Thursday, November 5, 2009

Bercerita bersama sore – empat

Sini, mari mendekat, Sore. Lebih dekat lagi! Kau lihat itu rumah panjang yang dijepit kali dan sekolah? Iya itu, itu rumahku. Rumah kami yang keempat dan terakhir. Kali yang ini jauh lebih besar dari rumah sebelumnya, bukan? Tentu saja, kalau yang kemarin itu anaknya, ini ibunya. Ini baru kali Ciliwung. Lebar dan panjang. Konon katanya banyak buaya di sana. Seram ya? Ditambah pohon-pohon bambu lebat di tepinya, buatku bergidik saja.

Karena posisi rumah yang terlalu dekat dengan kali, kami menghabiskan banyak batu kali sebagai pondasi. Biar tidak longsor, kata mama. Kalau pagar besi ini bukan kami yang memasangnya, tapi PAM; Perusahaan Air Minum. Itu, letaknya di bawah sana, persis di tepi kali. Di sebelah kiri ada SD Inpres, nol berapa ya? Aku lupa. Di situ lah sepupu-sepupuku bersekolah; Teh Ebi, Eman, Fahrina juga. Tiga bersaudara yang rumahnya beda satu rumah di depan kami. Anak-anaknya Wak Taufik, kakak bapak. Kalau yang di depan itu rumahnya Rizal, temanku di Madrasah dulu.

Ini sebenarnya tanah milik almarhum Mbah, beliau memberikan pada anak-anaknya, ya bapak, ya Wak Taufik. Entah bagaimana ceritanya hingga keluarga Rizal bisa terselip di antara kami. Kau perhatikan tidak di belakang rumah ada apa, Sore? Bukan, selain kolam ikan lele. Iya, itu kuburan. Kober, orang bilang. Dulunya tanah Mbah juga, diwakafkan katanya. Aku lupa kata siapa. Kalau aku pulang malam dan naik ojek, tukang ojek selalu menatapku curiga tiap aku minta turun di ujung gang itu. Mungkin takut mendapati kalau-kalau kakiku tak menapak. Hiii....

Kami pindah ke sini saatku di bangku SMP, kelas dua. Daerah ini namanya Pejaten Timur, tepat di seberang Pejaten Barat, tempat ketiga rumah kami sebelumnya. Kalau dulu rumah kami dekat jalan raya, yang satu ini jauh sekali. Enak, lebih tenang dan tak berdebu. Tapi kalau jalan kaki lumayan jauh. Siang hari di sini panas sekali, itu karena atapnya terbuat dari asbes. Tapi kalau malam, dingin dan sejuk. Oh ya, kau tahu kalau ini rumah pertama kami? Maksudnya rumah pertama yang kami miliki, bukan mengontrak. Entah bagaimana ceritanya, yang aku tahu satu hari kami pindah ke sini.
Rumah baru, masih bersih, desain sendiri, tapi belum jadi. Iya, belum selesai pembangunannya. Belum ada pembatas di atas plafon, hingga asbes dan kayu-kayu menjadi pemandangan kala mendongak. Ruangan yang berlantaikan keramik baru ruang tamu dan kamar depan. Sisanya masih beralaskan semen, yang bergerigi dan tak rata. Tembok sisi luar pun belum dihaluskan, masih kasar dan tak bercat. Ya, begitulah rumah kami.

Mari kita berkeliling, Sore. Ini halaman kecil, dulu ditanami pohon-pohon mama, kini berubah jadi kandang ayam bapak. Lalu teras ini cukup untuk memarkir dua motor. Dulu mama menghias teras dengan bagus, pot-pot bunga di sekeliling juga digantung, bikin rumah terlihat asri. Bapak pernah berkontribusi satu pot, aku ingat. Ditanami pohon yang tak kukenal. Pohon ganja namanya, kata mama.

Mari masuk, ini ruang tamunya. Sempit ya? Semua ruang di sini memang sempit. Barang-barang yang kami punya masih sama saja; sofa berbentuk huruf L, meja kaca, lemari pecah belah, tv di atasnya. Yang tergantung itu samurai bapak, dari temannya. Kemudian ini kamarku, kamar Aran juga. Lagi-lagi tak berpintu, pun bergorden. Mama bilang lemari kami cukup untuk menutupi kamar, sekaligus membatasinya dengan lorong kecil, amat kecil hingga jika dua orang berpapasan, salah satunya harus mengalah untuk berhenti dan menepi. Lalu ini kamar mama dan bapak. Sama juga keadaannya seperti kamarku. Barulah ada pintu penghubung dengan dapur. Di dapur ada pintu keluar, yang selalu dibuka mama kala memasak.

Lalu terakhir, kamar mandi. Di bagian atas ada lubang-lubang udara yang ukurannya terlalu besar. Lubang yang dari dulu kami minta bapak menutupnya tapi tak pernah didengar. Hingga satu sore, aku mandi. Mandi sambil bernyanyi. Di tengah nyanyiku, kurasakan ada yang aneh. Tak sengaja melihatku ke arah salah satu lubang dan kudapati seorang laki-laki sedang memandangiku. Kaget luar biasa, pun dia. Kuraih handukku lalu berlari memanggil mama. Berceritaku dengan segera sambil menangis; ada anak laki-laki mengintipku mandi, anak laki-laki yang suka main kemari. Mama lekas keluar mengejarnya, terlanjur pergi ia. Tak puas, pergi mama ke rumah si anak pengintip. Ditemukannya sedang memanjat pohon di halaman, tak mau turun, ditimpuki mama dengan batu hingga dia turun. Dibawanya ke rumah karena tak mau mengaku. Dimarahi habis-habisan oleh mama setelah ku meyakinkannya bahwa memang benar dia orangnya. Aku tahu dari matanya, ku ingat betul tatapannya. Yang juga kutahu saat itu, aku harus melawan rasa malu. Biar dia yang malu, malu karena sudah mengintipku.

Mari kita lanjut, Sore. Di belakang rumah ada bak panjang dan dalam. Dulunya tempat ikan-ikan lele berenang. Entah program apa yang mama ikuti dari Departemen Perikanan, hingga mereka membangun kolam itu yang kemudian diisi oleh bibit-bibit ikan. Mungkin ini yang namanya budidaya. Jadilah ikan-ikan itu kami punya. Tiap hari mama beri makanan, cukup ditaburi saja. Doyan sekali mereka, lahap terus makannya. Lahap hingga badan mereka membengkak, buat kami tergoda. Lele oh lele, menu kami berturut-turut entah hingga berapa lama. Anehnya tak pernah itu aku bosan, kami bosan. Selalu semangat kami menyantap mereka. Mama cukup menambahkan nasi panas, sambal mentah dan jangan lupa lalap. Apa kalian tahu perjuangan mama untuk menghidangkan itu semua? Dia harus menangkap ikan-ikan dengan serokan, di taruh di ember, kemudian dibunuh dengan mengantukkan ulek ke kepala si ikan, mati dia. Mama lalu akan membedah perutya, dibersihkan, dimandikan lalu digosok kulitnya dengan daun bambu yang sudah dipetik Aran, biar tidak licin katanya. Belum selesai perjalanan si ikan, dia kemudian diceburkan ke bumbu kuning racikan spesial untuk kemudian berendam di dalam minyak panas. Kalau sudah terlihat keriting buntutnya, baru lah diangkat dan ditidurkan di piring lonjong. Saat semua menu sudah siap, tugas aku dan Aran adalah membawa peralatan makan dan makanan ke ruang tamu. Lalu makan kami di lantai, bersama. Duh, nikmatnya!

Di rumah ini Aran memiliki kenangan indah dengan rokok pertamanya. Di samping sebuah warung dekat rumah, di sana lah Aran menghisap rokok bersama teman-temannya. Bersama mereka sambil bergurau dan tertawa. Hingga tak menyadari mama yang tak sengaja lewat. Sepulangnya bermain, Aran mendapat kejutan tak terduga. Diinterogasi ia mengenai kegiatan siang tadi. Bapak yang didelegasikan tugas itu oleh mama. Aku menonton tv saja, pura-pura. Karena Aran tak kunjung mengaku bahwa tadi dia merokok bersama kawan-kawannya, turun tangan lah mama. Geram dengan kebohongan Aran, mama memintaku mengambil rokoknya di meja berserta korek. Dijepitkannya lima batang rokok ke bibir Aran lalu dinyalakan. Bapak diam saja tak mampu membantu Aran yang meminta tolong sambil menangis. Pergi bapak ke belakang, menghindar; ini salah satu sifatnya yang tak patut kucontoh. Kunikmati kemudian adegan yang tak pernah terulang, Aran bercucuran air mata sambil menghisap lima rokok di mulutnya. Dan mama yang berteriak menjelaskan bahwa ini hukumannya sambil meminta Aran berjanji untuk tak merokok lagi. Jangan kau pikir Aran jera setelahnya, Sore. Sekarang dia sudah menjadi bagian dari mama dan bapak, perokok.
Mama dan bapak kan juga perokok, entah kenapa mereka harus marah jika anaknya merokok. Katanya sih karena Aran masih SD, terlalu kecil. Jadi umur berapa kita bisa mulai merokok mama, bapak?

Satu siang, tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh delapan terjadi itu kerusuhan. Aku dan mama lihat di tv. Presiden kami, dipaksa turun oleh mahasiswa. Semua orang marah. Semua orang menjarah. Itu kali pertama aku mengenal kata menjarah. Seperti mencuri, tapi bersama-sama. Siang itu cukup mencekam. Aku dan mama di rumah saja sambil resah menanti bapak dan Aran yang entah sedang ke mana. Takut kalau mereka nanti jadi korban kerusuhan. Sore tiba, bapak pulang. Bilang kalau di jalan ramai orang, jadi sulit pulang. Aran belum tiba juga, panik kami, takut terjadi apa-apa. Berkeliling bapak mencarinya, bertanya pada teman-temannya. Dekat maghrib bapak kembali, tak ketemu juga katanya. Takut sekali kami, tambah takut karena berita di tv bilang banyak korban yang mati. Mama meracau menyebutkan tempat-tempat biasa Aran berada. Aku juga memutar otakku mengingat nama teman-temannya.

”Assalamualaikum.” Itu dia! Aran pulang. Menyambut kami semua, penuh lega. ”Mama lihat! Ini Aran bawa banyak makanan.” Masuk dia ke rumah sambil mengeluarkan isi kantong besar, layaknya belanjaan. Benar habis belanja dia, menjarah dari Goro; supermarket besar dekat rumah. Bersama teman-teman katanya sambil tertawa bangga. ”Seru sekali, semua orang bisa ambil apa saja. Aran ambil saja yang biasa mama beli. Ini ada sabun juga Ma!” Kau tahu wajahnya, Sore? Seperti kepala rumah tangga yang baru saja pulang berlayar dan sedang membagikan oleh-oleh hasil jerih payahnya. Dia lalu cerita bahwa tadi hampir saja terbakar dan terkurung di sana, tapi berhasi lari. Mendengar cerita seru anak bungsunya, mama dan bapak bereaksi. Yah, kau tahu lah mereka akan berkata apa. Marah-marah keduanya, sama-sama. Kemarahan yang terlampiaskan dengan mata berkaca-kaca. Kaca yang mungkin datang dari rasa syukur karena Aran tak terperangkap di sana. Marah mereka dengan kompaknya, meski sempat disela oleh perintah mama padaku untuk menyimpan semua oleh-oleh Aran ke lemari belakang. Kutinggal mereka, kudengar sayup-sayup saja teriakannya. Entah wajah Aran seperti apa selanjutnya. Tapi kuyakin sekali dia jera.

Sore, apa kau punya nama panggilan? Maksudnya nama selain Sore. Seperti nama kesayangan begitu. Bapak punya, Pikun namanya. Cara menulisnya begini, Лqoen; lambang matematika yang dibaca pi lalu qoen ejaan zaman dulu yang dibaca kun. Pikun. Kata bapak dulu di STM punya gank dan itu namanya. Bapak ketuanya, jadilah itu nama panggilannya. Aku tak pernah tahu kekuatan nama itu sampai suatu hari sepulang sekolah aku dan Aran berjalan bersama. Itu kami di pinggir jalan raya dekat volvo; merk mobil yang billboardnya terpampang besar hingga menjadi nama pemberhentian. Tiba-tiba saja ada segerombolan anak sekolah tawuran, berkelahi. Membuat orang-orang ketakutan dan berlari. Begitupun kami. Sambil berlari tetap kami pandangi mereka, anak-anak pria berseragam putih abu-abu, membawa berbagai macam senjata, ada golok, celurit, penggaris besi, ikat pinggang dan satu membawa samurai. Si samurai berjalan di depan, mungkin ketuanya pikirku. Dia memberhentikan metro mini dengan menghadangnya di tengah jalan sambil mengeluarkan samurainya dan berkata lantang, ”Lu tahu siapa gua? Anak buahnya Bang Pikun!” Heh? Aku dan Aran berhenti berlari, saling pandang, membeku beberapa saat, lalu lari lagi. Saat sudah jauh dari jalan raya, kami membahas kemungkinan jika benar bapak adalah bos mereka. Berarti keren sekali kami, Sore. Anak ketua gangster. Sayangnya penjelasan bapak mematikan imajinasi kami. Katanya itu hanya karena gank bapak dulu terkenal menakutkan dan orang-orang masih terpengaruh oleh nama besarnya, padahal banyak yang tidak tahu siapa gerangan anggota-anggotanya.
Kali lain aku dan Aran membeli nasi goreng yang mangkal di volvo, nasi goreng terenak sedunia. Sering sekali kami jajan di sana. Dan kau tahu? Setiap jajan, kami tidak boleh membayar. Salam saja buat Bang Pikun kata mereka, para pedagang. Sakti sekali nama Bang Pikun itu ternyata.

Hubungan bagaimana yang kau punya dengan pagi, siang dan malam, Sore? Aku, Aran dan mama punya hubungan yang sentimentil sekali. Tiap salah satu dari kami berulang tahun pasti lah kami akan membuat atau memberikan sesuatu yang spesial. Di ulang tahun anak-anaknya, mama seringkali membawa kami makan di Mc.Donald, cuma ada satu, di Sarinah Thamrin. Di ulang tahun mama, aku dan Aran punya hadiah favorit untuknya. Mic Mac. Kau tahu itu? Tak apa, memang sudah tidak ada lagi sekarang. Itu biskuit rasa keju, bungkusnya biru. Biasa kami beli di warung Bang Ende, dekat rumah. Kami akan membeli pita lalu menulis puisi atau kata-kata romantis. Ah, memangnya romantis hanya untuk pacar? Dan kami berikan padanya. Di hari ibu pun kami pasti berkreasi. Sentimentil bukan?

Banyak sekali cerita kami, ya kan Sore? Sayangnya tak lama kami bercerita di rumah ini. Tak lama karena entah ada apa. Ada rahasia yang lama sesudahnya baru bisa kubaca. Hanya tiga tahun, aku ingat. Tiga tahun pertama dan terakhir kami bersama, di sana. Tiga tahun kami sebagai keluarga. Bangun, tidur, makan, minum, mandi, masak, nonton tv, bercanda, berbagi rahasia, jalan-jalan, belajar, bersantai, menangis, tertawa, bersama. Mama dan bapak tak suka bersama. Tak mau lagi mereka jadi keluarga. Aku dan Aran tak ditanya. Padahal kami masih mau jadi keluarga. Sama-sama.

Tak ada lagi ikan lele keriting di meja, tak ada lagi biru-biru hasil cubitan mama, tak ada lagi bekas cakaran Aran di kulitku, tak ada lagi berebut remote tv dengan bapak, tak ada lagi karaoke bersama, tak ada lagi sayur bayam mama, tak ada lagi tertawa bersama. Tak ada.

Malam itu, dan malam-malam berikutnya, berdoa ku pada Tuhan. Semoga mama, bapak, Aran dan aku yang tak lagi sama-sama, tak lagi satu rumah, keempatnya, bisa terus berbahagia.

Amin.

-bersambung-

No comments:

Post a Comment