Tuesday, November 10, 2009

Bercerita bersama sore - lima

Jangan kemana-mana dulu, Sore. Di sini saja, menemaniku. Aku lagi tak mau sendiri. Tapi di sini lah aku, sendiri. Setidaknya ada kau, Sore. Mau ya? Terima kasih. Kau memang baik sekali, tak kunjung bosan menemaniku. Biar ku bercerita untukmu, lagi. Biar tak bosan kita. Kau belum bosan kan?

Kenapa aku terdampar di sini, di sore yang cerah bermatahari ini sendiri, di kamarku, adalah karena aku sedang tak ingin keluar. Tak ingin menyapa, tak ingin disapa. Bukan, aku tidak sedang marah dengan siapapun pun bosan apalagi sombong. Hanya sedang tak mau. Kawan-kawan, tetangga, mereka pergi, sendiri-sendiri, dari tadi pagi. Semua punya urusan, punya kesibukan. Tidak, aku sedang tidak ada urusan, apalagi kesibukan.

Sepertinya ada yang aneh dengan tubuhku, Sore. Agak lemas dan tak bersemangat. Tidak, aku tak lelah. Wong tidak banyak berkegiatan sedari kemarin. Agak tidak sehat, nampaknya. Mau tidur tapi enggan. Bangun pun segan. Tak bisa berpikir banyak aku, Sore. Gantian, kau saja yang bercerita, bagaimana? Ah, harus dilatih itu. Aku juga dulu tak suka bercerita, tapi lama-lama biasa. Kutanya, kau jawab, bagaimana? Setuju?

Kita mulai dari mana ya? Oh, apa kau suka pagi, siang dan malam? Jangan cuma iya, ceritakan padaku mengapa. Berceritalah tentang mereka. Bercerita hingga ku terlelap, ya?

Oh, jadi tugas Pagi itu mencerahkan hari, hari-hari. Makanya bersahabat ia dengan matahari ya? Sejak kapan mereka bersama, Sore? Pantas saja tak pernah berpisah mereka, sejak lahir sudah bersama. Pagi dan matahari, kolaborasi yang indah sekali. Tolong katakan pada mereka, betapa ku berterima kasih karena selalu dibangunkan dengan bersitan cahaya melalui tirai kamarku, cahaya selamat pagi dari sang Pagi. Cahaya yang menelusup masuk kala kubuka tiraiku, menyinari seluruh ruangan laksana berkata, ”Selamat pagi semua.” Matahari seringkali bersiul memanggilku, berkedip memintaku melihat mereka, burung-burung di angkasa. Burung-burung kecil yang sepertinya hendak bekerja, membuatku ikut bersemangat bersama mereka.

Bagaimana dengan siang? Bersahabat juga kah dengan matahari? Siang menyambung pagi, bersinergi bersama matahari. Siang menyukai energi, keringat dan semangat. Ada ia untuk memicu semua, memicu manusia, pohon, bunga, kupu-kupu, penghuni hutan, pantai, pegunungan, alam semesta. Memicu kita untuk terus bekerja, bersama. Matahari pun merekahkan senyumnya, bergandengan bersama siang, untuk kita. Iya kan, Sore?

Kalau Malam, tak suka kah dengan matahari, Sore? Oh, jadi malam itu sahabatmu? Apakah kau tak suka dengan matahari? Iya benar, bulan. Kalian bersahabat dengan bulan. Tapi aku tak sering melihat bulan bersamamu, hanya bersama malam. Kau lah yang memanggilnya, untuk kemudian menemani malam. Manis sekali dirimu, Sore. Malam mencintai keremangan dan kedamaian. Bahagia ia melihat keluarga yang bercengkrama, melalui jendela. Tak henti tersenyum ia mengamati induk burung yang meninabobokan anak-anaknya. Terbuai sang malam menyaksikan kekasih yang sedang bercinta. Tak jarang tertegun memandangi para penjaga yang setia melindungi tuannya. Ia juga setia menaungi mereka yang berduka. Malam dan bulan sering berbagi cerita, cerita mereka. Bintang tak jarang turut serta. Ah, malam memang mendamaikan, Sore. Tak pernah aku bosan ditemaninya menulis, bercengkrama dengan para tetangga, makan bersama. Malah aku ingat pernah memintanya untuk tinggal lebih lama, kala ku bersama kekasihku. Kali lain kala ku dirundu biru. Malam selalu mendengar pintaku. Kau percaya itu, Sore? Sampaikan juga terima kasihku padanya, ya.

Dan kau, Sore. Biarkan ku yang bercerita tentangmu. Kau bersahabat dengan matahari dan bulan. Kau yang mengucapkan selamat tinggal pada matahari dan setia memanggil bulan. Kau mendamaikan angkasa, selalu menari bersama angin seraya menyapa semua membisikkan kata, ”Mari beristirahat, kawan!” Kau tertawa menyaksikan gadis-gadis kecil bermain di taman, menikmati pemandangan orang tua memandikan anak mereka, memastikan para penyendiri menutup semua tirai, menyertai para pekerja kembali ke rumah, mengingatkan kami semua bahwa masih ada hari esok. Dan kau, Sore. Aku suka dansamu bersama angin itu. Membuaiku, sendu.

Sore, mataku hampir terpejam. Bolehkah ku menginggalkanmu kini? Jangan berhenti membuaiku, kawan. Aku suka. Jangan lupa esok datang lagi. Sore, soreku.

-bersambung-

No comments:

Post a Comment