tergelincir, aku dan Aran tertawa. Seru sekali. Salju putih, bertiga kami di atas putih.

2 comments: