Monday, November 16, 2009

Bercerita bersama sore – tujuh

Bukan, seragam SD itu warnanya merah putih, Sore. Ih, kau harus percaya padaku! Aku kan pernah SD. Iya, bertahun-tahun yang lalu. Tahun berapa ya? Seribu sembilan ratus delapan puluh sembilan, usiaku enam tahun waktu itu. Tidak jauh, tetap di Pejaten, tinggal menyeberang saja. Menyeberangnya dari depan masjid At-Taqwa. Iya, bisa berjalan kaki, naik angkot juga bisa. Mikrolet warna biru, bayarnya seribu. Tapi aku hampir selalu menumpangi kakiku untuk bersekolah. Pernah itu beberapa kali naik mikrolet, iseng saja, pernah juga nebeng tetanggaku yang anaknya sama sekolahnya, di SDN Pejaten Timur 07 pagi. Iya, memang ada sekolah pagi dan petang. Aku, pagi. Mama bilang lebih bagus pagi, masih segar, masih semangat. Alasan yang kemudian bertentangan dengan keputusannya memasukkanku ke Madrasah, siangnya.

Kelas satu, dengan tubuh kecilku, tas besar bergambar warna merah dan putih, tempat pensil kaleng yang selalu ribut setiap diajak jalan, sepatu kets warrior hitam putih yang kebanjiran kala hujan, dua pita merah di kepala seperti tanduk saja, berangkatku ke sekolah tiap paginya, Senin sampai Jumat, jam setengah tujuh. Tak sendiri, selalu sama Evi. Kalau Evi, beberapa kali sendiri, saat ku sakit. Evi, tak pernah sakit. Anak Indonesia sejati dia, Sore. Evi, tetanggaku, laki-laki, berkulit gelap, Betawi campuran apa, aku lupa. Tulisannya keriting, bikin pusing. Kalau menghapus tidak bersih, kalau mau bersih, harus sobek bukunya. Selalu begitu. Kalau sedang baik, kuhapuskan tulisannya. Pintar, tidak lebih pintar dariku, pun di bawahku. Rajin, jauh lebih rajin dariku, selalu menyimak pesan Ibu guru. Suka jajan, kalau makan berantakan. Berani, tidak nakal. Aku pun tidak nakal, tapi penakut.

Ada satu hari yang paling kubenci, datang tiap enam bulan sekali. Hari periksa gigi. Aku benci sekali. Tak suka. Evi tak benci hari itu, tak pula suka. Dia baik-baik saja. Hari itu, tak pernah diumumkan sebelumnya, selalu menjadi kejutan. Tiba-tiba saja di jendela kelas sebelah kiri, terlihat pasukan berjubah putih dengan ibu cantik di paling depan. Ibu cantik itu dokter gigiku, dokter gigi kami. Praktek di Puskesmas Pasar Minggu, kata Mama. Ah, tak bisa lagi aku konsentrasi belajar, Sore! Tak bisa. Jantungku berdegup kencang, wajahku memerah, dudukku gelisah, tak lupa keringat melengkapi semua, mengalir dia pasti di sela telapak tangan. Bu guru harus ke luar sebentar, ke ruang guru. Untuk berkoordinasi, mungkin. Aku pun harus ke luar sebentar, ke ruang ganti baju putri. Untuk bersembunyi, tentunya. Menyelamatkan diri. Sudah dua kali kugunakan trik ini, berhasil. Ibu guru sibuk, dokter sibuk, teman-teman sibuk, semua orang sibuk, tak ada yang akan menyadari ketiadaanku.

Di sana gelap, lembab dan bau. Tapi tak apa, jauh lebih baik dari bau obat, sarung tangan plastik, senter di kepala, besi besar penyodok gigi, mangkuk pisang penampung mayat-mayat gigi, kapas bercairan pahit dan darah. Maka, bersembunyi ku di sana, sendiri, sunyi. Hingga tiba-tiba kudengar derap langkah perlahan mendekat, makin dekat, tambah dekat. Ngiiikkk... Itu pintu membuka, Sore. Pintu tua, aku tahu dari bunyinya. Datang lagi langkah itu, ke arahku, ke tempat persembunyianku. Tok tok! Suara pintu diketuk. Bukan, bukan pintu tadi, tapi pintu yang ini. Sepatu itu, pasti punya Ibu guru. ”Keluar Teh!” itu suara Mama. Hampir copot jantungku. ”Iya Ma,” jawabku sambil menggeser kunci pintu. Belum sempat ku melihat wajahnya, langsung bergerak tubuhku, ditariknya. Dengan tenaga besarnya, seperti biasa, Mama menggenggam erat sikuku, membawaku ke ruang guru tanpa menoleh sedikitpun. Mama tak melihat wajahku, tak menghiraukan anak-anak yang sedang menertawakanku. Ditarikku hingga ke ruang guru, sesaat yang amat singkat kusapu pandangan, ada Ibu dan Bapak guru yang senyum-senyum, ada juga Ibu dokter dan kawan-kawannya yang, juga, tersenyum. Dan ah, akhirnya ada juga yang tak ingin menertawakanku, serius sekali wajahnya, teman sekelasku yang duduk di hadapan Ibu dokter yang sedang memasukkan kapas yang kukenal aromanya ke dalam mulutnya, ”Gigit!” kudengar perintah itu. Temanku berdiri, selanjutnya giliranku menduduki kursi itu.

Jantungku berdegup kencang, hingga bunyinya tak bisa ku tahan, menyusup ke telinga yang lain. Tak bisa ku mendengar, sunyi. Tak bisa ku duduk santai, tegang. Tak bisa ku menganga, kaku. Mama seketika menjadi asisten dokter, membuka paksa mulutku yang kemudian dikunjungi besi Ibu dokter. Seperti biasa, besi itu akan diketokkan ke beberapa gigi, seperti bilang, ”Assalamualaikum!” dan gigi-gigiku mau berpura-pura tidur saja atau sedang pergi hingga tak harus menerima kunjungannya. Lalu entah berdasar apa, Bu dokter menemukan gigi yang harus dienyahkan dari mulutku, padahal aku tak bermasalah dengannya. Takut, aku takut, pasti sakit sekali, dan berdarah. Oh, Sore, ku memberontak, harus lari, pikirku saat itu. Seketika itu Bapak guru olah raga, Pak Sugeng, membantu Mama memitingku. Ibu Dokter dan asisten berjubah putihnya menunaikan tugas dengan sigap, pun Mama dan Pak Sugeng. Hilang rasa, seketika sibukku menendangi mereka. Energiku saat itu dikerahkan seluruhnya untuk berontak, meronta, tak jua merasa. Hingga kudengar perintah itu, ”Gigit!” Sudah selesai Sore, pergi sudah gigiku, secepat itu. Rasa ngilu kemudian menyambangi. Dan oh, baju Mama, Pak Sugeng dan Ibu dokter terciprat darahku. Haha! Menyenangkan rasanya. Ini yang namanya win win solution, semua menang, semua senang. Dan kedatangan Mama ke sekolah hari itu masih menjadi misteri hingga kini.

Misteri lain, Sore, surat cinta. Kau pernah menerima surat cinta? Aku pernah. Di SD ini kali pertama aku menerimanya. Surat yang ditulis di selembar kertas bergambar bunga, beraroma tajam, dan ku tak suka. Aku juga suka membeli kertas surat, tapi bukan yang norak. Aku membelinya bersama Aran, di Tetap Segar, toko lumayan besar dekat Pasar Minggu. Maka itu, kubaca surat cintaku yang, sejujurnya, tak sepenuhnya ku mengerti. Surat cinta pertama yang kuterima di kelas empat dari murid SD seberang; Iya, jadi SDku berhadapan dengan SD lain, 09 pagi. Jika burung-burung melihat dari angkasa sana, 07 dan 09 membentuk persegi panjang, tiap dari mereka membentuk huruf L. Siapa namanya ya? Aku lupa. Tapi aku ingat Ayahnya punya pabrik tempe, hingga teman-temannya menjuluki juragan tempe. Isinya kurang lebih adalah pernyataan cinta, sepertinya. Anehnya aku tak tersanjung, tak juga tersinggung. Tak penting, jadi kubuang saja suratnya setelah kutunjukan ke beberapa teman wanita. Di kelas enam ada lagi surat darinya yang lagi-lagi dititipkan ke tetangganya, Rusdah, teman sekelasku. Kali ini aku mengerti, Rusdah juga. Kami tertawa, tak bisa berhenti. Isinya begini Sore, kurang lebih, dia tak suka lagi padaku jadi dia memutuskanku, tak mau lagi jadi pacarku. Dulu, pacaran itu artinya laki-laki dan perempuan yang saling suka lalu saling berkirim surat. Aku tak suka padanya, tak pernah kumenulis surat cinta. Tapi itulah, aku diputuskan, untuk pertama kalinya, oleh anak SD tetangga, sang juragan tempe. Tidak, aku tidak sakit hati, Sore. Aku belum tahu apa itu sakit hati.

Eh, tapi aku tak tahu apakah pengalamanku yang satu ini bisa dibilang sakit hati atau tidak. Kau tahu kalau Mama itu guru, Sore? Iya, guru SD tapi bukan di SDku. Semua orang tahu, teman-teman juga guru-guru. Aku bangga sekali menjadi anak guru. Mama cantik sekali kala berseragam mengajar, Sore. Dengan kemeja lengan pendek beremblem, rok pendek warna senada, cokelat, dan sepatu berhak. Cantik sekali. Tapi ada saat tertentu aku tak bangga beribu seorang guru. Aku ingat itu di kelas empat, kelas kami digabung, A dan B. Aku selalu di kelas B, anak-anak yang katanya lebih pintar ada di kelas A. Aku dan Evi selalu bersama di kelas B. Ibu guru mengadakan cerdas cermat sederhana dadakan. Memang benar anak-anak kelas A pintar-pintar, tapi tak lebih pintar dari kami, menurutku. Maka saat aku, Evi dan teman-teman kelas B lain melahap banyak pertanyaan, teman-teman dan Ibu guru kelas A kaget sekali. Puncaknya, saat aku mengacungkan jari kala ingin menjawab pertanyaan terakhir bernilai paling tinggi dan menentukan siapa pemenangnya, setelah beberapa lama tak ada yang mengacung sebelumnya, Ibu guru mempersilahkanku untuk menjawab. Dan iya, jawabanku benar, Sore. Teman-teman bersorak, ramai. Menang kelas kami. Ibu guru kelas A dan teman-teman bilang, ”Wajar saja, anak guru!” Sejujurnya aku tak yakin akan pesannya, tapi entah mengapa aku tak suka, tersinggung. Aneh ya aku, Sore?

Kali lain setiap testing di akhir catur wulan, nilaiku selalu bagus, termasuk yang paling bagus, malah. Tapi Ibu guru seringkali mencurigaiku yang sudah tahu soal sebelumnya, karena Mama. Iya, karena Mama seorang guru, jadi Mama yang memungkinkan untuk mencari tahu soal sebelumnya pasti memfasilitasiku guna tak perlu menanggung malu karena anaknya, yang anak guru, tidak pintar. Tapi di tahun keenam berhasil kubungkam mereka semua dengan meraih nilai kedua tertinggi di sekolah pada ujian akhir kelulusan yang, pastinya, Mama pun tak bisa membantuku karena kerahasiaan soal-soal ujian yang tak diragukan lagi. Ah, Ibu, Bapak guru, teman-teman, kalian memang benar. Aku pintar karena aku anak guru, anak Mama.

Setelah hari cerdas cermat itu, aku dapat teman baru dari kelas A, Herman namanya, yang ternyata tetangga aku dan Evi juga. Jadilah kami bertiga berangkat dan pulang bersama. Herman dan Evi banyak disukai teman wanitaku, kenapa ya? Sepertinya karena mereka pintar. Diapit mereka berdua membuatku disukai teman-teman wanita, jadi sumber informasi; Rumah Herman di mana? Dekat sama rumah Evi juga? Kalau pulang kalian lewat mana? Suka belajar bersama juga? Evi suka jajan apa? Herman punya kakak tidak? Pernah berantem? Baikan Herman atau Evi? Selalu seputar mereka. Tak apa, aku juga suka. Mereka, Evi dan Herman kesukaanku. Kami punya kesukaan yang sama, sama-sama suka jajan gorengan sebelum pulang, untuk dimakan sepanjang perjalanan. Sama-sama suka jalan kaki di samping rel kereta, lalu menyeberanginya di pagar besi yang menganga. Tengok kiri tengok kanan sambil mendengar suara kereta, aman, berlari kami menyeberangi dua jalur kereta sambil berteriak. Tidak, cuma aku yang berteriak, yang lain tidak. Terpingkal bahagia kami, maut tertaklukan. Tapi ini rahasia, Sore. Rahasia besar. Jika ketahuan bisa dimarahi kami. Kenapa tidak menyeberang di depan sekolah sama Bang Mada? Tapi kan Bang Mada juga menantang maut, mana dia tahu kalau kereta mau lewat atau tidak? Sama saja seperti kami. Iya kan, Bang Mada?

Hanya di SD ini lah aku dan Aran bersekolah bersama, sisanya, berbeda. Saat ku kelas empat, Aran masuk ke sekolah yang sama, kelas satu ia. Waktu itu kulitnya belum hitam kelam, masih cokelat bersih, belum banyak main. Enak sama-sama? Apanya yang enak? Aku tak ingat kesenangan bersekolah bersama adikku itu. Kau tahu, Sore. Di setiap sesaat sebelum istirahat kedua, keluar main kami menyebutnya, Aran akan setia mengintipku di depan pintu kelasku. Awalnya aku pikir dia belum punya teman, aku melupakan sifat supelnya yang tak kupunya. Pastilah sudah punya banyak teman ia, bahkan sampai murid-murid kelas enam. Kuhampiri dia, yang mendekat membisikkan sesuatu ke telingaku, ”Teteh, uang Aran habis. Aran lapar, minta uang ya?” Ada udang di balik batu. Itu menjadi rutinitas yang disadari Ibu guru, yang kemudian menceritakannya pada Mama saat bagi rapor, ”Ega sama Aran akur banget ya? Setiap istirahat kedua pasti Aran nyamperin kakaknya, Bu.” Mama senyum-senyum bangga, aku, tertunduk saja.

Pernah itu satu hari saat aku sedang belajar, Bu Syarifah, kepala sekolah datang ke kelas, memanggilku. Ada apa ya? Kalau Ibu kepala sekolah sampai memanggilmu, tandanya ada masalah besar, Sore. Permisiku pada Ibu guru lalu berjalan mengikuti Bu Syarifah ke ruangannya. Tak dinyana tak diguda, sudah ada Aran di sana, duduk berdampingan dengan anak laki-laki, kelas enam. Aran duduk santai, si kelas enam duduk tegak sambil memegangi sapu tangan menutupi hidungnya. Bu Syarifah mempersilahkanku duduk lalu bercerita ia. Aran menonjok anak laki-laki itu, katanya, sampai hidungnya berdarah. Aku diminta untuk menyampaikan pada Mama untuk datang esok, bertemu Bu Syarifah juga. Di sela cerita Aran berkata, ”Tapi kan Aran dipalak, Bu!” Terjawab sudah pertanyaan di benakku. Tak mungkin adikku memukul tanpa sebab, karena Bapak bilang, kalau kita dipukul baru boleh pukul balik. Tidak boleh itu memukul duluan. Aku hanya menjawab, iya.

Sepulangnya dari sekolah kudapat cerita selengkapnya. Si anak kelas enam berbadan besar tadi memalak Aran, lalu ditolaknya, tentu saja. Tapi si kelas enam memaksa, dipojokannya Aran kemudian Aran mendorongnya. Kesal dia, ditarik Aran ke arahnya, paksa. Lebih kesal lagi, Aran menonjoknya sekuat tenaga, lunglai dia, berdarah. Haha! Tertawa kami hingga menangis sepanjang jalan, tak sabar ingin cepat tiba, bercerita pada Bapak. Bapak tertawa, sampai nangis juga. Malamnya kusampaikan pada Mama, tentang undangan Bu Syarifah. Aran diminta cerita, menurut versinya, tentu saja. Setelah itu Mama tertawa, juga. Tapi tak sampai menangis ia. Tak apa, kata Mama. Aku lupa esoknya kasus perkelahian itu dimenangkan oleh siapa. Tak kami bahas lagi di rumah. Sudah berlalu, tak penting lagi.

Aku lulus tiga tahun lebih dulu, Aran melanjutkan ceritanya sendiri setelah itu. Entah bagaimana dia jajan di istirahat kedua. Ah, dia tidak meniru cara si kelas enam kan, Sore?

-bersambung-

2 comments: