Wednesday, November 11, 2009

Bercerita bersama sore - enam

Hahaha! Kau lihat itu, Sore? Gadis kecil berseragam merah putih, berlari kencang, menghindari tangkapan ibunya. Tergopoh-gopoh si ibu di lapangan becek itu. Aku juga dulu begitu, tak mau mandi, maunya main saja. Ah, mamaku juga sama, melarangku bermain kala berseragam. Harus ganti baju dulu, katanya. Baju putih, susah mencucinya. Kenapa sekolahku tidak mengganti warna baju kami, ya? Biar kami leluasa bermain dan belajar. Biar mama tak marah saat kami main sepulang belajar. Nanti, di sekolahku, sekolah milikku nanti, seragamnya oranye saja, atau hijau. Iya, Sore. Aku mau punya sekolah sendiri. Sekolah tempat aku dan kawan-kawan menjaga penerus bangsa ini, dari debu-debu perkembangan zaman yang tak lagi sejalan dengan iman dan kebahagiaan.

Tidak, tak serta merta aku memiliki cita-cita ini. Dulu, waktu aku kecil, banyak sekali cita-citaku. Berganti-ganti. Aku kecil, Ega, berbadan kurus, rambut tipis, lurus, pendek dan berbuntut bagai kuda. Bukan dikuncir kuda, tapi bapak sengaja memanjangkan rambut bagian belakangku, saja, untuk kemudian dirawatnya bagai ekor kuda. Aku tak tahu rasanya, tak ingat. Yang kuingat, aku satu-satunya murid di Taman Kanak-kanak Bintara Indonesia Tiga yang berbuntut. Satu hari, ibu guru memanggilku, “Ega, besok buntutnya digunting ya. Bilang sama Bapak.” Pulang sekolah, kutemui bapak, “Pak, kata ibu guru besok buntut Ega mesti digunting.” Bapak bilang, “Bilang sama Ibu Guru, uangnya mana, buat ke salon?” sambil tertawa. Esok harinya aku ditanya ibu guru, ”Kenapa buntutnya belum digunting, Ega?” Kusampaikan pesan bapak, amanah, ”Kata Bapak, uangnya mana Bu? Buat ke salon.” Tertawa ibu guruku, tapi tak memberiku uang, pun pesan buat bapak. Malamnya bapak memanggilku ke halaman rumah, dibawanya gunting dan selembar koran bekas. Aku disuruhnya jongkok dan membelakanginya. Bapak lalu memotong buntutku, sambil bilang dadah. ”Gak jadi ke salon kita, Pak?” tanyaku. ”Kan gak dikasih uang sama Bu Guru,” jelasnya sambil, lagi-lagi, tertawa. Aku tak mengerti kenapa bu guru memintaku menggunting buntutku, padahal lucu. Tak suka kah ia? Aku juga tak mengerti kenapa bapak menurut saja sama bu guru, tak suka juga kah ia?

Kali pertama ku bersekolah saat usiaku tiga tahun. Mama menuruti pintaku untuk bersekolah, tergoda oleh cantiknya seragam biru bak pelaut itu. Kemeja tangan pendek dan rok bergaris biru putih, seperti langit. Tak lupa topi warna senada dengan karet pengait untuk di dagu. Kelas A waktu itu, kelas paling kecil, kelas bermain. Aku, salah satu anak terkecil di sekolah. Kecil sekali hingga teman-teman suka menindasku, apalagi si Uki. Uki, badannya lebih besar dariku, laki-laki, wajahnya lancip, nakal, suka menarik buntutku, merebut ayunanku, meminta bekalku, menertawakanku. Aku tak suka dia, Sore.

Bekalku, selalu itu, wafer superman, astor, jelly dan sebotol air putih. Di jam istirahat aku dan teman-teman suka jajan bubur ayam, lewat sela pagar sekolah. Aku belum mengenal uang saku, jadi cukup ku meminta bubur dan mama akan membayar tiap Minggu pada si Abang bubur.

Di TK, aku dikenalkan pada istilah absen. Di sisi kanan kelasku, ada papan tempat tergantung buah-buahan. Buah dari kayu, tertempel di papan kayu. Ada jeruk, apel, pisang, mangga, nanas, durian, punyaku, anggur. Anggur berwarna ungu, ada daun hijau di atasnya. Kalau aku sudah datang, ku gantungkan anggurku di papan. Sebelum pulang, ku turunkan lagi dan ku taruh di kotak panjang di bawah papan. Anggurku, bagaimana kabarnya ya, Sore?

Kala ku di kelas B dan C, sudah mulai ku ikuti banyak kegiatan. Olah raga, bernyanyi dan menari. Seingatku paling sering menari. Satu hari, menari ku di sebuah ruangan, bersama teman-teman, tapi bukan di sekolah. Di sekitar kami ada banyak orang tak dikenal, juga ada kamera. Shooting. Menari kami untuk kemudian disiarkan di televisi, TVRI. Ditayangkan beberapa Minggu kemudian, sore hari. Kau tahu rasanya masuk tv, Sore? Aneh. Aneh sekali melihat dirimu di tv, sedang menari, sementara dirimu ada di luar tv, menonton dirimu yang sedang menari. Tapi Mbahku tidak merasa aneh. Senang sekali ia. Menonton cucunya yang sedang menari di tv, sambil menangis. Itu terharu namanya, kata mama. Kalau kita menangis kala bahagia. Sering juga aku dan teman-teman menari di panggung, di halaman sekolah, dekat kolam pasir. Kami memakai baju warna-warni, jari kami diikatkan sapu tangan agar melambai cantik kala menari, tak lupa wajah kami diwarnai. Ingat aku mama yang seringkali mengeluh kala mewarnai wajahku, mendandaniku dengan peralatan make upnya. ”Tipis sekali sih bibir kamu. Susah tahu pakai lipstiknya!” Jadilah mama mencolek lipstiknya untuk kemudian dioleskan ke bibirku dengan jarinya, begitu saja.

Sekolah dimulai jam tujuh pagi sampai sebelas siang. Kebanyakan teman-teman diantar jemput oleh mobil sekolah. Aku ingin sekali bergabung bersama mereka, tertawa bercanda di dalamnya. Tapi tak bisa, rumahku dekat sekali dari sekolah, hingga tak perlu diantar jemput. Tidak, aku memang tak diantar, Sore. Tapi aku selalu dijemput. Ada seorang penjemput setiaku, adikku, Aran. Setia sekali dia menungguku di gerbang sekolah, bersama para penjemput lain. Adikku penjemput termungil di sana. Dia akan melambaikan tangannya sambil memanggilku, ”Teteh!” dengan kencang. Kuhampiri dia, lalu dia akan mengambil tas dari tanganku, disampirkannya di pundak. Kuraih tangannya, berjalan kami, pulang. Tak lupa ku ceritakan cerita di sekolah hari itu.

-bersambung-

No comments:

Post a Comment